Peran Musyid Dalam Perspektif Strukturasi

119

BAB IV KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH

TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL DI CIREBON

A. Peran Musyid Dalam Perspektif Strukturasi

Untuk memasuki pembahasan tentang kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial di Cirebon, pertama-tama perlu dibahas tentang peran mursyid dalam sebuah organisasi tarekat. Pembahasan tentang peran mursyid ini menjadi penting mengingat dalam organisasi tarekat mursyid merupakan sosok sentral dari segala aktivitas dan praktik-praktik sosial para murid dan institusi sosial di mana mereka berada. Oleh karena itu, peran mursyid sebagai agency pelaku tindakan sosial dari perspektif strukturasi akan dikomparasikan dengan peran mursyid dari perspektif tarekat. Dari perspektif tarekat, mursyid dalam dunia tarekat merupakan “pembimbing atau guru spiritual yang diyakini oleh para muridnya sebagai pewaris ajaran Nabi, yang menuntun para murid menapaki jalan spiritual menuju kedekatan ilahiah” Fathurrahman, 2008:151. Berdasarkan definisi ini, mursyid berperan sebagai guru spiritual yang memiliki otoritas penuh dalam membimbing para muridnya dan mengarahkan segala perilaku dan pandangan para muridnya. 120 Mursyid juga berfungsi sebagai pembmbing, pimpinan, sekaligus tokoh sentral bagi para murid atau pengikutnya. Hubungan antara mursyid dan murid dapat diidentifikasi ibarat hubungan antara Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat selaku pengikutnya. Para murid dalam lingkaran kelompok tarekat terpusat pada mursyid sebagai tokoh sentral. Oleh karena itu, segala perilaku, tata cara ibadah, dan dzikir-dzikir yang dibaca tidak lepas dari ajaran yang disampaikan oleh mursyid kepada muridnya Mu‟tashim dan Mulkhan, 1998:3. Dalam ranah aktivitas sosial, peran mursyid juga dilihat sebagai orang suci. Mursyid di sini diyakini sebagai orang suci tempat bergantung para pengikutnya dalam segala persoalan, bukan hanya masalah agama. Dalam hal mengenai pernikahan, pekerjaan, ataupun masalah politik, para murid kerap berkonsultasi kepada mursyidnya di sela kegiatan tawajjuh tatap muka. Mursyid memberikan nasihat, bimbingan, dan amalan-amalan yang kerap diyakini sebagai solusi bagi berbagai masalah kehidupan yang dihadapi para murid. Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa dari perspektif dunia tarekat, peran mursyid bersifat kompleks, yang tidak hanya menangani masalah spiritual saja, tetapi juga masalah-masalah umum dari para muridnya. Maka demikian, dapat disimpulkan bahwa peran mursyid dari perspektif tarekat antara lain: 1 Gurupembimbing spiritual; 2 Pimpinan suatu organisasi tarekat; dan 3 Tokoh suci yang dapat menjawab masalah-masalah para muridnya, baik masalah spiritual, sosial, pekerjaan, ataupun rumah tangga. 121 Dalam tarekat, seorang mursyid juga memiliki prasyarat yang tidak ringan di mana tidak sembarang orang dapat menjadi mursyid. Seorang mursyid mesti memiliki predikat wali, dalam artian seorang mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang mursyid yang “kamil mukammil”, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai insan kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para murid tarekatnya. Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon mursyid tarekat Syattariyah di pengguron Tarekat Islam mengatkan: Untuk menjadi mursyid itu, pertama, dari ilmunya. Ilmu yang sejatinya, yang diamalkan, baru disampaikan, ilmu hakikat. Kedua, dari silsilahnya apakah keturunannya nyambung sampai ke Nabi Saw. Ketiga, siapa gurunya, dari mana sanadnya. Terakhir, dia diakui oleh rama guru yang lain tentang keilmuan Berdasarkan kriteria atau prinsip di atas, maka tidak sembarang orang bisa menjadi mursyid yang bisa mengijazahkan atau membai‟at sesorang untuk masuk ke dalam suatu organisasi tarekat. Harus ada prasyarat dan tahapan-tahapan untuk menjadi mursyid tarekat. Mursyid harus cakap secara spiritual dan mencapai derajat kewalian yang diakui oleh para mursyid lainnya. Mursyid juga harus cakap dari segi keilmuan, dan mursyid juga harus memiliki sanad yang bersambung sampai ke Rasulullah Saw. baik dari segi keturunan maupun keilmuan. Oleh karena itu, sosok mursyid begitu kharismatik di mata para muridnya sehingga memiliki otoritas yang tinggi dalam mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan berprilaku bagi murid-muridnya. Demikianlah sosok dan peran mursyid dari sudut pandang dunia ketarekatan yang penuh aspek spiritual dan lingkup keagamaan. 122 Adapun dari sudut pandang sosiologis, peranan mursyid dari perspektif teori strukturasi dapat dilihat sebagai agency atau agent. Menurut teori strukturasi, agen agent merupakan aktor yang melakukan tindakan dan aktivitas sosial. Mursyid sebagai aktor berartikan bahwa mursyid melakukan tindakan dan aktivitas sosial yang tercermin dari praktik-praktik sosial yang dilakukan secara berulang. Praktik-praktik sosial tersebut atau tindakan mursyid tercermin dari perilaku sehari-harinya yang diikuti dan dijadikan role model oleh para muridnya. Dalam prihal agency ini, Giddens 1984:5 menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek penting yang terdapat pada agen dalam praktek-praktek sosialnya, yaitu: i reflective monitoring of action memonitor tindakan secara reflektif, yaitu gambaran tindakan sehari-hari aktor, meliputi hubungan aktor dengan orang lain di mana aktor tidak hanya memonitor tindakanya secara kontinyu, tetapi juga aspek-aspek sosial dan psikologis di mana mereka berada; ii rasionalization of action rasionalisasi tindakan, yaitu aktor secara rutin membangun “theoritical understanding ”-nya terhadap tindakan-tindakannya; iii motivation of action motivasi tindakan, yaitu potensi tujuan yang mendorong aktor untuk bertindak. Pertama, mursyid melakukan reflexive monitoring of action memonitor tindakan secara reflektif. Hal ini tergambar dari aktivitas tawajuhan antara mursyid dan para murid di pengguron. Dalam tawajuhan, dilakukan dzikir bersama dan pemberian materi tarekat. Di sini, mursyid atau rama guru memonitor tindakannya yang mencerminkan dirinya sebagai mursyid, baik dari segi tata bicara, perilakunya, ataupun segala apa yang disampaikannya. Hubungan mursyid dan murid di sini merupakan hubungan antara guru yang superior dan 123 murid yang inferior. Murid mengalami proses internalisasi tindakan mursyid ke dalam dirinya melalui pemberian materi tarekat yang bersumber dari kitab tarekat yang dipelajari. Mursyid pun mengikuti tata-prilaku yang tercantum dalam kitab tersebut sehingga tindakan-tindakan dan praktik-praktik sosial antara mursyid dan murid menjadi kesinambungan yang dicapai melalui proses reflexive monitoring. Reflexive monitoring tersebut tidak hanya sebatas prihal spiritual saja, tetapi juga aspek sosial berupa tata pergaulan murid dan mursyid, serta murid dan murid. Hubungan murid dan mursyid sebagaimana telah dijelaskan, berlangsung secara superior-inferior atau patron-klien, di mana mursyid berperan sebagai tokoh sentral bagi para murid sehingga murid secara sungguh-sungguh dan sukarela mengikuti bimbingan dari mursyid. Hubungan antara murid