Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Industri Batik Trusmi

174

D. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Industri Batik Trusmi

Selain keraton dan pondok pesantren, industri batik Trusmi merupakan institusi sosial di Cirebon yang juga dipengaruhi oleh tarekat Syattariyah. Industri batik ini telah lama berkembang di Cirebon sejak masa kesultanan dahulu. Lambat laun, industri batik yang terpusat di wilayah desa Trusmi ini telah menjelma menjadi salah satu sentral industri di Cirebon dalam bidang tekstil. Adapun perkembangan tarekat di Trusmi saat ini, tidak lagi terdapat aktivitas ketarekatan sebagaimana di keraton dan pondok pesantren. Semenjak para mursyidnya wafat, tidak ada lagi pengganti yang meneruskan kegiatan tarekat. Saat ini hanya tersisa murid-murid tarekat yang bersifat sangat eksklusif dan menjalankan kehidupan bertarekat secara individual. Kyai Tonny, seorang sep sesepuhpimpinan pengurus makam kramat Mbah Trusmi menjelaskan: Kalau di sini ya sudah gak ada perkumpulan thoriqoh. Dulunya Naqsabandiyah ada, Syattariyah ada. Tapi sekarang sudah gak ada, karena para mursyidnya sudah meninggal. Ya dulu tempatnya di dekat makam keramat situ. Sampai sekarang juga masih kosong, gak ada apa-apanya, gak ada yang nempati. Walaupun sudah tidak ada lagi aktivitas ketarekatan di Trusmi, berbagai tradisi yang masih bertahan banyak dipengaruhi aspek-aspek tarekat khususnya kegiatan membatik. Berdasarkan data-data yang terkumpul baik dari sumber primer maupun skunder, tradisi membatik di Trusmi memiliki aspek-aspek simbolik, seperti motif batik, yang banyak memiliki filosofi dari ajaran tarekat. Selain itu, tradisi membatik dari masyarakat Trusmi juga pada awalnya dipelopori 175 oleh para penganut tarekat. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian ini akan lebih ditekankan pada kontribusi tarekat Syattariyah terhadap awal-mula perekembangan dan aspek-aspek simbolik batik Trusmi. Konsep yang digunakan untuk menganalisis kontribusi tarekat Syattariyah terhadap industri batik masih menggunakan konsep substantivies, yang terdiri dari legitimasi, signifikansi, dan dominasi. Para mursyid juga akan dilihat sebagai agency yang berperan dalam proses reflexive monitoring, rationalization, dan motivation of action. Konsep-konsep tersebut akan digunakan untuk menganalisis bagaimana mursyid tarekat Syattariyah berkontribusi terhadap perkembangan industri batik. Hasil dari analisis kontribusi tersebut ialah sebagai berikut. D.1. Pelopor Tradisi Membatik Kontribusi pertama dari tarekat Syattariyah terhadap industri batik ialah memelopori kegiatan membatik di Trusmi. Kegiatan membatik ini merupakan proses difusi tradisi membatik dari keraton ke Desa Trusmi oleh para murid tarekat. Rama Guru Bambang Irianto menjelaskan tentang awal-mula kegiatan membatik oleh para murid tarekat sebagai berikut: Jadi dulu di Pegajahan ada Pangeran Insan Kamil. Dia rama guru tarekat. Nah beliau muridnya banyak, dari sekian murid itu ada para petani yang dari Trusmi. Nah setelah petani-petani itu diajari tarekat Syattariyah. Sambil nunggu di sawah, mereka diajari membatik ragam hias keraton, yang ternyata memiliki makna simbolik tarekat Syattariyah. Simbol-simbol yang ada di bangunan keraton, semisal Singa Barong, Mega Mendung, itu dijadikan motif kain. Jadi semuanya bernuansa tarekat Syattariyah. Jadi Pangeran Insan Kamil semacam jembatan lah antara tarekat dan batik. Nah kemudian karena yang melukis, membatik itu laki- laki semua tidak ada 176 Jadi, kegiatan membatik pada awalnya dilakukan oleh para penganut tarekat yang berguru ke keraton. Mereka dulunya adalah para petani yang belajar tarekat kepada rama guru di keraton. Sambil menunggu padi yang belum menguning, mereka diajari cara-cara membatik. Setelah mahir membatik, mereka memakainya untuk pakaian sehari-hari. Lama-kelamaan masyarakat pun meminati hasil batik buatan para murid tarekat tersebut. Maka timbullah kegiatan ekonomi penganut tarekat dari hasil menjual batik buatannya. Inilah awal mula industri batik di Trusmi yang awalnya dipelopori oleh para penganut tarekat Syattariyah yang berasal dari Trusmi Irianto, 2015:41-42. Dalam perspektif strukturasi para mursyid atau rama guru telah melakukan proses motivation of action yaitu memotivasi para murid untuk melakukan kegiatan membatik guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan keluarga. Kasus yang demikian menggambarkan bahwa tarekat Syattariyah tidak menafikan atau menghambat perkembangan dalam hal keduniawian. Nyatanya tarekat telah dapat berkontribusi bagi awal-mula perkembangan batik di Trusmi. Kegiatan membatik oleh para anggota tarekat Syattariyah ini telah dimulai pada masa awal berdirinya Desa Trumi oleh Mbah Buyut Trusmi Bung Cikal, sekitar abad ke-17. Kemudian kegiatan membatik di Trusmi dan di keraton juga telah mengalami pasang surut. Terlebih pada masa kolonial abad ke-18 sampai 19, Cirebon mengalami berbagai macam masalah sosial seperti wabah penyakit, kelaparan, dan emigrasi masal. Pada tahun 1943 misalnya, Cirebon mengalami wabah kelaparan akut karena Cirebon yang awalnya merupakan produsen dan 177 pengekspor beras, dipaksa menanam kopi, gula, tarum, teh, dan cengkeh oleh Jepang, yang saat itu masih menjajah Indonesia Irianto, 2015:47. Walaupun banyak mengalami hambatan pada masa kolonial, kegiatan membatik di Trusmi masih bertahan dan terus dilakukan hingga saat ini. Salah seorang penganut tarekat yang masih menjalankan kegiatan membatik ialah Bibi Sanira. Beliau menghubungkan antara produsen batik di Trusmi dan sekitarnya dengan konsumen batik dari kalangan famili keraton. Dahulu ketika masih remaja, beliau merupakan murid tarekat dari pengguron Pegajahan, Keraton Kaprabonan. Karena sekarang sudah sepuh, beliau menurunkan keahliannya kepada anak dan cucunya. Tujuannya ialah melestarikan kegiatan membatik secara estafet, turun- temurun dari generasi ke generasi Irianto, 2015:52-53. Kemudian dapat dilihat bahwa walaupun Bibi Sanira selaku anggota tarekat dan pengrajin batik adalah seorang perempuan, awal mula kegiatan membatik ini dilakukan oleh laki-laki. Konsekuensi pembuatan batik yang mayoritas dilakukan oleh anggota tarekat laki-laki ialah batik yang dihasilkan lebih bersifat maskulin yang dicirikan oleh motifnya yang besar-besar dan tegakkaku yang berbeda dengan batik Solo atau Pekalongan yang bermotif larik lentur Irianto, 2015:42. Rama Guru Bambang Irianto mengatakan, “Seiring perkembangan zaman, yang membatik bergeser. Yang laki-laki semakin menyusut, ganti yang perempuan semua sampai sekarang. Tapi yang membuat sketsa awal itu masih laki-laki ”. Oleh karena itu, saat ini yang tersisa dari anggota tarekat yang masih membuat batik hanya perempuan. Kendati demikian, desain dan motif masih dibuat oleh laki-laki untuk mempertahankan ciri batik Cirebonan. 178 D.2. Makna Simbolik Batik Kontribusi kedua dari tarekat Syattariyah terhadap institusi industri batik di Trusmi ialah memberikan makna simbolik pada batik-batik Trusmi. Konsekuensi dari dipeloporinya batik oleh para murid tarekat ialah masuknya filosofi yang bersumber dari ajaran tarekat ke dalam motif batik yang dibuat sehingga motif batik yang dihasilkan mengandung makna-makna simbolik dari ajaran tarekat Irianto, 2015:42. Menurut salah seorang pengerajin batik di Trusmi, Bapak Katura AR.: “Jadi motif batik itu secara umum ada dua. Pertama itu pesisiran, kedua keratonan. Nah kalau pesisiran itu biasanya binatang, pohon-pohon di pesisir, seperti itu. Nah kalau keratonan ya yang ada di keraton, seperti singabarong, mega-mendung, paksi naga liman, sunyaragi, tiap keraton juga ada. Berdasarkan penjelasan Bapak Katura AR tersebut, secara umum klasifikasi motif batik Trusmi terbagi menjadi dua, yaitu batik keratonan dan batik pesisiran. Batik keratonan adalah batik yang terinspirasi dari simbol-simbol yang terdapat di keraton dan pengguron yang banyak memiliki nilai filosofis ajaran tarekat. Motifnya bermacam-macam, ada motif motif mega-mendung, paksi naga liman, dan motif-motif lainnya yang memiliki makna simbolik dari ajaran tarekat dari simbol-simbol di keraton. Kemudian motif batik pesisiran adalah batik yang terinspirasi dari binatang dan tumbuhan yang terdapat di pesisir, karena Cirebon memang kota yang terletak di pinggir laut. Motifnya antara lain teratai, kangkung, ikan, dan sebagainya. 179 Gambar 4.4 Motif Mega Mendung Pada Medium Ikat Kepala Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Sanggar Batik Katura tanggal 15 Mei 2015. Baik motif keratonan ataupun pesisiran, motif-motif tersebut memiliki makna filosofis dari ajaran tarekat karena memang para pembuatnya pada awalnya adalah para murid tarekat di pengguron. Makna-makna dari motif batik tersebut bersumber dari para mursyid yang mengajarkan tentang makna simbol- simbol tarekat dan diaplikasikan sebagai motif batik. Di sini para mursyid dan anggota tarekat berperan dalam proses signifikansi, yang mana mereka telah menyisipkan makna simbolik ajaran tarekat terhadap motif batik yang dibuat. Rama Guru Bambang Irianto 2015 dalam Makna Simbolik Batik Keraton Cirebon telah menjelaskan motif-motif batik yang memiliki makna simbolis ajaran tarekat. Berikut adalah uraian makna simbolis motif-motif batik Cirebonan yang diklasifikasikan menurut motif keratonan dan pesisiran: 180 1. Makna Simbolik Motif Batik Keratonan a Mega Mendung; Motif ini pertama kali dibuat oleh Pangeran Cakrabuana ketika melihat mega di atas kolam tempat beliau berwudhu, lalu memindahkannya ke banyu media lukis. Selain untuk batik, motif ini juga dipakai pada berbagai arsitektur keraton seperti jumeneng keraton Kasepuhan. Motif mega mendung berbentuk awan bergumpal-gumpal yang memiliki 3-7 gradasi warna. Saat ini motif batik mega mendung telah menjadi trademark ciri khas dari bati Trusmi Cirebon. Bagi para penganut tarekat, motif ini memiliki makna simbolik tentang konsistensi mengharapkan hujan rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya tanpa pilih kasih, Yang Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang taat dan selalu mejalankan perintah-Nya. b Singa Barong; Motif ini terinspirasi dari kereta Singa Barong yang dibuat pada tahun 1649 M yang sekarang ada di keraton Kasepuhan. Motif ini berbentuk mahluk ilustrasi dari gabungan tiga binatang yang melambangkan akulturasi tiga budaya buroq berasal dari tradisi Islam, gajah berasal dari tradisi HinduIndia, dan naga berasal dari tradisi Cina. Ini juga melambangkan bahwa kesultanan Cirebon menjalin hubungan multilateral dengan India dan Cina, terutama dalam perdagangan. Bagi para penganut tarekat, gabungan dari kesatuan tiga budaya itu divisualkan dalam bentuk trisula di belalai gajah tri berarti tiga dan 181 sula berarti tajam. Maknanya ialah tajamnya alam pikiran manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Makna ini diilhami dari ukiran di kereta Singa Barong yang bertuliskan inskripsi sastra Jawa yang berbunyi “witing guna saka kawruh dayane satulu”, artinya “asalnya kebijaksanaan berasal itu dari pengetahuan, maka jalankanlah dengan baik dan teguh”. c Ayam Alas; Motif ini bergambarkan ayam gunung jantan yang berdiri tegak di atas wedasan yang ditumbuhi tanaman rambat sekitarnya. Dari makna tarekat, ayam alas merupakan simbol kepemimpinan bahwa seorang pemimpin harus bisa berdiri tegas dan bertahan dalam segala kondisi, serta selalu menjadi panutan bagi sekelilingnya. Motif ini pernah dipakai oleh Sunan Gunung Jati saat jumenengan diangkat menjadi pemimpin negara dan pengembang islam di Jawa Barat yang berpusat di Cirebon yang bermakna bahwa pemimpin negara sekaligus pemimpin agama harus bisa tegas dan bijaksana, serta menjadi contoh bagi yang dipimpinnya. d Banjar Balong; Motif ini terinspirasi dari banjar balong Taman Air Sunyaragi, gua yang dahulu dipakai untuk pertapaan keluarga keraton Kacirebonan. Motif ini bergambarkan sepasang sayap sawat burung yang ingin terbang dan ditengahnya terdapat motif banjar balong. Dari sudut pandang tarekat, sawat ini bermakna kebergantungan mahluk pada 182 Tuhannya Yang Esa bahwa hanya kepada Dzat yang tunggal tempat bergantung dan berlindung. Banjar balong bermaknakan berderetnya fase kehidupan yang dilambangkan dengan balong sebagai wadah air kehidupan mulai dari alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam kubur, sampai alam akhirat, yang selalu dilalui oleh manusia. Motif ini banyak dibuat pada batik bagi keluarga keraton, dan juga dipakai sebagai simbol pengguron Kaprabonan. e Siti Inggil; Motif ini terinspirasi dari bagian Siti Inggil yang terdapat di keraton Kasepuhan dan Kanoman. Siti berarti tanah dan inggil berarti tinggi. Bagian keraton ini dipakai sultan untuk proses pegadilan dan tempat mengawasi para prajurit yang sedang latihan di alun-alun setiap hari Sabtu Saptonan. Siti Inggil juga berfungsi sebagai tempat dakwah yang kerap dipakai untuk menabuh Gamelan Sekati setiap acara muludanpanjang jimat sebagai media dakwah. Dari perspektif tarekat motif Siti Inggil ini berartikan bahwa keadilan harus ditegakan dan gamelan sekati berartikan tentang syahadatain dua kalimat syahadat di mana orang-orang Hindu yang ingin menyaksikan pertunjukan gamelan harus membaca kalimat syahadat. 2. Makna Simbolik Motif Batik Pesisiran a Pandan Wangi; Motif pandan wangi teinspirasi dari kebanyakan tanaman yang ada di pesisir. Tanaman pandan wangi merupakan tanaman yang daunnya 183 harum yang dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, namun dapat menebarkan aroma wangi ke sekelilingnya. Menurut pemaknaan tarekat, pandan wangi berarti manusia hendaknya selalu dapat menebarkan kebaikan kepada sekelilingnya, meskipun hidup dalam kesulitan dan di lingkungan yang menyimpang dari norma yang berlaku. Motif pandan wangi dipakai pada ukiran kayu Pintu Mergu tempat menziarahi makam istri Sunan Gunung Jati dari Cina, Putri Ong Tin Nio yang terletak di Astana pemakaman Gunung Sembung. b Bunga Teratai; Motif teratai terinspirasi dari bunga teratai yang terdapat di danau atau kolam yang dahulu banyak terdapat di Cirebon. Dalam istilah keluarga keraton, teratai merupakan seloka tunjang tanpa telaga, yang artinya bunga teratai dapat hidup tanpa air. Dalam perspektif tarekat, motif teratai ini dikatakan sebagai hayun bila ruhin, yang artinya hidup dengan tanpa ruh. Maksudnya ialah suatu keadaan puncak rasa dari seorang salik yang mengalami fana al-fana keadaan yang ruhnya mengalami perjalanan spiritual ketika dibukanya hijabtabir antara mahluk dan Tuhannya. Tuhan lah yang hidup sementara mahluk adalah fana, sebagaimana teratai yang dapat hidup tanpa air. c Kangkung; Motif kangkung terinspirasi dari banyaknya tanaman kangkung yang tumbuh di pesisir Cirebon. Motif kangkung ini mempunyai makna dari kalangan tarekat yang disebut khafiyah, yang dalam naskah Cirebon 184 dikatakan: “lir umpani ati ning kangkung, sejati-jatine kangkung iku iya ora nama atine. Iya atine ya badane, sabab ing jerone bolong ora nana apa-apane. Kang den prlabeni ing ciptane wong arif ing katunggalane iya badan iya ati iya sukma wisesa, kang angliputi ing kahanane kabeh. Mongkono kang ideping wong arif, titi”. Artinya bahwa “diibaratkan hatinya kangkung, sesungguhnya batang kangkung itu kosong. Hati dan badan menyatune, menunjukan cipta orang yang mengenal Tuhan dalam hal manunggalnya badan dengan hati, serta manunggalnya hati dengan Sukma Wisesa Allah., yang berkuasa atas segala sesuatu”. Batang kangkung yang kosong adalah lambang pengosongan diri dari seorang salik, yaitu mengosongkan dari nafsu kepada selain Allah, Dzat Yang Tunggal, sehinga memperolah kenikmatan dan kebahagiaan. d Bangau; Motif ini terinspirasi dari bangau, unggas yang banyak terdapat di pesisiran rawa di Cirebon. Motif bangau ini oleh para penganut tarekat dimaknai sebagai Aji Bangau Butak, yaitu kaidah tata nilai dalam proses menjalani kehidupan tasawuf. Aji Bangau Butak berartikan sebuah ritual yang terilhami dari cara bangau menyantap mangsanya. Dalam posisi berdiri satu kaki kepala menengadah ke atas kemudian dengan cepat menukik ke bawah untuk memakan mangsanya. Artinya ketika seseorang ingin menikmati sesuatu maka hendaknya ia memohon kepada Tuhan mendongakan kepala ke atas. Paruh yang menukik ke bawah mengandung makna mencari rezeki atas karunia Tuhan dalam 185 bingkai syari‟at Islam, yang akhirnya dibawa ke atas melalui proses tareka t, hakikat, dan ma‟rifat. e Ikan; Motif ini terilhami dari hewan yang banyak di daerah pesisiran yang banyak ditangkap sebagai sumber penghidupan nelayan. Dalam perspektif tarekat, motif ikan ini bermakna Iwak iklas ing awak, artinya keikhlasan atas ketetapan Tuhan terhadap diri manusia. Ikan merupakan simbol tingkatan seseorang yang sudah menerima segala ketentuan Tuhan. Motif ini selain dipakai pada batik, dipakai juga sebagai lambang keraton Kacirebonan yang berbentuk ikan berbadan tiga berkepala satu. Tuhan dilambangkan dengan kepala ikan, sedangkan badan yang tiga berarti zat, sifat, dan af‟al. Artinya manunggalnya rasa seorang hamba terhadap Tuhan Yang Tunggal. Demikianlah berbagai motif batik yang memiliki makna simbolik dari perspektif tarekat. Dapat dilihat bahwa motif-motif batik Trusmi memiliki akar historis dari kontribusi tarekat Syattariyah. Makna simbolik tersebut berasal dari ajaran tarekat yang disampaikan oleh mursyid di keraton kepada murid-muridnya yang berasal dari Trusmi. Kemudian mereka membuat batik dan mengaplikasikan makna simbolik tersebut kepada motif batik yang dibuat. Dalam perspektif strukturasi, ini merupakan proses signifikansi dimana para mursyid menciptakan institusi simbolik melalui simbol-simbol pada batik sebagai tata nilai para anggota tarekat dan masyarakat secara umum. 186 D.3. Industrialisasi Batik Trusmi Kontribusi ketiga dari tarekat Syattariyah ialah menjaga tradisi sufistik dari kegiatan membatik dalam proses modernisasi berupa industrialisasi pada kegiatan membatik di Trusmi. Saat ini perkembangan batik Trusmi sangat pesat karena banyaknya pengusaha batik yang mengembangkan usahanya dalam skala besar. Belum lagi hal tersebut mendapat dukungan dan bantuan dari pemerintah terhadap perkembangan industri batik. Akhirnya, hal itu menciptakan Trusmi menjadi sebuah desa industri batik yang berkembang pesat di Cirebon. Bapak Katura AR tokoh batik nasional motif Cirebonan menuturkan, “batik mulai ramai itu ya baru-baru ini, baru tahun 1990an lah. Banyak bantuan dari pemerintah, pengusaha, investor juga akhirnya ramai seperti sekarang ”. Sistem ekonomi yang diterapkan dalam industri batik ini adalah sistem ekonomi kapitalis, di mana orientasi ekonomi lebih diutamakan dan persaingan bisnis antar pengusaha batik pun sangat sengit. Para pengrajin lebih merupakan buruh batik, yang bukan lagi berasal dari kalangan tarekat. Hasil usahanya pun hanya menjadi komoditas untuk dijual dengan nilai yang tinggi. Sementara yang diuntungkan adalah pemilik modal, pengusaha batik yang memiliki show room mewah yang berjajar di sisi jalan desa Trusmi Wetan. Namun sayangnya, perkembangan industri batik Trusmi yang demikian pesat sejak tahun 1990-an ini, tidak berjalan beriringan dengan perkembangan dari penganut tarekat di Trusmi. Perkembangan tarekat mengalami penurunan signifikan yang terlihat dari sedikitnya pengrajin batik yang dari kalangan tarekat. 187 Saat ini pengusaha dan pengrajin batik di Trusmi sudah tercerabut dari akarnya, yaitu tarekat Irianto, 2015:48. Dengan kata lain banyak pengrajin dan pengusaha yang tidak mengerti makna simbolik yang terkandung pada batik yang dibuatnya. Kontribusi tarekat terhadap institusi industri batik Trusmi dapat dilihat dari peran tarekat dalam mempelopori kegiatan membatik dan makna simbolik batik yang dipengaruhi nilai-nilai ajaran tarekat. Tarekat telah menjadi pelopor terhadap berdirinya industri batik Trusmi karena awal mula kegiatan membatik di Trusmi dilakukan oleh anggota tarekat dan semenjak itu telah dimulai kegiatan ekonomi dari kegiatan membatik. Di sini musyid berperan dalam proses motivation of action yang telah memotivasi para murid tarekat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui produksi batik. Kemudian dalam makna simbolik batik, mursyid juga berperan dalam proses signifikansi di mana motif-motif batik Cirebon banyak yang dipengaruhi makna simbolik ajaran tarekat. Namun, modernisasi memangkas kontribusi tarekat Syattariyah terhadap aspek simbolik batik. Peran tarekat telah tergesar oleh pola sistem kapitalisme yang diterapkan para pemodal di desa Trusmi. Para pengusaha lebih mementingkan keuntungan yang berlipat sebagai surplus value dari hasil penjualan batik. Sementara pengrajin batik hanya mendapat upah dari hasil batik. Para pengrajin hanya hidup sederhana dan sulit untuk meningkatkan perekonomiannya. Mereka hanya membuat batik sesuai dengan selera dan pesanan pasar tanpa memikirkan hakikat makna simbolik dari batik yang dibuat. Terkadang pepakem batik pun juga ditinggalkan untuk mengikuti trend selera 188 pasar. Bapak Katura AR menjelaskan marjinalisasi pepakem batik pada motif Mega Mendung sebagai berikut: Mega mendung itu kan artinya kan setiap orang itu harus mampu menahan emosinya. D engan kata lain, hati manusia diharapkan bisa tetap ‘adem’ meskipun dalam keadaan marah, seperti awan kan muncul pas mendung itu bisa bikin sejuk. Kemudian makna dari warna batik Mega Mendung ini lambang dari pemimpin dan awan biru sebagai sifat pemimpin, harus bisa mengayomi seluruh masyarakat. Nah kalau gradasi warnanya yang berada di ornamen awannya, gradasi asli dari batik Mega Mendung ini ada tujuh gradasi yang maknanya diambil dari lapisan langit yang memiliki 7 lapis, begitu juga bumi yang tersusun dari 7 lapisan tanah. Jumlah hari dalam seminggu kan ada 7 hari. Kalau sekarang gradasi warna batik Mega Mendung sudah disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Gradasinya dikurangi atau diminimalkan menjadi 3-5 gradasi sesuai pesanan. Bahkan sudah ada juga batik Mega Mendung yang sengaja tidak diberi gradasi warna pada motif awannya karena tuntutan pasar. Memang saat ini pepakem motif tersebut tak lagi diperhatikan. Selama motif yang dibuat sesuai dengan selera pasar, sekalipun melanggar pakem yang ada, maka motif tersebut dapat diproduksi secara masal. Faktor inilah yang membuat signifikansi tarekat kian memudar. Batik Trusmi saat ini lebih merupakan sebuah industri yang mengejar keuntungan bisnis saja. Sementara aspek simbolik batik yang merupakan kontribusi tarekat sebagai pelopor membatik kian memudar karena tidak sesuai dengan model industri batik saat ini. Bapak Katura AR mengatakan, “Kadang batik itu banyak yang keluar dari pakemnya, karena memang tuntunan pasar. Sudah buat bisnis saja ”. Jadi, berdasarkan temuan ini dapat dilihat bahwa apabila pada institusi keraton dan pesantren modernisasi dapat beriringan dengan tradisi yang berkembang, kondisi di Trusmi berjalan berkebalikan. Modernisasi yang mendukung tumbuhnya pola ekonomi kapitalisme dari industri batik desa Trusmi, malah meredupkan peran tarekat sebagai pelopor kegiatan membatik. Para 189 penganut tarekat tidak lagi membuat batik sebagai suatu ekspresi simbolik keagamaan tarekat yang dituangkan dalam motif batik. Hal itu dikarenakan sistem indutri yang ada menuntut mereka hanya menjadi buruh batik yang membuat batik untuk keuntungan semata. Padahal, kegiatan membatik merupakan bagian dari dakwah tarekat melalui motif-motif simbolik batik yang bersumber dari ajaran tarekat. Ketidaksesuaian antara aspek modernisasi dengan sufistik ini akhirnya mengebiri peran tarekat terhadap industri batik di Trusmi.

E. Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik