Gambaran Singkat Politik pada Masa Khulafā al-Rāsyidīn

ditunjuk sebagai khalīfah. Kedua, kaum Muhājirīn dan Anṣār sama-sama menganggap diri sebagai golongan yang berhak menjadi khalīfah. Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai memerangi kaum murtad dan pembangkang. Sementara itu sebagian besar pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan Persia dan Romawi. 7 Berangkat dari keadaan demikian, maka kebijakan yang dilakukan Abū Bakr tersebut sangat tepat, meskipun hal demikian terbilang sebagai hal yang baru pada saat itu. Namun demikian, Abū Bakr tidak mengesampingkan musyawarah dengan para sahabatnya dan persetujuan umat. Abū Bakr dalam menunjuk ʻUmar sebagai pengganti mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior, antara lain ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, ʻUstmān Ibn Affān, dan Asid Ibn Hāḍir, seorang tokoh Anṣār. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan terhadap keputusannya menunjuk ʻUmar sebagai pengganti. Setelah itu, hasil konsultasi dimusyawarahkan dengan umat Muslim yang saat itu berkumpul di Masjid Nabawi, dan mereka menyetujui keputusan Abū Bakr, serta segera memberi baiʻah kepada ʻUmar. 8 Usaha-usaha yang telah dimulai oleh Abū Bakr diteruskan oleh ʻUmar. Pada masanya, ekspansi besar-besaran dilakukan, sehingga kota Damaskus jatuh di tahun 635 M. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantium mengalami kekalahan di Perang Yarmuk, daerah Suriah jatuh ke dalam kekuasaan Islam. dengan memakai Suriah sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ʻAmr Ibn ʻ ṣ dan ke Irak di bawah pimpinan Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ. 7 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 78-79. 8 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 79. Babilonia di Mesir dikepung pada tahun 640 M. Sementara itu, Bizantium di Heliopolis dikalahkan dan Alexandria kemudian menyerah tahun 641 M. Dengan demikian Mesir jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tempat perkemahan ʻAmr Ibn ʻ ṣ yang terletak di luar tembok Babilonia menjadi ibukota dengan nama al- Fustat. Singkatnya, di masa ʻUmar, semua wilayah semenanjung Arabiah, Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir jatuh ke tangan Islam. 9 Pusat kekuasaan Islam di Madinah berkembang pesat seiring dengan keberhasilan ekspansi yang dilakukan ʻUmar. ʻUmar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat yang terus berkembang. ʻUmar mendirikan beberapa dewan, mencetak mata uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi batas daerah kekuasaan, dan lain-lain. 10 Selain itu, ʻUmar juga meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam sistem pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan ʻUmar tidak memberikan hak secara khusus kepada golongan tertentu, akan tetapi menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik bagi ʻUmar ataupun bawahannya. Pemimpin bisa ditemui langsung oleh rakyatnya setiap waktu dibutuhkan. ʻUmar tidak hanya pandai dalam hal menciptakan sistem dan peraturan-peraturan baru, tapi juga memperbaiki dan mengkaji ulang kebijakan yang telah ada selama itu diperlukan 9 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 51-52. 10 Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-4 Jakarta: Amzah, 2014, h. 102-103. demi kemaslahatan umat. Selain itu masih banyak lagi usaha-usaha yang dilakukan ʻUmar, seperti mengatur kepemilikan tanah, pajak, zakat, dan lainnya. 11 ʻUmar memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Ia meninggal secara tragis, yakni ditikam oleh seorang budak dari Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah ketika hendak melaksanakan shalat subuh. Ia terluka parah, dan dari pembaringannya ia membentuk komisi pemilihan yang akan memilih penerus kekuasaannya. 12 3. ʻUtsmān Ibn Affān Sebelum wafat, ʻUmar telah menunjuk calon penggantinya kelak, yang terdiri dari ʻUtsmān, ʻAlī, dan Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ. Dalam pertemuan dengan para calon tersebut, ʻUmar menegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi pemimpin, agar tidak mengangkat kerabatnya sebagai pejabat. Di samping itu, ʻUmar juga telah membentuk dewan formatur untuk memilih penggantinya, yang terdiri dari ʻUtsmān, ʻAlī, Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ, ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, Zubair Ibn Awwām, dan alhah Ibn Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah Ibn ʻUmar dijadikan anggota, namun tidak memiliki hak suara. 13 Pemilihan pemimpin ditentukan sebagai berikut: Pertama, orang yang berhak menjadi khalīfah adalah orang yang dipilih oleh formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila jumlah suara sama, maka Abdullah Ibn ʻUmar berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah tidak diterima, maka 11 Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 103. 12 Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 104. 13 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87. calon yang dipilih oleh ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf diangkat menjadi khalīfah. Jika masih ada yang menentang hal itu, maka penentang tersebut harus dibunuh. 14 Orang yang khawatir dengan tata tertib pemilihan tersebut adalah ʻAlī, yang takut jika ʻAbd al-Raḥmān tidak bisa berlaku adil dan objektif, mengingat ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan ʻUtsmān. Oleh karenanya ʻAlī meminta kepada ʻAbd al-Raḥmān untuk berlaku adil, dan ʻAbd al-Raḥmān pun berjanji akan berlaku adil. Setelah ʻAbd al-Raḥmān berjanji, barulah ʻAlī menyetujuinya. Langkah selanjutnya yang diambil oleh ʻAbd al-Raḥmān setelah ʻUmar wafat adalah mengadakan pertemuan dengan anggota formatur guna menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai pemimpin. Hasilnya adalah ʻUtsmān dan ʻAlī ditentukan menjadi calon pemimpin. Terjadi silang pemilihan ketika itu, yakni ʻAlī memilih ʻUtsmān dan ʻUtsmān memilih ʻAlī, sedangkan Saʻd Ibn Abī Waqqas memilih ʻUtsmān. Sementara itu Zubair dan alhah tidak dimintai pendapat dan dukungannya, sebab pada saat itu mereka berada di luar Madinah dan tidak sempat dihubungi dengan cepat. Selanjutnya ʻAbd al-Raḥmān mengadakan musyawarah dengan masyarakat dan para pembesar di luar formatur, dan ternyata suara masyarakat telah terpecah menjadi dua, yakni kelompok Bani Hasyim yang mendukung ʻAlī dan kelompok Bani Umayyah yang mendukung ʻUtsmān. 15 Setelah itu, ʻAbd al-Raḥmān memanggil ʻAlī dan menanyakan apakah dia sanggup melaksanakan tugasnya berdasarkan al- Qur’an dan al-Sunnah seandainya dia terpilih sebagai khalīfah. Kemudian ʻAlī menjawab bahwa dia berharap dapat 14 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87. 15 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87-88. bertindak sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Selanjutnya ʻAbd al-Raḥmān menanyakan kepada ʻUtsmān pertanyaan yang sama, dan ʻUtsmān menjawab, “Ya Saya sanggup.” Berdasarkan jawaban keduanya, ʻAbd al-Raḥmān kemudian menunjuk ʻUtsmān sebagai khalīfah. Keputusan ini tentu membawa kekecewaan bagi ʻAlī yang dari awal telah khawatir terhadap sikap ʻAbd al-Raḥmān, bahkan ia menganggap bahwa ʻAbd al-Raḥmān telah bersekongkol dengan ʻUtsmān, sebab ketika ʻUtsmān terpilih, maka kelompok ʻAbd al-Raḥmān yang berkuasa dalam pemerintahan. 16 ʻUtsmān memerintah selama 12 tahun. Pada masa pemerintahannya, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil dikuasai. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. 17 Namun pada paruh terakhir pemerintahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan ʻUtsmān sangat berbeda dengan ʻUmar. Mungkin penyebabnya adalah bahwa ia memimpin umat Islam di usia yang sudah lanjut dan sikapnya yang terlalu lemah lembut. Akhirnya pada tahun 655 M, ia terbunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang- orang yang kecewa itu. 18 Salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan banyak orang kecewa terhadap kepemimpinan ʻUtsmān adalah kebijakannya dalam menjadikan keluarga sebagai pejabat tinggi negara. Yang terpenting adalah masalah Marwan Ibn Hakam, dialah orang yang sejatinya menjalankan pemerintahan, sementara 16 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 88. 17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 52. 18 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 38. ʻUtsmān hanya menyandang gelar khalīfah. Setelah banyak keluarganya yang memegang jabatan tinggi, ʻUtsmān laksana boneka di hadapan para kerabatnya itu. Dia lemah dan tidak mampu berbuat banyak terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap bawahan yang melakukan kesalahan. Harta kekayaan negara dibagi-bagikan oleh kerabatnya tanpa terkontrol oleh ʻUtsmān sendiri. Inilah sebab mengapa kemudian muncul pemberontak yang menentang kepemimpinan ʻUtsmān. 19 Bahkan ia mati terbunuh oleh orang-orang yang mengepung rumahnya dan meninggal ketika sedang membaca al- Qur’an. 20 Namun demikian bukan berarti pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting dalam negara, ʻUtsmān berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus air yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah. 21 Salah satu jasanya yang sangat besar bagi umat Islam adalah penyusunan al- Qur’an dengan tujuan menjaganya dan mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam membacanya. 22 4. ʻAlī Ibn Abī ālib ʻAlī dikukuhkan sebagai khalīfah di tengah-tengah gejolak yang terjadi di masyarakat, yakni meninggalnya „Utsmān karena pemberontak. Pengukuhan ʻAlī sebagai pemimpin umat Islam selanjutnya bisa dikatakan tidak semulus tiga orang khalīfah sebelumnya. ʻAlī di-bai’ah di tengah-tengah berkabungnya umat Islam atas meninggalnya ʻUtsmān, dan suasana saat itu sangat kacau dan 19 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 38-39. 20 Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 108. 21 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39. 22 Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 105. membingungkan umat Islam yang ada di Madinah. Setelah ʻUtsmān terbunuh, para pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu untuk diangkat sebagai pemimpin, sepert i ʻAlī, Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ, ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, Zubair Ibn Awwām, alhah Ibn Ubaidillah, dan Abdullah Ibn ʻUmar, namun mereka tidak bersedia. Akan tetapi baik pemberontak ataupun kaum Muhājirīn dan An ṣār sebenarnya lebih menginginkan ʻAlī sebagai khalīfah. Mereka mendatangi ʻAlī beberapa kali dan meminta agar di-baiʻah, namun ʻAlī menolak. Penolakan tersebut bermaksud agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan para sahabat senior. 23 Setelah rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu mempunyai pemimpin secepatnya agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya ʻAlī bersedia di- baiʻah sebagai khalīfah. ʻAlī selanjutnya di-baiʻah, tetapi dengan penuh kontroversi. Sebagian para sahabat senior, ada yang memberikan baiʻah kepada ʻAlī dan ada pula yang tidak. Ibn „Umar dan Saʻd misalnya, bersedia mem- baiʻah jika seluruh rakyat juga melakukannya. Dengan demikian, ʻAlī tidak di- baiʻah oleh kaum Muslim secara aklamasi, sebab sebagian para sahabat pada saat itu berada di luar Madinah, ditambah lagi kekuasaan Islam bukan hanya terbatas pada Madinah, Mekah, dan aif saja, tetapi sudah meliputi seluruh Jazirah Arab, dan daerah-daerah luar Arab. Di samping itu, keluarga ʻUtsmān, seperti Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān, yang saat itu berstatus Gubernur Damaskus, menolak dengan keras pengukuhan ʻAlī sebagai khalīfah. 24 23 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 93. 24 Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 94. Selanjutnya ʻAlī melakukan tindakan mencabut dan memecat para pejabat yang sebelumnya d iangkat oleh ʻUtsmān, sebab menurutnya, pemberontakan dan kekacauan yang terjadi dalam negara adalah karena keteledoran mereka. Akibatnya para mantan pejabat itu menjadi dendam terhadap ʻAlī dan segera mendukung Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān yang memang dari awal sudah membangkang kepada ʻAlī. 25 Tak lama kemudian, ʻAlī mendapat tantangan dari Zubair, alhah, dan „ ’isyah. Mereka tidak mau tunduk kepada kepemimpinan ʻAlī dan melawan secara terang-terangan. Mereka membangkang karena tidak puas dengan tindakan ʻAlī yang tidak segera menghukum para pemberontak pembunuh ʻUtsmān. Sebenarnya ʻAlī menghendaki adanya penyelesaian secara damai, namun mereka menolak, dan selanjutnya terjadi perang. Dalam perang tersebut, Zubair dan alhah mati terbunuh setelah hendak melari kan diri, sementara „ ’isyah ditangkap dan dikirim kembali ke Madinah. 26 Bersamaan dengan itu, kebijakan- kebijakan ʻAlī mendapat tantangan dari Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān, yang saat itu berstatus Gubernur Damaskus. Ia menolak ʻAlī sebagai khalīfah yang sah serta mengadakan perlawanan. Pecah kemudian perang yang disebut Perang Siffin yang melibatkan ʻAlī dan Muʻāwiyah. Pada awalnya pasukan ʻAlī berhasil memukul mundur pasukan Muʻāwiyah dan kemenangan sudah berada di depan mata. Namun dengan kelicikan dari pih ak Muʻāwiyah perang tersebut malah berakhir dengan arbitrase. Arbitrase yang terjadi antara kedua belah pihak ini, bukan membawa keuntungan 25 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39-40. 26 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39-40. tapi justru membawa kerugian bagi pihak ʻAlī. Bahkan, keadaan politik setelah arbitrase, terpecah menjadi tiga, yakn i pendukung ʻAlī, Muʻāwiyah, dan kelompok yang menolak keduanya, yakni Khawarij. Munculnya kelompok ketiga ini, menyebabkan tentara ʻAlī semakin lemah, sementara itu, Muʻāwiyah semakin kuat, bahkan ia kemudian mengukuhkan dirinya sebagai khalīfah. ʻAlī kemudian terbunuh oleh salah seorang kelompok khawarij pada tahun 660 M. 27 Jabatan ʻAlī selanjutnya digantikan oleh anaknya Hasan, namun karena Hasan dianggap lemah dan Muʻāwiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai demi keberlangsungan umat Islam di bawah satu kekuatan politik, yakni di bawah kepemimpinan Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān. Perjanjian antara keduanya juga menjadi babak awal kekuasaan Bani Umayyah, dan mengukuhkan Muʻāwiyah sebagai pemimpin absolut. 28

B. Gejolak Politik pada Masa Bani Umayyah

Meski masa ini masih tergolong ke dalam masa kejayaan Islam, namun berdirinya dinasti Bani Umayyah melalui cara kekerasan, diplomasi, dan tipu muslihat, bukan melalui pemilihan dengan suara terbanyak, sebagaimana para pendahulunya. Dengan demikian jiwa demokratis yang dibangun oleh para khalīfah awal, berganti menjadi monarki. Ini terlihat ketika Muʻāwiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. 29 Di samping itu, kekuasaan yang diperoleh Muʻāwiyah adalah kekuasaan dari pemberontak annya terhadap kepemimpinan ʻAlī. Bahkan ia menuduh ʻAlī 27 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 40. 28 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 40. 29 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 42. melakukan kerjasama dengan pemberontak untuk menjatuhkan ʻUtsmān. Akibat ketegangan yang terjadi antara keduanya, pecahlah peperangan yang disebut Perang Siffin. Tentara Muʻāwiyah ketika itu mampu dipukul oleh pasukan ʻAlī dan berada di ambang kekalahan. Namun berkat tangan kanan Muʻāwiyah yang terkenal licik, ʻAmr Ibn ʻ ṣ, meminta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an. Melihat hal itu, para tentara ʻAlī meminta agar pemimpinnya menerima tawaran itu dan dengan demikian terjadilah arbitrase antara kedua golongan. Sebagai perantara arbitrase, diutuslah dua orang dari masing- masing pihak, yakni ʻAmr Ibn ʻ ṣ dari pihak Muʻāwiyah dan Abū Mūsā al-Asyʻārī dari pihak ʻAlī. 30 Pertemuan keduanya menghasilkan kesepakatan untuk sama-sama menjatuhkan Muʻāwiyah dan ʻAlī. Namun kelicikan ʻAmr mengalahkan ketakwaan Abū Mūsā. Tradisi menyebutkan bahwa Abū Mūsā sebagai yang tertua di minta untuk pertama kali mengumumkan tentang penjatuhan Muʻāwiyah dan ʻAlī. Tetapi kemudian ʻAmr sebagai orang yang mengumumkan selanjutnya, hanya menyetujui penurunan ʻAlī dan menolak penurunan Muʻāwiyah. Hal ini tentu sangat merugikan ʻAlī, sebab disamping penurunannya sebagai pemimpin, golongan yang pertama mendukungnya menjadi kecewa dengan keputusan itu, lalu meninggalkan barisan ʻAlī. Sementara itu Muʻāwiyah menjadi orang yang diuntungkan, sebab selain menang arbitrase, ia juga dengan sendirinya menjadi khalīfah walaupun tidak resmi. 31 Dinasti Bani Umayyah berdiri kira-kira 90 tahun lamanya. 32 30 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 90. 31 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 90. 32 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 55. Demikian gambaran singkat pendirian awal Dinasti Bani Umayyah, penuh dengan muslihat, kelicikan, perang, dan pertumpahan darah. Sebenarnya polemik demikian ini, bermula dari masa akhir pemerintahan ʻUtsmān.

C. Gejolak Politik pada Masa Bani Abbasiyyah

Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abdullāh al- affah Ibn Muḥammad Ibn „Alī Ibn Abdullāh al-Abbas. Dinasti ini melanjutkan kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Bani Umayyah. Dinasti ini juga berdiri karena perlawanannya kepada Bani Umayyah. Di samping perlawanan, masa awal perebutan kekuasaan Bani Abbas dari Bani Umayyah didukung oleh Bani Hasyim, Syiʻah, dan kaum Mawali, yang merasa dianaktirikan oleh Bani Umayyah. 33 Meskipun al-Abbas sebagai pencetus awal berdirinya Dinasti Abbasiyyah, namun pemerintahannya dikendalikan oleh al-Mansur. Sebagai pemimpin kekuasaan yang baru, banyak musuh yang ingin menghancurkannya sebelum ia bertambah kuat. Setelah melihat Bani Abbas memonopoli kekuasaan, golongan Bani Umayyah semakin berupaya keras untuk menggulingkannya. Bukan hanya Bani Umayyah, golongan yang sebelumnya mendukung pergerakan Bani Abbas memutar arah dan memilih untuk melawan. Namun semua itu tidak mudah, sebab al-Mansur dalam menghancurkan lawan, tidak segan membunuh. Abu Muslim karena dianggap akan menjadi saingan berbahaya di Khurasan, diundang ke 33 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 49. Baghdad, lalu kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Bani Abbas menggunakan kekerasan. 34 Dalam soal pemerintahan, al-Mansur mengusung tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi kepala departemen. Ia menunjuk Khalid Ibn Barmak yang berasal dari Balkh Persia, untuk menjadi wazir. 35 Pada perkembangan selanjutnya, para pengganti al-Mansur mulai mengembangkan kekuasaanya bukan hanya terbatas dalam satu bidang, tapi dalam berbagai bidang. Al-Mahdi misalnya telah meningkatkan kejayaan negara melalui bidang ekonomi, pertanian, pertambangan, dan transit perdagangan antara timur dan Barat. Di zaman al-Rasyid, hidup dalam kemwahan menjadi lambang dari kehidupan Dinasti Bani Abbasiyyah. Namun demikian ia tetap peduli dengan keadaan sosial, seperti membangun lembaga pendidikan dan kesehatan. Demikian juga di masa-masa selanjutnya, mulai dari al-M a’mun, al-Mu’tasim, dan lain- lain. 36 Hal terpenting yang terlihat dari masa ini adalah bahwa Islam memasuki babak ketiga dalam drama politik yang sangat besar, dan Irak menjadi panggung drama tersebut. Bahkan dalam khotbah penobatan pemimpin pertama Bani Abbasiyyah, ia menyebut dirinya sebagai al-saffi, yang berarti penumpah darah. Ini menunjukkan keadaan yang sangat buruk pada masa itu sebab mereka menunjukkan betapa pentingnya kekuatan dalam mempertahankan pemerintahan 34 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 62. 35 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 63. 36 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 63-64.