MacKinnon pada taraf 5. Hal ini menunjukkan semua variabel telah stasioner pada tingkat first difference.
Setelah melakukan uji stasioneritas, maka tahapan analisis model VAR selanjutnya adalah penentuan lag optimal. Penentuan lag optimal dapat
menggunakan kriteria nilai Akaike Information Criteria AIC maupun Schwarz information Criterion SC. Berdasarkan kriteria AIC, lag optimal yang
disarankan adalah lag ke-7 dan berdasarkan kriteria SC adalah lag ke-0 Tabel 15. Penentuan lag optimal yang terlalu panjang akan membuang derajat
kebebasan, sementara lag yang terlalu pendek akan menghasilkan spesifikasi model yang salah Gujarati 2003. Dengan mempertimbangkan hal itu, penelitian
ini tidak memilih lag optimal berdasarkan kedua kriteria tersebut. Penelitian ini menetapkan penggunaan lag optimal ke-3 untuk dapat lebih baik mencakup
dinamika variabel. Tabel 16 Hasil penetapan lag optimal
Lag LogL
LR FPE
AIC SC
HQ 369.859
NA 1.34e-13 -18.293 -18.124
-18.232 1
381.649 20.633
1.66e-13 -18.082
-17.238 -17.777
2 397.946
25.261 1.68e-13
-18.097 -16.577
-17.548 3
414.617 22.505
1.73e-13 -18.131
-15.935 -17.337
4 427.655
14.994 2.29e-13
-17.983 -15.112
-16.945 5
451.317 22.479
1.98e-13 -18.366
-14.819 -17.083
6 468.917
13.200 2.72e-13
-18.449 -14.224
-16.919 7
499.027 16.560
2.65e-13 -19.151
-14.254 -17.380
Keterangan: lag optimal yang disarankan
Langkah berikutnya adalah menguji kestabilan model VAR. Uji kestabilan model VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau
dikenal dengan roots of characteristics polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya 1 maka
model VAR tersebut dianggap stabil. Kestabilan model VAR tersebut membuat Impuls Response Functions IRF dan Forecast Error Variance Decomposition
FEVD yang dihasilkan telah dianggap valid. Uji ini menunjukkan bahwa model VAR telah stabil pada lag optimalnya yaitu lagke-3, dimana semua nilai
modulusnya kurang dari satu. Hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada Lampiran 7.
Setelah model VAR dianggap stabil, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah
variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak dalam jangka panjang. Apabila variabel-variabel tersebut tidak terkointegrasi maka estimasi
VAR dilakukan pada tingkat first difference, sedangkan jika ditemukan ada persamaan yang terkointegrasi maka estimasi dilanjutkan dengan model Vector
Error Corection Model VECM. Metode yang digunakan pada uji kointegrasi ini adalah metode Johansen Cointegration Test. Pengambilan kesimpulan dalam
metode ini yaitu jika trace statistic lebih besar dari critical value maka persamaan tersebut terkointegrasi. Hasil dari Johansen Cointegration Test dapat dilihat pada
Tabel 17. Tabel 17 Hasil johansen cointegration test
Hypothesized Eigenvalue
Trace 0.05
Prob. No. of CEs
Statistic Critical Value
None 0.522273
65.52976 54.07904
0.0034 At most 1
0.319627 33.02628
35.19275 0.0841
At most 2 0.237837
16.08125 20.26184
0.1706 At most 3
0.089616 4.131095
9.164546 0.3930
Keterangan: terdapat satu persamaan yang terkointegrasi pada taraf 5
Hasil uji kointegrasi menggunakan Johansen Cointegration Test menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5 terdapat satu persamaan yang memiliki
nilai trace statistic lebih besar dari critical value. Hal ini mengindikasikan bahwa model VAR yang akan dianalisis memiliki satu persamaan yang terkointegrasi
dalam jangka panjang, sehingga pada analisis selanjutnya estimasi dilanjutkan dengan menggunakan model VECM Vector Error Corection Model.
