Politik Perpolitikan Di Indonesia Dalam Sorotan Pers Islam : Analisa Majalah "Risalah" Tahun 1998-1999

disampaikan pula dalam harian Kompas, mengenai tindakan CSIS yang dinilai telah merugikan bangsa Indonesia, maka tidak mengherankan jika sebagian umat Islam menuntut keadilan kepada pemerintah atas tindakan CSIS yang telah menimbulkan kekacaun di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Orde Baru hingga lengsernya Soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang menganggap rezim Soeharto sudah tidak layak untuk dipertahankan. Sayangnya, meski telah berganti presiden, tidak semua masyarakat dapat menerima dan mendukung B. J. Habibie. Hal ini disebabkan telah hilangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan. Menanggapi situasi tersebut, Persis menghimbau masyarakat Indonesia melalui majalah Risalah agar senantiasa memberikan dukungan dan kepercayaan kepada B. J. Habibie untuk melakukan perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut pernyataan Persis dalam majalah Risalah: “Persatuan Islam dalam siaran persnya sebanyak empat point, menyatakan mendukung pernyataan berhenti Soeharto dari jabatan presiden seraya mengucapkan selamat kepada Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibie sebagai presiden RI dan mengajak semua pihak memberi kesempatan kepada presiden Habibie beserta kabinetnya guna membuktikan kemampuannya dalam melakukan Reformasi ” Pernyataan tersebut senada dengan ungkapan Amien Rais dalam majalah Risalah, sebagai berikut: “dalam setiap wawancara dengan wartawan media cetak maupun elektronik, selalu menegaskan agar masyarakat luas memberi kesempatan kepada presiden baru tersebut membuktikan kemampuannya memberantas penyakit KKN K orupsi, Kolusi dan Nepotisme.” 113 113 “Beri Kesempatan Kepada Presiden BJ Habibie,” Majalah Risalah, No. 4, Juni 1998, h. 50. Dilihat dari himbauan yang disampaikan Persis dan Amien Rais, menjelaskan bahwa, seharusnya masyarakat menyadari untuk melakukan sebuah perubahan, tidaklah mudah dilakukan dalam waktu yang singkat tanpa adanya keterlibatan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, sepatutnya masyarakat agar sepenuhnya mendukung dan memberikan kepercayaan kepada B. J. Habibi untuk melakukan perubahan, sehingga Indonesia dapat terbebas dari peliknya permasalahan krisis di bidang ekonomi, politik, sosial dan hukum, yang dihadapi. Selain itu, majalah Risalah menyoroti bahwa, sebaiknya masyarakat tetap waspada terhadap perubahan politik yang begitu cepat, sebab dikhawatirkan peran umat Islam hanya akan dipinggirkan dan dimarjinalkan dalam dunia perpolitikan. Meskipun, kebijakan politik pemerintah di era Reformasi terlihat lebih dekat dengan kelompok Islam jangan sampai membuat para aktivis politik Muslim yang bepartisipasi dalam kegiatan politik terjebak dalam perubahan tersebut. Sebagaimana kutipan artikel dan pandangan Dadang dalam majalah Risalah: “……di tengah derasnya arus Reformasi….cukup beralasan mengingat pengalaman dalam setiap di tanah air kita. Belum terhapus dalam benak kita, bagaimana umat Islam dipinggirkan selama 25 tahun Orde baru berkuasa. Bahkan dijadikan bulan-bulanan dengan berbagai rekayasa yang menyudutkan.” 114 “Setiap runtuhnya sebuah rezim kekuasaan, di negara manapun dan dalam kondisi apapun, pasti akan selalu muncul kelompok yang berkepentingan vesten Interest yang terkadang mereka show of force untuk sekedar melegitimasi eksistensinya dan mencari atensi atau dukungan dari masyarakat, maka dengan memperhatikan kondisi riil, sekarang kiranya sudah sepantasnya bagi umat Islam untuk mengantisipasi polarisasi politik………” 115 114 “Ayo Rapatkan Barisan,” Majalah Risalah, No. 4, Juni 1998, h. 15. 