Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik

189 penganut tarekat tidak lagi membuat batik sebagai suatu ekspresi simbolik keagamaan tarekat yang dituangkan dalam motif batik. Hal itu dikarenakan sistem indutri yang ada menuntut mereka hanya menjadi buruh batik yang membuat batik untuk keuntungan semata. Padahal, kegiatan membatik merupakan bagian dari dakwah tarekat melalui motif-motif simbolik batik yang bersumber dari ajaran tarekat. Ketidaksesuaian antara aspek modernisasi dengan sufistik ini akhirnya mengebiri peran tarekat terhadap industri batik di Trusmi.

E. Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik

Berdasarkan pembahasan tentang kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton, pesantren, dan industri batik, dapat dilihat beberapa bentuk perubahan sosial. Dari kontribusi terhadap keraton, telah terjadi perubahan sosial berupa peralihan dari sistem sosial Hindu ke sistem sosial Islam. Proses perubahan tersebut terjadi pada masa Sunan Gunung Jati sekitar abad ke- 16 di mana sistem sosial Hindu di bawah dominasi Kerajaan Pajajaran berubah menjadi sistem sosial Islam di bawah dominasi Kesultanan Cirebon. Perubahan ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Cirebon dan keruntuhan Kerajaan Pajajaran. Sunan Gunung Jati menjadi agency pelaku perubahan dengan mendeklarasikan Kesultanan Cirebon sebagai penerus Pajajaran yang menerapkan sistem Islam pada tatanan sosial masyarakat Hindu yang tersebar di seluruh Jawa Barat, mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Jakarta, hingga Banten. Sunan Gunung Jati selaku mursyid telah melakukan sense of transformative dengan menerapkan aturan-aturan dan nilai-nilai Islam terhadap kehidupan masyarakat. 190 Secara sosiologis, perubahan tersebut merupakan bentuk invantion invensi, yaitu perubahan yang mengombinasikan antara unsur sosial yang sudah ada dengan unsur sosial baru, yang meliputi rangkaian modifikasi atau pengembangan ulang baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya Horton dan Hunt, 1984:212. Jadi, sistem keagamaan yang saat itu menjadi poros dari tatanan sosial masyarakat Cirebon merupakan gabungan dari nilai-nilai Hinduistik yang telah tertanam kuat dengan nilai-nilai Islam yang bernuansa sufistik. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tersebut diantaranya, yaitu faktor the role of innovator peran dari inovator. Jadi, Sunan Gunung Jati sebagai agen perubahan telah berhasil manjadi inovator yang dilegitimasi dengan berdirinya Kesultanan Cirebon. Peran Sunan Gunung Jati yang utama ialah melakukan perubahan dengan menggabungkan antara nilai-nilai dan tradisi Hindu, termasuk sistem ketuhanannya, dengan nilai-nilai Islam sehingga selaras dengan ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari berbagai tradisi dan ritual keagamaan yang berkembang hingga saat ini, seperti: panjang jimat, ziarah kubur, nujuh bulanan, tari topeng, sintren, ataupun wayang purwa Cirebon. Perubahan pada tatanan budaya simbolik ini selanjutnya berpengaruh terhadap aspek ekonomi, politik, dan pendidikan masyarakat yang kesemuanya diwarnai singkretisme budaya Hindu dan ajaran Islam. Selain perubahan dari masyarakat Hindu ke masyarakat Islam, perubahan sosial di Cirebon juga dapat dilihat dari modernisasi di Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut telah mengalami modernisasi yang ditandai oleh perubahan fungsi yang awalnya sebagai institusi pemerintahan, 191 agama, dan budaya, sekarang hanya sebagai institusi budaya. Keraton hanya berperan dalam menjaga eksistensi budaya Cirebon, dan sultan berperan sebagai pemangku adat yang tidak memiliki otoritas politik ataupun pemerintahan. Perubahan ini terjadi pada awal berdirinya Republik Indonesia tahun 1945 hingga saat ini, di mana keraton melebur ke dalam negara, mengikuti, serta tunduk terhadap aturan negara. Semenjak saat itu, keraton kehilangan otoritas politiknya dan sistem kepengurusan keraton mulai berubah dengan mengadopsi sistem birokrasi dalam hal administrasi, ekonomi, ataupun legitimasi politik. Modernisasi di keraton ini dipengaruhi oleh faktor institutional integration, yaitu sistem yag mempersatukan berbagai institusi agar berjalan secara harmonis. Integrasi tersebut dipersatukan oleh adanya sistem negara yang mengharuskan semua keraton yang ada untuk melebur ke dalam Republik Indonesia. Konsekuensinya ialah keraton terintegrasi kepada negara sehingga modernisasi dan peralihan fungsi keraton tak terhindarkan. Dalam perubahan ini, tarekat berperan dalam menjaga tradisi dan pepakem di keraton di mana mursyid rama guru merupakan dewan penasihat sultan. Sebagai dewan penasihat, mursyid memiliki peran signifikansi, yaitu menjaga dan mengawasi tatanan simbolik berupa tradisi, pepeakem, dan tata-krama di keraton agar sesuai dengan ajaran tarekat yang diwariskan Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, peran mursyid penting untuk menyinergikan antara modernisasi yang terjadi di keraton dengan ajaran tarekat yang berisikan aspek-aspek simbolik tradisi di keraton yang bersumber dari ajaran tarekat. 192 Peran mursyid dalam menyinergikan antara tradisi dan modernisasi merupakan konsekuensi dari dualitas antara agen dan struktur di keraton. Di satu sisi mursyid berperan dalam mendirikan keraton dan mengembangkan tradisi- tradisi keagamaan di keraton dengan tetap mempraktikannya dari satu generasi ke generasi hingga saat ini. Tetapi di sisi yang lain, ketika keraton dituntut untuk melebur ke dalam negara mursyid pun turut dipengaruhi oleh perubahan berupa modernisasi di keraton. Mursyid harus mengikuti aturan-aturan yang ada di keraton yang sedikit banyak turut mempengaruhi peran pengguron. Fungsi yang dahulu juga berperan dalam menyebarkan agama, beralih kepada pengguron untuk menjalankan peran tersebut. Mursyid akhirnya harus mengawal prosesi ritual keagamaan di keraton, sekalipun pengguronnya berada di luar lingkungan keraton. Dengan demikian, untuk menjaga tradisi dan pepakem di keraton, mursyid harus berperan ekstra untuk dapat mempraktikannya di tengah modernisasi keraton, dan mursyid pun tetap dipengaruhi perubahan keraton yang mengikuti arah modernisasi, seperti perubahan fungsi dan sistem keraton. Kemudian beralih kepada kontribusi tarekat Syattariyah terhadap pondok pesantren, dapat dilihat telah terjadi modernisasi pondok pesantren. Perubahan berupa modernisasi pesantren ini terjadi di Buntet dan tidak di Benda Kerep. Di Buntet, pondok pesantren telah mengadopsi sistem sekolah dalam bentuk Madrasah Tsanawiyah MTs dan Madrasah „Aliyah MA yang mengharuskan para santri untuk sekolah pada pagi hari dan mengaji pada sore dan malam hari. Para kyai telah menggabungkan antara sistem pengajaran modern dengan sistem pengajian klasik kitab kuning. 193 Dalam perspektif sosiologis, modernisasi pesantren di Buntet ini adalah perubahan dalam bentuk invensi, yang menggabungkan unsur sosial lama dengan unsur sosial baru. Kyai yang sebagai merangkap mursyid tarekat berusaha menyinergikan antara tuntutan sosial akan kebutuhan softskill di dunia kerja melalui sekolah, dengan pengetahuan dan moral ke-Islaman melalui pengajian. Dapat dilihat bahwa kendati pesantren telah mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi unsur tradisional seperti pengajian kitab, ta’dzhim terhadap kyai, ataupun tradisi-tradisi keagamaan lokal tidak dihilangkan. Malah, terdapat persinggungan antara pengajaran Islam tradisional dengan pendidikan modern. Berkebalikan dengan kondisi di Buntet, pesantren Benda Kerep menolak modernisasi pondok pesantren untuk mengadopsi sistem sekolah. Pesantren Benda tetap mempertahankan pola tradisional pengajaran Islam yang hanya melalui pengajian kitab kuning. Para kyai menanggapi modernisasi dengan tetap mempertahankan pola klasik, dan menolak modernisasi. Kyai di pesantren Benda memang lebih menampilkan eksklusivitas untuk menjaga tradisi dan pola-pola keagamaan di masyarakat. Bahkan bukan dalam aspek pendidikan, kehidupan masyarakat pun masih jauh dari modernisasi. Walaupun letak desa Benda termasuk dalam wilayah kotamadya Cirebon, masyarakat desa ini memang masih menggantungkan hidup dari bertani atau berkebun, dan sebagian ada pula yang berdagang warungan. Masyarakat tidak diperkenankan menggunakan televisi, radio, ataupun pengeras suara di masjid atau mushola. Listrik pun baru masuk ke desa sekitar satu dekade belakangan. Untuk menuju desa yang dibatasi oleh kali ini, jembatan pun tidak ada dan harus 194 melalui jalan setapak. Dari segi sistem keagamaan, pola tradisional kaum santri pun masih lekat dengan nilai-nilai yang berlaku, seperti dari cara berpakaian, nilai-nilai sosial, ataupun pola peribadahan. Memang sikap kyai di tengah modernisasi di pesantren Buntet dan Benda Kerep saling bertolak belakang. Kemungkinan, perbedaan sikap kyai ini pula yang menjadi faktor kurang harmonisnya hubungan antara Buntet dan Benda, disamping perbedaan aliran tarekat. Di tengah perbedaan sikap yang demikian, mursyid tarekat berperan dalam proses rasionalization of action. Rasionalisasi tindakan ini terlihat dari sikap para mursyid dan kyai dalam merasionalkan modernisasi kepada masyarakat, para santri, dan murid tarekatnya. Apabila mursyid merasionalkan modernisasi sebagai “lawan”, dalam artian sesuatu yang harus dihindari, maka akan terjadi penolakan terhadap modernisasi pesantren sebagaimana terjadi di Benda. Namun, apabila mursyid merasionalkan modernisasi sebagai “kawan”, maka akan terjadi invensi berupa kombinasi antara sistem pengajian tradisional dengan sistem sekolah sebagaimana terjadi di Buntet. Dengan kata lain, mursyid sebagai agen perubahan, berperan dalam menentukan arah perkembangan dan perubahan institusi pesantren. Perubahan sistem pendidikan di Buntet dapat dilihat sebagai bentuk obselence keusangan sistem pendidikan pesantren yang tradisional sehingga tidak sepenuhnya dapat relevan dengan era modern. Para mursyid sebagai agen akhirnya melakukan transformasi sistemik pada institusi pesantren dengan menggabungkan antara sistem pendidikan tradisional dan modern, dengan mengadopsi sistem sekolah dengan tetap memberikan pengajaran kitab kuning. Mursyid tidak hanya me- 195 maintenance pendidikan tradisional berupa pengajaran kitab kuning, tetapi mereka mengombinasikan dengan pengajaran klasik. Perubahan ini bertujuan agar para santri kelak dapat berpartisipasi, bahkan berprestasi ketika telah terjun ke masyarakat. Oleh karena itu, institusi pesantren bukan hanya dapat berperan dalam mempertahankan tradisi yang ada, tetapi dapat mengombinasikan tradisi dan modernisasi secara sinergis agar tradisi-tradisi di pesantren yang bersumber dari ajaran tarekat dapat selaras dengan tuntutan perubahan. Perubahan sosial lainnya di Cirebon ialah industrialisasi batik Trusmi. Perubahan tersebut dapat dilihat dari peningkatan perekonomian di desa Trusmi dengan hadirnya kegiatan membatik yang menjadi komoditi bisnis. Kegiatan ini memang pada awalnya dipelopori oleh kaum tarekat yang menjadi jembatan bagi tradisi membatik ke Trusmi yang berasal dari keraton. Dari motif-motif batik, juga terlihat meresapnya nilai-nilai filosofis ajaran tarekat ke dalam motif-motif batik, baik bernuansa keratonan atau pesisiran. Di sini telah terjadi proses diffussion penyebaran budaya dari batik keraton ke masyarakat Trusmi sehingga terjadi interaksi budaya membatik yang diadopsi menjadi tradisi membatik. Mursyid tarekat yang berasal dari pengguron di lingkungan keraton telah melakukan motivation of action terhadap para murid tarekatnya. Mursyid memotivasi para murid melakukan kegiatan membatik dengan mengajari proses, teknik pembuatan, dan makna simbolik batik yang berasal dari ajaran tarekat. Kegiatan membatik dari anggota tarekat yang selanjutnya berkembang di desa Trusmi, telah merubah pola sistem ekonomi masyarakat Trusmi. Masyarakat desa Trusmi yang awalnya menggantungkan sumber ekonomi dari hasil pertanian dan 196 nelayan, perlahan beralih menjadi pengrajin batik. Awalnya memang kegiatan membatik hanya menjadi sampingan, namun lambat laun karena tingginya permintaan, masyarakat mulai sepenuhnya menjadi pengrajin batik. Para kaum tarekat pun menjadi bagian dari proses perubahan ini. Namun, sejak tahun 1980-an, di mana produksi batik lebih mementingkan selera pasar, kegiatan membatik kaum tarekat mulai tergeser oleh sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan para investor batik. Pada masa ini, batik lebih bernilai sebagai komoditas bisnis, bahkan tak jarang kaidah dan pepakem dalam membatik yang bernuansa sufistik diabaikan begitu saja sehingga para pengusaha batik ataupun pengrajinnya saat ini tidak memahami esensi sufistik yang terdapat pada makna simbolik batik. Dengan kata lain, unsur tarekat dalam membatik telah tercerabut dari akarnya. Di tengah perubahan berupa industrialisasi batik tersebut, kaum tarekat berperan dalam proses signifikansi dengan mempertahankan makna simbolik ajaran tarekat pada motif-motif batik. Desain motif batik yang bernuansa sufistik pun tetap dipertahankan dan dibuat untuk kebutuhan keluarga keraton, atau bagi masyarakat umum jika berminat. Para kaum tarekat tidak membuat batik untuk kegiatan komersil, seperti memenuhi kebutuhan pasar atau bisnis dalam skala besar karena hal itu akan menyimpang dari ajaran tarekat untuk lebih condong pada keuntungan material. Kaum tarekat lebih mengorientasikan kegiatan membatik sebagai aktivitas sufistik, yaitu memanifestasikan ajaran tarekat dalam medium kain batik agar pemakainya ataupun orang yang melihat dapat selalu ingat pada ajaran-ajaran Sunan Gunung Jati dan para mursyid tarekat. 197 Dapat dilihat bahwa di tengah industrialisasi batik di Trusmi, terdapat distingsi antara orientasi para penganut tarekat dengan pengusaha batik. Distingsi tersebut akhirnya meredupkan perkembangan batik dalam bentuknya yang orisinil menjadi komoditas bisnis. Dengan kata lain, walaupun industri batik di Trusmi berkembang pesat, makna simbolik batik yang bersumber dari ajaran tarekat telah tercerabut dari akarnya. Dalam proses yang dialektis ini, tarekat Syattariyah berperan dalam mempertahankan motif simbolik batik agar tidak semakin jauh tergilas oleh industrialisasi. Para pengrajin batik dari anggota tarekat lebih memperuntukan batik buatannya untuk keluarga keraton dan para anggota tarekat di keraton ataupun pengguron. Para mursyid dan murid tarekat pun, semisal di Pengguron Pegajahan ataupun di keraton-keraton, tetap memakai batik bermotif Cirebonan pada setiap kegiatan ketarekatan. Hal ini untuk mempertahankan dan menjaga esensi motif simbolik batik agar tetap selaras dengan ajaran tarekat di tengah modernisasi yang menuntut perubahan sedemikian rupa. Dengan demikian, hasil temuan perubahan sosial di keraton, pesantren, dan industri batik membuktikan bahwa di tengah arus perubahan menuju modernisasi, tarekat berperan dalam mempertahankan tradisi simbolik di berbagai institusi tersebut. Peran tersebut bergantung pada rasionalisasi mursyid untuk menerima atau menolak modernisasi yang berpengaruh terhadap tatanan sosial di mana mursyid berada. Peran mursyid terhadap keraton dan pesantren Buntet membuktikan bahwa mursyid berperan dalam mempertahankan tradisi melalui proses invensi, dengan menggabungkan antara tradisi dan modernisasi. Namun, 198 peran mursyid terhadap pesantren Buntet dan industi batik Trusmi membuktikan bahwa tradisi tetap dipertahankan dengan menolak modernisasi. Oleh karena itu, komparasi dari peran mursyid yang kontras tersebut memperlihatkan bahwa tarekat dapat berkontribusi dalam ranah sosial, dan tidak hanya bersikap eksklusif dan terturup, sehingga dapat mempengaruhi proses dan arah perubahan sosial pada institusi sosial yang berafiliasi dengannya. Perubahan yang ada pun turut mempengaruhi tarekat itu sendiri sebagai agen yang berpengaruh di dalamnya. Tarekat tetap harus melakukan adaptasi, modifikasi, ataupun kombinasi antara struktur yang ada dengan struktur baru agar dapat berjalan selaras. Proses dualitas antara agen dan struktur ini akan terus terjadi dalam praktik-praktik sosial di ketiga institusi baik keraton, pesantren, maupun industri batik, seiring dengan dinamika perubahan yang terjadi saat ini maupun di masa mendatang sebagai dinamika kehidupan sosial yang tak pernah diam. 199

BAB V PENUTUP