Jenis dan Sumber Data Hipotesis Penelitian

dimana: p = jumlah lag dalam persamaan Yt = vektor peubah tak bebas Y 1 .t, Y 2 .t, Y n .t berukuran n x 1 A = vektor intersep berukuran n x 1 Ai = matriks parameter berukuran n x n untuk setiap i = 1,2,...p t = vektor sisaan 1t , 2t ,…… nt berukuran n x 1 Dalam penelitian ini akan dianalisis hubungan antara harga komoditas pangan yang diteliti, yaitu beras, kedelai, dan gula pasir dengan Indeks Harga Konsumen IHK Jawa Barat Barat menggunakan model VAR Vector Autoregression. Semua data yang digunakan adalah dalam bentuk logaritma natural. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menganalisis Impulse Respon Function IRF maupun Forecast Error Variance Decomposition FEVD. Model penelitian dapat ditulis sebagai berikut: �� � �� � �� � �� � � = � 10 � 20 � 30 � 40 + � � � � � � � � � � � � � � � � �� �−� �� �−� �� �−� �� � �−� + � 1 � � 2 � � 3 � � 4 � ....6 dimana: lnIHK t = Indeks Harga Konsumen IHK pada waktu t lnBERAS t = harga beras pada waktu t lnKEDELAI t = harga kedelai pada waktu t lnGULA t = harga gula pada waktu t t = error term sisaan i = kelambanan lag Adapun tahapan-tahapan dalam melakukan analisis model VAR adalah: 1. Uji Stasioneritas Data Langkah pertama mengestimasi model VAR adalah dengan melakukan uji stasioneritas data. Pengujian stasioneritas data ini dilakukan dengan menguji akar unit unit root dalam model. Pengujian stasioneritas data sangat penting jika data yang digunakan dalam bentuk time series. Hal ini karena data time series pada umumnya mengandung akar unit dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Data yang tidak stasioner atau memiliki akar unit, jika dimasukkan dalam pengolahan statistik maka akan menghasilkan fenomena yang disebut dengan regresi palsu spurious regression. Fenomena ini terjadi ketika suatu persamaan yang diestimasi memiliki signifikansi yang cukup baik, namun demikian secara esensi tidak memiliki arti Ariefianto 2012. Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kestasioneran data adalah pengujian akar-akar unit, salah satunya dengan metode Dickey-Fuller DF Juanda dan Junaidi 2012. Misalkan model persamaan time series adalah: Y t = ρY t-1 + t ....................................................................................................7 dimana ρ adalah parameter yang diestimasi dan diasumsikan white noise. Dengan mengurangkan kedua sisi persamaan tersebut dengan Y t-1 maka akan didapat persamaan: ∆Y t = Y t-1 + t ..................................................................................................8 dimana ∆ merupakan pembedaan pembedaan pertama first difference, dan = ρ-1, sehingga hipotesis yang diuji adalah: H0: = 0 dan hipotesis alternatif H1: 0. Model pengujian akar unit yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Augmented Dickey Fuller ADF test. Hipotesis yang diuji pada uji ADF adalah apakah H0: = 0 dengan hipotesis alternatif H1: 0. Jika nilai absolut ADF statistiknya lebih besar dari MacKinnon Critical Value maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa data tidak stasioner ditolak terhadap hipotesis alternatifnya dengan kata lain menolak H0, yang berarti data stasioner. 2. Penentuan Lag Optimal Panjangnya lag variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem VAR. Penentuan panjangnya lag optimal ini bisa menggunakan beberapa kriteria seperti Akaike Information Criteria AIC, Schwartz Information Criteria SIC, Hannan-Quin Criteria HQ, Likelihood Ratio LR, maupun dari Final Prediction Error FPE. Penentuan lag optimal yang terlalu panjang akan membuang derajat kebebasan, sementara itu lag yang terlalu pendek akan menghasilkan spesifikasi model yang salah Gujarati 2003. 3. Uji Stabilitas Model VAR Uji stabilitas model VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari satu maka model VAR tersebut dianggap stabil. Selain itu, analisis Impulse Responses dan Variance Decomposition menjadi valid. Firdaus 2011. 