Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah. 31 Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman. 32 Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al- Qur’an. Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan 31 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155 32 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 157 bertempur di Shiffin, di lembah sungai Eufrat yang kemudian terkenal dengan Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini dihentikan dengan diadakannya tahkim arbitrase atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari Majelis Tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena Majelis Tahkim atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah, sehingga secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun, sesudah peristiwa tahkim itu mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya, diproklamasikan menjadi Khalifah. 33 Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan Majelis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Alasannya, Ali menurut mereka melakukan kesalahan besar yaitu mau menerima tahkim. Kelompok ini kemudian terkenal dengan Khawarij orang-orang yang keluar dan dianggap sebagai sekte pertama dalam Islam. 34 Ali menyuruh Ibnu Abbas untuk menemui kaum Khawarij. Ibnu Abbas mampu meyakinkan mereka bahwa keputusan yang diambil itu tetap merujuk kepada Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan andaikata itu tidak sesuai dengan Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka Ali tidak akan menerima begitu saja dan pasti dia akan bertempur menghadapi musuh-musuhnya. Perkataan Ibnu Abbas 33 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158 34 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158 membawa hasil. Elemen-elemen yang bersitegang saat itu sementara bisa dirukunkan. 35 Namun, karena memang dari awal mereka tidak tertarik terhadap penobatan Ali ataupun Muawiyah sebagai Khalifah dan yang paling penting adalah kekecewaan mereka karena diadakannya tahkim, setelah peperangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Ketiga orang inilah yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap semua kekacauan di seluruh dunia Islam. Beberapa orang sukarelawan segera dibentuk untuk melaksanakan rencana tersebut. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam yang ditugaskan untuk membunuh Ali, Nazal diperintahkan untuk menghantam Muawiyah, sedangkan Abdullah diperintahkan untuk menghabisi Amr bin Ash. Pembunuhan ini akan dilakukan secara serentak di Kuffah, Damaskus dan Fustat. Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu pada hari Jumat 17 Ramadhan 40 Hijriah pada saat shalat Subuh. Muawiyah selamat dan tidak terluka sedikitpun, sedangkan Amr bin Ash sedang sakit sehingga tidak memimpin shalat di Mesjid pada hari itu dan penggantinya yang terbunuh. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya di Kufah, pedang beracunnya berhasil ia tancapkan ke tubuh Ali. Pada usia enam puluh tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur empat 35 Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 216 tahun sembilan bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak menyimpan dendam. 36

B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan

Dari berbagai definisi mengenai bughat yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, ada beberapa unsur dalam jarimah pemberontakan, yaitu:

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara imam

Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. 37 Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan individu. Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini boleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. 38 Dengan demikian, jika seorang kepala negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun 36 Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 222-223 37 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111 38 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111 kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam kategori pemimpin negara yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para hakim, dan semua aparat keamanan. 39 Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala negara imam, namun menurut madzhab empat dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar membangkang dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh lemah, apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. 40 Dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu Hanifah, Al- Syafi’i, dan Ahmad membedakannya menjadi tiga, yaitu sebagai berikut: 41 a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak. b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata. c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan senjata. 39 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63 40 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113 41 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 66 Untuk jenis kelompok kaum pemberontak yang ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 42 a. Pemberontakan yang dilakukan warga Syam di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. b. Pemberontakan kaum Khawarij terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan pihak Ali dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat. Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak disebut pemberontakan. 43

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan.

Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mau mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk al- baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan. 42 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67 43 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67