7.2 Estimasi VECM
Vector Error Corection Model
Model VECM digunakan di dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan
terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan teoritis antar variabel. Berdasarkan Juanda dan Junaidi 2012, spesifikasi VECM merestriksi hubungan
perilaku jangka panjang antarvariabel yang ada agar konvergen ke dalam
hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis di dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini dikenal sebagai
koreksi kesalahan error correction karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian
parsial jangka pendek. Model VECM menghasilkan dua ouput estimasi, yaitu hubungan
keseimbangan jangka panjang antar variabel serta kecepatan variabel-variabel tersebut dalam bergerak menuju keseimbangan jangka panjangnya. Dengan model
VECM dapat diketahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antarvariabel. Analisis dilakukan terhadap model VECM yang menunjukan
pengaruh harga komoditas beras, gula pasir, dan kedelai terhadap Indeks Harga Konsumen IHK Jawa Barat.
Tabel 18 Hasil estimasi VECM
Jangka Panjang Variabel
Koefisien T-statistik
LNBERAS -1 0.272254
[-3.82313] LNGULA -1
0.157082 [-1.77142]
LNKEDELAI -1 0.101998
[-0.76129] C
0.107364 [-0.09539]
Jangka Pendek Variabel
Koefisien T-statistik
CointEq1 -0.063474
[-3.88832] DLNIHKJB -1
0.528076 [ 2.93086]
DLNIHKJB -2 -0.273387
[-1.35364] DLNIHKJB -3
-0.145661 [-0.78455]
DLNBERAS -1 -0.010509 [-0.55623]
DLNBERAS -2 -0.018001 [-1.00440]
DLNBERAS -3 -0.014113
[-0.79437] DLNGULA -1
-0.004815 [-0.30744]
DLNGULA -2 -0.003092 [-0.21832]
DLNGULA -3 -0.004396
[-0.27381] DLNKEDELAI -1
-0.019441 [-1.91585]
DLNKEDELAI -2 -0.018327 [-1.64338]
DLNKEDELAI -3 -0.017500
[-1.74329]
Keterangan: signifikan pada taraf 5.
Tabel 18 merupakan hasil estimasi VECM yang memperlihatkan pengaruh harga komoditas pangan yang dianalisis terhadap IHK Jawa Barat dalam jangka
panjang dan jangka pendek. Adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang ditunjukkan oleh parameter kointegrasi kesalahan CointEq1
yang signifikan dan bernilai negatif. Berdasarkan Ariefianto 2012, model koreksi kesalahan adalah valid dan stabil jika nilai parameternya adalah negatif
dengan nilai absolut kurang dari satu dan signifikan. Arti dari kointegrasi kesalahan tersebut yaitu terdapat penyesuaian dari jangka pendek ke jangka
panjang pada IHK Jawa Barat yang dikoreksi setiap bulannya sebesar 0.063. Berdasarkan Tabel 18, pada jangka pendek hanya terdapat tiga dari dua
belas variabel yang signifikan pada taraf nyata 5. Variabel-variabel tersebut adalah variabel IHK Jawa Barat pada lag ke-1, harga kedelai pada lag ke-1, dan
harga kedelai pada lag ke-3. Hanya sedikitnya variabel yang berpengaruh signifikan dalam jangka pendek terjadi karena suatu variabel bereaksi terhadap
variabel lainnya membutuhkan waktu lag, dan pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang Firdaus 2011.
Hubungan jangka panjang pada hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa ketiga variabel harga komoditas pangan yang dianalisis memiliki tanda koefisien
yang positif. Hal ini memiliki arti bahwa setiap kenaikan harga komoditas pangan akan menyebabkan peningkatan pada IHK Jawa Barat dalam jangka panjang.
Hubungan tersebut sudah sesuai dengan hipotesis penelitian, yaitu fluktuasi harga komoditas pangan berpengaruh positif terhadap IHK Jawa Barat. Hal ini
dikarenakan harga komoditas pangan mampu merespon secara cepat peningkatan permintaan seperti yang terjadi pada hari raya aggregate demand shock.
Peristiwa ini merupakan penyebab inflasi dari demand pull inflation. Selain itu, harga komoditas pangan juga mampu merespon dengan cepat terhadap non-
economic shocks seperti banjir, tanah longsor, musim, serangan hama penyakit, maupun gangguan distribusi yang mengandung ketidakpastian. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan terjadinya inflasi dari sisi cost push inflation. Pengaruh yang positif dari harga komoditas pangan terhadap inflasi tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito 1996 bahwa pergerakan harga komoditas pangan atau pertanian akan selaras dengan
perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal
bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat.