79
BAB III
TAREKAT SYATTARIYAH DI CIREBON
A. Akar Historis Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah pertama kali muncul sekitar abad ke-15 M di India. Sebagaimana tarekat lainnya
__
seperti tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al-
Jailani w. 561 H1166 M, tarekat Rifa‟iyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Ahmad bin Ali Al-
Rifa‟iyah w. 578 H1182 M, tarekat Syadzaliyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abu Al-Hasan bin Abdullah
Asy-Syadzili w. 656 H1258 M, ataupun tarekat Naqsabandiyah yang dinisbatkan kepada Syeikh
Baha‟ Al-Din An-Naqsyabndi w. 791 H 1389 M
__
p enamaan tarekat „Syattariyah‟ dinisbatkan kepada seorang ulama besar dari India
bernama Syeikh Abdullah Asy-Syattari w.890 H1485 M Fathurrahman, 2004:153. Penamaan tersebut mengikuti tradisi tasawuf men-
ta’dzim-kan memuliakan guru sebagai figur kharismatik yang memiliki silsilah sampai ke
Nabi Muhammad Saw. Akar historis tarekat Syattariyah berkaitan erat dengan tarekat Isyqiyyah di
Iran dan tarekat Bistamiyah di Turki. Hal itu dikarenakan sanad tarekat Syattariyah terhubung dengan nama Abu Yazid Al-Isyqi dan Abu Yazid Al-
Bustami yang menjadi sandaran untuk menghubungkan sampai kepada Imam
80
Ja‟far Al-Shadiq, dan akhirnya sampai ke Nabi Muhammad Saw. Tarekat Isyqiyyah atau Bistamiyah itu seolah mengalami kebangkitannya setelah Syeikh
Abdullah Asy-Syattari mengembangkannya di wilayah India dan menyebutnya sebagai tarekat Syattariyah Fathurrahman, 2004:154.
Di India bagian tengah, di sebuah desa bernama Mandu, Syeikh Abdullah Asy-Syattari mendirikan khanaqah pertama bagi para murid tarekat Syattariyah.
Beliau juga telah menulis kitab berjudul Lata’iful Ghaibbiyyah tentang prinsip-
prinsip dasar ajaran tarekat Syattariyah, yang disebutnya sebagai jalan alternatif untuk mencapai tingkat makrifat. Dakwahnya ini dapat lebih memfokuskan pada
misi Islamisasi dengan berjuang meningkatkan moral dan spiritual masyarakat India yang kebanyakan masih menganut kepercayaan Hindu. Kecenderungan
dakwahnya bersifat akomodatif terhadap budaya lokal dengan menyesuaikan ajaran Islam dan tradisi masyarakat setempat yang masih dipengaruhi ajaran
Hindu. Sikap akomodatif ini menjadi nilai plus bagi kesuksesan dakwah Syeikh Abdullah Asy-Syattarri untuk menyebarkan tarekat Syattariyah Fathurrahman,
2004:155. Nama-nama ulama pada masa awal kemunculan tarekat Syattariyah, seperti
Syei kh Muhammad A‟la Qazam Syattari, Syeikh Hafiz Jawnpur, dan Syeikh
Buddhan adalah murid-murid Syeikh Abdullah Asy-Syattari yang berhasil menjadi ulama terkemuka dan turut menyebarkan serta menyempurnakan ajaran
tarekat Syattariyah. Selain mereka, terdapat nama Imam Qadhi Asy-Syaththari, Syeikh Hidayat Al-Sarmasti, Syeikh Haji Hudhuri, dan Syeikh Ahmad Gauts yang
81
selanjutnya berperan dalam melebarkan sayap tarekat Syattariyah melalui karya- karya mereka.
Yang disebutkan terkahir, yaitu Syeikh Ahmad Gauts w. 970 H 1563 M telah berperan dalam menyempurnakan ajaran tarekat Syattariyah melalui
sejumlah karangannya, antara lain: Jawahirul Khamsah, Kilid Makhzan, Dama’ir
Basyair, dan Kanzul Tauhid. Namun hanya kitab Jawahirul Khamsah yang mampu disosialisasikan kepada ulama Syattariyah generasi berikutnya. Di antara
murid Syeikh Ahmad Gauts ialah Wajih Al-Din Alawi w. 1080 H1609 M yang tinggal di Ahmadabad, India. Keduanya berperan dalam dakwah tarekat
Syattariyah di India. Setelah kewafatan mereka berdua, pengaruh tarekat Syattariyah di India pun mulai kendur, dan pada periode berikutnya digantikan
oleh tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Kendati demikian, Syeikh Wajih Al-Din Alawi memiliki seorang murid
bernama Sayyid Sibghatullah bin Ruhullah Jamal Al-Barwaji w. 1015 H1606 M. Dalam lindungan kekuasaan pejabat setempat, Sibghatullah mendakwahkan
ajaran Syattariyah di India sebelum ia berangkat haji. Pada tahun 999 H1591 M, ia melakukan ibadah haji ke Arab Saudi. Kemudian, Sibghatullah membangun
rumah dan ribat untuk menetap di Madinah seraya turut mendakwahkan ajaran tarekat Syattariyah di Mekah dan Madinah, dan di sana pula beliau mendapatkan
momentumnya. Sayyid Sibghatullah ternyata telah melahirkan era baru bagi sejarah tarekat Syattariyah. Beliau mendakwahkan ajaran Syattariyah di tanah
Arab dan Haramayn kepada para ulama setempat melalui kitab Jawahirul Khasah karangan Syeikh Ahmad Gauts. Murid-muridnya pun berasal dari berbagai
82
kalangan. Di antara penerus tarekat Syattariyah ialah Ahmad Al-Syinawi dan Ahmad Al-Qusyasyi, yang melanjutkan tongkat estafet tarekat Syattariyah ke
Haramyn Fathurrahman, 2004:159-160. Setelah al-Syinawi wafat, Al-Qusyasyi semakin memantapkan dakwah
tarekat Syattariyah di Haramayn. Al-Qusyasyi juga aktif sebagai pengarang produktif dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti tasawuf, hadits, fiqih, dan
tafsir, dan salah satu kitab yang terkenal ialah Al-Simt Al-Majid dalam bidang tasawuf. Al-Qusyasyi juga mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah dengan
mereorientasikan fokus tarekat dari sebelumnya yang bersifat mistis dengan memadukan antara aspek mistisme dan
syari‟at Islam. Oleh karenanya, reorientasi tersebut telah melahirkan ajaran tarekat
Syattariyah yang bersifat „neo-sufisme‟, yaitu rekonsiliasi memadukan antara syariat dan tasawuf, yang mana telah
menjadi kecenderungan pada masa ulama yang terlibat dalam jaringan keilmuan Haramayn pada abad ke-17 dan 18 Azra, 2013:136. Fazlur Rahman dalam
Azra, 2013:125 menjelaskan bahwa istilah neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbarui, yang dilucuti dari ciri kandungan ecstatic dan metafisikanya, dan
digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil ortodoksi Islam. Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral, yang berbeda dari tasawuf
sebelumnya yang menekankan individu bukan masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, melalui murid-murid yang datang dari
berbagai kalangan, Al-Qusyasyi mentransmisikan ajaran tarekat Syattariyah yang neo-sufism tersebut ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah Melayu-
Indonesia Nusantara. Di antara murid-murid Al-Qusyasyi yang paling penting
83
dalam konteks ini ialah Syeikh Ibrahim Al-Kurani w. 1102 H1609 M dan Syeikh Abdurrauf As-Singkili w. 1105 H1693 M Azra, 2013:96-97.
Keduanya merupakan ulama yang selanjutnya menjadi jembatan bagi masuknya ajaran tarekat Syattariyah ke dari Timur Tengah dan India ke tanah Nusantara.
B. Masuknya Tarekat Syattariyah ke Nusantara Sampai ke Cirebon