Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton

127 tunduk dan taat padanya. Para mursyid dapat mempengaruhi murid untuk bertindak sesuai dengan bimbingannya. Dalam melakukan praktik-praktik sosial, mursyid juga memiliki power yang meliputi otonomi dan ketergantungan dalam kontinuitas ruang dan waktu. Otonomi dalam artian bahwa mursyid tidak terpengaruh oleh struktur yang ada sehingga ia berdiri secara otonom. Tapi di satu sisi, mursyid juga mengalami subordinat karena berafiliasi terhadap institusi lain seperti keraton atau pesantren. Namun ketika mursyid berhubungan dengan sultan, misalnya, sebagai pimpinan keraton, mursyid dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan keraton. Inilah yang disebut Giddens 1984:17 sebagai dialectic of control. Dengan demikian, power mursyid sebagai agency dapat bersifat dialektis, di satu sisi bersifat otonom terhadap institusi di mana tarekatnya berada, tetapi di satu sisi ia dapat bersifat sub-ordinat. Namun, sifat sub-ordinat ini dengan tanpa menghilangkan otonomi yang dimiliki mursyid. Oleh karenanya, power dari mursyid memiliki fleksibilitas dalam mempengaruhi sekitarnya sehingga memberikan ruang bagi mursyid sebagai agent untuk berkontribusi terhadap institusi-institusi di mana mereka berada.

B. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton

Institusi pertama yang memiliki pengaruh kuat dari kontribusi tarekat Syattariyah ialah keraton-keraton di Cirebon. Kontribusi tarekat Syattariyah dan keraton di Cirebon dapat dilihat sebagai suatu hubungan dialektis, yang mana 128 perkembangan tarekat Syattariyah tidak bisa lepas dari perkembangan keraton dan perkembangan keraton merupakan bagian dari kontribusi tarekat Syattariyah. Peran mursyid sebagai agency telah banyak berkontribusi terhadap sendi-sendi kehidupan di keraton, namun mursyid juga tidak bisa lepas dari rules aturan- aturan yang dibuat dalam institusi keraton. Dalam pembahasan tentang kaitan antara tarekat dan keraton ini, akan digunakan konsep „substantivities‟, yaitu konsep yang terdiri atas tiga aspek dalam institusi: i signifikansi significations, berisikan aspek simbolik dan pemaknaan; ii, dominasi dominations, berisikan tentang adanya power dalam institusi; dan iii legitimasi legitimations berisikan pengesahan hukum dari sebuah institusi. Ketiga aspek tersebut diterapkan dalam analisis beberapa kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton, yang meliputi: 1 Berdirinya keraton; 2 Peralihan dari kerajaan Pajajaran ke Kesultanan Cirebon; 3 Tradisi Panjang Jimat; dan 4 Modernisasi di keraton. B.1. Berdirinya Keraton Cirebon Kontribusi pertama dari tarekat Syattariyah terhadap institusi keraton ialah berdirinya keraton Cirebon itu sendiri. Berdirinya keraton di Cirebon merupakan kontribusi dari dua orang mursyid tarekat Syattariyah yang paling berpengaruh di Cirebon, yaitu Pangeran Cakrabuana dan Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Secara historis, keraton di Cirebon pertama kali berdiri pada tahun 1430 dengan nama Keraton Dalem Agung Pakungwati. Orang pertama yang mendirikannya ialah Pangeran Cakrabuana, paman dan mertua Sunan Gunung 129 Jati. Beliau bergelar Mbah Kuwu Cirebon, yang juga merupakan putra mahkota dari Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Pangeran Cakrabuana merupakan orang yang telah menerima Islam dari seorang ulama sepuh yang pertama berdakwah di Cirebon, yaitu Syeikh Nurjati Syeikh Datul Kahfi. Setelah cukup menimba ilmu di pengguron Amparan Jati milik Syeikh Nurjati, barulah Pangeran Cakrabuana membabat kebon pesisir yang nantinya menjadi awal terbentuknya Cirebon dan menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat melalui Kesultanan Cirebon. Salah seorang lurah keraton, Bapak Moh. Maskun menjelaskan: Jadi berdirinya keraton sini, pertama itu dari putera Pajajaran, yang bernama Pangeran Walangsungsang, beliau bergelar Pangeran Cakrabuana, terkenal sebutannya Mbah Kuwu Cirebon. Beliau membangan Keraton Dalem Agung Pakungwati pada tahun 1430M. Dan beliau menyerahkan kepada keponakannya, yang juga sebagai menantu, yaitu yang bernama Syeikh Syarif Hidayatullah, bergelar Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati melebarkan ke barat daya pada tahun 1529M. Keratonnya diberi nama Keraton Pakungwati juga, Pakungwati tuh nama istrinya beliau, puteranya Pangeran Cakrabuana Berdasarkan penuturan Bapak Moh. Maskun di atas, maka keraton Cirebon pertama kali didirikan pada 1430 M oleh Pangeran Cakrabuana, selaku paman dan mertua dari Sunan Gunung Jati. Setelah mulai sepuh, selanjutnya Pangeran Cakrabuana menyerahkan tonggak kesultanan kepada Sunan Gunung Jati pada tahun 1479 M, yang pada tahun ini juga Sunan Gunung Jati menghentikan pemberian upetibulu bakti kepada Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka bercorak Islam Kesultanan Cirebon. Berdirinya kesultanan ini disempurnakan kedaulatannya dengan kemenangan melawan Raja Galuh pada tahun 1528 M Sulendraningrat 1985:18. Dapat dilihat 130 bahwa Sunan Gunung Jati merupakan tokoh yang paling berpengaruh terhadap berdiri dan berkembangnya institusi keraton. Gambar 4.1 Peninggalan Bangunan Keraton Dalem Agung Pakungwati Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Keraton Kasepuhan tanggal 22 Mei 2015. Sunan Gunung Jati yang merupakan mursyid tarekat Syattariyah sebagaimana penuturan Elang Bagoes Candra Kusumaningrat, “Sunan Gunung Jati menguasai 12 tarekat, tapi yang diajarakan ke family, ke anak-cucuknya itu tarekat Syattariyah ”. Sunan Gunung Jati juga telah mewariskan tarekat Syattariyah kepada keturunannya yang sekarang tersebar di empat keraton; Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Oleh karena itu, melalui dakwah Islam dan pengajaran tarekat di lingkungan keraton Cirebon, Sunan Gunung Jati sebagai mursyid telah berkontribusi terhadap terbentuknya struktur institusi keraton bercorak Islam pertama di Jawa Barat. 131 Dari perspektif teori strukturasi, dapat dilihat telah terjadi proses practical consiousness berupa tindakan mursyid yang didasari kesadaran praktis dari terbentuknya keraton Cirebon. Practical consiousness ini berbeda dengan discursive consiousness yang hanya berupa kesadaran diskursif yang dinyatakan dengan kata-kata saja. Practical consiousness di sini berarti mursyid telah melakukan tindakan dengan mendakwahkan Islam dan tarekat Syattariyah yang selanjutnya diterima oleh kalangan masyarakat Cirebon dan keturunannya di keraton secara sukarela. Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati telah berhasil membuat suatu tindakan praktis yang berkontribusi terhadap berdirinya keraton. Selanjutnya dari sisi analisis institusional dapat dilihat dengan konsep substansitives legitimasi, signifikansi, dan dominasi dalam teori strukturasi. Keraton atau kesultanan Cirebon tidak mungkin berdiri tanpa peran dominasi politik dari sosok Pangeran Cakrabuana sebagai pendiri keraton. Beliau mendapat legitimasi keabsahan untuk mendirikan keraton Cirebon karena selain memiliki kecakapan agama dalam bidang tasawuf, beliau juga merupakan putra Kerajaan Pakuan Pajajaran. Keraton juga tidak akan berkembang tanpa peran besar dari Sunan Gunung Jati yang mendapat legitimasi sebagai wali kutub ketua dewan walisongo setelah kewafatan Sunan Ampel dan sebagai putra kerajaan Mesir yang memiliki kecapakan dalam bidang agama, khususnya tarekat, serta sebagai cucu Prabu Siliwangi. Sunan Gunung Jati telah berhasil melebarkan dominasinya bukan hanya dalam masalah agama dengan mengislamkan seantro Jawa Barat, tetapi juga dalam masalah politik, yang telah mampu mendeklarasikan kedaulatan 132 kesultanan Cirebon merdeka dari Pajajaran. Jadi, para mursyid tarekat, khususnya Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana memiliki power otoritas untuk mendirikan suatu struktur baru berupa institusi keraton. Berawal dari dakwah Islam, mursyid telah mampu melebarkan otoritas power-nya dalam bidang politik dengan berdirinya institusi keraton di Cirebon. Dengan berdirinya keraton Cirebon oleh Sunan Gunung Jati maupun Pangeran Cakrabuana selaku mursyid tarekat, mereka berdua tidak lepas dari struktur keraton yang merupakan kontribusi dari peran mereka sebagai agen dan mursyid. Kedua mursyid tersebut tetap dipengaruhi dan tunduk terhadap aturan- aturan rules yang bersumber resources dari ajaran tarekat dan Islam. Ini merupakan proses dualitas struktur duality of structure dari sudut pandang teori strukturasi. Setelah para agen mursyid turut mempengaruhi perubahan pada struktur hingga melahirkan struktur yang baru keraton, mereka tidak lepas dari struktur yang baru terebut. Mereka tetap berada dalam struktur keraton dan mengikuti segala tata nilai dan moral yang menjadi pondasi dari kehidupan masyarakat dalam struktur tersebut. Kemudian berdirinya institusi keraton ini dapat dilihat berdasarkan lima sudut pandang dalam konsep Gillin dan Gillin tentang tipologi institusi sosial lihat tabel 4.2.. Pertama, dari sudut pandang perkembangan institusi development of institutions, keraton di Cirebon termasuk dalam enacted institutions institusi yang segaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu. Keraton sengaja dididirkan oleh Pangeran Cakrabuana dan diteruskan oleh Sunan Gunung Jati sebagai basispusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. 133 Tujuannya ialah mengubah tatanan masyarakat Hindu di Jawa Barat yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran untuk memeluk Islam. Kedua, dari sudut pandang sistem nilai yang diterima masyarakat the accepted system of values, institusi keraton dapat termasuk dalam tipe basic institutions institusi yang penting untuk menjaga ketertiban sosial dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Keraton berperan dalam menjaga tatanan kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi, pemerintahan, dan agama pada masa awal didirikannya. Pada masa Sunan Gunung Jati ini, keraton berfungsi layaknya sebuah negara yang mengurusi berbagai aspek kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari sudut pandang penyebaran dalam populasi spread of population, institusi keraton dapat digolongkan sebagai general institutions institusi yang dikenal seluruh masyarakat. Sebagai sebuah kesultanan di Cirebon yang wilayah kekuasaannya tersebar ke seluruh Jawa Barat, seluruh masyarakat Cirebon secara otomatis mengenal adanya institusi keraton. Tabel 4.2 Analisis Keraton Berdasarkan Konsep Tipologi Institusi Sosial Sudut Pandang Tipologi Institusi Sosial Relevansi Berdirinya Keraton di Cirebon development of institutions enacted institutions Keraton sengaja sebagai basispusat penyebaran agama Islam di Jawa dan mengubah tatanan masyarakat Hindu menjadi Islam. the accepted system of values basic institutions Keraton berperan menjaga tatanan kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi, pemerintahan, dan agama pada masa awal 134 didirikannya. spread of population general institutions Kesultanan Cirebon yang wilayah kekuasaannya tersebar ke seluruh Jawa Barat secara otomatis oleh seluruh masyarakat Cirebon public acceptance sanctioned institutions Masyarakat menerima adanya keraton dengan mengikuti dan menjaga tradisi di keraton dengan ikut berpartisipasi dalam berbagai acara keagamaan di keraton method of functioning regulative institutions Keraton hanya berfungsi menjaga dan mengawasi adat-instiadat di keraton dengan kehilangan fungsi politisnya yang melebur ke dalam NKRI. Sultan hanya berfungsi sebagai pemangku adat yang berperan menjaga adat dan tradisi di keraton. Keempat, dari sudut pandang penerimaan masyarakat public acceptance, keraton termasuk dalam tipe sanctioned institutions, yaitu institusi yang diterima masyarakat. Masyarakat Cirebon menerima adanya keraton Cirebon. Semenjak keraton berdiri hingga saat ini, masyarakat senantiasa menerima adanya keraton dengan mengikuti aturan keraton dan menjaga tradisi di keraton. Partisipasi masyarakat Cirebon pun sangat antusias ketika mengikuti berbagai acara keagamaan hari besar Islam di keraton, seperti tradisi Panjang Jimat. Selain itu, belum pernah terjadi pemberontakan atau penolakan terhadap keraton dari masyarakat Cirebon semenjak keraton ini berdiri. Kelima, dari sudut pandang metode penggunaannya method of functioning, keraton termasuk dalam regulative institutions, yaitu institusi yang berfungsi untuk meregulasi atau mengawasi adat istiadat atau tata perilaku masyarakat. Memang semenjak diplokamirkannya kemerdekaan Indonesia, keraton melebur ke 135 dalam kedaulatan NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpengaruh terhadap fungsi dari keraton itu sendiri. Keraton hanya berfungsi menjaga dan mengawasi adat-instiadat di keraton dengan kehilangan fungsi politisnya. Hal ini terlihat bahwa sultan hanya berfungsi sebagai pemangku adat yang berperan menjaga adat dan tradisi di keraton. Sementara fungsi politis keraton sebagai sebuah kerajaan dileburkan ke dalam negara. B.2. Peralihan dari Kerajaan Pajajaran menjadi Kesultanan Cirebon Kontribusi kedua dari tarekat Syattariyah terhadap keraton ialah adanya peralihan tatanan sosial dari masyarakat Hindu ke Islam. Peralihan ini merupakan konsekuensi logis dari berdirinya Kesultanan Cirebon yang menggantikan kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sebagaimana dijelaskan Rama Guru PS. Su lendraningrat 1985:19 bahwa “Kedaulatan Kesultanan Cirebon yang bercorak Islam itu merata ke segenap bekas wilayah Pajajaran, dengan perkataan lain Pajajaran adalah awal Cirebon dan Cirebon adalah akhir Pajajaran ”. Lambang dari Cirebon sebagai penerus Pajajaran terdapat pada simbol patung „Macan Ali‟ di halaman Keraton Kasepuhan lihat gambar 4.2. Peralihan kekuasaan Pajajaran kepada Kesultanan Cirebon juga diperkuat oleh data-data atau bukti yang terdapat di Astana Gunung Sembung berupa: Mande Pajajaran balai besar singgasana Prabu Siliwangi dan Lampu Kerajaan Pakuan. Keduanya memiliki arti simbolik sebagai pengakuan berdirinya Kesultanan Cirebon yang meneruskan kekuasaan Pajajaran. Oleh karena itu, setelah Kesultanan Cirebon berdiri, hampir seluruh masyarakat Jawa Barat yang 136 dahulu di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Pajajaran, beralih memeluk Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati. Gambar 4.2 Patung Macan Ali sebagai Lambang Kesultanan Cirebon Penerus Kerajaan Pajajaran Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Keraton Kasepuhan tanggal 16 April 2015. Seorang sesepuh Keraton Kasepuhan, Bapak Her. Mungal Kartaningrat menjelaskan tentang peralihan kekuasaan dari Pajajaran ke Cirebon: Pada 1479, setelah Syarif Hidayatullah dikukuhkan oleh Sunan Ampel sebagai wali kutub, beliau langsung mendeklarasikan berdirinya Cirebon yang Islam dan menyatakan lepas dari ikatan Papajaran. Sudah begitu, Prabu Siliwangi merestui, menyutujui karena beliau menyadari daerah-daerah yang tadinya ikut Pajajaran melepaskan diri beralih ikut kepada cucunya ke Cirebon. Jadi, berdasarkan penuturan di atas, faktor utama yang mendorong peralihan dari masyarakat Kerajaan Pajajaran Kesultanan Cirebon ini ialah faktor strategi 137 dakwah Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati secara apik dapat mensinergikan aspek islam, tasawuf, dan budaya Hindu. Strategi dakwah ini menarik masyarakat untuk dapat memeluk Islam secara damai. Selanjutnya, Bapak Her. Mungal menambahkan: Syarif Hidayatullah itu syiar Islam cukup beberapa kali, kemudian masyarakat ikut masuk Islam. Tapi perang juga ada, yang dengan Raja Galuh itu. Beberapa kali ada yang perang, tapi umumnya melalui dakwah mereka langsung Islam. Belum lagi para wali itu syiar Islamnya agak unik. Seperti pementasan kesenian- kesenian: gamelan, wayang, dll. untuk mengumpulkan masyarakat Hindu. Setelah kumpul, para wali mengganti yang tadinya tontonan menjadi tuntunan, ceramahdakwah tentang Islam sehingga orang-orang Hindu yang menonton ini merasa punya penilaian. Kemudian mereka aklamasi masuk Islam dengan syahadat. Karena peran para wali itu, kemudian di Jawa ini timbul Islam tradisional, ‘Islam-adat’. Seperti ada upacara muludan, nujuh bulanan, dan macem-macem. Dengan kata lain, terdapat suatu proses sinkretisasi dengan cara melalui transformasi esensi Islam ke dalam tradisi Hindu yang telah mengakar sebagai budaya dan adat istiadat masyarakat. Transformasi tersebut berlangsung dengan mengubah esensi filosofi tradisi, tanpa merubah secara radikal format tradisi yang sudah ada. Dalam teori strukturasi, transformasi budaya ini merupakan bagian dari power yang dimiliki mursyid yaitu kemampuan untuk mengubah sense of transformative capacity dan membuat perbedaan make a difference. Kemampuan transformasi ini dilakukan, misalnya melalui tradisi seni wayang. Tradisi pagelaran wayang yang sebelumnya merupakan ritual keagamaan Hindu, telah ditransformasikan menjadi media dakwah Islam. Sunan Gunung Jati dan para tokoh Wali Songo lainnya telah melakukan perubahan deformatif dalam 138 rangka penyesuaian seni pertunjukan wayang dengan Islam. Perubahan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti: pengubahan bentuk wayang sehingga tidak menyerupai manusia; penyisipan tokoh-tokoh Islam secara tersirat dari cerita yang dibawakan; dan penambahan perlengkapan wayang seperti kelir, debog, blencong, dan sebagainya Sunyoto, 2011:100-101. Cerita utama pewayangan, yaitu Ramayana-Mahabrata yang berasal dari agama Hindu, turut pula dimodifikasi dengan menyisipkan aspek filosofis ajaran Islam. Dengan kata lain, strategi dakwah Sunan Gunung Jati tersebut juga bersifat akulturatif. Islam yang bersifat akulturatif ini berarti bahwa Islam yang disampaikan bukan dengan jalan peperangan, tetapi Islam yang membumi. Islam yang menyatu dengan bingkai lokal ini merupakan ciri khas dari ajaran tarekat Syattariyah yang bersifat neo-sufism menjalankan hakikat, tanpa meninggalkan syari‟at. Martin Van Bruinessen 1994:10 mengatakan: The Shattariyyah accommodated itself relatively easily with local traditions; it became the most ‘indigenized’ of orders... it was throufh the Shattariyyah that sufi metaphysical ideas and symbolic classifications based on the martabat tujuh doctrine became part of Javanese popular beliefs. Jadi, tarekat Syattariyah relatif dapat dengan mudah berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Selain itu, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasaran atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa. Dalam analisis teori strukturasi, sifat tarekat Syattariyah yang “membumi” ini termasuk dalam proses signifikansi, yang berpengaruh terhadap aspek simbolik 139 dan pemaknaan. Mursyid melakukan proses signifikansi simbolik dari filosofi keagamaan Hindu yang ditransformasikan menjadi filosofi Islam. Proses ini juga menyangkut bagaiamana proses singkretisme budaya Hindu dan Islam yang berpadu menjadi suatu tradisi baru yang membentuk struktur simbolik masyarakat Cirebon, sekitar abad ke-16 pada masa wali songo. Peranan tarekat dalam proses Islamisasi ini juga terlihat dari lahirnya sastra- sastra sufistik dan tradisi keagamaan baru. Sastra-sastra sufistik ini terbentuk dalam tembang, kidung, syair, dan hikayat, seperti Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Serat Dewaruci, Serat Centini, dan sebagainya. Kemudian dalam hal tradisi, proses asimilasi dapat pula dilihat dari tradisi keagamaan Hindu yang disebut Sradha, seperti upacara “meruwat arwah”, lahir tradisi baru Islam yang disebut Nyadran, yaitu upacara “mengirim doa kepada arawah” setiap tahun yang bermakna mengucap syukur kepada Tuhan Sunyoto, 2011:92-93. Melalui berbagai transformasi kultural ini, capaian proses dakwah dan Islamisasi masyarakat berlangsung melalui sikap asimilatif terhadap budaya lokal. Tujuannya ialah mengubah tontonan menjadi tuntunan, dan menarik masyarakat Hindu pada saat itu agar familiar dengan tradisi yang sudah ada. Proses ini sejatinya merupakan kontribusi dari para mursyid, khususnya Sunan Gunung Jati, dan para wali songo pada umumnya, dalam rangka mentransformasikan struktur masyarakat Hindu yang telah mapan, menjadi struktur masyarakat Islam yang sarat dengan pengaruh sufisme dalam berbagai sendi kehidupannya. 