Yang meliputi berbagai hal, seperti politik, agama, ekonomi dan lainnya. Para pengkritik Utsman, semuanya mendasarkan tindakan-tindakannya
dengan merujuk kepada semua dasar hukum tersebut dan hukum-hukum yang sudah disepakati.
24
Dampak final dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan adalah sebuah pemberontakan. Otak utama dari
pemberontakan ini adalah Abdullah bin Saba’. Dia adalah seorang Yahudi asal Yaman, yang masuk Islam saat Utsman berkuasa memainkan peran
yang sangat signifikan dalam menggerakan masyarakat untuk mengadakan pemberontakan. Akibat ulah pemberontakannya ini, dia diusir dari
Bashrah dan Kuffah. Namun dia berhasil ke Syiria dan bertemu dengan Abu Dzar dan mengajaknya untuk bergabung dengan dirinya. Mua’wiyah
kembali mengusirnya dari Syiria. Dia kemudian berangkat menuju Mesir, karena tempat itu dia anggap suasananya lebih kondusif untuk
menanamkan bibit pemberontakan. Dia membentuk sebuah kelompok rahasia yang mampu
menghimpun banyak pengikut dan pendukung. Dengan sangat licik ia mengeksploitasi perbedaan yang ada didalam masyarakat Islam dan
dengan cara inilah dia memecah belah umat. Dia gemar dan sukaria dengan perilaku yang ambigu dan ambivalence, menyebarkan fitnah, isu
jahat, kecurigaan, dia tampak memposisikan diri dengan orang-orang yang lemah, tertindas dan dengan secara besar-besaran mengekspos korupsi dan
nepotisme yang ada di pihak pemerintah.
25
24
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 186
25
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 182-183
Berbagai surat disebar atas nama Ali, Thalhah, dan Zubair, yang berisi ajakan kepada rakyat di berbagai provinsi untuk mendongkel
Utsman. Orang-orang Badui Mesir, Kuffah dan Bashrah semuanya bergerak untuk menentang otoritas kekuasaan Khalifah yang mereka tuduh
telah melakukan tindakan nepotisme, tidak kompeten dan telah menyimpang dari norma-norma yang telah diberlakukan oleh para
pendahulunya. Utsman diminta untuk turun dari kursi Khilafah. Gerakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ mendapat sambutan dan
memberikan tekanan yang demikian hebat kepada pemerintahan Utsman.
26
Puncak dari pemberontakan itu, para pemberontak mengepung rumah Utsman dan merangsek masuk ke dalam rumah Utsman untuk
membunuh sang Khalifah. Para pemberontak memukul-mukulkan pedangnya kepada Khalifah yang saat itu sedang memegang Al-
Qur’an. Mereka memukulkan pedang-pedang mereka ke tubuh Khalifah yang
akhirnya meninggal dan terjatuh ke lantai.
27
4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thallib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan di halaman Ka’bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, istri pertama
Rasulullah SAW. Ali r.a hidup bersama Rasulullah SAW di Mekkah dan dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan
Rasulullah SAW, baik sebelum maupun setelah Islam. Gurunya tak lain adalah Rasulullah SAW sendiri. Dari tangan Rasulullah SAW langsung, ia
26
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 193
27
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 181
belajar Al- Qur’an.
28
Ali bin Abi Thalib r.a dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat menggantikan Utsman bin Affan r.a yang mati terbunuh di tangan kaum
pemberontak.
29
Pengukuhan Ali r.a menjadi Khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibai
’at di tengah- tengah suasana berkabung atas kematian Utsman r.a, pertentangan dan
kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman r.a mendaulat Ali r.a supaya
bersedia di bai ’at menjadi khalifah.
30
Ali r.a di bai ’at menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan
dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsman r.a. Keadaan ini bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali
r.a, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya menjadi Khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili
para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir. Tuntutan ini tak dapat dipenuhi oleh Khalifah Ali r.a.
Tindakan dan kebijkasanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat
Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Ustman kepada keluarganya ditarik
kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap
28
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 201
29
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, h. 151
30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 152
para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan
oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah.
31
Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan
Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat
dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka
beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman.
32
Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan
Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan
perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia
pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al- Qur’an.
Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah
yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan
31
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155
32
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 157