115 “Peran Muslim di Era Reformasi,” Majalah Risalah, No. 6, Agustus 1998, h. 9. Menurut pandangan Dadang dan artikel tersebut, mengingatkan kepada masyarakat Indonesia sebagai penduduk mayoritas muslim, agar selalu waspada dalam menanggapi isu dan berbagai perubahan politik, sebab tidak menutup kemungkinan meskipun rezim Orde Baru telah runtuh kekuatan umat Islam akan dimanfaatkan kembali oleh kelompok kepentingan untuk mempertahankan legitimasinya dalam perpolitikan Indonesia. Lengsernya rezim Orde Baru yang dinilai bobroknya sebuah sistem yang diterapkan. Sebagaimana pandangan para pengamat politik mengenai rezim Orde Baru dalam pemberitaan majalah Risalah: “….memang tidak berlebihan kalau kita katakan, bahwa Orde Baru sebelum tahun 90-an adalah pengikut konsisten dari politik pendahulunya. Artinya mereka mendukung Islam sebagai agama dalam pengertian yang sempit; dan menindas umat Islam sebagai kekuatan politik. Dalam hal ekonomi, mereka mendukung konglomerasi yang notabennya bukan umat Islam. sedangkan umat Islam di lapisan menengah kebawah tidak bisa menikmati……Orde Baru itu ada yang baiknya dan ada juga yang tidak baiknya….rezim Orde Baru itu mempunyai kelemahan dan kekuatan kita obyektif saja. Kelemahan vital dari Orde Baru adalah sistem pemerintahannya tidak kuat.” 116 “Ketika Orde baru berdiri tahun 1966, sebenarnya umat Islamlah yang paling berperan menggayang PKI dan menumbangkan Orde Baru, terutama kalangan generasi muda reformis yaitu anak-anak Masyumi. Kehadiran Orde Baru memberikan harapan kepada umat Islam yang sekian lama tertekan pada masa Orde Lama. Tetapi nyata Orde Lama dan Orde Baru sama saja sikapnya kepada umat I slam…. salah satu contoh, ketika kita meminta rehabilitas Masyumi ditolak oleh pemerintah Orde Baru. Akhirnya kita mendirikan Parmusyi Partai Mulimin Inndonesia. Namun, lagi-lagi pemerintah ikut mencampuri dengan mengkudeta kepengurusan partai.” 117 “Salah satu korba korporatisme Orde Baru adalah gerakan koperasi selama lebih dari 30 tahun geraka koperasi tidak hanya diselewengkan Orde Baru sebagai alat kekuasaan, tapi juga telah sedemikian rupa sehingga telah 116 “Orde Baru Tindas Islam Politik,” Majalah Risalah, No. 8, Oktober 1998, h. 17. 117 Orla Orba Sama Jeleknya,” Majalah Risalah, No. 8, Oktober 1998, h. 19. berubah wujud menjadi persekutuan majikan. Akibatnya, selama lebih dari 30 tahun, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 121967, gerakan koperasi tidak hanya kehilangan kredibilitasnya sebagai gerakan ekonomi rakyat yang mandiri dan demokratis.” 118 Berdasarkan pandangan para pengangamat politik mengenai Orde baru, dapat menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa, meskipun telah banyak persoalan yang ditimbulkan akibat penyimpangan yang dilakukan oleh para petinggi negara pada masa Orde Baru tidak terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki seorang pemimin. Oleh sebab itu, dari sepenggal pengalaman yang cukup merugikan umat Islam, telah memicu rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah, maka sebagai salah satu bentuk upaya Reformasi di bidang politik yang dilakukan B. J. habibie untuk mengembalikan kepercayaan tersebut dengan terlaksananya pemilu yang lebih demokratis pada tahun 1999. Di mana umat Islam telah diberi kebebasan untuk berperan aktif dalam perpolitikan baik membentuk partai politik maupun organisasi. Kesempatan berpolitik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Indonesia, agar segera terlaksananya pemilu pada tahun 1999 telah memicu lahirnya banyak partai politik Islam. Sayangnya, hal ini tidak membuat terjalinnya persatuan di antara umat Islam, bahkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Sebagaimana kutipan berikut: “pemilihan umum sebentar lagi akan berlangsung di Indonesia, yaitu awal Juni 1999. Sekitar seratus dua puluh partai politik telah berdiri di era Reformasi ini….fenomena banyaknya partai multi partai juga melanda partai-partai Islam. sudah banyak partai berdiri berasaskan Islam, sekitar dua puluh lebih. Misalnya, PBB, PK, PKU, PNU, SUNI, PPP, PIPI, PUI, Masyumi baru, dan masih banyak lagi. Fakta multi partai memang diakui dalam Islam ia ibarat banyaknya madzhab dalam fiqih. Jadi multi partai 118 “Soeharto Memannipulasi Koperasi,” Majalah Risalah, No. 8, Oktober 1998, h. 21. merupakan beberapa madzhab dalam politik. Sebab di era modrn berpendapat dan berkelompok menghendaki lembagainstitusi tempat mensosialisasikan, mereflesikan, dan memperjuangkannya. Semua itu terefleksi dalam bentuk banyaknya partai politik. Tapi kemudian timbul masalah, yaitu fenomena banyaknya partai Islam dapat menyebabkan perpecahan. Yaitu apabila antar partai Islam memandang partai Islam lainnya sebagai seteru atau saingan, bukan lagi sebagai mitra dalam ber- amar ma‟ruf nahi munkar.” 119 “yang tidak dapat dilepaskan dari elit multi partai dalam pemilu lalu adalah pengelompokan umat Islam. Dalam kacamata demokrasi, banyaknya partai merupakan kemajuan manusia dalam merespon kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dari semua itu, pelajaran yang sangat berharga telah kita rasakan, bahwa umat Islam masih awam dalam merespon banyaknya partai Islam. Harapan kita dengan banyaknya partai Islam, umat bisa memilih dan memilah. Sehingga apabila tidak suka terhadap partai Islam A, umat Islam masih dapat memilih partai Islam B. Namun, kenyataan di lapangan lain. Umat Islam tidak cukup dewasa dalam memahami gejala ini. Yang ada hanyalah kebingungan, apa lagi ditambah dengan sikap ash-shabiyah dari partai-partai Islam sendiri. Kerap kali ditemukan di lapangan, partai Islam A misalnya merasa paling benar, paling Islami, paling berhak dari partai Islam B, C, D, dan lainnya. Jelas, sikap seperti ini akan melemahkan ketahanan dan kekuatan barisan umat Islam.” Dengan melihat kutipan tersebut menunjukkan bahwa, pemilu sebagai upaya dilakukan B. J. Habibie untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah telah dibuktikan dengan memberi kebebasan umat Islam untuk berpartisispasi dalam politik, bahkan membentuk sebuah partai politik sebagai wadah untuk memperjuangkan aspirasinya. Banyak Berdirinya partai Islam, diharapkan dapat menumbuhkan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam meski terdapat perbedaan dalam berpartai. Nyatanya, perbedaan tersebut menimbulkan sikap saling menjatuhkan antara partai Islam, sehingga terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam. Padahal berlangsungnya pemilu 1999, diperkirakan partai Islam dapat memperoleh suara terbanyak, justru sebaliknya, 119 “Tujuh Pondasi Koalisi Partai Islam,” Majalah Risalah, No. 4, Juni 1999, h. 6. kekalahan umat Islam dalam pemilu menjadi cambukan besar bagi sebagian kalangan elit politik Islam. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pemahaman umat Islam sendiri dalam menanggapi banyaknya partai politik Islam dan kurangnya sosalisasi yang dilakukan partai Islam dalam memperkenalkan visi, misi, dan program, sehingga tidak heran jika hanya sebagian kecil aspirasi pemilih yang disalurkan pada partai politik Islam. Menanggapi kekalahan umat Islam dalam pemilu 1999, majalah Risalah menekankan kepada masyarakat agar sebaiknya kita sebagai umat Islam menyadari bahwa, kegagalan, ketidakberdayaan, dan keterpurukan penyebabnya adalah diri sendiri. Oleh sebab itu, umat Islam dapat mengambil pelajaran dari pengalaman agar tetap bersatu tanpa adanya perbedaan meskipun berbeda partai politik. Tidak terlepas dari permasalahan yang muncul setelah pemilu, di mana kemenangan PDI-P membuat kecemasan di kalangan umat Islam, sebab tidak bisa dipungkiri jika Megawati akan menduduki kursi presiden. Melihat permasalahan tersebut menimbulkan pandangan di kalangan para ulama mengenai kepemimpinan wanita. Berikut pandanganya: “…pandangan masyarakat terhadap perempuanpun berbeda- beda...meskipun Islam memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam kebijakan, tapi ada peran dan fungsi laki-laki yang tidak bisa atau tidak boleh diambil alih oleh perempuan. Misalanya peran laki-laki suami sebagai pemimpin dalam keluarga khususnya. Sebagaimana digariskan oleh Allah dalam Qs. An- nisa: 34 di atas, meskipun kalimatnya bersifat “khobaryyah” berita, tapi mempunyai makna “insyaiyyah” tuntunan. Apalagi nabi Saw. Telah mengingatkan: “jika suami telah mentaati istrinya fungsi suami telah diambil alih istri maka ia telah menghalalkan diri untuk dituruni malapetaka.” HR. Ibn Majah. Lalu tetang perempuan menjadi presiden atau kepala Negara. Nabi Saw. Bersabda, “tidak akan pernah jaya sebuah bangsa jika dipimpin oleh seorang perempuan.” HR. Ahmad, Al bukhari, An Nasai dan At Tirmidzi. 120 “Allah SWT berfirman, “kaum pria itu pemimpin bagi wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka pria atas sebagian yang lain wanita dan karena mereka pria telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Qs. An- Nisa ayat 34. Dalam ayat di atas, diungkapkan bahwa pria pemimpin wanita. Artinya pria mempunyai hak dan wewenang untuk memerintah. Sedangkan wanita berkewajiban taat. Dalam lanjutan ayat di atas disebutkan, wanita yang shalihah itu adalah wanita yang taat bukan di taati. Jika ayat di atas kita analisis, ada beberapa argumentasi, mengapa pria berhak untuk memimpin. Di antaranya, pertama, Allah melebihkan kaum pria dari kaum wanita, sekalipun tidak dirinci segi-segi apa saja kelebihan pria. Dengan isyarat ini pria berhak untuk memimpin. Kedua, pria mempunyai tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada wanita, maka wajar kalau pria berhak memimpin.” 121 “wanita dan laki-laki dalam pandagan Islam mempunyai gradasi yang sama dihadapan Allah. Kalimat inna akramakum „indallahi atqaamakum mencakup laki-laki dan wanita. Tidak ada anggapan wanita lebih rendah. Hal demikian, saya lihat dari beberapa sudut. Jenisnya, sifatnya, dan kewajibannya. Dari jenis sudah jelas. Dari segi sifatnya laki-laki lebih relatif rasional, sedangkan wanita lebih emosional. Sehingga Islam sendiri, menempatkan wanita tidak dalam jabatan hakim, karena emosi tadi. Hakim kan harus mampu menetralisi emosi.” 122 Menurut pandangan para ulama tersebut menjelaskan bahwa, dilihat dari berbagai aspek mengenai pemimpin seorang perempaun bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi dalam suatu negara. Berangkat dari persoalan tersebut, ketidaksetujuan para ulama mengenai seorang pemimpin perempuan bukan didasarkan pada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, melainkan ditinjau dari segi agama baik menurut ayat Al- Qur‟an dan Hadits pada dasarnya tidak ada perbedaan dihadapan tuhan, hanya saja dari segi kewajiban dan sifatnya kaum wanita lebih cenderung emosional. 120 “Presiden Perempuan,” Majalah Risalah, No. 10, Desember 1998, h. 19. 121 “Presiden Wanita Menurut Islam,” Majalah Risalah, No. 10, Desember 1998, h. 20 122 “Laki-Laki Di Atas Wanita Bukan Diskriminasi,” Majalah Risalah, No. 10, Desember 19998, h. 23.