4. Uji Kointegrasi Berdasarkan Firdaus 2011, uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi yaitu kombinasi liniear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Uji kointegrasi dijadikan dasar penentuan apakah estimasi yang digunakan memiliki keseimbangan jangka panjang, sehingga diketahui apakah metode VECM Vector Error Corection Model dapat digunakan atau tidak. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Johansen Cointegration Test. Dalam metode ini, jika trace statistic lebih besar dari critical value maka persamaan tersebut terkointegrasi. 5. Vector Error Corection Model VECM Model VECM digunakan di dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan teoritis antar variabel. Berdasarkan Juanda dan Junaidi 2012, spesifikasi VECM merestriksi hubungan perilaku jangka panjang antarvariabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis di dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini dikenal sebagai koreksi kesalahan error correction karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek. Setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Data time series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada first difference atau I1. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Spesifikasi model VECM secara umum dalam bentuk persamaan menurut Enders 2004 adalah : ∆Y t = μ 0x + μ 1x t + Π x Y t-1 + ∑ Γ k ∆y t-i + t...................................................................................... 9 dimana: Y t = vektor yang berisi variabel dalam penelitian μ 0x = vektor intercept μ 1x = vektor koefisien regresi t = tren waktu Π x = α x β’ dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang Y t-1 = variabel in-level Γ k = matriks koefisien regresi k-1 = orde VECM dari VAR t = error term

4.3 Hipotesis Penelitian

Penelitian mengenai analisis fluktuasi harga komoditas pangan dan pengaruhnya terhadap inflasi di Jawa Barat ini memiliki hipotesis yaitu harga beras, kedelai, dan gula pasir berpengaruh positif terhadap inflasi di Jawa Barat. V PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS PANGAN DI JAWA BARAT Perkembangan harga komoditas pangan di Jawa Barat dapat dijelaskan melalui laju perubahan harga dan besarnya koefisien keragaman selama periode penelitian. Rata-rata perubahan harga beras, kedelai, dan gula pasir pada tahun 2009 hingga tahun 2012 memiliki nilai yang positif. Hal ini menunjukkan kecenderungan harga ketiganya yang meningkat selama periode penelitian. Harga masing-masing komoditas meningkat dengan laju perubahan harga sekitar 1 kecuali untuk kedelai meningkat 0.633 . Komoditas yang memiliki rata-rata perubahan harga terbesar adalah gula pasir yaitu sebesar 1.052, sedangkan yang memiliki rata-rata perubahan harga terkecil adalah kedelai yaitu sebesar 0.633. Fluktuasi harga komoditas pangan dapat diamati dari besaran koefisien keragaman. Harga beras relatif paling berfluktuasi dengan besar koefisien keragaman sebesar 15.192, sementara harga kedelai relatif lebih stabil dibanding komoditi lainnya dengan koefisien keragaman sebesar 7.278. Tabel 4 Laju perubahan dan koefisien keragaman harga komoditas pangan tahun 2009 -2012 Komoditas Perubahan Harga Koefisien Keragaman 2009 2010 2011 2012 2009 - 2012 Beras 0.755 2.334 0.378 0.608 1.024 15.192 Kedelai 0.068 -0.357 1.025 1.747 0.633 7.278 Gula 2.659 1.037 -0.477 1.124 1.052 13.177 Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat 2013 diolah Pada analisis selanjutnya, dilakukan analisis dekriptif untuk menjelaskan perkembangan harga masing-masing komoditas pangan di Jawa Barat. Untuk mempermudah penjelasan digunakan bantuan grafik. Grafik yang ditampilkan merupakan plot data terhadap periode waktu, yaitu Januari 2009 hingga Desember 2012. Dari grafik tersebut dilakukan penguraian atau pemberian keterangan dari data yang dianalisis. Hal ini berfungsi untuk menerangkan suatu keadaan, gejala, ataupun persoalan yang terjadi pada data yang dianalisis.

