64
3MPU berkedudukan sebagai mitra pemerintah Aceh, KabupatenKota serta DPRA dan DPRK;
4Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun
Aceh. Tugas dan fungsi Majelis Pemusyarawatan Ulama tersebut adalah sebagai
berikut: 1. Menetapkan fatwa hukum Syari’at Islam.
2. Memberikan peyuluhan Syari’at kepada masyarakat 3. Memberukan pertimbangan, bimbingan, dan saran kepada Eksekutif, legeslatif
dan Yudikatif dalam menentukan kebijakan daerah terutama dibidang pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan dan tatanan ekonomi yang
Islami; 4. Memantau kebijakan daerah agar berjalan sesuai dengan tuntutan Syari’at
Islam.
93
Hal tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Aceh yang relijius, yang menjujung tinggi adat istiadat dan telah menempatkan ulama pada peran yang
terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Penunjukan Wali Oleh Pengadilan di Aceh
. Seperti telah disinggung di atas bahwa perwalian tidak lain merupakan suatu
perbuatan hukum oleh karena itu untuk keabsahannya harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
93
Kumpulan keputusan majelis Pemusyarawatan ulama tahun 2007 sd 2008. Hal. 27
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
65
Adapun cara melakukannya antara lain dapat diperhatikan ketentuan Pasal 33 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa
“untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui penetapan pengadilan”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan
bahwa Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa untuk bertindak selaku wali atas seseorang anak harus terlebih dahulu memperoleh penetapan perwalian dari
Pengadilan agama Mahkamah Syar’iyah bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang non Islam.
Dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa wali yang ditunjuk berdasarkan
penetapan Pengadilan atau Mahkamah, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak. Pada ayat 2 dan 4 mengatur bahwa “wali wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan untuk kepentingan anak dalam maupun diluar
pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.”
94
Kompilasi Hukum Islam KHI “sebagai hukum materil bagi hakim pengadilan agama merupakan pedoman atau rujukan dalam membuat keputusan
94
Lihat Pasal 33 ayat 2 , 4 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
66
keputusan yang berkenaan dengan perkara yang menjadi kompetensi dari
Pengandilan Agama”.
95
Dalam KHI tepatnya Pasal 1 huruf h disebutkan perwalian yaitu sebagai suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua nya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Pengertiannya adalah apabila masih ada ibunya dan dia cakap melakukan perbuatan hukum, maka ibunya itu yang bertindak sebagai wali, tidak
perlu ditunjuk orang lain. Dengan
melihat ketentuan
diatas undang-undang
sebenarnya telah
menentukan kalau perwalian tersebut menjadi kompetensi dari pengadilan baik itu Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Seiring dengan perkembangan politik
Negara Indonesia yang berubah pada tahun 1998 dengan ditandainya era reformasi, maka pola hubungan daerah dengan pemerintah pusat pun berubah dari pola
sentralisasi ke pola disentralisasi dengan bentuk otonomi daerah seluas-luasnya yang lebih memberikan keuntungan bagi daerah itu sendiri. Khusus untuk daerah Aceh,
salah satu keutungan dari otonomi daerah adalah diberikannya kesempatan untuk menerapkan Syariat Islam melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang juga merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Dari undang-
95
Muhammad Ghulam, Sistem Hukum Kewarisan Dalam Kopilasi Hukum Islam, warta Univetaria, Majalah ilmiyah universitas medan Area, hal. 67
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
67
undang tersebut keluarlah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan syariat Islam. Dan juga di perkuat lagi dengan adanya Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menggatur tatanan pemerintahahan di Aceh secara lebih khusus, baik dibidang hukum, politik,
pemerintahan dan peradilan. Mengenai penetapan perwalian di Aceh, Pengadilan yang relevan yang
mempunyai yurisdiksi atas persoalan perwalian selain Pengadilan Negeri adalah Pengadilan
Agama atau
Mahkamah Syar’iyah,
dimana Pengadilan
Negeri memutuskan atau menetapkan perkara atau permohanan perwalian bagi orang yang
non muslim, sedangkan Mahkamah Syar’iyah atau yang di daerah lain dikenal dengan pengadilan Agama, “Mahkamah Syar’iyah merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam
lingkungan peradilan
agama.”
96
Yang menentukan
atau menetapkan hukum bagi orang orang yang muslim.
Dalam perkembanganya Pengadilan agama pada awalnya diatur dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama. Pada awalnya ketentuan tentang Pengadilan Agama
dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah serta ekonomi syari’ah.