C. Sosial-Politik

Pada umumnya bangsa Indonesia sebagian besar telah menyadari bahwa, telah terjadinya penyimpangan yang dilakukan para petinggi Orde Baru, sehingga mengakibatkan krisis di segala bidang. Hal inilah yang kemudian menggerakkan bangsa Indonesia menuntut agar adanya perubahan. Menghadapi situasi yang tidak stabil menjelang era Reformasi, Persis melalui majalah Risalah menyuarakan langkah yang awal yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam melakukan perubahan adalah memperbaiki moral. Sebagaimana kutipan berikut: “Istilah “Reformasi” kali ini menjadi pembicaraan hangat. Kata yang berarti pembaharuan tersebut, digunakan sebagai cara untuk mengungkapkan sesuatu yang harus diperbaiki, setelah sekian lama dibiarkan dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaan. Logikanya, apabila ada “sesuatu” yang mesti diperbaiki, berarti “sesuatu” tersebut telah ketinggalan zaman, tidak cocock lagi dipakai untuk saat ini, tidak manusiawi bila tetap dipertahankan. Sebagai agama yang menekankan pentingnya memelihara kemuliaan akhlaq, Islam memerintahkan agara para pemeluknya menjaga kesempurnaan akhlaq sebagaimana ditegaskan oleh Rosulullah Saw: “Aku di utus untuk menyempurnakan kemuliaan- kemuliaan akhlaq.” Tanpa akhlaq manusia binasa. Betapa pun bangsa yang dimaksud kuat secara militer, ekonomi, dan politik, hukum baja sejarah tidak bisa menggugat. Tengoklah Romawi Kuno yang berhasil menciptakan bangunan-bangunan tinggi. Atau Persia, di zaman Cyrus yang terkenal kekuasaannya tanpa batas. Kini mereka tinggal puing-puing berserakan, layak fosil. Fakta sejarah diatas mengajarkan kepada kita bahwa langkah pertama untuk menyelamatkan bangsa harus dimulai dari akhlaq. Seorang manusia yang telah mengalami revolusi akhlaq, dipastikan ia menuju kehidupan yang lebih tentram dan bahagia …sebut saja, korupsi, kolusi, manipulasi, pungutan liar, penyalahgunann wewenang, dan lain- lain. ” 123 Dari kutipan tersebut, dijelaskan bahwa, menurut pandagan majalah Risalah kekacauan yang terjadi mulai dari kasus pembunuhan, pemberontakan, hingga korupsi, manipulasi, dan sebagainya, tidak lain penyebanya adalah 123 “Langkah Pertama, Reformasi Moral,” Majalah Risalah, No. 12, Februari 1998, h, 13 bobroknya moral bangsa yang dianggap mulai terkikisnya nilai-nilai keislaman sebagai pedoman hidup. Padahal, Islam telah mengajarkan kepada para pemeluknya agar senantias menjaga perangainya akhlak, maka untuk menuju perubahan yang diinginkan masyarakat hal yang paling utama dilakukan adalah memperbaiki akhlak. Krisis yang dialami bangsa Indonesia tidak hanya merambah pada bidang politik, ekonomi dan hukum, melainkan krisis sosial yang memicu terjadinya krisis akhlak. Oleh sebab itu, tidak heran jika sikap individu masyarakat tidak lagi menghiraukan norma-norma yang berlaku, terutama norma agama. Berangkat dari persoalan tersebut, maka Persis menyampaikan pernyataan dalam majalah Risalah sebagai berikut: 1. Bahwa disadari atau tidak berbagai musibah yang berdimensi nasional yang datang silih berganti, mulai dari krisis ekonomi dan krisis moneter, krisis kepercayaan serta gejolak sosial dan politik yang terjadi, akar masalahnya lebih kepada krisis akhlak yang mengrogoti masyarakat pada umumnya, tapi juga telah mendistorsi pada pilar-pilar moral ulama, pendeta, pastur, polisi, jaksa, hakim, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah yang seharusnya memberi keteladanan dan jadi panutan masyarakat. Indikasinya adalah merajalelanya korupsi, kolusi, monopoli, oligopoly arogansi, ketidakadilan prostitusi, dan merebaknya perjudian. 2. Krisis akhlak yang terjadi tidak terlepas dari program pemerintah yang lebih mengutamakan pembangunan fisik dan ekonomi dibandingkan dengan pembangunan karakter, mental, dan akhlak. Sehingga melahirkan sikap mental matrealis, konsumeris, hedonis, sekularis, dan menghalalkan pelanggaran terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia HAM. 3. Agar lepas dari masalah semua masalah yang melanda Indonesia kita perlu “Muhasabah” intopeksi diri baik pihak yang tidak berkontribusi maupun pihak yang berkontribusi yang menimbulkan krisis di segala bidang. 