Pengaturan Makar di Luar KUHP

Pasal 3, bunyi rumusannya, ialah: Yang dimaksudkan dengan sabotase ialah perbuatan seseorang yang dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud, atau yang mengetahuinya atau patut diketahuinya merusak, merintangi, menghambat, merugikan atau meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi usaha pemerintah, mengenai: a. bahan-bahan pokok keperluan hidup rakyat yang diimpor atau diusahakan oleh pemerintah; b. produksi, distribusi dan koperasi yang diawasi pemerintah; c. obyek-obyek dan proyek-proyek militer, industri produksi dan perdagangan negara; d. proyek-proyek pembangunan semesta mengenai industri, produksi, distribusi dan perhubungan lalu lintas; e. instalasi-instalasi negara; f. perhubungan lalu lintas darat, laut, udara dan telekomunikasi. 50 Undang-Undang Nomor 11PnPsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi ini terkenal “karet” dan merupakan “jala tidak berujung” yang dapat menjerat siapapun. 51 Dan juga sanksi hukuman untuk pelaku yang melakukan tindak pidana subversi ini tergolong berat, hal ini sesuai dengan bab IV Undang-Undang Nomor 11PnPsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yaitu: Pasal 13, bunyi rumusannya ialah: 1 Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 1 angka 1, 2, 3, 4 dan ayat 2 dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun. 2 Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 1 angka 5 dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun danatau denda setinggi- tingginya 30 tiga puluh juta rupiah. Oleh karena itu, undang-undang ini telah dihapuskan pada 50 Undang-Undang Nomor 11PnPsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. 51 http:www.apakabarclark.net. Diakses pada tanggal 15 April 2015 zaman pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie. Dengan alasan yang disebutkan: 52 a. Bahwa hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati melekat pada diri manusia, meliputi antara lain hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Bahwa Undang-Undang Nomor 11PnPsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam masyarakat. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, 53 telah ditambahkan 6 Pasal tentang kejahatan baru kedalam 6 Bab, menjadi Pasal 107 a, 107 b, 107 c,107 d, 107 e, dan 107 f KUHP. Kejahatan- kejahatan mengenai keamanan negara yang baru ini, dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam, yakni: a. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran atau paham KomunismeMarxisme-Leninisme 107 a, 107 c, 107 d, dan 107 e KUHP. b. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti dasar negara Pancasila. 107 b KUHP. 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11PnPsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara c. Kejahatan sabotase 107 f KUHP. 54 Rumusan dari 6 Pasal berikut diantaranya adalah: Pasal 107 a KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun.” 55 Pasal 107 b KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan penjara paling lama 20 dua puluh tahun.” Pasal 107 c KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 l ima belas tahun.” 56 Pasal 107 d KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun.” 57 54 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 173 55 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45 56 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45 57 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46 Pasal 107 e KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Dipidana dengan penjara paling lama 15 lima belas tahun: a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketuai atau patut diduga menganut ajaran KomunismeMarxisme- Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme atau dengan segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintahan yang sah. ” 58 Pasal 107 f KUHP, bunyi rumusannya, adalah: “Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 dua puluh tahun: a. barang siapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan pemerintah. ” 59 58 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46 59 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46 66

BAB IV SANKSI

BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat

Dalam menentukan sanksi bagi bughat dibagi menjadi tiga bentuk, yakni; Pertama, bughat yang melakukan tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan tersebut, maka bughat mendapat hukuman mati jarimah hudud. Akan tetapi, jika pemimpinimam memberikan pengampunan amnesti, maka bughat akan mendapatkan jarimah ta’zir. Kedua, bughat yang melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum-minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya. Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka bughat akan mendapatkan jarimah hudud dan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh bughat. Selanjutnya yang ketiga, bughat yang tidak memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan tidak memiliki daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang, maka pemerintah boleh menahan atau memenjarakan mereka sampai mereka kembali taat dan taubat. Sedangkan bughat yang memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan memiliki suatu daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang, maka pemerintah boleh memerangi mereka. 1 Dalam persoalan pertanggungjawaban secara perdata, ada sedikit perbedaan pendapat sebagian ulama madzhab. Menurut Imam Abu Hanifah, bughat yang merusak dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksinya tidak ada pertanggungjawabannya karena, mereka memiliki alasan yang kuat atas pemberontakannya itu, kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan individu, maka bughat wajib mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan sebagian ulama Mad zhab Syafi’i berpendapat bahwa bughat harus bertanggungjawab atas perbuatan dan semua barang yang dihancurkannya, baik yang ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum. 2 Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi bughat adalah hukuman mati atau diperangi, hal ini sesuai dengan apa yang terkandung di dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan 1 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 71 2 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 118 kemunduran dalam suatu masyarakat negara. 3 Namun, memerangi bughat bukan semata-mata bermaksud untuk membunuh mereka, tetapi untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan dan mengajak mereka untuk taat dan patuh kembali kepada imampemimpin. Namun, walau sanksi bagi bughat adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya perang diperangi, para ulama madzhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih dahuluperingatan dan ajakan untuk kembali taat sebelum memberikan hukuman. Proses dialog dilakukan dalam rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan pemberontakan dan menemukan jalan damai. Jika mereka menyebut beberapa kedzaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar, maka imam harus berupaya menghentikan kedzaliman dan penyelewengan tersebut. Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali taat dan patuh kepada imam. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali patuh maka mereka harus dilindungi. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk taat dan malah menyerang dengan senjata, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka. Hal tersebut sesuai berdasarkan Q.S. Al- Hujuraat ayat 9: ْ2ن ِ إ. ْ ْ . 0مْ 0نا.ت.ف0ئ3ا .ط ْ. 2ي0 0مۡؤ ۡل ٱ ْ ْ2إول.ت.تۡق ٱ ْ ْ2 ن ِ ا.فْۖا. .َۡي.بْ2إوح0ل ۡصأ.ف ْ ْ .َ.عْا. هٰ.دۡحِإْ ۡò.غ.ب ْه.رۡخ ۡۡ ٱ ْ ْ2إول0تٰ .ق.ف ْ 0تذل ٱ ْ ْهذّ.حْي0غۡب.ó ْ 0رۡمٱْ 3ه.ِٰإْ. 3ي0ف.óْ ْه0ذل ٱ ْ ْ2ن ِ ا.ف ْ ْ0بْا. .َۡي.بْ 2إوح0ل ۡصأ.فْ ۡت. 3ا.ف ْ0ل ۡد.عۡل أ ْ ْۡقٱ. ْۖ2إ3و ط 0س ْ ْ ذن ِ إ ْ.ذل ٱ ْ ْ هب0 ُ ْ. 2ي 0ط 0سۡق ۡل ٱ ْ 3 Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam, Semarang: Rasail Media Grup, 2009, h. 48