Gambaran Singkat Politik pada Masa Khulafā al-Rāsyidīn
ditunjuk sebagai khalīfah. Kedua, kaum Muhājirīn dan Anṣār sama-sama
menganggap diri sebagai golongan yang berhak menjadi khalīfah. Ketiga, umat
Islam pada saat itu baru saja selesai memerangi kaum murtad dan pembangkang. Sementara itu sebagian besar pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota
Madinah melawan Persia dan Romawi.
7
Berangkat dari keadaan demikian, maka kebijakan yang dilakukan Abū
Bakr tersebut sangat tepat, meskipun hal demikian terbilang sebagai hal yang baru pada saat itu. Namun demikian,
Abū Bakr tidak mengesampingkan musyawarah dengan para sahabatnya dan persetujuan umat.
Abū Bakr dalam menunjuk ʻUmar sebagai pengganti mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan beberapa
orang sahabat senior, antara lain ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, ʻUstmān Ibn Affān,
dan Asid Ibn Hāḍir, seorang tokoh Anṣār. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan terhadap keputusannya menunjuk
ʻUmar sebagai pengganti. Setelah itu, hasil konsultasi dimusyawarahkan dengan umat Muslim yang saat itu
berkumpul di Masjid Nabawi, dan mereka menyetujui keputusan Abū Bakr, serta
segera memberi baiʻah kepada ʻUmar.
8
Usaha-usaha yang telah dimulai oleh Abū Bakr diteruskan oleh ʻUmar.
Pada masanya, ekspansi besar-besaran dilakukan, sehingga kota Damaskus jatuh di tahun 635 M. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantium mengalami
kekalahan di Perang Yarmuk, daerah Suriah jatuh ke dalam kekuasaan Islam. dengan memakai Suriah sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah
pimpinan ʻAmr Ibn ʻ ṣ dan ke Irak di bawah pimpinan Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ.
7
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 78-79.
8
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 79.
Babilonia di Mesir dikepung pada tahun 640 M. Sementara itu, Bizantium di Heliopolis dikalahkan dan Alexandria kemudian menyerah tahun 641 M. Dengan
demikian Mesir jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tempat perkemahan ʻAmr Ibn ʻ ṣ yang terletak di luar tembok Babilonia menjadi ibukota dengan nama al-
Fustat. Singkatnya, di masa ʻUmar, semua wilayah semenanjung Arabiah,
Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir jatuh ke tangan Islam.
9
Pusat kekuasaan Islam di Madinah berkembang pesat seiring dengan keberhasilan ekspansi yang dilakukan
ʻUmar. ʻUmar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan
masyarakat yang terus berkembang. ʻUmar mendirikan beberapa dewan,
mencetak mata uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi batas daerah kekuasaan, dan lain-lain.
10
Selain itu, ʻUmar juga meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam sistem
pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan
ʻUmar tidak memberikan hak secara khusus kepada golongan tertentu, akan tetapi menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Tiada istana atau
pakaian kebesaran, baik bagi ʻUmar ataupun bawahannya. Pemimpin bisa
ditemui langsung oleh rakyatnya setiap waktu dibutuhkan. ʻUmar tidak hanya
pandai dalam hal menciptakan sistem dan peraturan-peraturan baru, tapi juga memperbaiki dan mengkaji ulang kebijakan yang telah ada selama itu diperlukan
9
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 51-52.
10
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-4 Jakarta: Amzah, 2014, h. 102-103.
demi kemaslahatan umat. Selain itu masih banyak lagi usaha-usaha yang dilakukan
ʻUmar, seperti mengatur kepemilikan tanah, pajak, zakat, dan lainnya.
11
ʻUmar memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Ia meninggal secara tragis, yakni ditikam oleh seorang budak dari Persia bernama Fairuz atau Abu
Lu’lu’ah ketika hendak melaksanakan shalat subuh. Ia terluka parah, dan dari pembaringannya ia membentuk komisi pemilihan yang akan memilih penerus
kekuasaannya.
12
3. ʻUtsmān Ibn Affān
Sebelum wafat, ʻUmar telah menunjuk calon penggantinya kelak, yang
terdiri dari ʻUtsmān, ʻAlī, dan Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ. Dalam pertemuan dengan
para calon tersebut, ʻUmar menegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi
pemimpin, agar tidak mengangkat kerabatnya sebagai pejabat. Di samping itu, ʻUmar juga telah membentuk dewan formatur untuk memilih penggantinya, yang
terdiri dari ʻUtsmān, ʻAlī, Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ, ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, Zubair
Ibn Awwām, dan alhah Ibn Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah Ibn ʻUmar dijadikan anggota, namun tidak memiliki hak suara.
13
Pemilihan pemimpin ditentukan sebagai berikut: Pertama, orang yang berhak menjadi
khalīfah adalah orang yang dipilih oleh formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila jumlah suara sama, maka Abdullah Ibn
ʻUmar berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah tidak diterima, maka
11
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 103.
12
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 104.
13
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87.
calon yang dipilih oleh ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf diangkat menjadi khalīfah. Jika
masih ada yang menentang hal itu, maka penentang tersebut harus dibunuh.
14
Orang yang khawatir dengan tata tertib pemilihan tersebut adalah ʻAlī,
yang takut jika ʻAbd al-Raḥmān tidak bisa berlaku adil dan objektif, mengingat ia
mempunyai hubungan kekerabatan dengan ʻUtsmān. Oleh karenanya ʻAlī
meminta kepada ʻAbd al-Raḥmān untuk berlaku adil, dan ʻAbd al-Raḥmān pun
berjanji akan berlaku adil. Setelah ʻAbd al-Raḥmān berjanji, barulah ʻAlī
menyetujuinya. Langkah selanjutnya yang diambil oleh ʻAbd al-Raḥmān setelah
ʻUmar wafat adalah mengadakan pertemuan dengan anggota formatur guna menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai pemimpin. Hasilnya adalah
ʻUtsmān dan ʻAlī ditentukan menjadi calon pemimpin. Terjadi silang pemilihan ketika itu, yakni
ʻAlī memilih ʻUtsmān dan ʻUtsmān memilih ʻAlī, sedangkan Saʻd Ibn Abī Waqqas memilih ʻUtsmān. Sementara itu Zubair dan alhah tidak
dimintai pendapat dan dukungannya, sebab pada saat itu mereka berada di luar Madinah dan tidak sempat dihubungi dengan cepat. Selanjutnya
ʻAbd al-Raḥmān mengadakan musyawarah dengan masyarakat dan para pembesar di luar formatur,
dan ternyata suara masyarakat telah terpecah menjadi dua, yakni kelompok Bani Hasyim yang mendukung
ʻAlī dan kelompok Bani Umayyah yang mendukung ʻUtsmān.
15
Setelah itu, ʻAbd al-Raḥmān memanggil ʻAlī dan menanyakan apakah dia
sanggup melaksanakan tugasnya berdasarkan al- Qur’an dan al-Sunnah seandainya
dia terpilih sebagai khalīfah. Kemudian ʻAlī menjawab bahwa dia berharap dapat
14
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87.
15
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 87-88.
bertindak sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Selanjutnya ʻAbd al-Raḥmān
menanyakan kepada ʻUtsmān pertanyaan yang sama, dan ʻUtsmān menjawab,
“Ya Saya sanggup.” Berdasarkan jawaban keduanya, ʻAbd al-Raḥmān kemudian menunjuk
ʻUtsmān sebagai khalīfah. Keputusan ini tentu membawa kekecewaan bagi
ʻAlī yang dari awal telah khawatir terhadap sikap ʻAbd al-Raḥmān, bahkan ia menganggap bahwa
ʻAbd al-Raḥmān telah bersekongkol dengan ʻUtsmān, sebab ketika
ʻUtsmān terpilih, maka kelompok ʻAbd al-Raḥmān yang berkuasa dalam pemerintahan.
16
ʻUtsmān memerintah selama 12 tahun. Pada masa pemerintahannya, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, dan Tabaristan berhasil dikuasai. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
17
Namun pada paruh terakhir pemerintahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan
ʻUtsmān sangat berbeda dengan
ʻUmar. Mungkin penyebabnya adalah bahwa ia memimpin umat Islam di usia yang sudah lanjut dan sikapnya yang terlalu lemah lembut. Akhirnya
pada tahun 655 M, ia terbunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang- orang yang kecewa itu.
18
Salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan banyak orang kecewa terhadap kepemimpinan
ʻUtsmān adalah kebijakannya dalam menjadikan keluarga sebagai pejabat tinggi negara. Yang terpenting adalah masalah Marwan
Ibn Hakam, dialah orang yang sejatinya menjalankan pemerintahan, sementara
16
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 88.
17
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 52.
18
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 38.
ʻUtsmān hanya menyandang gelar khalīfah. Setelah banyak keluarganya yang memegang jabatan tinggi,
ʻUtsmān laksana boneka di hadapan para kerabatnya itu. Dia lemah dan tidak mampu berbuat banyak terhadap keluarganya. Dia juga
tidak tegas terhadap bawahan yang melakukan kesalahan. Harta kekayaan negara dibagi-bagikan oleh kerabatnya tanpa terkontrol oleh
ʻUtsmān sendiri. Inilah sebab mengapa kemudian muncul pemberontak yang menentang kepemimpinan
ʻUtsmān.
19
Bahkan ia mati terbunuh oleh orang-orang yang mengepung rumahnya dan meninggal ketika sedang membaca al-
Qur’an.
20
Namun demikian bukan berarti pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting dalam negara,
ʻUtsmān berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus air yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
21
Salah satu jasanya yang sangat besar bagi umat Islam adalah penyusunan al-
Qur’an dengan tujuan menjaganya dan mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam membacanya.
22
4. ʻAlī Ibn Abī ālib
ʻAlī dikukuhkan sebagai khalīfah di tengah-tengah gejolak yang terjadi di masyarakat, yakni meninggalnya
„Utsmān karena pemberontak. Pengukuhan ʻAlī sebagai pemimpin umat Islam selanjutnya bisa dikatakan tidak semulus tiga orang
khalīfah sebelumnya. ʻAlī di-bai’ah di tengah-tengah berkabungnya umat Islam atas meninggalnya
ʻUtsmān, dan suasana saat itu sangat kacau dan
19
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 38-39.
20
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 108.
21
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39.
22
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 105.
membingungkan umat Islam yang ada di Madinah. Setelah ʻUtsmān terbunuh,
para pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu untuk diangkat sebagai pemimpin, sepert
i ʻAlī, Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ, ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, Zubair Ibn Awwām, alhah Ibn Ubaidillah, dan Abdullah Ibn ʻUmar, namun
mereka tidak bersedia. Akan tetapi baik pemberontak ataupun kaum Muhājirīn
dan An ṣār sebenarnya lebih menginginkan ʻAlī sebagai khalīfah. Mereka
mendatangi ʻAlī beberapa kali dan meminta agar di-baiʻah, namun ʻAlī menolak. Penolakan tersebut bermaksud agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah
dan mendapat persetujuan para sahabat senior.
23
Setelah rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu mempunyai pemimpin secepatnya agar tidak terjadi kekacauan
yang lebih besar, akhirnya ʻAlī bersedia di-
baiʻah sebagai khalīfah. ʻAlī selanjutnya di-baiʻah, tetapi dengan penuh kontroversi. Sebagian para sahabat senior, ada yang memberikan
baiʻah kepada ʻAlī dan ada pula yang tidak. Ibn „Umar dan Saʻd misalnya, bersedia
mem- baiʻah jika seluruh rakyat juga melakukannya. Dengan demikian, ʻAlī tidak
di- baiʻah oleh kaum Muslim secara aklamasi, sebab sebagian para sahabat pada
saat itu berada di luar Madinah, ditambah lagi kekuasaan Islam bukan hanya terbatas pada Madinah, Mekah, dan
aif saja, tetapi sudah meliputi seluruh Jazirah Arab, dan daerah-daerah luar Arab.
Di samping itu, keluarga ʻUtsmān, seperti Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān, yang saat itu berstatus Gubernur Damaskus,
menolak dengan keras pengukuhan ʻAlī sebagai khalīfah.
24
23
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 93.
24
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 94.
Selanjutnya ʻAlī melakukan tindakan mencabut dan memecat para pejabat yang sebelumnya d
iangkat oleh ʻUtsmān, sebab menurutnya, pemberontakan dan kekacauan yang terjadi dalam negara adalah karena keteledoran mereka.
Akibatnya para mantan pejabat itu menjadi dendam terhadap ʻAlī dan segera mendukung Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān yang memang dari awal sudah
membangkang kepada ʻAlī.
25
Tak lama kemudian, ʻAlī mendapat tantangan dari Zubair, alhah, dan „ ’isyah. Mereka tidak mau tunduk kepada kepemimpinan ʻAlī dan melawan
secara terang-terangan. Mereka membangkang karena tidak puas dengan tindakan ʻAlī yang tidak segera menghukum para pemberontak pembunuh ʻUtsmān.
Sebenarnya ʻAlī menghendaki adanya penyelesaian secara damai, namun mereka menolak, dan selanjutnya terjadi perang. Dalam perang tersebut, Zubair dan
alhah mati terbunuh setelah hendak melari kan diri, sementara „ ’isyah
ditangkap dan dikirim kembali ke Madinah.
26
Bersamaan dengan itu, kebijakan- kebijakan ʻAlī mendapat tantangan dari
Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān, yang saat itu berstatus Gubernur Damaskus. Ia menolak ʻAlī sebagai khalīfah yang sah serta mengadakan perlawanan. Pecah
kemudian perang yang disebut Perang Siffin yang melibatkan ʻAlī dan Muʻāwiyah. Pada awalnya pasukan ʻAlī berhasil memukul mundur pasukan
Muʻāwiyah dan kemenangan sudah berada di depan mata. Namun dengan kelicikan dari pih
ak Muʻāwiyah perang tersebut malah berakhir dengan arbitrase. Arbitrase yang terjadi antara kedua belah pihak ini, bukan membawa keuntungan
25
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39-40.
26
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39-40.
tapi justru membawa kerugian bagi pihak ʻAlī. Bahkan, keadaan politik setelah arbitrase, terpecah menjadi tiga, yakn
i pendukung ʻAlī, Muʻāwiyah, dan kelompok yang menolak keduanya, yakni Khawarij. Munculnya kelompok ketiga
ini, menyebabkan tentara ʻAlī semakin lemah, sementara itu, Muʻāwiyah semakin kuat, bahkan ia kemudian mengukuhkan dirinya sebagai
khalīfah. ʻAlī kemudian terbunuh oleh salah seorang kelompok khawarij pada tahun 660 M.
27
Jabatan ʻAlī selanjutnya digantikan oleh anaknya Hasan, namun karena Hasan dianggap lemah dan Muʻāwiyah semakin kuat, maka Hasan membuat
perjanjian damai demi keberlangsungan umat Islam di bawah satu kekuatan politik, yakni di bawah kepemimpinan Muʻāwiyah Ibn Abī Sufyān. Perjanjian
antara keduanya juga menjadi babak awal kekuasaan Bani Umayyah, dan mengukuhkan Muʻāwiyah sebagai pemimpin absolut.
28