bersaudara, tinggal tiga. Udah meninggal tiga orang. Kalau yang belum meninggal itu ada juga ibu datang.”
W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b172-176h5
Partisipan juga bersikap objektif dengan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangganya dalam penelitian ini. Ia tidak keberatan
untuk membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Ia hanya berusaha membantu peneliti.
“gak apa-apa ibu. Gak berat, gak sedih, gak susah. Ibu malah niatnya mau nolong. Kan anak mau sekolah. Ha, itulah niat ibu.
Kalau sebetulnya kan gak bagus untuk nyeritakan, gak baik kan. Tapi ibu kan rasanya, “oh, dia sekolah.” Ibu kan nolong untuk
sekolahnya, gitu. Jadi ibu gak jadi masalah. Gak berat, gak ini, gak itu.”
W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b297-301h9
3. Hasil Data Partisipan
Partisipan menikah sekitar 44 tahun yang lalu. Kehidupan awal pernikahan partisipan berjalan normal. Setelah partisipan memiliki dua orang
anak, sifat suami berubah menjadi pemarah. Kekerasan yang dilakukan suami hanya dalam bentuk kekerasan verbal. Suami kerap membentak partisipan
namun partisipan hanya diam saja. Ia tidak berani melawan sebab ia takut suaminya akan menggunakan kekerasan fisik terhadapnya.
Partisipan menuturkan bahwa penyebab suaminya menjadi pemarah karena alasan pekerjaan. Selain itu yang menjadi permasalahan dalam rumah
tangganya karena suaminya tidak bertanggung jawab, terutama terhadap keuangan rumah tangga. Selama menikah, suami partisipan tidak peduli
terhadap biaya sekolah anak-anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengatasi permasalahan keuangan, partisipan kerap dibantu oleh ibunya yang juga tinggal bersama partisipan beserta keluarganya. Ia memakai
uang pensiun peninggalan ayahnya untuk biaya sehari-hari. Selain itu anak- anak partisipan yang telah beranjak dewasa juga membantu biaya sekolah
adik-adiknya. Meskipun didera berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangganya,
partisipan tidak pernah bercerita kepada siapapun. Ia tidak ingin hal ini membuat ibunya khawatir. Ia juga tidak menceritakan perkara rumah
tangganya kepada anak-anaknya karena ia tidak mau anak-anaknya melawan ayahnya sendiri. Pada akhirnya ia tetap memilih untuk memendam sendiri
semua perasaannya. Pertengkaran partisipan dan suaminya berlanjut hingga usia pernikahan
ke 25 tahun. Pihak keluarga dari kedua belah pihak berusaha mendamaikan partisipan dan suaminya, namun partisipan tetap bersikeras untuk berpisah.
Partisipan mengatakan kepada suaminya bahwa berpisah merupakan jalan yang terbaik bagi mereka berdua.
Akhirnya sang suami pun pindah ke kediaman orang tuanya sementara partisipan pergi ke Aceh bersama cucu dan anaknya yang dipindahtugaskan.
Tidak berapa lama kemudian partisipan mendengar kabar bahwa suaminya menikah kembali. Partisipan merasa ia tidak memiliki perasaan apa-apa
terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah
partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan
apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan.
Setelah berpisah bertahun-tahun yang lalu, partisipan merasa hubungan pernikahannya sudah berakhir. Namun suami partisipan berpikir bahwa
partisipan masih mau untuk berbaikan dengannya. Partisipan tetap mau untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya meskipun mereka tinggal di
rumah yang berbeda. Akan tetapi sifat pemarah yang dimiliki oleh suami partisipan tidak kunjung berubah. Ia bahkan bisa melakukan kekerasan fisik
di depan anak dan cucu partisipan. Suami partisipan pun kerap meminta partisipan untuk melakukan
hubungan suami istri. Namun partisipan selalu menolak permintaan tersebut. Ia merasa telah berpisah dengan suaminya walau tanpa melalui proses
perceraian ke pengadilan. Alasan lain partisipan tidak mau bercerai adalah ia merasa kasihan pada
anak-anaknya karena jika bercerai mereka tidak memiliki ayah lagi. Di sisi lain, partisipan sudah tidak memiliki perasaan terhadap suaminya. Untuk
itulah partisipan merasa ia tidak perlu bercerai meski tinggal bersebelahan dengan suaminya.
Universitas Sumatera Utara
Melihat ibunya yang penyabar, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk segera mendaftarkan perceraiannya ke Pengadilan Agama.
Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan ustadz, akhirnya partisipan mau untuk bercerai.
Partisipan menjalani puluhan tahun pernikahannya dengan dipenuhi konflik. Ia mengalami pergulatan emosi akibat memendam permasalahan
dalam rumah tangganya. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih
baik. Dalam penyesuaian diri terdapat tujuh indikator yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berikut ini adalah tujuh indikator penyesuaian yang
normal: a
Tidak adanya emosi yang berlebihan Partisipan tidak menunjukkan adanya emosi yang berlebihan setelah
bercerai. Partisipan memang sempat merasakan kesedihan di awal perpisahannya. Ia memikirkan rumah tangganya yang telah hancur. Kini
partisipan merasa lebih lega karena ia tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya.
Partisipan tidak mengalami emosi berlebihan pasca bercerai karena sebelum bercerai ia memang tidak memiliki perasaan terhadap mantan
suaminya. Selain itu partisipan merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa. Sebelumnya ia merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan
hubungan suami istri.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum bercerai, partisipan selalu memikirkan permasalahan yang terjadi padanya. Kini setelah bercerai, ia lebih santai dalam menghadapi
masalah, misalnya permasalahan dengan keluarga mantan suaminya. Beberapa anggota keluarga mantan suaminya masih mau untuk menjalin
hubungan kekerabatan dengan partisipan, sedangkan beberapa orang lainnya masih menyalahkan partisipan atas perceraian yang terjadi. Tapi partisipan
tidak ingin terlalu menanggapi hal tersebut dan bersikap sewajarnya saja.
b Tidak adanya mekanisme psikologis
Partisipan tidak menunujukkan adanya mekanisme psikologis. Pada saat menikah, ia lebih suka untuk memendam segala permasalahan rumah
tangganya sehingga tidak diketahui orang lain. Sekarang partisipan lebih terbuka ketika menghadapi masalah. Jika ia memiliki masalah dan
memendam perasaannya tersebut, anak-anaknya akan membantu agar partisipan mengeluarkan isi hatinya.
Anak-anak partisipan terkadang mengingat kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Ia pun baru menyadari betapa kejamnya perilaku mantan
suaminya ketika mereka masih menikah. Namun respoden tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang menimpanya di masa
lalu. Ia bahkan tertawa saat membicarakannya kepada peneliti.
Universitas Sumatera Utara
c Tidak adanya rasa frustrasi
Partisipan tidak menunjukkan adanya perasaan frustrasi. Ia menyatakan tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai, misalnya
seperti gangguan tidur yang mengindikasikan rasa frustrasi. Ia malah merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan
suaminya. Sebelumnya ketika masih menikah, partisipan kerap memikirkan pertengkarannya dengan mantan suami. Hal tersebut menjadi beban pikiran
baginya.
d Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Partisipan memiliki pertimbangan rasional yang baik. Setelah bercerai, partisipan suka bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai
pendekatan terhadap masalah. Partisipan kini dapat bertukar pikiran dengan anak-anak karena anak partisipan telah dewasa.
Sebelum bermusyawarah, partisipan kerap mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Permasalahan yang biasanya dihadapi
oleh partisipan berkaitan dengan anak-anaknya. Untuk itu partisipan mengambil pertimbangan dengan menilai masalah yang dihadapinya, apakah
bisa ia tangani sendiri atau apakah permasalahan tersebut perlu untuk diceritakan kepada anak partisipan yang lainnya.
Partisipan juga mampu mengarahkan dirinya dengan baik. Ia tidak menceritakan permasalahan pernikahannya kepada teman-temannya karena ia
merasa tidak perlu untuk melakukan itu.
Universitas Sumatera Utara
e Mampu untuk belajar
Permasalahan pernikahan yang dialami oleh partisipan membuatnya mampu untuk belajar. Ia kini lebih mengembangkan dirinya ketika
menghadapi masalah. Ia menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya.
Pelajaran yang didapat partisipan dari perceraian ini dibagikannya pula kepada anak-anaknya. Ia mengatakan kepada anaknya untuk selalu
berterus terang atas apa yang dirasakan. Ia juga berpesan agar anak-anaknya jujur, terutama dalam hal keuangan keluarga. Hal ini dikarenakan ketika
menikah ia tidak mengetahui pendapatannya suaminya dan kemudian berusaha untuk menanggulangi kekurangan biaya.
Perceraian ini juga mengubah cara pandang partisipan terhadap orang lain. Selama ini ia menganggap bahwa jika ia baik maka semua orang juga
baik. Namun kini ia tahu bahwa tidak semua orang akan membalas kebaikan yang ia berikan. Hal ini dialaminya sendiri setelah ia mencoba baik kepada
mantan suaminya tetapi mantan suami malah menganggap bahwa kebaikan itu adalah sinyal untuk saling berbaikan.
f Memanfaatkan pengalaman masa lalu
Setelah bercerai, partisipan belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia kini tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua
dan tidak perlu untuk menikah lagi.
Universitas Sumatera Utara
Pengalamannya bercerai kini ia bagikan kepada anak-anaknya. Ia ingin untuk membagi pengalaman tersebut selama ia masih hidup sehingga
anak-anaknya dapat mengambil contoh darinya. Ia selalu mengatakan kepada anak laki-lakinya untuk selalu sayang kepada istrinya walaupun rumah tangga
mereka didera permasalahan ekonomi. Lain halnya kepada anak perempuan. Partisipan yang selalu menjadi
tempat bercerita oleh anak-anaknya selalu menasehati mereka agar sabar jika menghadapi permasalahan rumah tangga. Ia juga tidak pernah menghakimi
anak-anaknya sehingga mereka suka bercerita kepada partisipan.
g Sikap yang realistis dan objektif
Walaupun mengalami pengalaman buruk dalam pernikahannya, partisipan tetap bersikap realistis dan objektif. Ia mau memaafkan kesalahan
yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. Ia bahkan bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal
kehidupan pribadinya tidak lagi diusik. Partisipan juga tidak memutuskan tali persaudaraan pada keluarga
mantan suami. Ia tetap bersilaturahmi ke rumah adik mantan suaminya. Hubungan kekeluargaan tersebut telah dibangun puluhan tahun karena sedari
awal partisipan dan keluarga mantan suaminya telah tinggal di lingkungan yang berdekatan.
Partisipan juga bersikap objektif dengan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangganya dalam penelitian ini. Ia tidak keberatan untuk
Universitas Sumatera Utara
membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Ia hanya berusaha membantu peneliti.
B. ANALISA DAN PEMBAHASAN PARTISIPAN
Partisipan menjalani kehidupan pernikahannya dengan penuh konflik. Ia mengalami kekerasan verbal bahkan fisik yang dilakukan oleh mantan suaminya.
ia menyatakan bahwa suaminya memiliki tempramen yang tinggi. Di lain pihak, partisipan tidak berani untuk melawan suaminya karena takut suaminya akan
bertindak lebih kasar. Menurut Burgess dan Locke 1960 ketidaksesuaian tempramen yang dimiliki oleh pasangan suami istri dapat mengarah kepada
perceraian. Permasalahan ekonomi juga termasuk ke dalam penyebab perceraian yang
dikemukakan oleh Burgess dan Locke 1960. Burgess dan Locke menyatakan bahwa pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap dalam melihat tujuan dan
peran ekonomi dalam keluarga. Hal ini juga dirasakan oleh partisipan. Ia mengatakan bahwa mantan suaminya bukanlah orang yang bertanggung jawab
terutama dalam hal ekonomi keluarga. Pekerjaan suami sebagai pedagang dengan penghasilan yang tidak menentu menyulitkan partisipan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Untuk itu partisipan mencari cara dengan memakai uang pensiun orang tuanya untuk kebutuhan sehari-hari. Melihat penderitaan yang
dialami ibunya, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk bercerai. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri
sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih baik. Landis dan
Universitas Sumatera Utara