96
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
68
Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum khususnya bagi mereka yang beragama Islam danatau
mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam adalah Pengadilan Agama Mahkamah
Syar’iyah. Mahkamah
Syar’iyah berwenang
dan dikhususkan
mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan bagi pemeluk agama
Islam. Mahkamah Syar’iyah dalam hal ini berfungsi untuk “menerima, memeriksa
dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan
dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada.”
97
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan bagi pemeluk agama Islam di Indonesia, sebab dari jenis jenis perkara yang menjadi kewenangannya seluruhnya
adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu, “Mahkamah Syar’iyah juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam danatau mereka yang
menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam.”
98
Hal ini merupakan salah satu kekhususan yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu hak dan peluang untuk membentuk
Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan Syariat Islam. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
97
Yusna Zaida, Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Sengketa Ekonomi Syariah Al-Banjari Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007, hlm. 1-2.
98
Ibid., hlm.2
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
69
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu pada Pasal 25 yang isinya sebgai berikut :
1 Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebagian dari sistem peradilan Nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah
yang bebas dari pengaruh pihak manapun. 2 Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3 Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk Agama Islam.
Ketentuan ini memperkuat landasan yurudis pelaksanaan Syari’at Islam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Aceh. Menindak lanjuti maksud Undang-undang tersebut, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan Qanun Nomor 10
Tahun 2002 Peradilan Syari’at Islam yang antara lain mengatur pembentukan Mahkamah Syar’iyah dilakukan dengan mengembangkan Pengadilan Agama menjadi
Mahkamah Syar’iyah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas. Perubahan Pengadilan Agama di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Mahkamah Syar’iyah dan
Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi telah dikuatkan dengan Kepres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Pengadilan Agama yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
70
telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Pasal 1 ayat 1 Kepres 2 Nomor 11 Tahun 2003.”
99
Adapun kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 sebagai mana disebutkan dalam Pasal 49 yaitu:
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang
a. Ahwal al-syakhsyiah; b. Mu’amalah;
c. Jinayah. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 sebagaimana tersebut diatas memberi
wewenang yang sangat luas kepada Mahkamah Syar’iyah meliputi perkara perdata dan pidana jinayah. Kewenangan Pengadilan Agama beralih seluruhnya kepada
Mahkamah Syar’iyah dan sebahagian kewenangan Pengadilan Negeri juga beralih menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah, baik mu’amalah maupun pidana
jinayah. Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam adalah merupakan bagian dari sistem Peradilan Nasional karena itu pembinaan Mahkamah Syar’iyah di
Nanggroe Aceh Darussalam tetap berada dibawah Mahkamah Agung RI sebagai peradilan Negara tertinggi dalam bidang teknis yudisial. “Pemerhati Mahkamah
Syar’iyah sering berbeda pendapat tentang kedudukan Mahkamah Syar’iyah apakah berada dalam lingkungan Peradilan Agama atau dalam lingkungan Peradilan Umum
99
Kepres 2 Nomor 11 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1, yang menyatakan “Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syariyah”.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
71
karena Mahkamah Syar’iyah juga berkewenangan mengadili perkara jinayah pidana atau berada dalam kedua lingkungan sekaligus.”
100
Dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada BAB XVIII Pasal 128 ditentukan :
1 Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah
yang bebas dari pengaruh pihak manapun; 2 Mahkamah syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang bergama
Islam dan berada di Aceh; 3 Makamah syar’iyah
berwenang memeriksa, mengadili, memutus
dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwa al-syakhsiyah hukum
keluarga, muamalah hukum perdata, dan jinayah hukum, pidana yang didasarkan pada Syari’at Islam.
4 Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang Ahwa al-syakhsiyah hukum keluarga, muamalah hukum perdata, dan jinayah hukum, pidana sebagai
mana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Qanun Aceh. Dalam menerapkan ketentuan hukum tersebut, Mahkamah Syar’iyah juga
berlandaskan pada ketentuan Undang-undang yang telah ditetapkan baik itu kitab Undang-undang Hukum perdata, Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974,
100
H. M. Saleh puteh eksistensi mahkamah syar’iyah Menurut peraturan perundang- Undangan dan qanun http:www.ms-aceh.go.idinformasi-umumartikel123-eksistensi-mahkamah-
syariyah-menurut-peraturan-perundang-undangan.html terakhir diakses tanggal 8 Oktober 2012.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
72
Undang undang perlindungan anak No.232002, KHI, serta peraturan peraturan yang memiliki muatan lokal yang relevan seperti Qanun.
3. Prosedur Pengajuan Permohonan Perwalian Pada Makamah Syar’iyah