5.1 Perkembangan Harga Beras di Jawa Barat

Selama tahun 2009-2012 harga beras di Jawa Barat berfluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp 3 057. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 8 104kg yang terjadi pada Februari 2012, sedangkan harga terendah adalah sebesar Rp 5 048kg yang terjadi pada periode Januari 2009. Harga rata-rata dicapai pada tingkat harga Rp 6 431kg. Perkembangan harga beras di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 5. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat 2013 Gambar 5 Perkembangan harga beras di Jawa Barat periode Januari 2009- Desember 2012 Perkembangan harga beras di Jawa Barat selama tahun 2009-2012 menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan pola musiman. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata perubahan harganya yang bernilai positif 1.024 dan mengikuti pola berulang kurang dari satu tahun. Pola musiman pada data harga beras diduga dipengaruhi oleh musim panen. Peningkatan harga terjadi pada puncaknya ketika musim paceklik atau tidak ada panen, kemudian kembali mengalami penurunan ketika memasuki musim panen raya. Di Jawa Barat musim panen raya tersebut disebut dengan musim panen rendeng, yang terjadi pada bulan Februari hingga April. Jadwal panen tersebut dapat berubah karena perubahan pergantian musim yang selanjutnya akan mempengaruhi musim tanam selanjutnya musim tanam gadu 1 . 1 Karakteristik Inflasi di Jawa Barat. http:www.bi.go.idNRrdonlyresA976E6E4-D5F2- 449CA41813C1E511A6FD10289Boks5.pdfDiakses pada tanggal 11 Mei 2013. 5000 5500 6000 6500 7000 7500 8000 8500 Ja n -09 M ar -09 M ei -09 Jul -09 S ep -09 N o p -09 Ja n -10 M ar -10 M ei -10 Jul -10 S ep -10 N o p -10 Ja n -11 M ar -11 M ei -11 Jul -11 S ep -11 N o p -11 Ja n -12 M ar -12 M ei -12 Jul -12 S ep -12 N o p -12 H ar ga R p kg Secara umum, harga beras di sentra-sentra produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata beras di Jawa Barat, kecuali pada kabupaten Indramayu. Hal ini mengindikasikan adanya faktor distribusi yang memengaruhi pembentukan harga beras di Jawa Barat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Universitas Padjajaran 2008, jalur distribusi beras terpusat pada beberapa pasar. Pasar distribusi beras yang terpenting adalah Pasar Induk Cipinang Jakarta, Pasar Widasari Indramayu, dan Pasar Johar Karawang. Ketiga pasar tersebut berperan cukup besar pada lalu lintas pasokan beras secara regional maupun jalur pengiriman ke provinsi lain bahkan sampai Luar Jawa. Pasar Cipinang menyalurkan kurang lebih 7 hingga 10 dari produksi total Jawa Barat. Selain itu, di wilayah dengan arus keluar-masuk beras yang cukup aktif, harga beras relatif lebih tinggi dan fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kisaran harga di tiap level distribusi menjadi lebih besar ketika arus keluar masuk beras semakin aktif. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat dan Kementerian Pertanian 2013 Gambar 6 Perkembangan harga beras di Jawa Barat dan beberapa sentra produksi Jawa Barat periode Januari 2010-Desember 2012 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Ja n -10 M ei -10 S ep -10 Ja n -11 M ei -11 S ep -11 Ja n -12 M ei -12 S ep -12 H ar ga R p kg Harga Jawa Barat Harga Kab Cianjur 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Ja n -10 M ei -10 S ep -10 Ja n -11 M ei -11 S ep -11 Ja n -12 M ei -12 S ep -12 H ar ga R p kg Harga Jawa Barat Harga Kab Indramayu 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Ja n -10 M ei -10 S ep -10 Ja n -11 M ei -11 S ep -11 Ja n -12 M ei -12 S ep -12 H ar ga R p kg Harga Jawa Barat Harga Kab Garut 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Ja n -10 M ei -10 S ep -10 Ja n -11 M ei -11 S ep -11 Ja n -12 M ei -12 S ep -12 H