140 Perubahan pada struktur simbolik dalam sistem kebudayaan masyarakat Cirebon juga turut mempengaruhi kehidupan para mursyid dan anggota tarekat yang berperan dalam proses perubahan ini. Para mursyid baik Sunan Gunung Jati maupun mursyid keturunan selanjutnya masih dipengaruhi dan tmenjalankan berbagai tradisi kebudayaan tersebut. Walaupun para mursyid yang melakukan transformasi budaya dari tradisi masyarakat yang Hinduistik dengan menyisipkan esensi Islam yang sufistik, mereka tidak begitu saja lepas dari struktur tersebut. Para mursyid dan anggota tarekat masih menjalankan dan mensosialisasikan nilai- nilai yang terdapat dalam struktur keraton, meskipun mereka tahu bahwa nilai- nilai tersebut merupakan bagian peran mereka sebagai agen yang mempengaruhi tradisi-tradisi di keraton, seperti tradisi Panjang Jimat yang rutin diadakan setiap tahun di Cirebon. B.3. Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kontribusi ketiga dari tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton adalah berkembang dan bertahannya budaya atau tradisi-tradisi di keraton yang dipengaruhi ajaran tarekat. Pada awalnya, Sunan Gunung Jati selaku mursyid berperan sebagai resources sumber yang telah mentransmisikan rules aturan-aturan dalam bentuk ajaran, tradisi, upacara, dan tata-krama yang ada di institusi keraton. Oleh karena itu, berbagai tradisi yang ada di keraton banyak bernafaskan sendi-sendi tasawuf, khususnya ajaran tarekat Syattariyah yang banyak dianut oleh keluarga keraton yang juga merupakan keturunan Sunan Gunung Jati. 141 Sunan Gunung Jati pada masanya memang memiliki dwi-fungsi yaitu sebagai kepala pemerintahan dan pemuka agama. Beliau juga bergelar Panetap Panata Agama. Menurut Elang Bagoes Candra Ku sumaningrat, “Pada saat itu, pengguron masuk ke dalam keraton. Jadi, Sunan Gunung Jati itu Rama Guru sekaligus Raja lah. Makannya, Sunan Guung Jati itu gelarnya ulama dan umara, pemuka agama dan pemimpin pemerintahan. Jadi, Sunan Gunung Jati berperan sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai penata agama yang cakupannya seaentro Jawa Barat. Dengan legitimasi yang dimiliki tersebut, Sunan Gunung Jati membentuk suatu institusi simbolik berupa tradisi keagamaan yang banyak bernafaskan tasawuf dengan mengadopsi aspek-aspek budaya lokal. Sebagaimana peran Sunan Gunung Jati, sultan-sultan penerusnya pun juga kerap memiliki dwi-fungsi sebagai mursyid tarekat dan pemangku adat di keraton, yang mana hal ini berperan dalam mempertahankan eksistensi budaya di keraton. Salah satu fakta kebudayaan atau tradisi yang masih bertahan hingga saat ini di keraton ialah tradisi Panjang Jimat. Tradisi Panjang Jimat memang merupakan tradisi keraton di Cirebon yang menjadi kegiatan terbesar yang rutin diadakan setiap tahunnya. Istilah “Panjang Jimat” terdiri dari dua kata, yaitu “Panjang” yang berarti terus menerus diadakan setiap tahunnya, dan “Jimat” yang berarti mengagungkan dalam rangka memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. Sejak tahun 1479 pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, perayaan maulid atau upacara Panjang Jimat sudah dilakukan secara besar-besaran. Namun sebelumnya pada pemerintahan Pangeran Cakrabuana sekitar tahun 1450, upacara ini dilakukan tidak sebesar pada 142 pemerintahan Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati berfungsi sebagai ‘ulama dan ‘umara, upacara Panjang Jimat dilakukan secara besar-besaran sebagai upacara tahunan keraton Cirebon. Hal ini mengingat pada masa Sunan Gunung Jati seluruh Jawa Barat telah memeluk Islam dan tunduk sepenuhnya terhadap kekuasaan Kesultanan Cirebon Sulendraningrat, 1985:83-84. Saat keluarnya iring-iringan dalam upcara Panjang Jimat, berupa pusaka- pusaka, nasi Panjang Jimat, dan iringan abdi dalem keraton, sebetulnya upacara ini bukan hanya perayaan biasa, melainkan sebuah “sandiwara” lakon yang menggambarkan proses kelahiran seorang bayi Nabi Muhammad Saw. ke dunia dari rahim ibunya. Memang tujuan utama dari upacara ini pada umumnya ialah memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Namun, secara khusus perayaan ini merupakan bagian dari syi‟ar Islam yang berusaha mensinergikan antara aspek Islam, tasawuf, dan nilai kebudayaan lokal Sulendraningrat, 1985:84. Urutan-urutan atribut yang digunakan dalam upacara panjang jimat yaitu sebagai berikut Sulendraningrat, 1985:87: 1. Beberapa lilin dipasang di atas dudukannya. 2. Dua buah Manggaran, dua buah Nagan, dan dua buah Jantungan. 3. Kembang goyak kembang bentuk sumping 4 empat laki-laki. 4. Serbad dua buah guci dan dua puluh botol tengahan. 5. BorehParem. 6. Tumpeng. 143 7. Ancak Sanggar panggung 4 empat buah yang keluar dari pintu Bangsal Pringgandani. 8. Dongdang berisi makanan 4 empat buah menyusul belakangan dari pintu Barat Bangsal Pringgandani ke teras Jinem. Prosesi dari pelaksanaannya ialah pertama-tama, setelah Sultan merestui, kemudian penghulu, para kaum naik ke Bangsal dan petugas khusus memanggil barisan Santana yang berjumlah 28 orang 14 orang berdiri sebelah kiri dan 14 orang berdiri sebelah kanan. Setelah lilin dinyalakan, maka petugas khusus mengatur jalannya upacara. Kemudian penghulu turun dari Bangsal Dalem dan di belakangnya berturut-turut Panjang Jimat 7 tujuh buah mengiringi. Tiap-tiap Panjang diusung oleh 4 orang kaum dan didampingi kanan-kirinya oleh para Santana dua-dua 4 santana. Selanjutnya iringan diarak menuju ke teras Jinem, dan disambut oleh petugas luar barisan. Setelah turun di luar Jinem, iringan Panjang Jimat barulah disambut oleh masyarakat yang telah ramai menunggu di pintu gerbang keraton Sulendraningrat, 1985:88. Sebagai suatu tradisi yang memiliki nilai sufistik, tentu deretan Panjang Jimat yang merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. ini memiliki makna-makna filosofis. Adapun makna dari deretan Panjang Jimat yaitu sebagai berikut Sulendrangningrat, 1985:88-89: 1. Kepel artinya pengembaraan kakek Abdul Mutholib ketika kelahiran cucunya, Nabi Saw.; dan Payung Kerompak artinya Abdul Mutholib sebagai pengayom masyarakat pembesar kabilah Bani Hasyim. 144 2. Laki-laki pembawa tombak artinya Abdul Mutholib mengatur seorang berangkat memanggil paraji dukun bersalin di mana tombak berarti sebagai penjaga diri. 3. Laki-laki membawa obor, artinya pembantu penerangan karena menari paraji terjadi pada malam hari. 4. Rerenggan baris upacara, berarti atribut keagungan. 5. Nyi Kotib Agung, artinya gambaran paraji. 6. Nyi Penghulu, artinya gambaran Siti Aminah yang akan bersalin. 7. Air mawar dua botol, artinya gambaran keluarnya kakang-kekawah air ketuban ketika proses melahirkan. 8. Sultan atau penghulu, artinya gambaran si jabang bayi yang sifatnya suci. 9. Panjang Jimat 7 Deret, artinya tujuh buah iringin ini bermakna bahwa manusia lahir di dunia ini di antara hari yang tujuh. Namun menurut tradisi keraton Kanoman, Panjang Jimat pertama adalah gambaran Nabi Muhammad Saw., empat selanjutnya gambaran empat sahabat Nabi khulafaurrasyiddin Abu Bakar, Umar, Utsman, „Ali, dan dua terakhir gambaran sahabat dan sekertaris Nabi Saw. Abbas dan Hamzah. 10. Pembawa Kembang Goyang 4 baki, artinya gambaran ari-ari bayi. 11. Pembawa serbad dua guci dan gelas kosong dua baki, menggambarkan darah bayi. 12. BorehParem 4 Piring, melambangkan pengobatan terhadap ibu bersalin hingga sehat kembali. 145 13. Pembawa Nasi Tumpeng Jeneng, melambangkan pemberian nama kepada sang bayi. 14. Buah Ancak Sanggar Panggung dan Dongdang 4 buah, melambangkan kehidupan manusia itu adalah ciptaan dari Tuhan, di mana anasir hakikat manusia terdiri dari: 1 wujud – ilmu – nur – zuhud; 2 zat api – zat air – zat angin – zat tanahbumi. Setelah sampai di langgar musholla keraton, barisaniringan Panjang Jimat pun diatur, dan setelahnya barulah dibacakan kitab maulid Barzanji sampai selesai. Setelah selesai membaca Barzanji, barulah Nasi Jimat dan hidangan dibagikan kepada tamu undangan dan masyarakat. Demikianlah ringkasan prosesi dan makna upacara Panjang Jimat di keraton Kasepuhan Cirebon. Berangsur-angsur para keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu para sultan di keraton Kasepuhan maupun Kanoman terus mempertahankan tradisi tersebut. Para sultan sebagai generasi penerus ajaran-ajaran Sunan Gunung Jati selalu mengamalkan secara baik dan khidmat. Kita dapat melihat prosesi pelaksanaan upacara Panjang Jimat setiap tanggal 12 Rabi‟ul Awal menurut kalender Hijriyah. Pada tahun ini, Sultan Arif Natadiningrat sebagai sultan Kasepuhan juga turut merayakan tradisi Panjang Jimat ini. Dalam perayaan ini terlihat bagaimana Islam dan budaya Cirebon berbaur dalam suatu harmoni. Nilai-nilai yang diusung memiliki filosofi yang luhur dari kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Atribut khas yang digunakan tetap memakai produk kebudayaan lokal, seperti: petugas upacara, termasuk sultan yang menggunakan kain dan belangkon bermotif batik Cirebon, hidangannya berupa masakan khas Cirebon bukan nasi kebuli, 146 bahasa yang digunakan menggunakan bahasa lokal, dan atribut perayaan pusaka merupakan benda-benda peninggalan Kesultanan Cirebon. Tommy Christomy 2001:59 mengatakan, “Sufism is an Islamic mystical traditions which expresses not only ascetic rituals but also model of social practices. As a social practice sufism has an intensive contact with other different tradi tions, which the creates various impact on its articulations”. Jadi, tasawuf sebagai praktik sosial dapat berjalan beriringan dengan tradisi lain di mana tradisi tersebut dapat banyak dipengaruhi ajaran tarekat. Nilai-nilai rules yang terdapat dari perayaan tradisi panjang jimat pun tidak lepas dari peranan sultan sejak masa Sunan Gunung Jati hingga saat ini. Sunan Gunung Jati telah menciptakan format perayaan maulid Nabi Saw. dengan sangat “membumi” yang terus dipraktikan oleh para sultan penerusnya. Maka di sini, sultan memiliki peran ganda sebagai pemangku adat dan tokoh agama. Memang pada masa Sunan Gunung Jati sultan sembari merangkap sebagai pemimpin negara. Namun sejak masa kemerdekaan RI, sultan tidak lagi memiliki otoritas politk. Mengingat para sultan adalah keturunan Sunan Gunung Jati, tak jarang sultan juga merangkap sebagai mursyid tarekat Syattariyah yang juga warisan Sunan Gunung Jati. Dengan perannya saat ini sebagai pemangku adat dan tokoh agama, sultan dapat dilihat memiliki fungsi signifikansi, yaitu dengan mempertahankan rules dalm bentuk tradisi Panjang Jimat sebagai suatu manifestasi simbolik perayaan kelahiran Nabi. Sultan tetap mempertahankan warisan leluhurnya dengan terus mempraktikan perayaan ini setiap tahunnya. 147 Dalam perayaan Panjang Jimat ini, fungsi signifikansi tersebut juga terlihat dari makna-makna setiap bagian dari prosesi ini sebagaimana telah dijelaskan. Dari ajaran Syattariyah terdapat konsep „martabah pitu’ martabah tujuh: ajaran penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh tingkatan; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam mithal, alam arwah, alam ajsam, insan kamil yang diadopsi menjadi tujuh iringan panjang jimat. Makna-makna filosofis yang terdapat di dalamnya juga bersumber dari ajaran Syattariyah karena memang merupakan warisan Sunan Gunung Jati sebagai mursyid Syattariyah. Dengan demikian, tarekat Syattariyah telah berkontribusi terhadap signifikansi makna tradisi upacara Panjang Jimat, yang mana para mursyidnya yang terkadang merangkap sultan juga tetap mempertahankan tradisi ini dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa merubah suatu apapun dari setiap prosesi upacara ini. Walaupun dalam proses signifikansi para mursyid sebagai agen berperan dalam menanamkan aspek simbolik ajaran tarekat dalam tradisi Panjang Jimat, para mursyid beserta murid dan keluarga keraton tidak meninggalkan tradisi tersebut dan terus mempraktikannya secara berkelanjutan. Bahkan di tengah era modernisasi keraton yang sarat dengan perubahan pemikiran yang semakin rasional, tradisi ini masih tetap dipraktikan dari tahun ke tahun dengan dukungan dan partisipasi masyarakat yang sangat antusias dengan motivasi untuk mendapat keberkahan. Jadi dapat dilihat suatu dualitas yang mana di satu sisi mursyid berperan dalam mempengaruhi aspek simbolik tradisi Panjang Jimat, tetapi di sisi lain mereka tetap mempertahankan dan mempraktikannya secara terus menerus. 148 B.4. Modernisasi di Keraton Kontribusi keempat dari tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton ialah modernisasi di keraton. Modernisasi ini terlihat dari perubahan fungsi keraton yang berbeda dengan fungsi tradisionalnya dan adanya sistem birokrasi dalam kepengurusan keraton. Di dalam proses perubahan tersebut tarekat berperan dalam mempertahankan nilai-nilai dan tata-krama pepakem yang ada di keraton. Saat ini keraton telah berubah dari fungsi awalnya yang holistik sebagai institusi pemerintahan, kebudayaan, dan institusi agama. Keraton di Cirebon, baik Keraton Kasepuhan, Kanoman, maupun Kaprabonan, tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan, di mana. sultan tidak lagi berperan sebagai kepala negara dan pemuka agama ‘ulama wa ‘umaro seperti peran yang dijalankan Sunan Gunung Jati sampai keturunan ke-15. Sekarang, sultan hanya berperan sebagai “pemangku adat” dan keraton lebih berfungsi sebagai institusi simbolik atau pusat kebudayaan. Menurut sesepuh keraton Kasepuhan, Bapak Her. Mungal: Setelah merdeka jadi NKRI, sultan hanya tokoh masyarakat, pemangku adat, turun-temurun kesultanan. Karena keraton ini bukan lembaga perusahaan, bukan lembaga pemerintahan, keraton ini sebagai situs cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Jadi lebih tepatnya sebagai lembaga adat, lembaga tradisional. Jadi, perubahan fungsi ini merupakan konsekuensi modernisasi dari berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dalam bentuk republik. Sejak tahun 1945, keraton telah melebur ke dalam Republik Indonesia dan menimbulkan banyak konsekuensi perubahan pada institusi ini. Konsekuensi 149 tersebut antara lain: 1 Legitimasi kekuasaan keraton melebur ke dalam negara yang kekuasaannya dialihkan kepada pemerintahan daerah; 2 Sultan hanya berperan sebagai pemangku adat dan tidak berwenang menjalankan peran politis untuk menjalankan pemerintahan; 3 Tanah kekuasaan keraton Cirebon sebagian besar harus diserahkan ke negara dan semakin mempersempit areal keraton; 4 Fungsi keraton yang semula berfungsi sebagai pusat kebudayaan, agama, dan pemerintahan, hanya menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan. Selanjutnya Bapak Her. Mungal juga menjelaskan: Sejak masa sultan ke-18, oleh beliau keraton ini setahap demi setahap dibenahi sebagai sentra budaya, obyek wisata, dan obyek penelitian untuk para pelajar dan mahasiswa demi kepentingan studinya. Jadi sekarang banyak peneliti-peneliti yang ke sini, dari luar negeri pun banyak. Jadi, sejak masa kesultanan Cirebon ke-18, keraton sampai saat ini berfungsi sebagai pusat kebudayaan, obyek wisata, dan obyek penelitian. Sebagai pusat kebudayaan keraton menjalankan fungsinya dalam me-maintanence mempertahankan pola budaya, dalam bentuk tradisi keagamaan dan tata-krama, serta peninggalan-peninggalan budaya dari era kesultanan Cirebon sewaktu masih aktif sebagai negara. Sebagai obyek wisata, keraton menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat untuk melihat peninggalan-peninggalan kesultanan Cirebon, seperti naskah kuno, benda-benda kuno, dan bangunan keraton yang masih dalam bentuk aslinya. Sebagai obyek penelitian, keraton memang sering kali menjadi tempat penelitian bagi para akademisi yang berasal dari berbagai universitas dengan latarbelakang disiplin ilmu yang berbeda-beda, seperti: sejarah, filologi, sosiologi, antropologi, ushuluddin, ataupun politik. 150 Berdasarkan observasi peneliti, ketiga fungsi keraton saat ini, baik sebagai pusat kebudayaan, obyek wisata dan obyek penelitian, dijalankan melalui sistem birokrasi seperti kampus, perusahaan, atau pemerintahan. Terdapat struktur yang baku dalam kepengurusan keraton, mulai dari sultan sebagai pimpinan tertinggi, lurah keraton, abdi dalem, dan pengurus administrasi keraton. Keraton juga memiliki koperasi dan loket masuk, yang dananya digunakan untuk membiayai kepengurusan keraton. Semua kepengurusan keraton dijalankan secara semi- formal di mana pengurus keraton berasal dari lingkungan keluarga keraton dan sistem kepengurusan memakai sistem birokrasi modern. Dengan berbagai perubahan tersebut dapat dilihat bahwa keraton telah mengalami proses modernisasi, yaitu proses untuk menjadi modern yang ditandai oleh rasionalitas keluarga keraton yang semakin tinggi, yang ditandai oleh perubahan fungsi keraton dan sistem birokrasi kepengurusan keraton. Modernisasi memiliki konsekuensi dengan terpangkasnya fungsi keraton, yang mengalami spesialisasi untuk hanya berfungsi sebagai institusi kebudayaan, dan tidak berwenang secara politis sebagai institusi pemerintahan. Terlihat bahwa institusi keraton melakukan adaptasi dengan melebur kepada negara, menggunakan sistem negara, tunduk kepada negara. Walaupun fungsi keraton tidak lagi memiliki legitimasi dan otoritas politik, keraton tetap mempertahankan pola kebudayaan dan tradisi di kraton. Dalam proses modernisasi ini, tarekat Syattariyah berperan dalam mengontrol laju perkembangan keraton agar tetap sesuai dengan pepakem yang sudah ada dan sesuai dengan syari‟at agama. Rama guru selaku mursyid tarekat 151 menjalankan peran sebagai penasihat sultan. Ketika keraton menghadapi masalah, sultan berkunjung ke pengguron untuk meminta wejangan atau nasihat dari rama guru. Tujuannya adalah agar kebijakan yang dijalankan sesuai dan tidak menyimpang dari ajaran yang diwariskan Sunan Gunung Jati. Dengan peran demikian, tarekat menjalankan peran keraton sebagai pusat keagamaan, melalui pengguron-pengguron yang berada di luar keraton. Jadi modernisasi telah memberikan pembagian fungsi institusi keraton yang awalnya sebagai pusat pemerintahan, keagamaan, dan kebudayaan, sekarang hanya menjalankan fungsi kebudayaan. Semantara fungsi pemerintahan dialihkan ke negara, fungsi agama dialihkan kepada pengguron. Jadi, pengguron tarekat dapat dikatakan sebagai cabang keraton yang khusus menangani masalah keagamaan, di mana rama guru berperan sebagai dewan penasihat sultan. Sebagai pusat keagamaan di keraton, pengguron juga berperan dalam mempertahankan tradisi keagamaan di keraton. Sebagaimana telah disinggung, walaupun keraton telah mengalami modernisasi, keraton tetap mempertahankan tradisi dan pepakem yang ada. Tradisi keagamaan, semisal Panjang Jimat, mendapat pengaruh kuat dari ajaran tarekat. Tarekat pun berperan dalam mempertahankan pola dan pepakem tradisi tersebut. Seperti Rama Guru Bambang Iriyanto, selain sebagai mursyid tarekat, beliau merupakan dewan kebudayaan di Keraton Kacirebonan. Dalam setiap pelaksanaan tradisi panjang jimat, rama guru Bambang selalu diundang untuk mengawasimengontrol pelaksanaan upacara keagamaan. Hal ini merupakan tindakan untuk menjaga pola tradisi dan pepakem agar sesuai dengan pola terdahulu yang bersumber dari ajaran tarekat. 152 Dalam perspektif strukturasi, dapat dilihat bahwa peran tarekat dalam proses modernisasi keraton sebagai dewan penasihat keraton merupakan proses signifikansi. Rama guru berperan mempertahankan aspek simbolik dalam bentuk nilai-nilai dan tradisi di keraton. Hal ini adalah konsekuensi dari keraton sebagai institusi simbolik, di mana sultan dan rama guru menjalankan peran signifikansi dalam mempertahankan pola kebudayaan di keraton. Ketika menjalankan peran signifikansi ini, rama guru melakukan reflexive monitoring of action di mana rama guru mengawasimengontrol pelaksanaan tradisi dan pepakem di keraton. Tujuan dari tindakan ini ialah agar tradisi yang ada tetap bertahan dan sesuai dengan institusi simbolik yang bersumber dari ajaran tarekat. Walaupun rama guru tidak lagi memimpin pengguron di dalam keraton, perannya sangat penting dalam mempertahankan nilai-nilai dan tradisi, yang mana tanpa kontrol dari mursyid, nilai-nilai simbolik di keraton dapat memudar atau tergilas oleh modernisasi. Konsekuensi modernisasi yang banyak menuntut perubahan di keraton, dikhawatirkan dapat merubah pepakem dan tradisi yang ada. Di sinilah mursyid berperan dalam mempertahankan nilai-nilai tersebut agar dapat sesuai dengan perubahan di keraton. Di tengah modernisasi ini, peran signifikansi mursyid dan sultan dalam mempertahankan pepakem di keraton merupakan proses dualitas dari perubahan di keraton. Keraton telah mengalami perubahan fungsi sebagai konsekuensi dari sultan untuk meleburkan keraton ke dalam Republik Indonesia. Sultan dan mursyid tidak lantas terlepas dari perubahan tersebut karena mereka juga di satu sisi harus menyesuaikan dan tunduk terhadap konsekuensi perubahan. Mereka 153 menjalankan peran di keraton dengan memodifikasi sistem keraton dengan tetap mempertahankan pepakem dan tradisi yang ada. Jadi, dualitas dari peran agen dan struktur dalam modernisasi keraton terlihat dari peran mursyid dan sultan dalam mempertahankan tradisi di tengah perubahan fungsi keraton yang juga merupakan kontribusi dari mereka dalam menyikapi perubahan di tataran negara. Dengan demikian, dapat dilihat kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton yang meliputi: berdirinya keraton, peralihan dari Kerajaan Pajajaran ke Kesultanan Cirebon, tradisi Panjang Jimat, dan modernisasi di keraton. Dalam kontribusi terhadap berdirinya keraton, dapat dilihat proses dominasi mursyid Syattariyah Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana yang menggunakan peran politisnya untuk menyebarkan Islam melalui institusi politk keraton. Dalam kontribusi terhadap peralihan dari Kerajaan Pajajaran ke Kesultanan Cirebon dapat dilihat peran mursyid dalam melakukan sense of transformatif dengan mengubah tatanan sosial dari Hindu ke Islam dengan legitimasi politisnya. Kemudian dalam kontribusi terhadap berkembangnya tradisi di keraton, khususnya tradisi Panjang Jimat, dapat dilihat proses signifikansi berupa pembentukan aspek simbolik keraton, di mana mursyid berperan sebagai sumber resources dari ajaran-ajaran dan tradisi rules di keraton. Terakhir, dalam kontribusi terhadap modernisasi keraton, mursyid berperan mempertahankan aspek simbolik di keraton dengan melakukan reflexive monitoring of action, agar nilai-nilai dan tradisi dapat selaras dan terus bertahan di tengah perubahan keraton akibat modernisasi. Dari keempat kontribusi tersebut, para mursyid tidak lepas dari tindakannya dalam mempengaruhi struktur keraton, baik berupa nilai-nilai, 154 tradisi, ataupun perubahan di keraton yang sebagian besar bersumber dari ajaran tarekat. Para mursyid juga turut dipengaruhi oleh struktur yang ada dan mereka tetap tunduk terhadap pepakem dan tradisi di keraton. Hubungan dialektis antara peran mursyid dan perubahan di keraton tersebut merupakan dualitas yang tidak dapat dihindarkan sebagai kontribusi mursyid mempengaruhi struktur keraton. C. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep Selain keraton, institusi sosial yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tarekat Syattariyah ialah pondok pesantren. Sejak masa wali songo dahulu, telah banyak pondok pesantren yang berkembang di Cirebon sehingga dapat ditemui banyak pondok pesantren klasik yang masih menyimpan sisa-sisa penyebaran Islam generasi terdahulu, seperti: masjid kuno, kitab-kitab klasik, tradisi dan kesenian Islam yang sarat dengan aspek singkretisme. Adapun pondok pesantren yang akan dibahas di sini ialah pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep. Kedua pesantren ini merupakan dua pesantren tertua di Cirebon yang telah berumur sekitar III-IV abad. Kedua pesantren ini juga memiliki pengaruh yang kuat dari ajaran tarekat Syattariyah. Pesantren Buntet dan Benda Kerep memiliki genealogis yang sama yang berujung pada Mbah Muqoyyim. Beliau merupakan salah satu pennganut tarekat Syattariyah yang dahulu menjabat sebagai mufti keraton Kanoman. Melalui Mbah Muqoyyim, ajaran tarekat Syattariyah yang berkembang di keraton banyak berkontribusi bagi perkembangan kedua pesantren ini. Oleh karena itu, kontribusi 155 tarekat Syattariyah dapat tersebar di luar lingkungan keraton berkat peran dari Mbah Muqoyyim dengan berdirinya kedua institusi pesantren ini. Dengan analisis berdasarkan perspektif strukturasi, peneliti akan tetap menggunakan konsep substantives yang mengandung tiga aspek: signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Kemudian institusi pesantren juga dilihat sebagai institusi pendidikan yang telah menjadi media bagi penyebaran tarekat dan pembumian ajaran-ajaran tarekat. Mursyid akan dilihat sebagai agency yang menjadi tokoh sentral dalam membahas kontribusinya terhadap struktur pesantren. Dengan mengacu pada berbagai konsep ini, arah dari analisis ini akan lebih bersifat komparatif pebandingan antar institusi. Peneliti berusaha membuat perbandingan antara kontribusi tarekat Syattariyah di Buntet dan di Benda Kerep melalui kasus-kasus yang bersifat sosiologis. Berikut adalah hasil analisis dari kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi pesantren. C.1. Berdirinya Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep Secara historis, pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep termasuk dalam pondok pesantren klasik yang telah berumur ratusan tahun. Kedua pondok pesantren tersebut juga sama-sama berdiri atas prakarsa dua orang tokoh tarekat Syattariyah, yaitu Mbah Muqoyyim dan Mbah Kyai Soleh. Sampai sekarang pun, kedua pondok pesantren ini masih sarat akan tradisi yang bersifat sufistik sebagai bagian dari kontribusi tarekat. Pondok pesantren Buntet berdiri pada tahun 1758 oleh Mbah Muqoyyim. Sebenarnya, sebelum mendirikan Buntet, Mbah Muqoyyim Kyai Muqoyyim 156 merupakan mufti keraton yang bertugas mengurusi bidang keagamaan di keraton pada masa kolonial Belanda. Namun karena pandangan dan sikap yang non- kooperatif terhadap Belanda yang telah banyak mencampuri urusan internal keraton, Kyai Muqoyyim memilih pergi meninggalkan keraton dan berkelana menyeb arkan syi‟ar Islam ke wilayah sekitar Cirebon. Kyai Muqoyyim pun berdakwah secara nomaden dari satu tempat ke tempat lain Hasan, 2014:20-21. Beliau memilih tidak menetap karena dakwahnya dianggap mengancam dominasi status quo Belanda yang dapat memicu pemberontakan. Setelah beliau berkelana bertahun-tahun, akhirnya beliau menetap di sebelah barat Sindang Laut, di tempat yang bernama Buntet. Tempat pertama kali dakwah beliau bukan terletak di pondok pesantren Buntet sekarang, tetapi di sebelah selatan desa. Peninggalan dakwah Kyai Muqoyyim ialah adanya makam santri, yang dipercaya sebagai makam santri beliau yang dibunuh Belanda secara membabi-buta karena gagal menyergap beliau Hasan, 2014:22. Gambar 4.3 Makam Santri di Buntet Sebagai Bukti Dakwah Mbah Muqoyyim Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Buntet pada tanggal 5 Mei 2015. 157 Awalnya santri Kyai Muqoyyim hanya berjumlah sedikit yang terbatas pada masyarakat sekitar desa saja. Lama-kelamaan, orang-orang mulai melihat karomah dari beliau dan bersimpati sehingga banyak orang berguru pada beliau yang berasal dari berbagai wilayah dari Jawa Barat ataupun Jawa Timur. Dengan santri yang semakin banyak akhirnya berdirilah pondok pesantren Buntet pada sebagai pondok pesantren pertama di Cirebon. Maka dari sini, dapat dilihat bahwa berawal dari mufti keraton, Mbah Muqoyyim telah berkontribusi terhadap berdirinya pondok Pesantren Buntet. Menurut Kyai Kyai Babas: “ Mbah Muqoyim mufti keraton, otomatislah karena thoriqoh Syattariyah itu menjadi thoriqoh kesultanan, ya otomatis para muftinya juga. Tapi dari ajaran-ajaran beliau juga itu mengarah kepada thoriqoh Syattariyah ”. Mbah Muqoyyim yang merupakan mursyid tarekat telah berperan dalam membentuk suatu institusi sosial dalam format pondok pesantren dengan basis ajaran tarekat Syattariyah. Di sini terdapat proses legitimasi dalam perspektif strukturasi. Latar belakang beliau sebagai mufti keraton telah memberikan legitimasi keabsahan sehingga keraton pun mendukung tindakan beliau untuk berdakwah mendirikan pesantren. Namun Belanda bersikap skeptis terhadap berdirinya pondok pesantren Buntet karena sikap non-kooperatif dari Mbah Muqoyyim terhadap pemerintah kolonial. Walaupun tidak mendapat legitimasi dari pihak kolonial, dukungan keraton akhirnya telah memberikan dominasi terhadap usaha penyebaran Islam yang sulit dilakukan di keraton karena berada di bawah pengawasan Belanda. Singkatnya, Mbah Muqoyyim sebagai mursyid tarekat Syattariyah telah berkontribusi terhadap berdirinya pesantren Buntet sebagai basis penyebaran 158 Islam dan tarekat. Bahkan mendominasi peran penyebaran Islam yang semula dilakukan keraton. Sebagaimana di Buntet, berdirinya pesantren Benda Kerep juga merupakan kontribusi dari mursyid tarekat Syattariyah. Pesantren Benda Kerep didirikan sekitar tahun 1830-an oleh Mbah Kyai Soleh di sebidang tanah yang merupakan hibah dari Keraton Kanoman. Beliau merupakan keturunan Mbah Muqoyyim yang juga merupakan salah satu mursyid tarekat Syattariyah di Buntet. Kyai Hasan, mursyid tarekat Syattariyah dan sesepuh Pesantren Benda Kerep menjelaskan: Nah kenapa, di sini namanya Benda Kerep, itu awalnya namanya Alas Cimeuweuh. Kalau bahasa Sunda, Ci itu air, nah eweuh itu enggak ada, enggak kelihatan. Kakek saya datang, jadilah pemukiman. Babad alas, babad hutan lah istilahnya. Setelah jadi pemukiman, ditempati orang, namanya diganti jadi Benda Kerep. Benda itu benda, barang, kerep itu banyak. Jadi banyak bendanya. Benda juga bisa artinya pohon, karena memang dulu banyak pohon Benda. Kalau tanahnya sih hibah, hibah dari keraton ke kakek saya supaya dibabad hutan itu menjadi pedukuhan, ditempati orang, menyiarkan Islam di sini. Awalnya Benda Kerep merupakan sebuah hutan alas yang tidak berpenghuni dengan nama Cimeuweuh. Lalu keraton Kanoman mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa menduduki daerah ini maka dia akan menguasai kampung ini. Kemudian datanglah Mbah Kyai Soleh bersama gurunya yang juga mursyid tarekat, bernama Kyai Anwaruddin Al-Kriyani Mbah Kyai Kriyan. Akhirnya, yang semula hutan, dibabat oleh Mbah Kyai Soleh dan gurunya menjadi pedukuhan dan tempat berdakwah. Kyai Soleh kemudian mendirikan pondok pesantren dan Ciemeuweuh pun diganti namanya menjadi Desa Benda Kerep. Nama Benda tersebut diambil dari nama pohon yang banyak 159 terdapat di sana yaitu pohon Benda. Adapun Kerep berarti banyak. Dengan kata lain, Desa Benda Kerep berarti desa yang terdapat banyak pohon Benda di sana. Menurut Kyai Hasan, Benda Kerep juga berarti banyak harta, yang maksudnya masyarakat Benda tidak akan kekurangan karena alamnya subur. Di pesantren Benda Kerep, tarekat Syattariyah didakwahkan secara terbuka tidak terbatas di kalangan keluarga secara turun-temurun saja. Masyarakat umum dan para santri pun dipersilahkan untuk berbai‟at tarekat Syattariyah. Akhirnya banyak masyarakat yang menganut tarekat dan hampir semua tradisi masyarakat desa dipengaruhi aspek tarekat. Tarekat Syattariyah pun tumbuh pesat di sana. Dari segi adat-istiadat ataupun tradisi semuanya memiliki akar ajaran Syattariyah. Pendirian pondok pesantren pun mendukung proses singkretisme antara tradisi masyarakat dan ajaran tarekat. Berdirinya pondok pesantren menjadi media dalam peran mursyid untuk mempengaruhi aspek sosial, budaya, agama, dan sistem pendidikan di desa Benda. Kontribusi ini tidak lepas dari peran Mbah Kyai Soleh sebagai agency yang telah berperan dalam proses signifikansi terhadap berdirinya aspek simbolik dalam struktur institusi pesanten. Bila dikomparasikan, terdapat persamaan dan perbedaan antara kontribusi tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda Kerep lihat tabel 4.3. Persamaannya ialah pertama, Mbah Muqoyyim dan Mbah Kyai Soleh, kedua mursyid tarekat Syattariyah tersebut telah berkontribusi terhadap berdirinya pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep sebagai sebuah institusi sosial. Kedua, Mbah Muqoyyim dan Mbah kyai Soleh memiliki akar genealogis yang sama sebagai keturunan keraton Kanoman. Ketiga, mursyid tarekat Syattariyah di di Buntet dan Benda 160 Kerep telah menanamkan ajaran, aturan, dan tata kehidupan rules yang bersumber dari ajaran tarekat Syattariyah resources. Keempat, mursyid tarekat di kedua pesantren tersebut berperan dalam proses signifikansi yang mentransmisikan ajaran tarekat sebagai aspek simbolik nilai-nilai di masyarakat. Tabel 4.3 Hasil Komparasi Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Berdirinya Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep No Persamaan Perbedaan 1 Pendiri pesantren Buntet dan Benda Kerep Mbah Kyai Muqoyyim dan Kyai Soleh adalah mursyid tarekat Syattariyah Pada awal berdirinya pondok pesantren, Mbah Muqoyyim melakukan bai’at secara lebih inklusif tertutup, sementara Mbah Kyai Soleh melakukan bai’at secara lebih inklusif terbuka 2 Mbah Muqoyyim dan Mbah kyai Soleh memiliki akar genealogis yang sama sebagai keturunan keraton Kanoman Pondok pesantren Buntet berdiri karena sikap anti-kolonial terhadap Belanda, sementara Benda Kerep berdiri karena dukungan Keraton Kanoman 3 Mursyid tarekat Syattariyah di di Buntet dan Benda Kerep telah menanamkan ajaran, aturan, dan tata kehidupan rules yang bersumber dari ajaran tarekat Syattariyah resources. Dominasi tarekat Syattariyah di Benda lebih kuat, sementara di Buntet dominasinya tergantikan oleh tarekat Tijaniyah yang masuk pada generasi ke-3 kepemimpinan Buntet 4 Mursyid tarekat Syattariyah di kedua pesantren tersebut telah berperan dalam proses signifikansi yang mentransmisikan ajaran tarekat sebagai aspek simbolik dalam nilai-nilai sosial di pesantren Awal berdirinya pesantren Buntet tidak mendapat legitimasi dari keraton karena pengaruh politk Belanda. Sementara berdirinya pesantren Benda Kerep mendapat legitimasi penuh dari Keraton Kanoman yang mempelopori berdirinya Benda Kerep. Adapun perbedaan dari kontribusi tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda Kerep ialah pertama, pada awal berdirinya pondok pesantren, di Benda proses bai’at tarekat Syattariyah berlangsung secara lebih inklusif terbuka, di mana 161 murid tarekatnya dapat berasal dari kalangan mana saja yang berbai‟at kepada Kyai Soleh. Berkebalikan dengan di Buntet yang berlangsung secara lebih eksklusif terbatas di kalangan keturunan saja, di mana Mbah Muqoyyim hanya mengijazahkan tarekat kepada keturunannya saja dan tidak secara luas. Kedua, berdirinya pesantren Buntet merupakan sikap anti-kolonial dari Mbah Muqoyyim karena tidak bersedia untuk bekerja sama dengan Belanda yang terlalu banyak ikut campur terhadap masalah internal keraton. Sementara pesantren Benda berdiri karena adanya sayembara dari keraton Kanoman untuk membuka hutan menjadi pemukiman yang hadiahnya berupa hibah tanah tersebut. Ketiga, dominasi tarekat Syattariyah di Benda lebih kuat, sementara di Buntet dominasinya tergantikan oleh tarekat Tijaniyah sejak generasi ke-3 kepemimpinan Buntet. Keempat, awal berdirinya pesantren Buntet tidak mendapat legitimasi politik dari Belanda karena sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Sebaliknya, berdirinya pesantren Benda Kerep mendapat legitimasi penuh dari keraton Kanoman yang telah mengadakan sayembara untuk membabad hutan menjadi pemukiman masyarakat yang akhirnya menjadi pesantren. C.2. Berkembangnya Tradisi-tradisi di Pesantren Tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda juga telah berkontribusi terhadap perkembangan tradisi di pesantren. Sifatnya yang neo-sufistik telah mendukung tarekat ini untuk lebih membumi sehingga dapat bersinergi dengan tatanan sosial yang ada. Tradisi-tradisi di pesantren Buntet dan Benda pun telah berbaur dengan ajaran tarekat yang termanifestasi dalam hubungan antara kyai dan santrinya. 162 Tradisi di pesantren yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat ialah tradisi kliwonan, muludan, dan haul. Seperti di pengguron, tarekat di pesantren juga mengadakan tradisi kliwonan. Tradisi ini merupakan pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qadir Al- Jailani setiap sebulan sekali, tepatnya pada malam Jum‟at Kliwon dalam kalender Jawa. Sejatinya tradisi ini merupakan tradisi tarekat yang diterapkan di pesantren. Partisipannya pun tidak hanya dari kalangan murid tarekat saja, tetapi para santri dan masyarakat juga diperkenankan untuk hadir. Tradisi kedua yaitu muludan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana di pengguoron, tradisi muludan dilaksanakan secara besar-besaran dengan acara utamanya yaitu pembacaan kitab Barzanji. Muludan merupakan tradisi tahunan yang juga berakar dari tradisi tarekat. Secara formal fiqih, tradisi muludan tidak diajarakan dalam tradisi Islam yang formalistik. Tradisi muludan ini dikatakan sebagai bid’ah hasannah, yaitu ajaran yang tidak dilakukan Nabi tetapi memiliki fungsi yang positif bagi masyarakat. Tradisi ini mulai dilakukan semenjak Sunan Gunung Jati menggelarnya secara besar-besaran yang terpusat di Keraton Pakungwati, yang dikenal dengan acara Panjang Jimat. Para wali lah yang telah memformulasikan tradisi ini sebagai suatu agenda hari besar Islam. Kemudian para kyai atau mursyid di Buntet dan Benda yang masih merupakan keturunan beliau menerapkan tradisi ini di pesantren. Tradisi ketiga yaitu haul tradisi tahunan yang dilakukan setiap tanggal dari kewafatan pendiri atau sesepuh pesantren. Tradisi ini berjalan lebih semarak dari tradisi muludan. Biasanya di Buntet segenap santri, kyai, alumni, dan masyarakat pesantren ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Acara pokoknya yaitu rangkaian 163 tawasulan dan tahlil yang dipimpin oleh tokoh keagamaan di pesantren. Kemudian disusul dengan ceramah dari ulama tingkat nasional yang sengaja diundang untuk memberikan tausiyah. Terakhir biasanya ditutup dengan sarasehan dan makan bersama. Tradisi haul ini sejatinya merupakan bentuk Islamisasi dari tradisi masyarakat nusantara yang dahulu beragama Hindu. Tradisi perayaan 7 hari, 100 hari, atau 1 tahun kewafatan merupakan tradisi Hindu. Para wali dengan menekankan aspek tasawuf untuk membumikan ajaran Islam, memformulasikan tradisi yang sudah berkembang menjadi tradisi Islam melalui transformasi tradisi Hindu dengan menyisipkan esensi Islam. Ini merupakan kelebihan dari tasawuf untuk dapat membumikan ajaran Islam dengan meng- Islamkan tradisi yang sudah ada, khususnya tradisi haul. Jadi, dapat dilihat bahwa tarekat berkontribusi terhadap berbagai tradisi di pesantren melalui proses transformasi tradisi dari budaya ke agama, seperti haul, muludan, kliwonan, ataupun pola hubungan santri-kyai. Para mursyid dan kyai berperan sebagai agency dalam memformulasi ajaran tarekat yang dapat diterima di masyarakat. Konsekuensi dari tindakannya telah membentuk tradisi-tradisi yang sekarang dipraktikan sebagai ritual rutin dan praktik sehari-hari. Dalam kacamata strukturasi, proses transformasi tradisi ini merupakan bagian signifikansi para mursyid dengan menyisipkan aspek simbolik dalam tradisi keagamaan yang telah mengakar di masyarakat menjadi tradisi Islam. Ajaran tarekat dijadikan sebagai pondasi membumikan aspek tasawuf dalam tradisi di pesantren. Baik mursyid di Buntet maupun Benda Kerep telah membentuk suatu institusi simbolik dalam tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat. 164 C.3. Hubungan Sosial di Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep Di pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep, tarekat Syattariyah juga turut berkontribusi dalam membentuk hubungan sosial di masyarakat pesantren. Kontribusi tersebut tercermin dari bagaimana tarekat turut mempengaruhi pola hubungan-hubungan sosial di pesantren. Hubungan sosial ini dapat dilihat dari 1 hubungan antara kyai dan santri; 2 pola pernikahan; 3 hubungan antar penganut tarekat di pesantren; dan 4 hubungan antar pesantren. Pertama, kontribusi terhadap hubungan antara kyai dan santri. Hubungan kyai-santri berlangsung dalam hubungan patron-klien. Segala tingkah laku, pola berpikir dan tindakan dari para santri bersumber dari ajaran kyai. Para santri sangat taat kepada kyainya yang menyangkut segala hal, baik urusan keagamaan maupun sikap sehari-hari. Kyai menjadi tokoh sentral dari pesantren yang dipimpinnya. Santri pun dengan taat mengikuti setiap apa yang kyai perintahkan. Menurut Kyai Babas: Pendidikan apa pun di sini, terutama dalam mashalah yaumiyah, yang paling ditekankan pertama itu akhlaqul karimah. Kalau memang pelajaran dalam kitab Ta’lim Muta’alim, kita wajib menghormati guru, nah ketika santri menghormati kyai nya itu di atas rata-rata menghormati para guru. Dan itu diterapkan bukan hanya kepada guru-guru dalam bidang agama, guru matematika pun para santri diajarkan ta’dzhim sebagaimana kepada guru-guru dalam bidang agama. Nah dalam tarekat juga kita diajarkan untuk menghormati, ta’dzhim kepada guru, syeikh, orang-orang sufi semua. Nah di sini juga ditekankan untuk pelajaran aqidah, akhlaq juga dari para kyai, bahwa ketika mengenal kyai, siapa saja orang yang dekat dengan kyai, keluarga, khodam pembantu, dll. itu harus dihormati. Dalam tradisi pesantren, pola hubungan demikian merupakan bagian dari pendidikan untuk ta’dzhim memuliakan guru. Rujukannya ialah kitab Ta’lim 165 Muta’alim yang memuat ajaran tentang bagaimana jalan hidup seorang muta’alim untuk dapat mencapai kesuksesan hidup. Di dalamnya, santri diajarakan untuk taat terhadap guru atau kyainya yang dimotivasi oleh kesuksesan dalam belajar. Maka, kyai merasionalkan ajaran ini bahwa bila ingin sukses belajar maka haruslah taat kepada kyai. Dan di dalamnya juga diajarkan untuk menghormati bukan hanya pada kyainya saja, tetapi juga pada keluarga dan orang-orang yang bersangkutan dengannya seperti anak, istri, sanak-famili, bahkan khodam pembantunya. Tradisi ini telah mengakar dalam pola hubungan santri-kyai di pesantren. Selanjutnya Kyai Babas menjelaskan tentang pola hubungan kyai-santri ini sebagai berikut: Jadi hubungan antara kyai dengan murid, antara guru dengan murid, tidak hanya sebatas hubungan murid mengaji saja, tetapi ditanamkan ibarat hubungan murid dengan mursyid. Walaupun seumpama kyainya belum masuk thoriqoh, kyainya bukan mursyid, tapi yang ditanamkan kepada para santrinya itu, santri adalah muridnya dan kyai adalah mursyidnya, sehingga t a’dzhimnya, menghormatinya, tidak seperti guru biasa, tapi seperti guru spiritual ataupun guru mursyid. Jadi hubungan antara santri dengan kyainya diibaratkan hubungan murid dengan mursyidnya. Maka demikian, konsep ta’dzhim terhadap kyai ini sejatinya merupakan bagian dari manifestasi untuk mahabbah terhadap mursyid. Secara linear, para mursyid di Buntet dan Benda Kerep yang juga berpredikat kyai menerapkan konsep mahabbah ini dalam pola hubungan ta’dzhim terhadap kyai. Serupa dengan ta’dzhim terhadap kyai, konsep mahabbah terhadap mursyid berartikan bahwa para murid haruslah menaati segala perintah, ucapan, perbuatan, dan menghomati keluarga dan sanak famili mursyidnya. Tujuannya ialah mencapai kesuksesan dalam menapaki jalan spiritual karena mursyid dipandang sebagai 166 wakil Nabi yang berderajat wali. Pola hubungan ini pun telah mengakar dan membudaya di kalangan tarekat dan juga pondok pesantren. Dengan demikian, ajaran ta’dzhim terhadap kyai bersumber dari konsep mahabbah yang diajarkan dalam tarekat. Kedua, kontribusi terhadap pola pernikahan di pesantren. Di pesantren Buntet pada umumnya, penganut tarekat Syattariyah menikah dengan sesama penganut Syattariyah. Hal itu didasari oleh adanya kesamaan pola pikir, amalan, dan ritual yang dijalankan karena berada dalam satu lingkup tarekat yang sama. Namun demikian, beberapa kasus mencerminkan bahwa terdapat sebagian masyarakat pesantren yang menikah dengan penganut tarekat yang berbeda, seperti murid-murid dari Kyai Babas. Sebagaimana dijelaskan bahwa di Buntet mayoritas masyarakat Buntet merupakan penganut tarekat Tijaniyah, sementara Syattariyah jumlahnya minoritas. Hal ini mendorong adanya pernikahan antar penganut Syattariyah dan Tijaniyah di Buntet. Karena memang pernikahan beda tarekat tidak dilarang dalam dunia tasawuf. Menurut Kyai Babas: Jadi, kalau di Buntet unik, ada memang suaminya thoriqoh Syattariyah, istrinya thoriqoh Tijaniyah. Contohnya Kyai Abdullah Abbas itu dia kan mursyid Syattariyah, tapi Nyai Zaenab nya Tijaniyah. Sehingga keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Jadi keberadaan tarekat Syattariyah dengan Tijaniyah telah mewarnai kehidupan para santri, kehidupan masyarakat sekitar, kehidupan keluarga, sudah diwarnai dengan perjalanan kedua tarekat ini. Kendati menikah beda tarekat, hubungan antar suami-istri dalam keluarga berjalan secara harmonis. Tidak ada perselisihan yang didasarkan atas perbedaan aliran tarekat. Hanya saja memang amalan harian wiridan antar suami-istri memang berlainan karena setiap tarekat memiliki patokan amalan masing-masing. 167 Perbedaan itu pun sebatas amalan saja, sehari-hari hubungan mereka berjalan harmonis dan perbedaan tarekat bukan menjadi sumber konflik dalam pernikahan. Bila dibandingkan, di pesantren Buntet tarekat Syattariyah lebih minoritas, sementara di Benda Kerep Syattariyah lebih mendominasi. Kebanyakan murid dari Kyai Hasan pun menikah dengan sesama penganut Syattariyah. Pernikahan sama tarekat telah menjadi suatu kriteria pertimbangan dalam memilih pasangan. Memang pernikahan beda tarekat tidak dilarang, namun nilai-nilai sosial yang berkembang menjadikan pernikahan sama tarekat sebagai suatu syarat memilih pasangan. Hal ini bertujuan agar hubungan dalam rumah tangga lebih harmonis dan tidak ada suatu perselisihan yang meruncing. Ketiga, kontribusi terhadap hubungan sesama anggota tarekat. Di Buntet dan Benda Kerep, tarekat juga berkontribusi dalam membentuk hubungan antar penganut tarekat menjadi lebih personal. Bila di pengguron hubungan antar murid tarekat dan mursyid lebih bersifat sosial dan terbuka, di pesantren hubungan tersebut lebih bersifat personal dan tertutup. Hal ini dikarenakan di pesantren, tarekat lebih dipandang sebagai amalan individual yang dijalankan secara sendiri- sendiri. Kyai Hasan menjelaskan tentang pandangannya pada tarekat yang lebih bersifat wirid: Kan thoriqoh cuma wiridan. Wiridnya itu sendiri-sendiri. Intinya sih membaca kalimat laa ilaha illallah. Paling kalau acara yang ramai itu haul saja. Kalau thoriqot sih sendiri-sendiri. Nanti sesekali mereka balik lagi ke sini. Silaturahmi. Mulaqqo lah, nah nanti saya perhatikan perkembangannya. Berdasarkan pandangan Kyai Hasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa tarekat adalah aktivitas individual, berupa amalan yang sifatnya personal. Di sini 168 juga tidak ada aktivitas ketarekatan semisal dzikiran, yang dilakukan secara berjamaah. Malahan terkadang, antar sesama penganut tarekat tidak saling kenal satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ditemukan aktivitas ketarekatan yang dilakukan secara sosial, kecuali dalam perayaan tradisi keagamaan, seperti haul yang sifatnya umum. Keempat, kontribusi terhadap hubungan antar pesantren. Saat ini, pola hubungan antara pesantren Buntet dan Benda terbilang kurang harmonis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Benda Kerep secara genealogis merupakan keturunan dari Buntet, karena Mbah Kyai Soleh merupakan anak dari Kyai Abdul Jamil, atau kakak dari Kyai Abdullah Abbas, yang seharusnya mewarisi kepemimpinan Buntet. Namun karena pada masa itu tarekat Tijaniyah mulai mendominasi di Buntet, akhirnya hal itu menjadi salah satu faktor yang mendorong Kyai Soleh untuk mendirikan Benda Kerep dan menyebarkan tarekat Syattariyah di sana. Kyai Annas, yang merupakan mursyid Tijaniyah menjelaskan secara panjang lebar: Kenapa Buntet gak pernah akur dengan Benda Kerep, karena Buntet sudah Tijaniyah. J adi awalnya, Kyai Muta’ad punya putera yang mendirikan pondok itu tiga. Yang berhak memimpin tambuk kekuasaan Buntet Pesantren itu Kyai Sholeh. Nah Benda Kerep itu sebetulnya jatahnya Kyai Abdul Jamil. Kerena Benda Kerep itu bukan punya Buntet, itu tanah yang diberikan oleh keraton untuk Kyai Abdul Jamil. Kyai Sholeh tidak sanggup menerima modernisasi. Akhirnya Kyai Sholeh yang memimpin Benda Kerep, Kyai Abdul Jamil memimpin Buntet. Tukeran lah gitu. Buntet zaman Kyai Annas mengambil tarekat Tijaniyah, akhirnya Benda Kerep menjauhi Buntet. Itu karena satu modernisasi, dua karena tarekatnya beda, Tijaniyah. Akhirnya sampai sekarang tidak ada orang Benda Kerep yang mencoba menjalin hubungan kekeluargaan dengan menikahkan putera-puterinya dengan orang Buntet. 169 Dengan kata lain, akibat perbedaan aliran tarekat akhirnya hubungan antara pesantren Buntet dan Benda Kerep menjadi tidak harmonis. Selain faktor perbedaan tarekat, memang penerimaan Buntet terhadap modernisasi juga memicu ketidakharmonisan hubungan antara Buntet dan Benda Kerep. Dengan demikian, dalam kasus ini tarekat berkontribusi sebagai sumber konflik dari hubungan antar Buntet dan Benda Kerep. Bahkan, sampai saat ini masyarakat Benda tidak diperkenankan untuk menikah dengan masyrakat Buntet. C.4. Modernisasi Pondok Pesantren Saat ini pondok pesantren Buntet telah bertransformasi menjadi pesantren modern. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya sekolah dalam format madrasah „aliyah dan tsanawiyah. Kebijakan untuk memodernisasikan pondok pesantren memiliki tujuan untuk dapat membekali para santri dengan skill yang lebih agar setelah lulus dapat lebih berkompetisi di era modern saat ini. Kendati telah modern, para ulama Buntet tidak menghilangkan unsur tradisional pesantren berupa pengajaran kitab kuning dan tata-cara kehidupan santri. Para kyai juga tetap membuka pengajian rutin selepas para santri selesai sekolah. Biasanya pada pagi hari dari pukul 07.00-14.00 para santri sekolah, dan mulai pukul 16.00 atau setelah shalat ashar mereka memulai pengajian kitab sampai pukul 21.00 malam. Pola pengajaran ini menjadi suatu perpaduan antara unsur modern dan tradisional sebagai bentuk adaptasi terhadap modernisasi. Modernisasi pondok pesantren ini pun tidak lepas dari peran para mursyid tarekat yang terdapat di Buntet. Para mursyid tidak menolak modernisasi, tetapi 170 bersikap lebih selektif. Mereka mengambil hal-hal positif dari kemajuan peradaban dan menyisihkan hal-hal negatif. Ini merupakan bagian dari sikap tarekat Syattariyah yang neo-sufistik yang dapat bersinergi dengan tradisi dan hal- hal lain di luar tarekat. Dalam sudut pandang strukturasi, para mursyid telah berperan dalam proses monitoring of action prihal modernisasi di pesantren. Mereka mengadopsi sistem sekolah bagi para santri dengan tidak meninggalkan aspek tradisional dalam sistem pengajaran pesantren. Seperti figur Kyai Babas, selain berpredikat sebagai mursyid, beliau juga mengajar di madrasah dan menjadi kepala sekolah MANU Putra. Beliau tetap membai‟at dan memimpin para murid tarekat di Buntet dengan tetap mengajar di sekolah. Beliau juga tidak meninggalkan unsur tradisional pengajian kitab di pondok Andalucia yang dipimpinnya. Dengan kata lain, walaupun Kyai Babas seorang mursyid, beliau tidak menafikan modernisasi intitusi pesantren. Bahkan, beliau ikut berpartisipasi dalam struktur kepengurusan madrasah di Buntet. Berbeda dengan proses monitoring di pesantren Benda Kerep. Para mursyid yang juga merangkap kyai menolak mentah-mentah modernisasi di pondok pesantren. Para ulama Benda Kerep tetap menerapkan sistem pengajaran klasik yaitu sistem sorogan pembacaan kitab kuning. Mereka memandang sekolah dapat mengkontaminasikan ajaran-ajaran dan tradisi ketarekatan dan merubah tatanan sosial yang sudah ada. Sikap selektif ini merupakan bagian dari monitoring of action para mursyid terhadap modernisasi institusi pendidikan pesantren. Sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa modernisasi pondok pesantren ini juga 171 menjadi pemicu hijrahnya Kyai Soleh dari Buntet dan mendirikan pondok pesantren Benda Kerep. Bila dikomparasikan proses monitoring of action antara mursyid di pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep, keduanya saling kontradiktif prihal modernisasi pondok pesantren. Mursyid di Buntet lebih bersifat inklusif terhadap modernisasi pendidikan. Mereka mengadopsi sistem sekolah dan mengombinasi- kan dengan sistem sorogan tanpa menghilangkan unsur tradisional. Sementara mursyid di Benda kerep cenderung menolak modernisasi pondok pesantren dengan tujuan menjaga tatanan sosial yang sudah ada agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal baru. Di sini peneliti tidak mengunggulkan yang satu di atas yang lain. Keduanya sikap yang saling kontradiktif ini merupakan bagian dari peran mursyid sebagai agency. Mursyid di Buntet lebih berorientasi terhadap pengembangan institusi pesantren, sementara mursyid di Benda lebih berorientasi untuk me-maintenance pola tradisional yang telah mengakar di institusi pesantren. Dalam perspektif strukturasi, modernisasi di Buntet juga dapat dilihat sebagai suatu proses obsolence keusangan dari struktur yang ada. Struktur tradisional pesantren yang hanya membekali para santri dengan bekal keagamaan ataupun amalan-amalan sufistik dinilai tidak relevan dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya keseimbangan antara agama dan sains. Para santri memerlukan skill baik pengetahuan maupun keahlian untuk dapat berpartisipasi, bahkan berada di garda depan untuk berprestasi di era modern. Oleh karena itu, para kyai yang juga merangkap mursyid di Buntet memilih untuk menyinergikan antara tradisi dan modernisasi dengan cara melakukan invensi pada pola 172 tradisional dan sistem pendidikan sekolah. Dengan begitu struktur tradisional yang dinilai telah usang, diperbaharui dengan sistem pendidikan modern agar relevan dengan modernisasi dan tuntutan zaman setelah para santri tamat belajar. Melalui proses demikian, para mursyid telah berperan dalam perubahan modernisasi pendidikan di pesantren melalui transformasi dan kombinasi antara pola pengajaran kitab kuning dan sistem sekolah. Perubahan tersebut juga turut mempengaruhi cara pandang dan tindakan mursyid di pesantren, seperti Kyai Babas yang menjadi guru di madrasah sembari tetap mengajari kitab kuning dan tarekat. Ini merupakan bagian dari proses dualitas struktur di pesantren, yang mana mursyid berperan mempengaruhi struktur, tetapi di satu sisi mursyid juga tidak dapat lepas dari perubahan dalam struktur tersebut sebagai kotribusinya. Dengan demikian, kontribusi tarekat terhadap institusi pesantren Buntet dan Benda Kerep meliputi kontribusi terhadap berdirinya pesantren, terhadap perkembangan tradisi-tradisi di pesantren, terhadap pola hubungan sosial di pesantren, dan proses modernisasi di pesantren. Dalam kontribusi terhadap berdirinya pesantren, dapat dilihat bagaimana mursyid berperan dalam mendirikan pesantren yang mendapat legitimasi politis dari keraton. Di sini juga dapat dilihat bahwa kesamaan dengan keraton, di mana mursyid berperan terhadap berdirinya institusi sosial. Dalam kontribusi terhadap berkembangnya tradisi di pesantren, mursyid memiliki peran signifikansi dengan membentuk aspek simbolik pesantren berupa tradisi kliwonan, muludan, dan haul yang dipengaruhi nilai-nilai sufistik ajaran tarekat. Dalam kontribusi terhadap pola hubungan sosial di pesantren, mursyid sebagai agency berperan dalam proses monitoring of action dalam 173 memonitor bentuk dan pola hubungan sosial yang mempengaruhi hubungan antara santri-kyai, pola pernikahan, hubungan antar sesama anggota tarekat, dan hubungan antar pesantren. Dengan proses monitoring of action, mursyid juga berperan dalam mempengaruhi perkembangan institusi pesantren dalam proses modernisasi. Mursyid memiliki otoritas untuk menentukan pola perubahan dan pengembangan pesantren untuk menerima modernisasi dengan memadukannya bersama pengajaran kitab kuning di pesantren, atau menolaknya dengan memertahankan format institusi pesantren untuk tetap mengikuti pola tradisional. Dengan berbagai kontribusi tersebut dapat dilihat bahwa terdapat peran mursyid dalam mempengaruhi pola kehidupan keagamaan maupun perkembangan institusi pesantren itu sendiri. Kontribusi yang diberikan para mursyid sebagai agen terhadap struktur pesantren tetap mempengaruhi diri mereka yang masih berada dalam lingkungan struktur tersebut. Misalnya, dalam pola hubungan kyai- santri yang diadopsi dari hubungan mursyid-murid dalam konsep ta’dzim, mereka tetap mempraktikannya dan tidak bisa lepas dari pola yang telah mereka buat. Pola hubungan seperti ini menjadi basis dari relasi sosial dalam institusi pesantren yang tetap berlangsung di Buntet maupun Benda Kerep. Mursyid memang menjadi agen bagi perkembangan institusi pesantren sebagai kontribusinya dalam mempengaruhi dinamika perubahan di dalamnya, namun mursyid pun tidak bisa lepas dari kontribusi tindakannya yang selanjutnya turut mempengaruhi dirinya dalam melakukan tindakan karena mursyid pun masih berada dan terkait erat dengan institusi pesantren di mana mereka berada. 174

D. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Industri Batik Trusmi