banyak ulama-ulamanya terserang virus yang disebarkan kolonial kafir, menulis karangan-karangan yang berisi seruan untuk memisahkan negara dengan agama.
58
Pada tahun itu dan seterusnya hingga saat ini, pen. terjadi perdebatan di kalangan Islam tentang apakah Pan-Arabisme atau Pan-Islamisme yang lebih
layak dan banyak memberi kemungkinan? Perdebatan semacam ini terus bergulir dalam Islam. Sementara bagi kaum penjajah kafir, ini memberi keuntungan bagi
mereka agar umat Islam semakin jauh dari opini penegakan Khilāfah Islāmiyyah.
Atas dasar ini, kaum penjajah terus mengalihkan isu sehingga angan-angan mendirikan k
hilāfah terkubur oleh perdebatan yang tiada ujung pangkalnya. Ini adalah awal dari perang pemikiran yang hebat, umat Islam dipecah belah oleh
ideologi kafir kolonial. Ide nasionalisme terus berkembang dan menyebabkan negeri-negeri Islam satu per satu melepaskan diri dari sentral pemerintahan yang
dipegang oleh Daulah Utsmani pada saat itu.
59
Tak cukup sampai di situ, para penjajah juga menyebarkan isu dan paham yang sesat tentang pemerintahan dalam Islam, tentang Islam sendiri, dan sistem
k hilāfah yang dinyatakan sebagai sistem kepausan dan manifestasi dari
pemerintahan kependetaan. Dengan penyebaran paham ini, umat Islam kemudian merasa malu untuk menyebut bahkan mengenang k
hilāfah, serta menganggap jumud orang-orang yang berusaha menegakkannya kembali. Bahkan di kalangan
umat Islam sering dijumpai paham umum yang menyatakan bahwa persoalan k
hilāfah adalah persoalan terbelakang dan kuno yang tidak mungkin keluar dari pemikiran orang yang berbudaya.
60
58
Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Daulah Islam, h. 302
59
Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Daulah Islam, h. 302-302.
60
Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Daulah Islam, h. 303.
Penjajah kafir masih belum merasa puas, mereka terus mengarahkan ideologi mereka kepada politik pengajaran. Mereka menyusun pengajaran
berlandaskan pada dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan dan negara. Hal ini menginspirasi dan memotivasi generasi-generasi muslim
untuk berjuang memerangi penegakan k hilāfah karena dianggap tidak sesuai
dengan asas pendidikan mereka. Kedua, kepribadian kafir penjajah dijadikan landasan utama pembinaan. Pengajaran ini mengharuskan para murid kalangan
Muslim untuk menghormati mereka kaum kafir penjajah. Di samping itu mereka juga terus mendoktrin murid-murid Muslim untuk waspada dan curiga kepada
Islam. pengajaran seperti ini akan melahirkan permusuhan dan upaya keras di kalangan Muslim untuk menghalangi tegaknya k
hilāfah.
61
Selain itu, adanya perbedaan jarak yang sangat jauh antara kaum Muslim dengan sistem pemerintahan Islam terutama politik pemerintahan dan strategi
pengeloalaan kekayaan negara. Oleh sebab itu, sebagian besar kaum Muslim menjadi sangat lemah bahkan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk
menggambarkan kehidupan Islam. Di sisi lain gambaran yang datang dari non- muslim tehadap Islam cenderung berbau negatif yang kemudian semakin
menambah kelemahan dan keterpurukan pemahaman Islam oleh kaum Muslim sendiri. Melihat hal demikian, upaya dalam mengembalikan tegaknya k
hilāfah harus diusung secara revolusioner oleh kaum Muslim yang mempunyai kesadaran
untuk menegakkannya.
62
Semua itu hanya beberapa saja dari sekian banyak makar yang disebarkan oleh kafir penjajah untuk menghalangi tegaknya kembali
Khilāfah Islāmiyyah. Di
61
Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Daulah Islam, h. 307-308.
62
Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah, h. 72.
samping itu kelemahan dan kelalaian ummat Islam untuk menegakkannya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor penghambat berdirinya kembali k
hilāfah. Jika ditelusuri, kesalahan dan permasalahan yang terjadi bukan hanya karena perang
pemikiran yang dicetuskan oleh kafir penjajah, tapi juga karena kelemahan umat Islam yang mudah diadu domba.
Perang pemikiran itu bahkan terus bergulir hingga masa sekarang ini, sebagaimana kita saksikan umat Islam terpecah belah, saling menjajah, dan saling
mencurigai. Bahkan umat Islam telah melampaui perang pemikiran, mereka saling berperang secara fisik dan militer, serta tidak segan-segan saling melenyapkan
nyawa. Semua itu bisa kita saksikan saat ini di negeri-negeri Timur Tengah. Jika demikian, lantas siapakah yang disalahkan? Apakah Barat secara keseluruhan
dapat disalahkan?
45
BAB III GEJOLAK POLITIK
DALAM KEPEMIMPINAN KHILĀFAH
A. Gambaran Singkat Politik pada Masa Khulafā al-Rāsyidīn
Sebelum meninggal dunia, Nabi Mu ḥammad tidak pernah meninggalkan
wasiat tentang siapa orang yang akan menjadi penggantinya. Ini mengisyaratkan bahwa beliau menyerahkan urusan kepemimpinan setelahnya kepada kaum
Muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itu, ketika Nabi meninggal, kaum Muslimin yang terdiri dari
Muhājirīn dan Anṣār, lebih mengutamakan masalah pengganti dalam kepemimpinan selanjutnya ketimbang mengurus pemakaman
jasad Nabi Mu ḥammad. Mereka melakukan musyawarah untuk menentukan
pemimpin mereka selanjutnya. Musyawarah tersebut juga berlangsung cukup alot, sebab kedua belah pihak, yakni
Muhājirīn dan Anṣār sama-sama mengusung calon pemimpin. Setelah musyawarah berlangsung,
Abū Bakr terpilih sebagai pengganti Nabi Mu
ḥammad. Berkat semangat keagamaan yang luar biasa, Abū Bakr mendapat penghargaan yang tinggi dari kaum Muslimin untuk menjadi
pemimpin mereka setelah wafatnya Nabi.
1
K epemimpinan pada masa Khulafā al-
Rāsyidīn ini diawali oleh Abū Bakr, kemudian „Umar, „Utsmān, dan „Alī . 1.
Abū Bakr
Abū Bakr menjadi khalīfah pada tahun 632 M, akan tetapi pemerintahannya berlangsung tidak lama, sebab dua tahun berikutnya beliau
meninggal dunia. Masa kepemimpinannya yang singkat itu, dihabiskan untuk
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-23 Jakarta: Raja Grafindo, 2011, h. 35.
menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam negeri, yakni Perang Riddah. Orang-orang itu diperangi sebab mereka beranggapan bahwa ketika Nabi
meninggal dunia, maka dengan sendirinya perjanjian yang mereka buat dengan Nabi, batal. Selanjutnya mereka mengambil tindakan menentang kepemimpinan
Abū Bakr. Setelah menyelesaikan perang tersebut, barulah Abū Bakr mengirim kekuatan-kekuatan ke luar wilayah Arab.
2
Sebagai pemimpin yang memegang kekuasaan sesudah Rasulullah, Abū
Bakr disebut sebagai khalīfah Rasūlillāh pengganti Rasulullah, yang dalam
perkembangan selanjutnya disebut khalīfah saja. Khalīfah adalah pemimpin yang
diangkat untuk mengganti dan melaksanakan tugas pemerintahan dan agama setelah wafatnya Nabi Mu
ḥammad. Sebagaimana pada masa Rasulullah, kekuasaan yang dijalankan pada masa
khalīfah Abū Bakr bersifat sentral. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudiktif terpusat di tangan
khalīfah. Selain sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan,
khalīfah juga melaksanakan hukum. Namun demikian,
khalīfah Abū Bakr selalu mengajak para sahabatnya bermusyawarah sebagaimana yang dilakukan Nabi.
3
Pola kepemimpinan Abū Bakr dapat dilihat dalam pidatonya ketika
pertama kali diangkat sebagai khalīfah, sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriadi,
sebagai berikut: “Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu
percayakan, padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan
jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang
yang lemah di antara kamu adalah orang yang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang kuat di antara kamu adalah
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 Jakarta: UI-Press, 1985, h. 51.
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 35-36.
lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, insya Allah. Janganlah salah seorang di antara kamu meninggalkan jihad.
Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan kepada mereka suatu kehinaan. Patuhlah
kepadaku selama aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali janganlah kamu
menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu.”
4
Ucapan ini menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abū Bakr
dalam pemerintahan. Dalam pidato tersebut dapat dilihat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, dan mendorong
masyarakat berjihad, serta shalat sebagai intisari takwa. Secara umum, pemerintahan
Abū Bakr melanjutkan kepemimpinan sebelumnya yang dijalankan oleh Nabi Mu
ḥammad, baik dalam urusan negara maupun agama.
5
2. ʻUmar Ibn al-Khaṭṭāb
Ketika Abū Bakr jatuh sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia
bermusyawarah dengan para sahabatnya guna menunjuk ʻUmar Ibn al-Khaṭṭāb
sebagai penggantinya. Hal ini ini dilakukan Abū Bakr untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di antara umat Islam. kebijaksanaan
Abū Bakr ini ternyata diterima oleh masyarakat dan segera melakukan
baiʻah terhadap ʻUmar .
6
Penunjukan ʻUmar oleh Abū Bakr sebagai penggantinya, berdasarkan
pada beberapa faktor pertimbangan yang matang. Setidaknya ada beberapa faktor yang diantisipasi oleh
Abū Bakr pada saat itu. Pertama, kekhawatiran akan terulangnya kembali pristiwa menegangkan yang terjadi di Tsaqifah Bani
Saʻidah yang hampir menyeret umat Islam ke dalam jurang perpecahan, ketika
Abū Bakr
4
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 69-70.
5
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 70.
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 36-37.
ditunjuk sebagai khalīfah. Kedua, kaum Muhājirīn dan Anṣār sama-sama
menganggap diri sebagai golongan yang berhak menjadi khalīfah. Ketiga, umat
Islam pada saat itu baru saja selesai memerangi kaum murtad dan pembangkang. Sementara itu sebagian besar pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota
Madinah melawan Persia dan Romawi.
7
Berangkat dari keadaan demikian, maka kebijakan yang dilakukan Abū
Bakr tersebut sangat tepat, meskipun hal demikian terbilang sebagai hal yang baru pada saat itu. Namun demikian,
Abū Bakr tidak mengesampingkan musyawarah dengan para sahabatnya dan persetujuan umat.
Abū Bakr dalam menunjuk ʻUmar sebagai pengganti mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan beberapa
orang sahabat senior, antara lain ʻAbd al-Raḥmān Ibn Auf, ʻUstmān Ibn Affān,
dan Asid Ibn Hāḍir, seorang tokoh Anṣār. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan terhadap keputusannya menunjuk
ʻUmar sebagai pengganti. Setelah itu, hasil konsultasi dimusyawarahkan dengan umat Muslim yang saat itu
berkumpul di Masjid Nabawi, dan mereka menyetujui keputusan Abū Bakr, serta
segera memberi baiʻah kepada ʻUmar.
8
Usaha-usaha yang telah dimulai oleh Abū Bakr diteruskan oleh ʻUmar.
Pada masanya, ekspansi besar-besaran dilakukan, sehingga kota Damaskus jatuh di tahun 635 M. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantium mengalami
kekalahan di Perang Yarmuk, daerah Suriah jatuh ke dalam kekuasaan Islam. dengan memakai Suriah sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah
pimpinan ʻAmr Ibn ʻ ṣ dan ke Irak di bawah pimpinan Saʻd Ibn Abī Waqqāṣ.
7
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 78-79.
8
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 79.