ar ga R p kg Harga Jawa Barat Harga Kab Bandung Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan produksi padi terbesar di Jawa Barat. Tahun 2011 produksi padinya mencapai 1 415 050 ton BPS Jawa Barat 2012. Selain itu, terdapat pasar Widasari yang menjadi salah satu pasar terpenting dalam jalur distribusi beras di Jawa Barat. Hal tersebut menyebabkan harga beras di kabupaten Indramayu menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga rata-rata beras di Jawa Barat. Perkembangan harga beras Jawa Barat dan harga beras nasional ditampilkan pada Gambar 7. Harga beras nasional berasal dari rata-rata harga beras di 33 provinsi. Secara umum, harga beras nasional memiliki pergerakan yang sama dengan harga beras Jawa Barat. Hal ini diduga terjadi karena Jawa Barat merupakan provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia. Sekitar 17.692 produksi padi nasional berasal dari provinsi Jawa Barat BPS 2012b. Oleh karena itu, harga nasional cenderung mengikuti pegerakan harga beras di Jawa Barat. Selain itu, pergerakan harga beras di Jawa Barat dan nasional sama-sama memiliki pola musiman. Kenaikan harga terjadi saat tidak ada musim panen atau paceklik, sedangkan pada musim panen harganya cenderung turun. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat dan Kementerian Pertanian 2013 Gambar 7 Perkembangan harga beras di Jawa Barat dan nasional periode Januari 2009-Desember 2012 Secara keseluruhan, harga beras di Jawa Barat lebih rendah daripada harga beras nasional. Hal ini dikarenakan produksi beras di Jawa Barat yang lebih besar daripada kebutuhan penduduknya sehingga ketersediaan beras mengalami surplus. Kondisi produksi yang berlimpah menyebabkan harga beras di Jawa Barat 5000 5500 6000 6500 7000 7500 8000 8500 Ja n -09 M ar -09 M ei -09 Jul -09 S ep -09 N o p -09 Ja n -10 M ar -10 M ei -10 Jul -10 S ep -10 N o p -10 Ja n -11 M ar -11 M ei -11 Jul -11 S ep -11 N o p -11 Ja n -12 M ar -12 M ei -12 Jul -12 S ep -12 N o p -12 H ar ga R p kg Harga Beras Jawa Barat Harga Beras Nasional menjadi relatif lebih murah dibandingkan dengan harga beras nasional. Pendugaan produksi dan konsumsi beras di Jawa Barat tahun 2009-2012 ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Pendugaan produksi dan konsumsi beras di Jawa Barat tahun 2009-2012 Tahun Produksi ton Konsumsi ton Selisih Produksi dan Konsumsi ton 2009 7 103 851 4 363 945 2 739 906 2010 7 363 838 4 337 461 3 026 377 2011 7 299 103 4 382 195 2 916 908 2012 7 071 965 4 439 286 2 632 679 Rata-rata 7 209 689 4 378 411 2 828 967 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian 2013 diolah Keterangan: Produksi beras diperoleh dari produksi padi dikali convertion rate 62.74 Survei Susut Pasca PanenPasca Panen PadiBeras, 2005-2007 Konsumsi beras diperoleh dari rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun dikali dengan jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun berlaku

5.2 Perkembangan Harga Kedelai di Jawa Barat

Selama tahun 2009-2012, harga kedelai di Jawa Barat berfluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp 2 455. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 9 655kg yang terjadi pada periode Desember 2012, sedangkan harga terendah sebesar Rp 7 200kg yang terjadi pada periode Desember 2010. Harga rata-rata yaitu pada tingkat harga Rp 8 231kg. Perkembangan harga kedelai di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat 2013 Gambar 8 Perkembangan harga kedelai di Jawa Barat periode Januari 2009 Desember 2012 7000 7500 8000 8500 9000 9500 10000 Ja n -09 M ar -09 M ei -09 Jul -09 S ep -09 N o p -09 Ja n -10 M ar -10 M ei -10 Jul -10 S ep -10 N o p -10 Ja n -11 M ar -11 M ei -11 Jul -11 S ep -11 N o p -11 Ja n -12 M ar -12 M ei -12 Jul -12 S ep -12 N o p -12 H ar ga R p kg Perkembangan harga kedelai di Jawa Barat selama tahun 2009-2012 memiliki kecenderungan yang meningkat dengan pergerakan data yang fluktuatif. Hal ini ditunjukan rata-rata perubahan harganya yang bernilai positif, yaitu 0.633 Tabel 4. Rata-rata perubahan harga kedelai di Jawa Barat pada tahun 2012 merupakan yang terbesar selama periode penelitian, yaitu sebesar 1.747 . Kenaikan harga kedelai tersebut diduga merupakan dampak dari terganggunya pasokan kedelai impor akibat iklim yang kurang menguntungkan di negara produsen 2 . Sementara itu, produksi kedelai di Jawa Barat hanya mampu memenuhi sekitar 20 kebutuhan penduduknya. Kebutuhan kedelai yang tinggi diperlukan terutama untuk produksi tahu dan tempe. Menurut Ratnasari 2008, Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki Industri Kecil dan Menengah IKM kedelai ketiga terbesar di Indonesia setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pendugaan produksi dan konsumsi kedelai di Jawa Barat ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Pendugaan produksi dan konsumsi kedelai di Jawa Barat tahun 2009- 2012 Tahun Produksi ton Konsumsi ton Selisih Produksi dan Konsumsi ton 2009 64 147 257 871 -193 724 2010 55 823 257 031 -201 208 2011 56 166 275 670 -219 504 2012 47 425 288 260 -240835 Rata-rata 55 890 269 708 -211 823 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian 2013 diolah Keterangan: Konsumsi kedelai diperoleh dari rata-rata konsumsi kedelai per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun berlaku Gambar 9 menunjukkan perkembangan harga kedelai di Jawa Barat dan nasional. Harga kedelai nasional berasal dari rata-rata harga kedelai di 33 provinsi. Harga kedelai nasional relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga kedelai di Jawa Barat karena telah terjadi perbedaan harga kedelai yang cukup besar antar wilayah di Indonesia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kiha 2012, harga kedelai daerah yang berada diatas rata-rata harga nasional 2 Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2012. Berita Puslitbangtan: Produksi Kedelai Turun, Apa yang Salah? No: 51, Oktober 2012. Puslitbangtan. adalah sebesar 50. Harga kedelai yang berada di atas rata-rata harga nasional sebagian besar terjadi di daerah luar Jawa. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat dan Kementerian Pertanian 2013 Gambar 9 Perkembangan harga kedelai di Jawa Barat dan nasional periode Januari 2009-Desember 2012 Selain itu, harga kedelai nasional yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga kedelai di Jawa Barat diduga terjadi karena faktor distribusi dan infrastruktur. Sebagai komoditas yang sebagian besar pasokannya berasal dari impor, faktor distribusi akan cukup berpengaruh terhadap pembentukan harga di daerah. Jawa Barat sebagai provinsi yang lokasinya strategis dan infrastrukturnya juga cukup baik memiliki kondisi yang menguntungkan. Kondisi tersebut menyebabkan biaya distribusi menjadi relatif murah. Semakin rendah biaya penyampaian barang maka harga yang diterima konsumen akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Prastowo 2008 bahwa biaya penyampaian barang transportasi sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan fluktuasi harga eceran di level konsumen. Besarnya biaya penyampaian barang tergantung pada jarak tempuh yang dituju. Semakin dekat jarak yang ditempuh maka biaya penyampaian barang akan lebih murah. Kondisi tersebut diduga menyebabkan harga kedelai di Jawa Barat relatif lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai nasional. 7000 7500 8000 8500 9000 9500 10000 Ja n -09 M ar -09 M ei -09 Jul -09 S ep -09 N o p -09 Ja n -10 M ar -10 M ei -10 Jul -10 S ep -10 N o p -10 Ja n -11 M ar -11 M ei -11 Jul -11 S ep -11 N o p -11 Ja n -12 M ar -12 M ei -12 Jul -12 S ep -12 N o p -12 H a rga R p kg Harga Kedelai Jawa Barat Harga Kedelai Nasional

5.3 Perkembangan Harga Gula Pasir di Jawa Barat

Selama tahun 2009-2012, harga gula pasir di Jawa Barat berfluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp 5 633. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 13 000kg yang terjadi pada periode Juli 2012. Harga terendah adalah sebesar Rp 7 200kg yang terjadi pada periode Januari 2009. Harga rata-rata dicapai pada tingkat harga Rp 10 314kg. Perkembangan harga gula pasir di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 10. Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat 2013 Gambar 10 Perkembangan harga gula pasir di Jawa Barat periode Januari 2009-Desember 2012 Perkembangan harga gula pasir menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama tahun 2009-2012, dimana pola datanya mengandung unsur tren yang meningkat. Hal ini ditunjukan oleh pergerakan data harga gula pasir yang cenderung meningkat dan rata-rata perubahan harga gula pasir yang bernilai positif, yaitu 1.052 Tabel 4. Rata-rata perubahan harga gula pasir di Jawa Barat pada tahun 2009 merupakan yang terbesar yaitu mencapai 2.659. Hal ini diduga terjadi karena penurunan produksi gula di pulau Jawa sebesar 13.515 yang terjadi pada tahun tersebut DGI 2013. Selain itu, di waktu yang sama pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melarang impor gula kristal putih KPPU 2010. Data produksi gula pasir di Pulau Jawa tahun 2007-2012 dapat dilihat pada Tabel 7. 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 Ja n -09 M ar -09 M ei -09 Jul -09 S ep -09 N o p -09 Ja n -10 M ar -10 M ei -10 Jul -10 S ep -10 N o p -10 Ja n -11 M ar -11 M ei -11 Jul -11 S ep -11 N o p -11 Ja n -12 M ar -12 M ei -12 Jul -12 S ep -12 N o p -12 H ar ga R p k g Tabel 7 Produksi gula pasir di Pulau Jawa tahun 2007-2012 Tahun Produksi Laju Perubahan 2007 1582692 - 2008 1632631 3.155 2009 1411983 -13.515 2010 1373037 -2.758 2011 1358753 -1.040 2012 1650153 21.446 Sumber: Dewan Gula Indonesia 2013 Adapun pada tahun 2009-2012 tingkat konsumsi gula pasir di Jawa Barat mencapai 300 ribu ton. Sementara itu, produksinya hanya berkisar 100 ribu ton. Hal ini mengakibatkan kekurangan ketersediaan gula pasir di Jawa Barat. Produksi gula pasir di Jawa Barat hanya mampu memenuhi sekitar 30 kebutuhan penduduknya, sedangkan sisanya berdasarkan KPPU 2010 diperoleh dari daerah lain yaitu Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan impor. Pendugaan produksi dan konsumsi gula pasir di Jawa Barat ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Pendugaan produksi dan konsumsi gula pasir di Jawa Barat tahun 2009- 2012 Tahun Produksi ton Konsumsi ton Selisih Produksi dan Konsumsi ton 2009 95 448 337 282 -241 834 2010 108 563 331 083 -222 520 2011 91 820 333 960 -242 140 2012 109 501 329 952 -220 451 Rata-rata 101 333 333 069 -231 736 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian 2013 diolah Keterangan: Produksi gula diperoleh dari total hasil hablur pabrik gula di Jawa Barat Konsumsi gula diperoleh dari rata-rata konsumsi gula pasir per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun berlaku Perkembangan harga gula pasir di Jawa Barat dan nasional ditampilkan pada Gambar 11. Harga kedelai nasional berasal dari rata-rata harga gula pasir di 33 provinsi. Secara umum, grafik harga gula Jawa Barat dan nasional saling berhimpitan. Hal ini menunjukkan harga gula Jawa Barat dan harga gula nasional memiliki pola dan pergerakan yang sama karena struktur pasar industri gula yang bersifat oligopoli. Berdasarkan KPPU 2010, produsen gula pasir hingga distributornya hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja oligopolistik. Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam