Pandangan Filosofis Tarekat Syattariyah

105 f. Nafsu Mardhiyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya, yaitu berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan mahluk. g. Nafsu Kamilah, letaknya di dalam dada yang paling dalam. Sifat- sifatnya yaitu ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Nafsu ini merupakan tingkatan nafsu yang tertinggi karena berkaitan dengan aspek ketauhidan mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya. Sebagaimana tarekat lainnya, tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya untuk memerangi nafsu yang tujuh tersebut. Tujuannya ialah mencapai kehidupan asketisme zuhud secara kaffah menyeluruh.

4. Pandangan Filosofis Tarekat Syattariyah

Pandangan filosofis kaum tarekat Syattariyah yang masuk ke nusantara sejak abad ke-16 ini, pada pokoknya meliputi tiga masalah pokok, yang merupakan konsepsi pandangan antara mahluk manusia dan alam dengan khaliqnya pencipta. Ketiga masalah pokok, yaitu tentang konsep: wahdatul wujud, insan kamil, dan thariq illallah. Secara ringkas, penjabarannya ketiga konsep ini yaitu sebagai berikut: a. Wahdatul Wujud Kesatuan Tuhan dan Alam Konsep Wahdatul wujud ini pada dasarnya merupakan paham kesatuan wujud Tuhan dan Alam. Pengertiannya ialah bahwa Tuhan dan alam itu adalah satu kesatuan wahdah, atau Tuhan itu immanen dengan alam. Wujud yang hakiki adalah Tuhan, sementara alam adalah wujud yang nisbi. Para mursyid tarekat berpandangan bahwa sebelum Tuhan 106 menciptakan alam raya, Tuhan selalu memikirkan tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad cahaya Muhammad. Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar a’san tsabitah, yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar a’yan al-kharijiyah, yaitu ciptaan dalam bentuk konkretnya. Ajaran tentang ketuhanan ini merupakan ajaran yang dikembangkan olah Syeikh Abdurrauf As-Singkili dengan memperlunaknya, yang kemudian berkembang sampai ke Jawa. Ajaran tersebut dapat disimpulkan sebagai tauhid pondasi iman penganut tarekat Masyhuri, 2011:291. b. Insan Kamil Manusia Sempurna Konsep Insan Kamil lebih mengacu pada haikat manusia mahluq dan hubungannya dengan penciptanya Khaliq. Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya yang tidak mengenal pensifatan sebagaimana mahluk. Oleh karenanya, mahluk pertama yaitu “Adam” diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, sehingga mencerminkan berbagai sifat dan nama-Nya. Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampai akhirnya. Pada setiap zaman ini manusia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudan pada suatu zaman, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi dari Nabi Adam As. sampai Nabi Muhammad Saw. Setelah kewafatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Khatamu Al-Anbiya penutup para Nabi, kepemimpinan 107 manusia diteruskan pada era sahabat, selanjutnya era para wali, sehingga dikenal wali quthub wali tertinggi pada suatu zaman yang datang sesudah para Nabi. Insan Kamil ini berarti manusia ideal, yaitu manusia yang dilingkupi ketuhanan dan akhlaq mulia. Manifestasinya ialah para Nabi dan para wali yang dijelaskan tersebut. Dengan begitu, konsep Insan Kamil ini mengisyaratkan bahwa hubungan wujud Tuhan dengan Insan Kamil bagaikan cermin dan bayangannya. Konsep inilah yang digunakan dewan wali songo untuk berdakwah menggunakan wayang di mana dalang diumpamakan sebagai Tuhan dan wayang merupakan Insan Kamil yang mana bersemayam bayangan Tuhan dalam setiap gerak diamnya Masyhuri, 2011:292. c. Thariq Illallah Jalan Kepada Tuhan Dalam ketauhidan, konsep keimanan tarekat ini terbagi dalam empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid dzat, dan tauhid af’al. Keempat tauhid tersebut terhimpun dalam kalimat tauhid, Laa Illa Ha Illa Allah tiada Tuhan kecuali Allah yang menjadi dzikiran utama kaum tarekat.Begitu juga halnya dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif kasyf guna “bertemu dengan Tuhan”. Dzikir ini dimaksudkan untuk mendapatkan Al-Mawatul Ikhtiari kematian sukarela, atau disebut juga Al- Mawatul Ma’nawi kematian ideasional, yang merupakan lawan dari Al- Mawatut Thabi’i kematian alamiah. Dalam bertauhid demikian, tarekat ini tidak menafikan syari‟at aturan-aturan Islam, 108 termasuk ibadah dan mu‟amalah. Dalam konsep ini, tarekat Syattariyah menekankan pada rekonsiliasi syari‟at dan tarekat tasawuf, dengan memadukan tauhid dan dzikir. Jalan menuju Tuhan ditempuh dengan memadukan kedua aspek tersebut secara seimbang. Mereka tidak meninggalkan dan tetap mempraktikan syari‟at dengan diiringi dzikir-dizikir tarekat Syattariyah Masyhuri, 2011:293. Dengan keseimbangan tersebut kaum tarekat berzuhud tanpa meninggalkan kehidupan dunia. Mereka tetap menjalankan aktivitas sosial maupun keagamaan tanpa harus takut atau meninggalkan dunia.

D. Aktivitas Tarekat Syattariyah