Perceraian HASIL 1. Analisa Data Partisipan

perasaan apa-apa terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut. “Lama-lama dia kan laki-lakilah kan, berumah tangga. Udahlah, ibu udah berumah tangga dia, udah syukur.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b78h3 Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan. “Jadi udah itu eceknya dia udah gak baik lagilah dia sama istrinya yang kedua itu. Jadi balik lagi dia di sini. Tinggal dia sama ibu. Pulang dari Aceh itu, di sinilah dia. Ibu orangnya gak bisa ibu ngusir.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b82-87h3 “Jadi ibu gak maulah. Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b91-94h3

2. Perceraian

Setelah berpisah bertahun-tahun yang lalu, partisipan merasa hubungan pernikahannya sudah berakhir. Namun suami partisipan berpikir bahwa partisipan masih mau untuk berbaikan dengannya. Partisipan tetap mau untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya meskipun mereka tinggal di rumah yang berbeda. Akan tetapi sifat pemarah yang dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara suami partisipan tidak kunjung berubah. Ia bahkan bisa melakukan kekerasan fisik di depan anak dan cucu partisipan. “Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu. Eceknya ibu kan masakkan anak kita yang kerja ini. Jadi dia suami tetap makan sama kami. Tapi asik salah aja ibu. Salah juga.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b91-94h3 “pernah karena sikit aja kan ibu disiramnya pakai air panas di situ. Untung ada menantu.” “...iya. Eceknya ada lah menantu sama anak, mau marah. Iya mau.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b107h4 Suami partisipan pun kerap meminta partisipan untuk melakukan hubungan suami istri. Namun partisipan selalu menolak permintaan tersebut. Ia merasa telah berpisah dengan suaminya walau tanpa melalui proses perceraian ke pengadilan. “Rupanya dia mau diladenin jugalah. Sedangkan ibu bilang sama saudaranya. Ibu bilang ibu udah gak mau lagi, udah gak bisa lagi. Kalau mau tinggal situ terserahlah, gak ada rumahnya. Terserahlah.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b108-110h4 “Jadi itulah, ke pengadilan buang-buang uang juga ibu rasa. Bukannya ibu mau menikah pakai surat bercerai. Uang lima juta hilang tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b162-164h5 “Karena itu tadi ibu berpikir alah ngapain ibu bukannya mau kawin lagi ibu pikir kan. Tapi hati kita ini udahlah cukuplah sampai situ, begitu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b158-160h5 Alasan lain partisipan tidak mau bercerai adalah ia merasa kasihan pada anak-anaknya karena jika bercerai mereka tidak memiliki ayah lagi. Di Universitas Sumatera Utara sisi lain, partisipan sudah tidak memiliki perasaan terhadap suaminya. Untuk itulah partisipan merasa ia tidak perlu bercerai meski tinggal bersebelahan dengan suaminya. “Ibu sebetulnya udah lama kan yang ibu bilang itu kan, karena ibu memikirkan anak-anak ibu. Kasihanlah ibu kalau minta cerai kita kan, kasihannya ibu anak-anak ini gak ada ayahnya. Lain kalau meninggal kan? Kalau cerai kasihannya. Itulah yang ibu pertahankan sebetulnya. Sayang ibu sama anak ibu. Kasihannya lah, gitu. Kalau hati ibu memang rasanya udah gak itulah.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b81-88h3 Puncak permasalahan rumah tangga partisipan terjadi ketika salah satu saudara suami partisipan meninggal dunia. Suami partisipan sudah diberitahu untuk pergi bersama anaknya tetapi ia tidak mendengar sehingga ia pun ditinggalkan oleh rombongan. Ia tidak terima karena tidak diikutsertakan untuk melayat. Ia pun memarahi bahkan memaki anaknya. “Berkelahi lagi habis saudaranya meninggal padahal dia dikasih tahu. Dikasih tahu mungkin gak dengar, marahlah dia tadi. Entah apa-apalah katanya. Begadohlah sama anak ibu. Entah apa-apa yang dibilangnya sampai macam orang lainlah. Di-anjing-kannya si anak tadi.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b128-130h4 Melihat ibunya yang penyabar, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk segera mendaftarkan perceraiannya ke Pengadilan Agama. Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan ustadz, akhirnya partisipan mau untuk bercerai secara resmi. “itu cerai memang itu udah lama disuruh anak-anak ini. Tahunya orang itu ibu udah gak mau lagi. Jadi anak itu ya udahlah, apalagi. Ngapainlah kalau udah gak mau, gitu. ‘Jadi pun kalau bersama mamak jadi bulan-bulanan aja’, kata anak-anak ini gitu kan. Universitas Sumatera Utara Perintahnya, ininya yang gak tahan gitu. Makanya anak-anak ini mendukung.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b173-178h5 “Mudaratnya tadi kan gak berdosa lagi kita gitu. Kalau dulu itu kan ingat kita dosa. Ustadz itu bilang, “kita berdosa, gak kita ladeni sedangkan kita dah gak mau”. Kan rasanya udahlah beres, udahlah lega rasanya.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b199-201h6

3. Penyesuaian Diri Pasca bercerai