90
Selain Pengguron Krapyak, terdapat enam pengguron lagi berafiliasi dengan keraton. Di antara pengguron-pengguron tersebut, Pengguron Tarekat Agama
Islam Pegajahan, pimpinan Rama Guru Pangeran Nurbuwat Purbaningrat, merupakan yang paling aktif dalam hal kegiatan tarekat. Pengguron ini juga
dituakan sepuh oleh pengguron-pengguron lainnya di Cirebon, karena setelah wafatnya, Rama Guru PS. Sulendraningrat, Rama Guru PM. Nurbuwat
Purbaningrat yang dituakan. Tabel 3.1 Jalur Tarekat dan Keturunan Pengguron Tarekat Syattariyah di
Cirebon No
Nama Pengguron
Pimpinan Jalur Tarekat
Keturunan
1.
Pengguron Tarekat Agama
Islam Rama guru
Pangeran Muhammad
Nurbuwat Purbaningrat
Jalur Sunan Gunung Jati
Kaprabonan
2. Pengguron
Krapyak Rama Guru
Pangeran Muhammad
Afiyah Jalur Sunan
Gunung Jati Kaprabonan
3.
Pengguron Lam Alif
Rama Guru Raden Bambang Iriyanto
Jalur Syeikh Abdul Muhyi
Kanoman
4. Pengguron
Rama Guru Pangeran
Muhammad Hilman
Rama guru Pangeran
Muhammad Hilman
Jalur Sunan Gunung Jati
Kaprabonan
5.
Pengguron Rama Guru
Pangeran Yudi Kusumaningrat
Rama guru Pangeran Yudi
Kusumaningrat Jalur Sunan
Gunung Jati Kaprabonan
6. Pengguron
Rama Guru Rama Guru
Pangeran Yunan Jalur Sunan
Gunung Jati Kaprabonan
91
Pangeran Yunan
Kaprabonan Kaprabonan
7. Pengguron
Tarekat Islam Rama Guru
Pangeran Harman Raja Kaprabon
Jalur Sunan Gunung Jati
Kaprabonan
Sumber: Persebaran tarekat ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran Muh. Nurbuwat P., Rama Guru Rd.Bambang Iriyanto dan Rama Guru Pangeran
Harman Raja Kaprabon pada Mei 2015.
Mayoritas dari pengguron-pengguron tersebut memiliki jalur keturunan Kaprabonan seperti Pengguron Tarekat Agama Islam, Krapyak, dan Tarekat
Islam. Hanya satu yang berasal dari jalur Kanoman, yaitu Pengguron Lam Alif, pimpinan Rama Guru R. Bambang Iriyanto. Dari keempat keraton yang ada pun
tidak ditemukan keturunan langsung dari Keraton Kasepuhan ataupun Kacirebonan. Walau demikian, muara dari keempat keraton ini pun dapat ditarik
benang merah yang akan berujung pada Sunan Gunung Jati yang merupakan leluhur keluarga keraton Cirebon.
Adapun keenam pengguron yang merupakan keturunan Kaprabonan, memang pada awalnya mengkhususkan diri untuk memisahkan diri dari keraton
Kanoman untuk fokus pada urusan ketarekatan dan keagamaan, dibanding urusan politik-pemerintahan. Saat ini pun lokasi mereka berdekatan dengan Kaprabonan,
namun tidak ada yang tinggal di Kaprabonan itu sendiri. Faktor politis yang ditunjukan oleh para keluarga Kaprabonan yang menggeser fungsi pengguron
menjadi keraton menjadi faktor utama mengapa sekarang tidak ada lagi Rama Guru mursyid yang tinggal di Kaprabonan. Hal ini pun menuai pro-kontra dari
keluarga Kaprabonan sendiri. Hal itu dikarenakan, mengubah pengguron menjadi
92
keraton berlawanan dengan cita-cita para leluhur seperti Pangeran Raja Adipati Kaprabon I yang khusus mendirikan Kaprabonan agar terhindar dari intervensi
politik, dan lebih beriorientasi terhadap syi‟ar keagamaan sebagaimana ajaran Sunan Gunung Jati terdahulu.
Selain di lingkungan keraton, perkembangan Tarekat Syattariyah di Cirebon juga meluas ke wilayah pesantren di pinggiran kota Cirebon. Yang
terkenal sebagai pelopor berdirinya pesantren-pesantren sepuh di Cirebon ini ialah Mbah Muqoyyim, penghulu keraton yang memelopori berdirinya pesantren
Buntet sampai ke Benda Kerep. Berdirinya Pesantren Buntet hingga saat ini telah menjadi salah satu basis sentral tarekat Syattariyah di Cirebon selain keraton.
Namun demikian, pada masa Mbah Muqoyim tarekat Syattariyah belum berkembang pesat. Walaupun Mbah Muqoyim merupakan mufti keraton yang
juga penganut tarekat Syattariyah, beliau tidak menyebarkan tarekat Syattariyah secara masif dan terbuka. Adapun dominasi tarekat Syattariyah di Pesantren
Buntet mencapai puncaknya pada masa KH. Abbas Abdul Jamil 1883-1946 H yaitu pada masa kolonial, atau masa pra-kemerdekaan. Memang pada saat itu,
tarekat Syattariyah tengah berkembang pesat di Buntet dan sekitarnya. Setelah masa kepemimpinan KH. Abbas Abdul Jamil, perkembangan
tarekat di Buntet mulai beralih kepada Tarekat Tijaniyah yang dibawa oleh KH. Annas bin KH. Abbas Abdul Jamil. Beliau mengambil sanad ketarekatan dari
Syeikh Ali Ath-Thayyib ketika beribadah haji ke Mekah. Sepulang dari haji, beliau pun telah berpredikat sebagai muqaddam mursyid, dan menyebarkan
93
Tarekat Tijaniyah di Buntet dan sekitarnya. Menurut KH. Anas Azas, muqaddam Tarekat Tijaniyah di Buntet saat ini
: “Setelah Kyai Annas naik haji, beliau mengambil tarekat Tijani. Nah setelah pulang haji, yang pertama menyebarkan
tarekat Tijani, bukan Cuma di Buntet tapi seluruh Indonesia, yaitu Kyai Annas. Dengan kata lain, peralihan dari tarekat Syattariyah ke Tijaniyah di Buntet
terjadi sekitar 1920-an pada masa KH. Abdullah Abbas. Namun, perkembangan tarekat Tijaniyah mulai pesat sekitar tahun 1950an sepeninggal KH. Abbas
Abdul Jamil. Saat ini pun dominasi tarekat Tijaniyah begitu kental, yang terlihat dari berbagai ritual sosial-keagamaan, seperti tahlilan, muludan, dan haul yang
bercorak Tijaniyah dalam hal dzikir dan pemaknaan. KH. Anas Azas juga mengatakan: “Peningkatan tarekat Syattariyah ke Tijaniyah yang ada di Buntet
Pesantren itu lebih besar. Karena pembacaan amalan tarekat Tijaniyah cenderung lebih mudah
”. Ya memang, amalan wiridan tarekat Tijaniyah terbilang lebih ringan karena hanya dibaca dua waktu saja, yaitu setelah shalat
subuh dan ashar, sedangkan tarekat Syattariyah harus dibaca setiap sehabis shalat. Jadi, terdapat dua faktor yang melatarbelakangi peralihan Tarekat Syattariyah ke
Tijaniyah saat ini. Pertama, karena faktor difusi tarekat oleh KH. Annas bin KH. Abdul Jamil; dan Kedua, karena faktor kemudahan dalam amalan tarekat
Tijaniyah. Oleh karena itu, mayoritas penganut tarekat di Buntet saat ini telah didominasi Tarekat Tijaniyah, sedangkan Tarekat Syattariyah bersifat minoritas.
Adapun mursyid Tarekat Syattariyah di Buntet saat ini hanya terdapat dua orang, yaitu Kyai Ade dan Kyai Syafei, namun Kyai Syefei lebih bersifat tertutup.
Hanya satu yang bersifat terbuka dan menyambut dengan hangat ketika peneliti
94
datang ke rumahnya, yaitu KH. Ade M. Nasihul Umam, atau biasa dipanggil Kyai Babas atau Kyai Ade oleh para santri dan kerabatnya. Beliau merupakan mursyid
tarekat Syattariyah di Buntet. Selain sebagai mursyid, beliau juga dikenal sebagai kepala sekolah Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama MANU Putera di Buntet.
Beliau juga menjadi salah satu penerus tarekat Syattariyah di Buntet setelah tenggelam oleh dominasi Tijaniyah. Tentang sejarah Tarekat Syattariyah di
Buntet, Kyai Ade mengatakan:
Memang keberadaan thoriqoh Syattariyah di Buntet lebih tua, karena lebih dulu daripada Tijaniyah. Jadi setelah thoriqoh Syattariyah itu sudah mencapai 3
generasi, mulai dari Mbah Kyai Kriyan, Kyai Abdul Jamil, lalu Kyai Abbas, nah Kyai Annas adiknya Kyai Abbas membawa thoriqoh Tijani.
Jadi memang, selain KH. Abdul Jamil, terdapat nama Mbah Kyai Kriyan, guru dari KH. Abdul Jamil. Mengenai hal ini, Kyai Ade menambahkan:
Perkembangan tarekat Syattariyah di Buntet itu, pertama dimulai dari Mbah Kyai Kriyan. Beliau mendapatkan sanad tarekat Syattar
iyah dari Kyai Asy’ari, yaitu dari Kaliwungu. Kemudian diteruskan kepada salah satu muridnya, yang
ada di Benda yaitu Kyai Soleh. Kyai Soleh punya adik namanya Kyai Abdul Jamil. Jadi pertama kali memberikan mandat itu, Kyai Kriyan kepada Kyai
Soleh. Kyai Abdul Jamil masih belum mendapatkan mandat. Padahal Kyai Abdul Jamil juga menantu beliau, karena Kyai Soleh sudah nampak ketasawufannya.
Berdasarkan keterangan di atas, sanad ketarekatan di tarekat Syattariyah itu mengikuti jalur yang berbeda dengan jalur yang ada di keraton. Sanad
ketarekatan di Buntet saat ini bersambung kepada KH. Hasyim Asy‟ari di Kaliwungu lihat tabel 3.2. Kemudian dibawa oleh Kyai Kriyan ke Buntet dan
diteruskan oleh muridnya, yaitu Kyai Soleh yang merupakan kakak dari Kyai Abdul Jamil. Kyai Abdul Jamil pun mengambil sanad tarekat kepada Kyai Soleh.
Namun, karena tidak ingin terpengaruh oleh modernasisasi eksklusif, akhirnya
95
Kyai Soleh memilih meneruskan pengajaran dan penyebaran tarekat Syattariyah dengan mendirikan Pesantren Benda Kerep. Sementara Kyai Abdul Jamil
memimpin pesantren Buntet dan menyebarkan tarekat Syattariyah mengikuti arus perkembangan zaman dan lebih bersifat terbuka inklusif.
Tabel 3.2 Silsilah Tarekat Syattariyah di Pondok Pesantren Buntet
1 Nabi Muhammad Saw.
2 Ali bin Abi Thalib
3 Husein
4 Zainal Abidin
5 Al-Baqir
6 Ja‟far Shadiq
7 Abi Yazid Al-Busthami
8 Muhammad Maghribi
9 Abu Yazid Al-Ashaq
10 Abi Mudaffar Turki Al-Tusi
11 Hasan Khirqani
12 Hadaqly
13 Muhamad „Ashiq
14 „Arif
15 Abdullah Asy-Syaththari
16 Qadhi Syaththari
17 Hidayatillah Sarmat
18 Hudari
19 Al-Ghauts
20 Sibghatullah
21 Ahmad Shanani Al-Syinwani
22 Ahmad Qasyasyi Al-Qusyasyi
23 Malla Ibrahim Al-
Mu‟alla Ibrahim Al-Kurani 24
Thahir bin Ibrahim Al-Kurani 25
Ibrahim 26
Thahir Madani 27
Muhammad Sayid Madani 28
KH. Hasyim Asy‟ari 29
Muhammad Anwaruddin Kriyani Ki Buyut Kriyan 30
Kyai Soleh Zamzami Benda Kerep 31
KH. Abdul Jamil Buntet 32
KH. Abbas Buntet 33
KH. Mustahdi Abbas Buntet 34
KH. Abdullah Abbas Buntet
96
Sumber: diadopsi dari Muhaimin AG 1997 . “Pesantren and Tarekat in the
Modern Era ” dalam Studia Islamika, vol.4, No.1, h.8-9
Setelah Kyai Soleh mendirikan Pesantren Benda Kerep, Tarekat Syattariyah mulai berkembang di desa Benda. Kebanyakan santri dan pengikut
tarekat Syattariyah di sana adalah masyarakat Benda dan sekitarnya sehingga sekarang mayoritas masyarakat desa adalah penganut tarekat Syattariyah. Setelah
Kyai Soleh wafat sekitar tahun 1940-an, tarekat Syattariyah diteruskan oleh anak- cucu keturunannya. Saat ini mursyid tarekat Syattariyah di Pesantren Benda
Kerep ialah KH. Muhammad Hasan. Beliau merupakan pimpinan atau sesepuh Desa Benda, pengajar pesantren, dan gurumursyid dari Kyai Babas Kyai Ade di
Buntet. Saat peneliti singgah di rumahnya, sikap Kyai Hasan awalnya agak selektif terhadap penelitian atau riset ilmiah, namun perlahan dengan menjelaskan
maksud peneliti secara baik-baik, beliau semakin terbuka dan menyambut peneliti dengan ramah-tamah. Peneliti diizinkan untuk tinggal dan mewawancara beliau,
dan beliau pun bersedia memperlihatkan kitab-kitab rujukan tarekat Syattariyah beserta sanad ketarekatan beliau yang bersambung kepada Kyai Kriyan.
Menurut Kyai Babas, murid dari Kyai Hasan:
Kyai Soleh menyebarkan thoriqohnya di Pesantren Benda, dan kehidupan sehari- harinya itu kehidupan thoriqoh. Masyarakatnya juga berkehidupan thoriqoh,
dari mulai cara berpakaiannya, cara makannya, dan segala kehidupan sehari- harinya diwarnai aspek thoriqoh.
Senada dengan pernyataan Kyai Babas di atas, menurut pengamatan peneliti, memang ajaran tersebut telah meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat Benda. Mereka masih mengamalkan ajaran Islam yang tradisionalis dan tidak terpengaruh oleh perkembangan dunia luar. Hubungan antara kaum laki-
97
laki dan perempuan dijaga ketat sedemikian rupa sebagaimana umumnya tradisi di pesantren. Tradisi tahlilan pun dilaksanakan sebagai media ibadah dan silaturahmi
antar warga. Dari segi pakaian, kebiasaan “sarungan” khas kaum santri dengan
menggunakan kain sarung dan peci menjadi pakaian khas masyarakat Benda Kerep. Sehari-hari mereka ada yang bekerja sebagai petani, pedagang, pengajar,
dan sebagainya. Walaupun sebagai penganut tarekat, mereka tidak bersifat acuh dalam mencari nafkah atau zuhud yang berlebihan sehingga menafikan
kemodernan. Salah satu pengaruh ajaran tarekat terhadap masyarakat desa Benda, ialah sikap selektif terhadap pengaruh budaya luar. Masyarakat Benda tidak
menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan adzan shalat berjamaah, dan sebagai gantinya bedug menjadi alat pengingat waktu shalat. Selain itu
mereka juga tidak menggunakan radio atau televisi karena tidak ingin terpengaruh oleh tayangan yang bersifat “bebas” dari kemodernan budaya negatif di perkotaan.
Namun demikian, masyarakat pun masih mau menerima handphone sebagai alat komunikasi, dan tidak lebih. Cara hidup sederhana, dan selektif terhadap
kemodernan menjadi ciri khas masyarakat Benda yang banyak dipengaruhi ajaran tarekat Syattariyah.
Jadi bila dibandingkan, perkembangan tarekat Syattariyah di Buntet saat ini telah didominasi tarekat Tijaniyah, sementara perkembangan di Benda Kerep
masih dominasi Syattariyah yang begitu kental. Kedua pesantren klasik di Cirebon ini telah merepresentasikan suatu kepaduan antara tradisi pesantren dan
tarekat sebagai suatu keutuhan. Selain itu, dari penelusuran tentang sanad tarekat Syattariyah di kedua pesantren tersebut, terdapat jalur ketiga, yaitu jalur Kyai
98
Kriyan, yang bersambung kepada KH. Hasyim Asy‟ari. Jalur Kyai Kriyan ini menjadi temuan baru tentang jalur masuk tarekat Syattariyah ke Cirebon, yaitu
melalui jalur: Syeikh Abdul Muhyi, Sunan Gunung Jati, dan Mbah Kyai Kriyan. Dengan demikian, berdasarkan pemetaan tarekat Syattariyah di Cirebon,
dapat ditarik beberapa hal berkaitan dengan sanad dan persebaran tarekat Syattariyah di Cirebon, antara lain: i tarekat Syattariyah di Cirebon tidak hanya
berkembang di lingkungan keraton, tetapi juga di pesantren-pesantren klasik di pinggiran kota Cirebon, seperti pesantren Buntet dan Benda Kerep; ii jalur
ketarekatan tarekat Syattariyah di lingkungan keraton Cirebon berkembang melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi dan jalur Sunan Gunung Jati; dan iii jalur
ketarekatan di pesantren Buntet dan Benda Kerep berkembang melalui jalur Mbah Kyai Kriyan.
C. Ajaran-ajaran Tarekat Syattariyah