4. Persis mendukung penuh tuntutan Reformasi, baik di bidang politik, hukum, sosial, dan ekonomi terutama Reformasi akhlak. Serta mengapresiasi respon yang diberikan oleh ABRI, DPR, maupun pemerintah. Meski terkesan lamban dan belum benar-benar serius. Dengan harapan semua itu berangkat dari kejujuran dan kesadaran demi kemaslahatan bersama tanpa retorika atau kosmetika politik belaka. 5. Reformasi yang dilakukan sebaiknya tidak ditunda-tunda dan dilakukan dengan sungguh-sungguh, serta memperhatikan betul aspirasi masyarakat dengan azas-azas kebenaran, kejujuran, dan keadilan. 6. Dalam upaya meReformasi dibidang politik dan hukum, hendaknya semua pihak terutama ABRI, pemerintah dan kekuatan orsospol yang ada di DPRMPR menyadari bahwa, segala aturan produk manusia tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu keliru sekali jika ada sikap- sikap “saklarisasi” terhadap aturan, keputusan, dan perundang-undangan buatan manusia. Sehingga menutup diri dan kesempatan terhadap upaya perbaikan kearah yang lebih demokratis, jujur dan adil. 7. Reformasi di bidang ekonomi hendaknya dilakukan pembangunan ekonomi yang berkeadilan dengan lebih mengutamakan pemerataan di samping pertumbuhan serta perioritas keberpihakan kepada rakyat banyak bukan kepada segelintir orang yang mengakibatkan melahirkan konglomerasi dan kesenjangan sosial ekonomi. 8. Reformasi dibidang akhlak hendaknya diajadikan prioritas utama, dengan memberikan perhatian lebih banyak terhadap pendidikan agama di lembaga- lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. 9. Persis menyerukan kepada seluruh masyarakat agar dalam menyampaikan tuntutan Reformasi tersebut tidak terpancing untuk melakukan tindakan perusakan yang pada akhirnya justru memperparah penderitaan rakyat. 10. Persis menyatakan prihatin atas jatuhnya korban jiwa dalam aksi-aksi keprihatinan yang bergejolak di kampus-kampus. 124 Dari pernyataan yang dikeluarkan Persis tersebut, menegaskan bahwa, Persis mendukung penuh atas perubahan sistem politik dan berharap agar pemerintah segera mengambil tindakan dalam melakukan perubahan di segala bidang, sebab jika tidak segera dilakukan dikhawatirkan akan semakin terkikisnya norma-norma yang berlaku baik agama maupun hukum. Di samping itu, Persis menekankan kepada masyarakat dalam menutut perubahan tersebut sebaiknya tidak didasari dengan melakukan penyimpangan yang akhirnya akan memperparah keadaan. Selain itu, munculnya aliran kepercayaan di era Reformasi telah menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat Muslim, sebab hal ini dianggap akan merusak aqidah umat Islam. sebagaimana kutipan berikut: 124 “Pernyataan,” Majalah Risalah, No. 4, Juni 1998, h. 6-7. “Mursalin Dahlan selaku jubir 50 ormas Islam menandaskan bahwa fraksi ABRI merupakan kunci penyelesaian dalam masalah ini. “ABRI selaku anak kandung rakyat, sudah sepantasnya memperjuangkan aspirasi rakyat yang mayoritasnya uamat Islam. Umat Islam mengkendaki aliran kepercayaan dikeluarkan dari GBHN. Oleh sebab itu kami memohon bantuan bapak-bapak dari FABRI untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. katanya.” Menjawab tuntutan itu, hari Subarno mengatakan, bahwa pada dasarnya terdapat kesamaan antara FABRI dengan kehendak 50 orma s Islam itu. “FABRI tidak akan mentolelir kepada segala upaya yang mengotori akidah umat Islam. dan jika mengarah kepada pembentukan agama baru, maka harus berhadapan dengan ABRI,” tandasnya” 125 Melihat persoalan dari kutipan tersebut, menunjukan bahwa, munculnya aliran kepercayaan di Indonesia merupakan dampak yang ditimbulkan dari krisis sosial yang telah mengrogoti akhlak bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, secara tidak langsung melalui majalah Risalah Persis menyerukan agar pemerintah segera mengatasi persoalan tersebut, dan menekankan kepada masyarakat Indonesia lebih waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

D. Politik-Hukum

Di tengah krisis ekonomi yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan, membuat masyarakat tidak mudah untuk mengendalikan diri atas rasa ketidakpuasan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hal ini yang kemudian, menimbulkan rasa kekhawatiran di tengah masyarakat yang akhirnya tampak dalam aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat. Unjuk rasa tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam 125 “Harapan Umat Islam Jawa Barat Aliran Kepercayaan Dikeluarkan dari GBHN,” Majalah Risalah, No. 11, Januari 1998, h. 35-36.