dan murid juga berlangsung melalui proses reflexive monitoring ini. Murid dan murid terhubung dalam jalinan persaudaraan sesama murid tarekat yang disebut ikhwan saudara laki-laki dan akhwat saudara perempuan. Memang ketika murid-murid atau salik telah dibai‟at dan masuk ke dalam organisasi tarekat, mereka diibaratkan telah terhubung menjadi satu saudara dan satu keluarga sebagai sesama pengamal tarekat Syattariyah. Mursyid menanamkan hal ini sebagai suatu proses monitoring sehingga para murid merefleksikan perasaan kekeluargaan ketika dalam berkumpul bersama. Dari hasil observasi ketika kegiatan Rajaban, para murid dari berbagai daerah seperti wilayah sekitar Cirebon, Kuningan, Majalengka, bahkan Purwokerto, berkumpul bersama mengikuti dzikiran dan shalawatan tanpa canggung satu sama lain. Mereka saling berbincang, ber-dzikir, dan merasa bahwa mereka bersaudara satu 124 sama lain, sekalipun jarang bertemu. Bila sesama ikhwan mengalami musibah atau kesulitan, ikhwan yang lain tak segan membantunya, baik secara materil maupun non-materil. Dengan kata lain, ikatan sosial dari anggota tarekat terefleksikan sebagai suatu persaudaraan sesama anggota tarekat. Melalui kegiatan tawajuhan pertemuan mursyid dan murid, mursyid mempengaruhi tindakan para murid tarekat secara kontinyu untuk mengikuti bimbingannya yang berdasarakan kitab tarekat Syattariyah, yang kemudian turut memengaruhi aspek hubungan sosial dan psikologis para ikhwan tarekat. Kedua, mursyid melakukan razionalization of action merasionalisasikan tindakan. Dalam kegiatan-kegiatan ketarekatan baik dalam skala mingguan, bulanan, ataupun tahunan, mursyid merasionalkan tindakan-tindakannya sebagai suatu yang rasional. Melalui dzikir bersama setiap minggunya para mursyid merasionalkan kepada muridnya bahwa dzikir bersama yang didalamnya terdapat proses tawasul, mereka terhubung kepada leluhurnya seperti para mursyid terdahulu, Syeikh Abdullah Asy-Syattari, Sunan Gunung Jati, bahkan sampai kepada Rasulullah Saw. Dalam kegiatan muludan misalnya, mereka merasa bahwa kegiatan muludan merupakan bentuk kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Dala m setiap kegiatan tersebut, mursyid berperan sebagai “penghubung” untuk sampai kepada jalan Ilahiyah. Para murid pun senantiasa mengikuti bimbingan dan kegiatan dari organisasi tarekat ini sebagai suatu bentuk ta’dzim terhadap mursyidnya dan bentuk kecintaan mereka kepada guru spiritualnya. Kemudian dalam proses bai’at sumpah setia pun demikian. Memang sejatinya dalam proses bai’at, murid berikar dihadapan gurunya, namun sejatinya 125 orang yang masuk tarekat berikrar kepada Tuhannya. Proses bai’at antara mursyid dan murid dirasionalkan menjadi proses bai’at antara mahluq dan khaliq. Kesetiaan terhadap mursyid adalah kesetiaan terhadap Tuhan. Namun bukan berarti mursyid adalah Tuhan, tetapi mursyid merupakan wakil Tuhan, pengganti Nabi, yang dipercaya sebagai tokoh kharismatik yang dapat membimbing menuju jalan Ketuhanan yang sesuai dengan jalan para wali dan Nabi. Oleh karena itu, murid-murid tarekat begitu taat kepada mursyidnya karena memandang mursyid sebagai wakil Tuhan dalam membimbing jalan spiritual para muridnya. Peran mursyid di sini merasionalkan segala tindakan ketarekatan dengan memberikan makna-makna simbolis dari setiap kegiatan yang dijalankan. Ketiga, mursyid melakukan motivation of action motivasi tindakan, yaitu potensi atau tujuan yang mendorong aktor untuk bertindak. Dalam setiap pertemuan dengan muridnya, mursyid selalu memberikan motivasi, dorongan, dan hakikat tujuan dari setiap tindakan yang dilakukan oleh muridnya dalam konteks tarekat. Ketika mursyid memberikan mengijazahkan suatu amalan, dzikir, atau hizb kepada muridnya, maka mursyid mengiringinya dengan motivasi bahwa melalui dzikir tersebut akan mencapaikan pada suatu kenikmatan spiritual, atau tingkatan martabah yang lebih tinggi kepada muridnya. Motivasi ini bertujuan untuk membimbing para murid dalam menapaki tingkatan-tingkatan spiritual maqamat dalam ranah tasawuf hingga sampai kepada Tuhannya. Ini merupakan salah satu aspek mistisme dalam tarekat, namun merupakan hal yang rasional bagi mereka yang didalamnya mursyid memotivasi muridnya untuk melakukan suatu tindakan yang sesuai tuntunan kitab-kitab tarekat. 126 Dengan demikian, peran mursyid sebagai agency dapat dilihat dari dua sudut pandang antara perspektif tarekat dan sosiologis lihat tabel 4.1. Dari perspektif tarekat mursyid berperan sebagai guru spiritual, pemimpin organisasi tarekat, dan pembimbing kehidupan murid. Namun dari perspektif sosiologis, mursyid memiliki peran, meliputi reflexive monitoring of action, rasionalization of action, dan motivation of action. Ketiga peranan ini merupakan penerapan dari peran mursyid sebagai gurupembimbing spiritual dan tokoh sentral dari organisasi tarekat sebagai agent dalam perspektif strukturasi. Mursyid senantiasa memonitor, memberikan penjelasan rasional, dan memotivasi tindakan-tindakan murid yang merupakan refleksi tindakannya berdasarkan ajaran kitab tarekat. Tabel 4.1 Perbandingan Peran Mursyid dari Perspektif Tarekat dan Strukturasi No Peran Mursyid Perspektif Tarekat Peran Mursyid Perspektif Strukturasi 1 Guru Pembimbing spiritual Memonitor tindakan murid secara reflektif 2 Pimpinan organisasi tarekat Merasionalisasikan tindakan- tindakan ketarekatan 3 Orang Suci Memotivasi tindakan-tindakan ketarekatan Dari perspektif teori strukturasi, dalam diri agent juga melekat power, yaitu kemampuan untuk mengubah sense of transformative capacity dan membuat perbedaan make a difference Giddens 1984:15. Mursyid sebagai agent yang memiliki power, dapat menciptakan perubahan dan perbedaan dari kharisma dan otoritas yang dimiliki. Power yang dimiliki didapat dari keilmuan dan kharisma yang dimiliki mursyid sehingga setiap orang yang berinteraksi dengannya dapat 127 tunduk dan taat padanya. Para mursyid dapat mempengaruhi murid untuk bertindak sesuai dengan bimbingannya. Dalam melakukan praktik-praktik sosial, mursyid juga memiliki power yang meliputi otonomi dan ketergantungan dalam kontinuitas ruang dan waktu. Otonomi dalam artian bahwa mursyid tidak terpengaruh oleh struktur yang ada sehingga ia berdiri secara otonom. Tapi di satu sisi, mursyid juga mengalami subordinat karena berafiliasi terhadap institusi lain seperti keraton atau pesantren. Namun ketika mursyid berhubungan dengan sultan, misalnya, sebagai pimpinan keraton, mursyid dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan keraton. Inilah yang disebut Giddens 1984:17 sebagai dialectic of control. Dengan demikian, power mursyid sebagai agency dapat bersifat dialektis, di satu sisi bersifat otonom terhadap institusi di mana tarekatnya berada, tetapi di satu sisi ia dapat bersifat sub-ordinat. Namun, sifat sub-ordinat ini dengan tanpa menghilangkan otonomi yang dimiliki mursyid. Oleh karenanya, power dari mursyid memiliki fleksibilitas dalam mempengaruhi sekitarnya sehingga memberikan ruang bagi mursyid sebagai agent untuk berkontribusi terhadap institusi-institusi di mana mereka berada.

B. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton