Pertanyaan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

6 Berdasarkan keempat pertimbangan di atas, tarekat Syattariyah yang menjadi subjek dalam penelitian ini akan dilihat sebagai agen perubahan yang berkontribusi dalam mempengaruhi dinamika perubahan sosial di Cirebon. Adapun perubahan sosial yang dimaksud ialah perkembangan tiga institusi sosial keraton, pondok pesantren, dan industri batik di Cirebon yang telah mengalami banyak perubahan akibat proses modernisasi. Kajian perubahan sosial dalam penelitian ini termasuk dalam tataran messo, di mana organisasi tarekat Syattariyah menjadi agen perubahan, sementara perkembangan institusi sosial menjadi titik tolak analisis untuk melihat perubahan sosial yang terjadi, seperti perubahan masyarakat Hindu ke Islam, modernisasi keraton dan pondok pesantren, serta berkembangnya industri batik di Trusmi. Dalam konteks ini, peneliti hendak mengkaji melalui pendekatan sosio- historis dengan mengaitkan antara aspek sejarah dan fenomena sosial yang terjadi; perihal kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan berbagai institusi sosial di Cirebon. Masalah penelitian ini penting untuk dikaji, mengingat masih sedikit penelitian berbasis sosiologi, khususnya sosiologi agama yang mengkaji kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial.

B. Pertanyaan Masalah

Permasalahan utama yang diteliti dalam penelitian ini yaitu kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial di Cirebon. Secara khusus pertanyaan masalah penelitian ini meliputi: 7 1. Bagaimana sejarah, perkembangan, ajaran dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon? 2. Bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini ialah untuk menjelaskan kontribusi Tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon Jawa Barat. Secara khusus, tujuan penelitian ini meliputi: 1. Menjelaskan sejarah, perkembangan, ajaran, dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon. 2. Menjelaskan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik? C.2. Manfaat Penelitian C.2.1 Manfaat Akademis Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: i memberikan penjelasan analitis berbasis sosiologis tentang kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial; ii memperkaya khazanah intelektual sosiologi agama tentang kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial. 8 C.2.2 Manfaat Praktis Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan rujukan bagi para praktisi atau instansi, seperti: Departemen Agama RI, Majelis Ulama Indonesia, pihak keraton, pondok pesantren Buntet, serta pemerintah kotakabupaten Cirebon, agar dapat melahirkan kebijakan untuk memberdayakan dan mendukung aktivitas tarekat Syattariyah di pengguron, keraton, pesantren, ataupun industri batik di Cirebon.

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa hasil kajian tarekat yang peneliti temukan, terdapat beberapa penelitian tentang tarekat yang berasal dari disiplin sosiologi dan interdisipliner yang relevan dengan penelitian ini. Berbagai penelitian tersebut menunjukan adanya persinggungan antara tarekat sebagai fokus penelitian dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dari kaitan antara tarekat dengan kehidupan sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Berikut adalah beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini baik dari segi permasalahan, konseptual, metodologi, maupun subjek yang diteliti. Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek sosial-budaya, terdapat penelitian Nur Syam, Fatuhurrahman, dan Darno. Penelitian Nur Syam 2013 mengkaji tentang “Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat fenomenologis dengan melakukan observasi, wawancara, dan kajian pustaka selama 3 bulan. Kajian yang dilakukaan di desa Kuanyar, Jawa Tengah ini menggambarkan bagaimana kehidupan 9 religiusitas petani tarekat dalam interaksinya dengan kehidupan sosial-budaya lokal. Hasil penelitian Nur Syam menjelaskan bahwa penganut tarekat bukanlah seorang yang hidup di dalam dunianya sendiri, namun mereka adalah individu yang hidup di dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat di dalam kegitan sosio- religius seperti upacara sambatan, pengajian umum, dan mengikuti kegiatan sosial maupun ekonomi yang sifatnya profan. Penelitian Nur Syam memiliki kesamaan subjek, namun dalam wialayah yang berbeda. Penelitian ini lebih bersifat menggambarkan keseharian penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar secara fenomenologis. Berbeda dengan Nur Syam, Penelitian Oman Fathurahman 2003 tentang “Tarekat Syattariyah di Minangkabau” lebih bersifat interdisipliner yang mengkaji aspek filologi naskah tarekat dengan aspek sosiologis perkembangan, ajaran, dan dinamika tarekat Syattariyah di Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, melalui analisa teks dengan menyertakan 10 manuskrip tentang tarekat Syattariyah dari Minangkabau dan dua naskah dari Cirebon dan Giriloyo. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19 ajaran Syattariyah di Minangkabau terlepas dari doktrin wahdatul wujud yang dipandang bertentangan dengan ajaran Ahlussunah wal Jamaah, yang mana hal ini menjadikannya terlepasnya dari ajaran tersebut dan menjadi suatu kekhasan tarekat Syattariyah di Minangkabau, yang berbeda dengan di tanah Jawa dan Sunda. Temuan lain dari penelitian ini ialah bahwa setelah bersentuhan dengan budaya lokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyah menjadi banyak dipengaruhi dan sarat akan nuansa lokal. Hal ini mencerminkan suatu kelenturan dan fleksibilitas 10 ajaran tarekat Syattariyah. Penelitian Fathurrahman juga telah menjelaskan bagaimana masuknya tarekat Syattariyah ke nusantara melalui jalur Syeikh Abdurrauf. Sebagaimana relevansi dengan penelitian Nur Syam, penelitian Fathurrahman ini juga memiliki kesamaan subjek dalam konteks dan lokasi yang berbeda. Namun, penelitian Fathurrahman terlalu berfokus pada aspek filologi yang terbatas pada ketersediaan teks dan kurang mendalami aspek sosiologis ketika membahas tradisi budaya lokal. Darno 1995 juga telah meneliti tentang “Studi Kasus Tarekat Syathariyah di Kecamatan Karangrejo, Tulung-Agung, Jawa Timur”. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui insturmen wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, Darno berusaha menggali tentang sejarah, ajaran, ritual, struktur tarekat, dan relasi sosial tarekat. Hasil penelitian Darno menggambarkan bahwa tarekat Syattariyah masuk ke Kec. Karangrejo sejak tahun 1951 yang dibawa oleh H.Dimyati, yang mana ajaran tarekat ini meliputi tentang hakekat Tuhan, anasir diri manusia jasad dan ruh yang terdiri dari 4 anasir; air, tanah, api, dan udara, dan hakikat dunia yang akan terjadi kerusakan apabila terputus washitah mata- rantai guru. Darno juga menjelaskan ritual peribadahannya shalat, dizikir, doa- doa khusus, dan sedekah sera hubungan tarekat Syattariyah di Tulungrejo dengan masyarakat setempat, tokoh agama, dan pejabat pemerintahan yang bersifat terbuka. Namun, penelitian ini terlalu bersifat deskriptif yang kurang menjelaskan aspek analitis prihal kaitan tarekat dan masyarakat. Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek pendidikan dapat dilihat dari penelitian Martin, Muhaimin, dan Zulkifli. Martin van Bruinessen 1999 telah 11 mengkaji tentang “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”. Kajian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat etnografis melalui instrumen kajian teks, observasi, dan wawancara. Martin menjelaskan adanya keterkaitan antara tradisi keilmuan Islam dalam kitab-kitab kuning di pesantren dengan penyebaran Islam di Indonesia oleh para ulama tasawuf dengan berbagai aliran tarekat yang berbeda. Hasil dari penelitian ini berkesimpulan bahwa khazanah intelektual di pesantren yang telah ada sejak era walisongo dan bersumber dari dominasi tradisi keilmuan Islam di Hijaz dari para ulama Kurdi, Timur Tengah. Penelitian ini telah secara apik menjelaskan hubungan antara tarekat dan tradisi keilmuan di Indonesia, namun Martin tidak secara khusus membahas suatu aliran tarekat tetapi beberapa aliran tarekat, seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Syadzaliyah sehingga pembahasan- nya terlalu melebar. Aspek antropologis dari penelitian yang berbasis etnografis ini sangat kental sehingga kurang membahas kaitan antara berbagai tarekat tersebut dengan kehidupan masyarakat di mana mereka berada. Dengan metode yang sama dengan Martin, Muhaimin A.G. 1995 telah melakukan penelitian berbentuk etnografi tentang uraian mendalam tentang tradisi sosial-keagamaan masyarakat Islam di Cirebon Jawa Barat ber judul “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanase Muslims ”. Temuan penelitian ini menjelaskan secara deskriptif dan holistik prihal berbagai aspek tradisi keagamaan di Cirebon, meliputi sistem kepercayaan dan mitologi masyarakat Cirebon, perayaan hari-hari besar Islam, ziarah kubur, serta tradisi dan tarekat di pesantren Buntet. Temuan tentang yang terakhir ini relevan dengan 12 permasalahan peneliti, di mana terdapat dua aliran tarekat di pesantren Buntet, yaitu tarekat Tijaniyah dan Syattariyah, yang keduanya berpengaruh terhadap ajaran keagamaan, aktivitas keagamaan, dan relasi sosial-pendidikan di Pesantren Buntet. Secara umum, penelitian ini telah cukup apik mendeskripsikan tentang kehidupan keagamaan dan tradisi Islam di masyarakat Cirebon, namun kurang fokus pada analisa tentang kaitan antara tarekat dengan pesantren. Zulkifli 2002 mengkaji tentang “Sufism in Java: the Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java”. Penelitian ini memiliki kesamaan metode dengan Martin dan Muhaimin, namun dengan analisis yang lebih mendalam. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pesantren dan para kyai di Jawa telah berperan dalam menanamkan tasawuf kepada para santrinya sehingga tumbuh pesat melalui institusi pesantren. Zulkifli melihat bahwa ibadah haji merupakan media dalam menghubungkan ulama Indonesia yang mengajar di Mekah Masjid Al-Haram, seperti Imam Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dengan para santri di Indonesia untuk menyalurkan ilmu tasawufnya sehingga terjadi relasi antara tradisi Jawa dan Mekah. Kemudian Zulkifli juga telah membandingkan antara dua pesantren di Jawa, yaitu: 1 Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur di bawah tradisi Syeikh Hasyim Asy‟ari yang telah me-maintenance tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah TQN di Jawa Timur; dan 2 Pesantren Suralaya, Jawa Barat di bawah pimpinan Abah Anom yang berhasil mengembangkan ajaran tasawuf TQN yang ditanamkan melalui pengajaran di pesantren dari satu genenrasi ke generasi melalui Pondok Remaja Inabah pondok rehabilitasi pemuda yang terjangkit narkoba. Penelitian ini telah menggambarkan 13 secara antropologis peranan institusi pesantren dalam melakukan maintenance ajaran tasawuf melalui metode yang dikembangkan di pesantren. Dalam kaitan tasawuf dengan institusi ekonomi terdapat beberapa penelitian dari Mu‟tashim dan Mulkhan, serta Lukman Hakim. Mu‟tashim dan Mulkhan 1998 meneliti tentang “Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri”. Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan sosio-ekonomi penganut tarekat Syadzaliyah di Kudus Kulon, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa relasi antara kehidupan spiritual dan sosial penganut tarekat Syadzaliyah tercermin dari tiga pusat kegiatan kehidupan mereka: rumah, pasar, dan masjid. Etos kerja yang bersumber dari ajaran tarekat berkembang menjadi dasar ekonomi produktif. Jaringan bisnis kaum tarekat Syadzaliyah menjadi suatu sistem yang memberi landasan kekuasan dan pengembangan ekonomi produktif. Di sini juga tercermin adanya dualisme, di mana di satu sisi mereka sangat fanatik terhadap ajaran tarekatnya, tetapi di satu sisi mereka bekerja keras pada waktu siang dalam usaha mencari untung dari kegiatan ekonomi yang dijalankan. Hasil penelitian ini menepis tuduhan bahwa kaum tarekat sangat skeptis terhadap kehidupan material, tetapi mereka juga turut andil dalam usaha bisnis dan kegiatan ekonomi yang mereka jalankan. Penelitian ini memiliki perbedaan dari segi subjek dan konteks penelitian. Namun, hasil kajian yang menggunakan metode kualitatif ini sangat relevan, yang telah mengaitkan antara tarekat dan institusi ekonomi secara sosiologis, di mana peneliti hendak melihat kaitan antara tarekat dengan industri batik. 14 Lukman Hakim 2003 telah meneliti tentang “Etos Kerja Penganut Tarekat Studi Kasus Terhadap Pengikut Tarekat Assyahadatain di Desa Gebang Kulon Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon ”. Penelitian ini mengkaji keterkaitan ajaran tarekat dan etos kerja ekonomi para penganutnya. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka, hasil penelitian ini menunujukan bahwa terdapat perbedaan etos kerja antara sesama anggota tarekat satu dengan yang lain yang dipengaruhi oleh pemahaman ajaran tarekat dan faktor-faktor lain kebutuhan hidup, penguasaan terhadap aset produksi, dan penguasaan pemasaran. Penelitian ini memiliki kesamaan wilayah kajian dan metode dengan penelitian peneliti, yaitu sama-sama meneliti kajian tentang tasawuf di Cirebon dengan menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya terletak pada subjek penelitiannya, yang mana Hakim mengkaji tentang tarekat Assyahadatain dan fokusnya hanya kepada perilaku etos kerja, sementara peneliti hendak mengkaji tarekat Syattariyah dalam kaitannya dengan perkembangan institusi sosial. Kendati berbeda, temuan Hakim ini telah menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara ajaran tarekat dengan perilaku ekonomi etos kerja para penganutnya sehingga sangat relevan dengan penelitian peneliti. Dalam kaitan antara tarekat dan aspek sosio-politik terdapat penelitian Thohir dan Hamdi yang melihatnya dari sisi historis. Ajid Thohir 2002 telah meneliti tentang “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Anti-Kolonialisme Tarekat Qadiriyah- Naqsyabandiyah di Pulau Jawa”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat telaah historis dengan format kajian pustaka. Penelitian ini menggambarkan bagaimana Tarekat Qadiriyah wa 15 Naqsabandiyah TQN mengubah peran dan fungsinya dari sistem sosial-organik ke sistem religio-politik. Fenomena perubahan sosial politik di Indonesia dari kesultanan ke kolonialisme pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 menjadi faktor utama TQN bertransformasi ke gerakan politik menentang kolonialis Belanda. Penelitian ini menjelaskan bahwa ikatan solidaritas sufi yang didukung oleh kharisma suci telah menjadi jembatan efektif dalam menggalang konsolidasi dan membangun gerakan berideologi anti-kolonial. Penelitian Thohir ini memiliki perbedaan metodologi yang lebih bersifat historis dan terbatas pada data-data sejarah. Penelitian Thohir juga kurang menjelasakan perkembangan gerakan sosial TQN dari sisi sosiologis pada masa saat ini. Dengan mengaitkan antara sejarah dan perkembangan saat ini, Mohammad Hamdi 2009 telah mengkaji tentang “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon ”. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika, sejarah, ajaran, dan kegiatan tarekat Syattariyah di lingkungan kraton. Melalui metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, studi pustaka, dan dokumentasi, penelitian Hamdi menemukan bahwa: i Secara historis, masuknya tarekat Syattariyah ke Cirebon melalui dua jalur, yaitu melalui jalur Syeikh Datul Kahfi pada masa awal penyebaran Islam sekitar abad ke-15 M, dan melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan; ii Ajaran wajib tarekat ini meliputi kegiatan bai’at, shalat, puasa, dzikir, dan pengjian di pengguron-pengguron; iii Dinamika perkembangan tarekat Syattariyah di keraton bersifat fluktuatif, naik-turun dari masa ke masa; iv Sekitar tahun 2009 perkembangan dan kuantitas jamaah tarekat ini sedang menurun yang disinyalir telah dipengaruhi arus modernisasi. 16 Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian berbasis historis. Namun secara implisit penelitian ini menggambarkan bahwa tarekat sejak dulu telah berafiliasi dengan keraton, di mana keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan, hingga terjadi perubahan di mana keraton saat ini hanya berfungsi sebagai pusat kultural di Cirebon. Penelitian Hamdi juga kurang mengeksplor kaitan antara tarekat dengan kehidupan keraton saat ini sehingga pembahasannya terlalu terfokus pada deskripsi sejarah tarekat Syattariyah di keraton Cirebon. Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian Selo Soemardjan dan Hiroko Horikosi. Penelitian Selo Seomardjan 1961 tentang “Perubahan Sosial di Yogyakarta” merupakan kajian sosio-historis tentang perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan yang terjadi di Yogyakarta sejak masa kolonial Belanda 1755-1942, masa kolonial Jepang 1942-1945 hingga masa awal kemerdekaan Indonesia 1945-1950an. Observasi, wawancara mendalam, dan kajian historis atas naskah-naskah teks kuno merupakan instrumen yang melandasi metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif ini. Dari hasil studi ini, Soemardjan menggambarkan suatu proses perubahan sosial berdasarkan berbagai karakteristik khusus, seperti perubahan fungsi kesultanan yang fluktuatif dari masa ke masa, perubahan sistem ekonomi di pedesaan yang berubah dari sistem agraris beralih ke sistem produksi, maupun perubahan pendidikan dan budaya, serta hambatan- hambatan perubahan yang terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Yang terpenting dalam penelitian ini adalah relevansinya tentang penjelasan agen perubahan agent of change sebagai pelopor perubahan sekaligus dipengaruhi 17 pula oleh perubahan yang diciptakan. Sultan Yogyakarta dipandang sebagai agen yang memainkan peran penting sebagai pelopor perubahan sosial. Dalam hal ini, lembaga poltik, keagamaan, ekonomi dan pendidikan terjalin satu sama lain sehingga perubahan penting yang terjadi pada suatu lembaga mungkin sekali diikuti oleh perubahan pada lembaga lainnya Soemardjan, 1961:304. Sementara Soemardjan lebih mengaitkan sultan sebagai agen perubahan, p enelitian Hiroko Horikoshi 1987 tentang “Kyai dan Perubahan Sosial” lebih menitikberatkan tokoh agama sebagai agen perubahan. Penelitian ini menjelaskan peranan kyai dan ulama yang tidak lagi berperan sebagai cultural broker makelar budaya sebagaimana asumsi C. Geertz . Horikoshi telah menghadirkan suatu studi etnografis yang menjelaskan bahwa kyai dan ulama sebagai tokoh kharismatik telah mampu berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa. Dengan otoritas yang dimiliki, kyai juga mampu menjadi agen perubahan dengan menggandeng modernisasi dan tidak hanya menyaring atau menyampaikannya saja. Kyai telah mampu membangun desa dan turut andil dalam usaha memajukan ekonomi masyarakat desa. Penelitian ini cukup relevan untuk menggambarkan bagaiaman agen kyai berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa. Kedua penelitian ini telah menggambarkan agen perubahan yang memiliki berkontribusi penting dalam mewujudkan perubahan sosial. Baik kyai maupun sultan keraton memiliki otoritas kekuasaan di mana perubahan fungsi yang dialaminya telah mempengaruhi perubahan lingkungan sosialnya. Kedua penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini, telah apik menggambarkan secara sosiologis peran agen dalam mempengaruhi perubahan. Namun, peneliti 18 belum menemukan penelitian yang secara khusus menjelasakan kaitan antara tarekat dengan perubahan sosial dari perspektif sosiologis. Berdasarkan 12 penelitian terdahulu yang terkait dengan kaitan antara tarekat dengan perubahan sosial, pada umumnya kesemuanya menggunakan metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Sebagian penelitian juga menggunakan kajian interdisipliner, yang mengaitkan antara disiplin sosiologi dengan filologi, antropologi, politik, dan ekonomi, yang menggunakan metode fenomenologi, etnografis, kajian historis, atau kajian manuskrip. Kesemua penelitian tersebut cukup relevan dengan topik yang hendak peneliti kaji, yaitu tasawuf dan perubahan sosial. Adapun kelemahan berbagai penelitian terdahulu tersebut antara lain: i kebanyakan penelitian tarekat Syattariyah hanya bersifat deskriptif-etnografis; ii ketika membahas kaitan antara tarekat dengan perekembangan masyarakat secara interdisipliner, kebanyakan penelitian terlalu terfokus pada satu sudut pandang disiplin ilmu saja sehingga menimbulkan ketimpangan analisis; iii belum ada penelitian yang membahas kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang mencakup perkembangan institusi sosial secara komprehensif. Oleh karena itu, peneliti hendak mengisi lubang kosong yang terdapat dari literatur penelitian tentang tarekat Syattariyah dari perspektif sosiologi. Penelitian ini penting untuk menjelaskan kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang dilihat dari perkembangan institusi sosial, meliputi; keraton, pondok pesantren, dan industri batik. 19

E. Kerangka Teoritis