Salah satu upaya yang dilakukan B. J. Habibie untuk mengembalikan kepercayaaan masyarakat yakni, dengan menyegerakan pelaksanaan pemilu
sekaligus pergantian presiden dan memberikan kesempatan kepada partai politik untuk berpartisispasi dalam pemilu. Oleh sebab itu, tidak heran jika pemilu pada
tahun 1999, telah memicu lahirnya banyak partai politik yang ikut serta. Namun, banyaknya partai politik telah menimbulkan persaingan dalam memperoleh suara
pemilih yang disebabkan adanya perbedaan visi, orientasi, dan kepentingan elit partai.
82
Di samping itu, era Reformasi merupakan momentum bagi kebangkitan dan perkembangan sistem politik yang lebih demokratis, setelah partai Islam
mengalami marjinalisasi politik selama rezim Orde Baru.
83
Dalam pemilu partai Islam dihadapkan pada pilihan pelik antara menyesuaikan diri atau melakukan
perlawanan dengan kekerasan terhadap sistem yang ada sebab baik partai politik Islam maupun partai politik non-Islam yang mengupayakan demokrasi harus
menentukan strategi yang paling efektif untuk mencapai tujuan mereka.
84
Namun, ketika melihat keadaan umat Islam yang kurang tanggap terhadap permasalahan
politik antara dikotomi partai Islam dengan partai non-Islam membuat lembaga- lembaga non partai ikut berpartisipasi dalam penyadaran kepada umat Islam agar
menyalurkan hak pilihnya pada partai-partai politik yang dianggap dapat membela kepentingan umat Islam, melalui beberapa koran bersekala nasioanal seperti yang
82
Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, penerjemah Achmad Syahid dan Jajat Burhanuddin, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 225-226.
83
Ibid, h. 228.
84
John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmania Astuti, Bandung: Mizan, 1999, h. 2.
dilakukan MUI dan PP Muhammadiyah.
85
Kemudian usaha penyadaran tersebut juga dilakukan oleh Persatuan Islam melalui majalah Risalah, di mana dalam
majalah ini menyerukan hal serupa, yakni umat Islam agar memilih partai politik yang dianggap dapat memperjuangkan kepentingan umat Islam.
86
Banyaknya partai politik yang menggunakan simbol-simbol Islam dianggap mampu mendapat suara terbanyak karena melihat realitas sosio-religius
mayoritas pendukungnya adalah kaum Muslim. Nyatannya partai Islam mengalami penurunan dalam perolehan suara pada pemilu 1999 yang disebabkan
polarisasi partai-partai Islam sehingga masing-masing partai harus berbagi suara dengan partai Islam lainnya. Kegagalan partai politik Islam dalam pemilu 1999
telah memberikan kesempatan kepada partai politik berbasiskan nasional untuk mendapatkan suara dari pendukung partai Islam.
87
Kemenangan PDI-P pada pemilu 1999 merupakan realitas politik yang tidak terlepas dari simpati masyarakat terutama kalangan bawah yang
menganggap Megawati mampu memberikan keadilan sosial dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Hal ini yang dipandang masyarakat
terutama masyarakat desa dapat mengubah sistem politik, ekonomi dan sosial, dimana keadaan ini kurang mendapat perhatian di masa pemerintahan rezim Orde
Baru. Kemenangan tersebut menjadi cambukan keras bagi partai-partai Islam, di mana kemenangan tersebut akan membawa megawati menduduki kursi presiden.
85
Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Poltik di Indonesia, penerjemah Achmad Syahid dan Jajat Burhanuddin, h. 229.
86
“Menjelang Pemilu 7 Juni 1999 Umat Harus Loyal ke Parpol Mana?,” Majalah Risalah, No. 3, Mei 1999, h. 6.
87
Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Poltik di Indonesia, penerjemah Achmad Syahid dan Jajat Burhanuddin, h. 228.
Hal ini yang kemudian ditanggapi oleh para elit partai Islam dengan menggunakan argumentasi kekuatan politik Islam atas penafsiran teks agama yang eksklusif.
Penafsiran ini, lebih jauh digunakan sebagai landasan isu gender untuk menolak kepemimpinan wanita. Akhirnya, setelah partai-partai Islam seperti PPP, PBB,
PK, dan PAN membentuk dan menyepakati poros tengah kekuatan politik Islam di parlemen untuk mengganjal Megawati menjadi presiden pada saat itu, maka
inilah yang kemudian dapat menggagalkan Megawati sebagai presiden pada Sidang Umum MPR 1999.
88
C. Peranan Media Pers
Corak pemerintahan yang berbeda pada era Reformasi telah membawa implikasi bagi kehidupan dan perkembangan pers di Indonesia. Di mana media
lebih diberikan keleluasaan untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih luas tidak hanya sekedar corong pemerintah, tetapi juga sebagai institusi sosial
dalam relasinya dengan institusi-institusi lain. Meski demikian, disisi lain tidak bisa dipungkiri jika media pers bukanlah cermin yang tanpa cacat, sebab
masyarakat berhak untuk lebih teliti dan mengoreksi segala sesuatu yang disampaikan oleh media.
89
Perubahan sistem politik yang lebih demokratis di era Reformasi 1998- 1999 memberikan kesempatan kepada media pers untuk menanggapi setiap
permasalahan yang terjadi di Indonesia. Beragam pemikiran yang disampaikan dalam media pers dapat memberikan wawasan dan informasi kepada masyarakat
88
Ibid, h. 227-230.
89
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Ilmu Sosial Politik, h. 197 dan 203-215.
luas mengenai kebobrokan rezim Orde Baru.
90
Selain itu juga, pemberitaan di media tidak lagi didominasi oleh berita yang menyanjung kekuasaan Orde Baru,
tetapi telah berani mengungkapkan realitas yang sebelumnya dianggap sangat sensitif, seperti pemberitaan keterlibatan Kopassus dalam penculikan aktivis,
pelanggaran HAM di Aceh, peristiwa kerusushan di Jakarta, Kupang, Ambon dan lain sebagainya.
91
Berbeda dengan Orde Baru, pers mengalami pembekuan yang menyebabkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap semua peristiwa
yang terjadi di Indonesia menjadi sangat terbatas serta tidak adanya keleluasaan untuk mendapatkan informasi, bahkan simpang siurnya data-data kejadian yang
dapat menjadi konsumsi publik.
92
Padahal, undang-undang nomor 11 tahun 1966 bab 2 pasal 4 yang diterapkan mengenai prinsip-prinsip dasar pers menyatakan
bahwa “pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” dan pasal 5.1 menyatakan “kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga
Negara” serta bab 4 pasal 8.2 menyatakan “penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun”. Akan tetapi, nyatanya para penerbit surat kabar diwajibkan harus
memiliki dua surat izin terbit, yakni Surat Izin Terbit SIT dan Surat Izin Cetak SIC.
93
90
Dedy N. Hidayat, Pers, Internet, dan Rumor Dalam Proses Delegitimasi Rezim Soeharto, dalam buku: Kisah Perjuangan Reformasi, ed. Selo Soemardjan, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999, h. 352-353.
91
Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, h. 76.
92
Eep Saefullah, Membangun Oposisi Agenda-Agenda Perubahan-Perubahan Politik Masa Depan, h. 14-15.
93
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011 h. 34-35.
Jika di lihat lebih jauh pers tidak hanya sebatas media untuk mengkomunikasikan gagasan, cita-cita, dan pandangan mereka kepada para
anggota dan masyarakat luas,
94
tetapi secara tidak disadari kehadiran media pers telah memberikan perannya sebagai salah satu lembaga yang dipandang sebagai
kekuatan demokrasi, di samping lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
95
Di samping itu, sepanjang sejarah Orde Baru Presiden Soeharto menggunakan kekuasaannya, di mana media digunakan sebagai alat untuk
menyebarluaskan pesan-pesan yang sesuai dengan kepentingan di satu pihak, yakni pemerintah. Sehingga media dipandang sebagai entitas politik dalam
mengarahkan dan menuntun masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah.
96
Pemberedelan berbagai media yang terjadi pada masa Orde baru menyebabkan terjadinya perubahan mengenai pusat kekuasaan yang perlahan-
lahan bergeser dari dalam lingkaran pemerintahan menuju kepentingan ekonomi yang ada di luar Indonesia. Hal ini terlihat, tidak sedikit para pemilik modal asing
yang semakin lama semakin banyak menanamkan modalnya dalam sektor media cetak di Indonesia, tanpa harus adanya pembatasan dan aturan dari pemerintah.
Kondisi tersebut menyebakan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang tidak dapat membendung tren ekonomi liberal yang terus bergulir tanpa bisa dihentikan.
94
Andi Swirta, Suara Dari Dua Kota: Revolusi Indonesia Dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka Jakarta dan Kemerdekaan Rakyat Yogyakarta 1945-1947, Jakarta: Balai Pustaka,
2000, h. 25.
95
Andi Swirta, Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia Pada Tahun 1950-1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional, www.sosiohumanika-jpssk.com. Akses 19 Oktober
2014 h. 262.
96
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Ilmu Sosial Politik, h. 202-203.
Inilah yang kemudian memerlukan kehadiran media yang beragam, majemuk, dan terbuka.
97
Perkembangan media pers telah memberikan pengaruhnya baik dari aspek sosialisasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah mencatat bahwa,
tidak hanya pers yang diterbitkan oleh penerbit nasional dalam menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan umat Islam, tetapi juga pers yang diterbitkan oleh
penerbit Islam yang menjadi wadah dalam mengembangkan pemikiran para tokoh Islam untuk menumbuhkan gairah memahami Islam. Hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa, umat Islam termasuk perintis perkembangan pers di Indonesia. Sampai saat ini masih bisa di jumpai beberapa pers Islam
98
yang telah berusia lanjut,
99
salah satunya adalah majalah Risalah yang ditebitkan tahun 1962 hingga saat ini oleh Persatuan Islam sebagai wadah untuk mengembangkan dakwah dan
merespon baik permasalahan tentang keagamaan maupun perpolitkan di Indonesia.
Dari relasi yang selalu berubah akibat kondisi politik yang belum stabil pada masa Reformasi, maka tidak dapat dipungkiri jika relasi media dengan
masyarakat, negara, dan pasar, belum mampu secara utuh dapat mewujudkan media sebagai infrastruktur komunikasi politik pendorong demokrasi. Indikasinya
terlihat dengan adanya tekanan-tekanan tertentu pada media baik oleh pemilik
97
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 172.
98
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pers merupakan usaha percetakan dan pemberitaan yang disiarkan melalui surat kabar, majalah, radio, televisi, dan flm. Hasan alwi, dkk.,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 863. Sedangkan pers Islam merupakan usaha penerbitan yang dikelola oleh umat Islam, di mana isi pemberitaan yang di sampaikan berdasarkan kaidah-kaidah
yang bersumber dari Al- Qur‟an dan As-Sunnah. Lihat, M. Rusli Karim, Dinamika Islam di
Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta, PT Hanindita, 1985, h. 146-165.
99
M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta, PT Hanindita, 1985, h. 134.