56
BAB III PELAKSANAAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR YANG TIDAK
ADA LAGI ORANG TUANYA DI BANDA ACEH A. Tinjauan Pelaksanaan Perwalian menurut Adat dan kebiasaan di Aceh
1. Pelaksanaan Penunjukan Wali Pada Mayarakat Aceh
Walaupun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengenai permasalahan Perwalian. Tetapi didalam masyarakat terdapat
banyak permasalahan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat itu sendiri. Mengenai kedudukan hukum anak-anak yang berada dibawah perwalian, yang pada dasarnya
merupakan tanggung jawab Negara atau Pemerintah, yaitu anak-anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua mereka yang kian hari kian bertambah dan merupakan
sebagai probelematika yang berkembang pada akhir-akhir ini terutama di Negara- negara yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia.
Disamping itu juga masyarakat awam masih bingung dalam memahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik itu kedudukan perwalian anak yatim dan
perwalian anak anak yang terlantar yang masih dibawah umur, karena belum memahami konsep perwalian, baik itu dari segi hukum perdata Islam dan dari segi
Hukum Perdata Sipil BW. Selain itu juga banyak kasus-kasus yang berkembang tentang penemuan bayi-
bayi yang tidak memiliki orang tua dan wali, sehingga dengan demikian siapakah yang berhak mengurus dan menjaga anak tersebut. Seandainya bila anak-anak
terlantar yang masih dibawah umur melakukan tindakan hukum maka siapakah yang
56
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
57
akan mengurus dan mengadili dan selain itu juga siapa yang akan menjamin kesejahteraan anak-anak tersebut.
Sebagaimana diketahui dari semua aturan tentang perwalian yang ada baik menurut hukum Islam, hukum adat dan menurut hukum Nasional, telah mengatur
supaya kedudukan seorang wali yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan dan harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, termasuk warisan. Namun
hukum di Indonesia menyatakan secara tidak langsung bahwa perwalian hanya berlaku bagi anak yang kehilangan kedua orang tuanya.yang terjadi di Aceh pada
tahun 2004. Semenjak tsunami mayoritas orang yang memegang tanggung jawab
perwalian tidak ditunjuk secara resmi, atau sesuai petunjuk hukum tetapi dipilih berdasarkan kesepakatan dan persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas
setempat. Hal ini menyebabkan penunjukan wali tidak memiliki suatu kepastian hukum. walaupun para pemimpin desa biasanya diberitahukan tentang putusan.
Penunjukan biasanya dilakukan hanya berupa catatan yang dapat kita jumpai atau disimpan.
Proses penunjukan wali tersebut diatas ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat adat, bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya
dilakukan melalui musyawarah pihak keluarga, atau melibatkan petua kampung adat dalam menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan
anak atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Seringkali pula antara satu daerah gampong dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
58
Dalam kasus tertentu, penunjukan wali ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di Meunasah di perdesaan, yang tujuan dari
pertemuan dan perlibatan para petua kampung ini adalah untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali dalam suatu keluarga,umumnya penunjukan ini
terjadi dalam kasus-kasus yang dipersengketakan sehingga diberi kewenangan kepada geuchik kepala desa danatau imeum meunasah kasus seperti ini ditemui oleh
International Development Law Organization IDLO, “yang terjadi di gampong kampung Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Banyak anak-anak di
Tibang itu yang terkena dampak tsunami yang kehilangan orang tua mereka dan kemudian diasuh oleh anggota keluarga mereka. Proses perwalian anak-anak tersebut
berlangsung secara adat di gampongyang bersangkutan.”
85
Selain itu masyarakat Aceh juga mengenal jenis wali dalam bentuk yang lain yaitu wali perkawinan. “Wali ini ditunjuk bukan saja jika kedua orang tua meninggal,
tetapi juga apabila seorang ayah meninggal, maka harus ada yang bertanggung jawab untuk menyatakan persetujuan atas pernikahan pengantin perempuan yang berasal
dari pihak keluarga orang tua laki-laki, di Aceh wali perkawinan dan wali warisan biasanya adalah orang yang sama”.
86
Apabila kedua orang tua meninggal, maka dalam hal ini perempuan dari sanak keluarga pihak ibu akan memegang peranan sebagai pengasuh utama, sedangkan laki-
85
IDLO International Development Law Organization, Lembaga bantuan hukum International yangmembantu proses penyelesaian hukum tentang tanah, kewarisan dan perwalian di Aceh setelah bencana
Tsunami, lihat di http:www.idlo.intDOCNews240DOCF1.pdf hal.19-20 terakhir diakses 21 Agustus 2012.
86
Syahrizal, ‘Wali Perempuan dalam Perundang-undangan Indonesia’; makalah yang dipresentasikan di Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan oleh Mahkamah Syar’iyah Propinsi NAD, Putroe Kande
Foundation dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, 2; Lindsey n 1 58.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
59
laki dari sanak keluarga pihak ayah, biasanya seorang paman, ditunjuk sebagai wali warisanperkawinan.
Hal ini menyebabkan perwalian di Aceh pada prakteknya, lebih rumit kerena dalam penujukkan wali biasanya yang ditunjuk adalah pihak laki-laki yang berasal
dari sanak keluarga dari pihak ayah. Pada umumnya wali ini hanya akan bertanggung jawab untuk mengelola harta benda anak di bawah perwaliannya atau sebagai wali
warisan, “akan tetapi menyangkut dengan kesejahteraan, pengasuhan sehari-hari anak tersebut biasanya akan diberikan kepada ibunya anak tersebut, atau jika ibunya
meninggal, biasanya perempuan dari pihak sanak keluarga ibu.”
87
Dalam hukum Islam sebagai bandingannya dapat disamakan dengan wali Hadhanah “yaitu perempuan yang memelihara pribadi sianak yang ditinggal mati
ayah atau orang tuanya”.
88
Dalam kasus wali yang menyangkut warisan, maka seorang wali harus melakukan pembayaran berkala dari warisan atau harta benda anak kepada pengasuh
utama untuk membiayai keperluan sehari-hari anak tersebut. Ini tidak berarti bahwa ketiga fungsi pengasuh utama, wali warisan dan wali perkawinan tidak dapat
diberikan kepada orang yang sama, atau bahwa orang tersebut harus selalu laki-laki dari sanak keluarga pihak ayah.
87
Badruzzaman Ismail ‘Wali perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi NAD’ makalah yang dipresentasikan di Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan oleh Mahkamah Syar’iyah
Propinsi NAD, Putroe Kande Foundation dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, hal. 3.
88
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan Dan Masalah Pelaksanaanya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1976, hal.87.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
60
Perwalian bagi anak-anak yatim piatu di Aceh pasca tsunami adalah suatu persoalan yang cukup pelik. Hal ini bukan saja terkait dengan pemeliharaan dan
pengasuhan anak-anak yatim tersebut, tetapi juga menyangkut status harta benda yang ditinggalkan oleh orang tua mereka. Selain itu, masih terdapat berbagai
persoalan lainnya yang bertalian dengan perwalian, antara lain pemahaman terhadap konsep perwalian dalam masyarakat Aceh. Masih minimnya jumlah wali yang
ditunjuk atau ditetapkan melalui mekanisme hukum formal, dan realitas pelaksanaan perwalian di lapangan yang belum sesuai sepenuhnya dengan peraturan perundang-
undangan. Beberapa ketentuan formal, seperti Pasal 50 ayat 2 Undang-Undang
Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 dan pasal 107 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa perwalian itu mencakup pribadi anak yang bersangkutan dan
harta bendanya, begitu juga Adat Aceh tidak berbeda mengenai cakupan perwalian ini. Akan tetapi, perwalian resmi yang mencakup kedua hal tersebut diri dan harta
tidak banyak terjadi di Aceh pasca Tsunami, khususnya karena terdapat
kecenderungan bahwa perwalian formal pada umumnya dilakukan hanya untuk anak yatim yang memiliki harta warisan. Sementara itu, anak-anak yatim yang miskin
dan tidak mempunyai harta warisan dari orang tuanya, penunjukkan atau penetapan wali bagi mereka secara resmi oleh pengadilan seringkali kurang mendapat perhatian
dari sanak kerabat terdekat dari anak yatim tersebut. “Minimnya perhatian terhadap
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
61
proses administrasi perwalian bagi anak yatim yang miskin tampaknya berhubungan erat dengan keberadaan harta warisan yang dimiliki oleh anak yatim”.
89
Namun bila kita melihat perwalian yang diatur dalam hukum adat, seringkali hanya terdapat sedikit perbedaan antara hukum formal, karena kedua-duanya
didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Untuk lebih jelasnya perwalian di Aceh dapat kita lihat dalan tabel berikut:
Table 1: Perwalian Dalam Masyarakat Aceh
90
Wali Pengasuh Tanggung jawab
Orang
Pengasuh Utama Bertanggung jawab atas pengasuhan sehari-
hari dan
pertumbuhan anak
yang bersangkutan. Wali pengasuh ini tidak berhak
untuk mewakili atau bertindak atas nama anak tersebut.
Ibunya anak
kalau masih hidup,
atau perempuan
dari sanak
keluarga pihak ibu
.
Wali Warisan Pengelolaan warisan anak dan harta benda
lainnya dan menjamin bahwa harta kekayaan anak digunakan untuk mem biayai keperluan
sehari-hari anak tersebut. Laki-laki dari
sanak keluarga
pihak ayah
biasanya seorang
paman.
Wali Perkawinan Hanya berlaku untuk anak perempuan. Wali
Perkawinan adalah
orang yang
menyampaikan Persetujuan dari pengantin perempuan dalam upacara perkawinan Islam.
Menurut mazhab Syafi’i yang dianut luas di Indonesia persetujuan dari wali perkawinan
bersifat esensial dan wali harus adalah laki- laki.
Laki-laki sanak
keluarga dari pihak
ayah biasanya
seorang paman.
89
Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syariah Banda Aceh, Wawancara, Oktober 2012
90
IDLO International Development Law Organization, Op. Cit. hal. 22
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
62
Melihat kondisi perwalian yang demikian pelaksanaan dan pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali tidak dijalankan seperti ketentuan yang tersebut dalam
Undang-undang, maka seharusnya dalam kondisi demikian
Pengadilanlah yang berwenang dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara mengenai perwalian tersebut.
Khususnya dalam konteks Aceh, dimana setelah bencana gempa dan tsunami, terdapat banyak sekali anak-anak yatim yang membutuhkan suatu kepastian hukum
dalam kedudukan perwalian, maka diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat, “Menurut data dari Mahkamah Syar’iyah menunjukkan terdapat sekitar 20.000 anak
yatim di Aceh yang tidak memiliki kepastian hukum dalam perwalian.”
91
Melihat kondisi yang demikian Majelis Pemusyarawatan Ulama MPU juga mengeluarkan beberapa fatwa pendapat hukum yang dikeluarkan berkenaan dengan
perwalian tersebut, seperti Fatwa MPU No.32005, yang menyatakan bahwa Makamah Syariyah berwenang dalam mengawasi perwalian anak-anak yatim piatu
akibat tsunami, dimana fatwa tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan hukum tentang perwalian.
Fatwa MPU Nomor 3 tahun 2005 yang dikeluarkan pada bulan April 2005 tampaknya bermaksud merevisi fatwa sebelumnya. Fatwa ini menyatakan
“Anak yatim yang tidak ada lagi wali nashab, atau washi dapat ditetapkan pengasuhannya oleh MahkamahSyar’iyah dengan biaya dari Baitul Mal kalau
anak tersebut tidak memiliki biaya hidup maka Mahkamah Syar’iyah
91
Armia Ibrahim, Hakim di Mahkamah Syariah Aceh, Wawancara, Oktober 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
63
berkewajiban mengawasi pelaksanaannya.”
92
Dengan kata lain Baitul Mal yang melaksanakan perwalian bagi anak yatim yang tidak ada lagi wali nashab atau
washi dan tidak memiliki biaya hidup, dengan penujukan dan pengawasan dari Mahkamah Syar’iyah.
Melalui fatwa ini, MPU menekankan perlunya perwalian dilakukan secara formal. Namum menilai fungsi dan tugasnya yang tidak boleh memihak selaku
lembaga peradilan maka menyangkut pengawasan terutama terhadap anak dan hartanya yang berada dibawah perwalian dilakukan oleh Baitul Mal, dan dalam
prosesnya akan diawasi oleh Mahkamah Syariyah. Walaupun fatwa tidak memiliki status hukum formal, tetapi
fatwa sangat berpengaruh terhadap penentuan hukum di Aceh karena produk peraturan- peraturan
lokal di Aceh yang menyangkut hukum Syar’iyah melibatkan pula pihak Majelis Pemusyarawatan Ulama. Seperti yang tersebut dalam Undang - undang nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Bab XIX Pasal 138 yang ayat-ayatnya berbunyi sebagai berikut:
1MPU dibentuk di AcehKabupatenKota yang angotanya terdiri atas ulama dan cendikiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam;
2MPU sebagai dimaksud pada ayat 1 bersifat idenpenden dan pengurusanya dipilih dalam musyawarah ulama;
92
Syamsul Rizal, Staf kantor Majelis Pemusyarawatan Ulama Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam , Wawancara, Oktober 2012.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
64
3MPU berkedudukan sebagai mitra pemerintah Aceh, KabupatenKota serta DPRA dan DPRK;
4Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun
Aceh. Tugas dan fungsi Majelis Pemusyarawatan Ulama tersebut adalah sebagai
berikut: 1. Menetapkan fatwa hukum Syari’at Islam.
2. Memberikan peyuluhan Syari’at kepada masyarakat 3. Memberukan pertimbangan, bimbingan, dan saran kepada Eksekutif, legeslatif
dan Yudikatif dalam menentukan kebijakan daerah terutama dibidang pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan dan tatanan ekonomi yang
Islami; 4. Memantau kebijakan daerah agar berjalan sesuai dengan tuntutan Syari’at
Islam.
93
Hal tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Aceh yang relijius, yang menjujung tinggi adat istiadat dan telah menempatkan ulama pada peran yang
terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Penunjukan Wali Oleh Pengadilan di Aceh