70
Peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara di beberapa pengguron lain sebagai bahan perbandingan dan pelengkap terhadap data yang didapat dari
Pengguron Pegajahan. Beberapa pengguron yang terbuka untuk penelitian, antara lain: Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam. Kedua pengguron ini
terletak berjauhan dengan keraton sehingga hanya menjadi lokasi tambahan untuk melengkapi data yang di dapat. Melalui ketiga pengguron yang berafiliasi dengan
keraton, peneliti akan menganalisis bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton sebagai relasi antara aspek agama dan sosial-budaya di keraton.
C. Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
Selain di lingkungan keraton, tarekat Syattariyah juga berafiliasi dengan pondok-pondok pesantren di Cirebon, antara lain: Pesantren Benda Kerep dan
Pesantren Buntet. Kedua pondok pesantren klasik ini memiliki akar historis yang terkait erat dengan penyebaran Islam dan perkembangan tarekat Syattariyah di
Cirebon. Kedua pesantren ini memiliki kaitan genalogis dengan Mbah Muqoyyim mufti keraton yang belakangan mendirikan pesantren Buntet, dan keturunannya
mendirikan pesantren Benda. Antara Buntet dan Benda, keduanya juga bersama- sama berjuang dalam rangka syiar Islam dan melawan penjajahan Belanda. Selain
itu, keduanya juga masih mempertahankan tradisi-tradisi yang sarat dengan ritual- ritual sufistik. Oleh karena itu, penelusuran tentang afiliasi tarekat Syattariyah
terhadap pesantren akan ditelusuri melalui kedua pondok pesantren ini.
71
C.1. Pondok Pesantren Buntet
Lokasi pondok pesantren Buntet saat ini terletak di Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Lokasi awal-mula Pondok Buntet
Pesantren berlokasi di dekat Dawuan Sela, kira-kira 1km di sebelah barat lokasi pesantren sekarang, tepatnya di blok Sidabagus Dusun II Desa Buntet. Kondisi
fisik bangunan awal Buntet saat ini terbilang kurang terawat; beratapkan ilalang berukuran kira-kira 8 x 12 meter, dan di sekitarnya hanya ditumbuhi semak
belukar. Dulunya memang bangunan tersebut dibakar oleh pemerintah Belanda, dan saat ini hanya tertinggal bukti peninggalan berupa sumur tua dan makam
santri. Guna menghindari serangan dari pihak kolonial Belanda, beliau memindahkan pondok pesantren ke lokasi saat ini, yaitu desa Mertapada Kulon.
Di desa ini terdapat 44 Pondok Pesantren yang diasuh oleh sekitar 40 kyai dan 40 nyai. Santri yang belajar mondok di sini berjumlah sekitar 3000 orang
yang tersebar dari tingkat MI, MTs, dan MA. Memang desa Buntet bisa disebut juga sebagai “desa pesantren” karena di desa ini terdapat banyak sekali
pemondokan yang dipimpin oleh kyai-kyai yang berbeda. Pemondokan yang ada pun terbilang sederhana, karena di sini rumah kyai dijadikan sebagai tempat
pondok para santri. Para santri dan masyarakat di desa ini berbaur menjadi satu. Mayoritas
masyarakat menganut Islam yang lebih bersifat tradisionalis. Sehari-hari baik santri maupun masyarakat biasanya memakai sarung dan peci sebagai pakaian
harian. Pakaian ini telah menjadi trademark pakaian masyarakat Buntet. Bahasa
72
yang digunakan pun berbaur dengan bahasa masyarakat Buntet yang umumnya berbahasa Jawa Cirebon. Namun karena sebagian santri berasal dari luar Jawa,
adapula yang memakai bahasa Indonesia. Kehidupan sehari-hari di pondok pesantren ini tak terlepas dari kegiatan
belajar-mengajar. Pada pagi hari, biasanya para santri setelah shalat subuh berjama‟ah mereka membaca kitab, lalu bersiap dan berangkat ke madrasah
sekolah. Hingga menjelang sore, sekitar pukul 14.00 siang, mereka sudah pulang kembali ke pondok untuk istirahat.
Setelah shalat ashar berjama‟ah sekitar pukul 16.00 sore, mereka kembali mengaji kitab kuning sampai waktu maghrib yang
dipimpin langsung oleh Kyai. Setelah shalat maghrib berjama‟ah, sekitar pukul 18.30 sore dilanjutkan dengan mengaji tajwid Al-
Qur‟an. Setelah shalat Isya berjama‟ah, sekitar 19.30 malam dilanjutkan kembali membaca kitab sampai
sekitar pukul 21.00 malam. Aktivitas ini rutin dilakukan setiap harinya yang dibawah bimbingan sang kyai.
Gambar 2.7 Masjid Kuno di Pesantren Buntet
Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi tanggal 19 April 2015
73
Di Buntet sendiri saat ini hanya terdapat 3 orang mursyid, dan 2 di antaranya bersifat sangat tertutup, bahkan tidak mau menemui peneliti saat
berkunjung ke rumahnya. Satu di antaranya yang terbuka ialah KH. Ade M. Nasihul Umam yang bersedia untuk diwawancara dan memberikan banyak kitab-
kitab rujukan tarekat Syattariyah. Oleh karenanya, penelitian ini akan lebih difokuskan di pondok Andalucia, pimpinan KH. Ade M. Nasihul umam.
C.2. Pondok Pesantren Benda Kerep
Pondok pesantren ini terletak di Desa Benda, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kotamdya Cirebon. Bentang alamnya seluas 33 hektar,
yang dikelilingi oleh kebun-kebun dan persawahan. Desa ini juga dibatasi oleh kali yang menjadi salah satu lahan pencaharian ekonomi masyarakat, yaitu batu
akik. Sebagian besar masyarakat juga masih bertani, berkebun, dan berdagang sebagai sumber mata pencaharian.
Meskipun terletak di Kotamadya yang sarat akan hiruk-pikuk kemodernan, sikap masyarakat di desa ini masih sangat tradisional dan menolak keras adanya
modernisasi. Pesantren ini menolak dibuatkan jembatan, sehingga untuk sampai ke desa Benda, peneliti harus melewati kali yang cukup deras airnya melalui jalan
batu setapak. Motor, mobil, dan kendaraan lain pun tidak diperbolehkan masuk ke desa Benda ini. Selain itu mereka menolak adanya radio dan televisi karena tidak
ingin terkontaminasi hal-hal negatif dari dunia luar. Bahkan telah lama mereka menolak masuknya listrik yang diususng oleh pemerintah, sampai akhirnya sekitar
tahun 1980-an, masyarakat mulai memakai listrik, dengan syarat tidak boleh
74
menggunakan televisi, radio, dan pengeras suara. Kendati demikian, handphone masih boleh digunakan sebagai media komunikasi.
Sistem religi di kampung benda ialah menganut agama Islam, khususnya Islam tradisional. Di desa ini terdapat banyak pondok pesantren, yang dipimpin
oleh kyai-kyai berbeda. Terdapat sekitar 40 kyai dan 40 pondokan di seluruh desa. Santrinya berasal dari berbagai macam daerah, baik dari desa Benda ataupun dari
luar sekitar Cirebon. Beberapa juga ada yang berasal dari daerah lain seperti, Kuningan, Karawang, Jawa, Sumatera, dan sebagainya. Tidak ada aturan tertulis
tetapi masyarakat mengikuti peraturan di sini, mengikuti adat istiadat di sini dengan disesuaikan dengan aturan agama.
Gambar 2.8 Masjid Kuno di Pesantren Benda Kerep
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 12 Mei 2015
Sampai sekarang, pondok pesantren Benda Kerep merupakan salah satu
pondok pesantren, selain Buntet, sebagai basis tarekat Syattariyah di Cirebon.
Selama di Desa Benda peneliti tinggal di salah satu pondok yang dipimpin oleh
75
KH. Muhammad Hasan, sesepuh sekaligus mursyid tarekat Syattariyah di pesantren Benda Kerep. Beliau juga termasuk salah satu keturunan Kyai Soleh
pendiri pondok pesantren Benda Kerep, dan juga keturunan ke-19 dari Sunan Gunang Jati. Kyai Hasan merupakan sosok yang sederhana, ramah, santun, dan
terbuka ketika menerima kedatangan peneliti. Beliau juga sangat terbuka dan bersedia diwawancara perihal tarekat Syattariyah di desa Benda ini.
Rumah tempat tinggal Kyai Hasan cukup sederhana, sebagaimana aturan masyarakat di sini, di rumah ini memang tidak terdapat TV atau radio, walaupun
listrik memang sudah ada. Kyai.Hasan memiliki satu rumah tinggal, satu majlis ta‟lim tempat mengajarkan kitab-kitab, termasuk ajaran tarekat, dan satu
pondokan santri yang terletak di depan rumah Kyai. Di depan pondok juga terdapat sebuah masjid tua yang masih digunakan untuk shalat berjamaah dan
mengaji bagi para santri. Kondisi perkembangan pondok pesantren di sini terbilang menurun dalam
kurun satu dekade belakangan. Santri yang mondok di pondok Kyai Hasan. Hasan juga terbilang sedikit, hanya ada sekitar 10 orang santri. Kalau jumlah
keseluruhan santri di pondok-pondok yang lain mungkin ada ratusan, tidak banyak. Hal itu dikarenakan pondok-pondok di desa ini merupakan pondok klasik
yang hanya mengajarkan kitab kuning tanpa ada sekolahan. Jadi, kemungkinan minat masyarakat lebih tertuju pada pondok-pondok modern yang membekali
santrinya dengan materi sekolahan dan legitimasi formal.
76
Walaupun sekarang perkembangan pondok pesantren Benda mulai menurun, lokasi ini terbilang tepat untuk melihat persinggungan tarekat dengan
kehidupan masyarakat setempat. Para penganut tarekat Syattariyah di sini hampir semuanya merupakan murid tarekat Kyai
Hasan yang berbai‟at langsung kepada beliau. Para penganut tarekat juga telah berbaur dengan kehidupan sosial
nasyarakat Benda, di mana sebagian mereka berprofesi sebagai pedagang, petani, pengusaha, pejabat pemerintahan, atau pengajar di pondok pesantren. Kendati
demikian, dalam hal ritual tarekat mereka terbilang tertutup karena ritual ketarekatan dilaksanakan secara individual dan tidak ada ritual yang dilakukan
secara berjama‟ah. Terkecuali aktivitas sosial-keagamaan seperti tawasulan, tahlilan, haul dan perayaan hari-hari besar Islam masih dilakukan bersama-sama.
Dengan demikian, untuk melihat kontribusi para penganut tarekat Syattariyah terhadap perkembangan pondok pesantren, akan dilakukan di Pondok
Pesantren Buntet dan Benda Kerep. Keduanya akan dapat merepresentasikan relasi antara kehidupan pondok pesantren dan kehidupan sosial para penganut
tarekat. Keduanya juga memiliki kaitan genealogis terhadap keraton di Cirebon sehingga terdapat relasi institusional antara pondok pesantren, keraton, dan tarekat
Syattariyah di Cirebon.
D. Desa Batik Trusmi