Sistematika Penulisan Perpolitikan Di Indonesia Dalam Sorotan Pers Islam : Analisa Majalah "Risalah" Tahun 1998-1999
Zamzam sendiri memperoleh pendidikan agama Islam di Dar al-Ulum, Mekkah selama tiga tahun.
Pada tahun 1910 H. Zamzam mengajar di Darul Muta‟allimin, sebuah sekolah yang terletak di Bandung. Sedangkan H. Muhammad Yunus
memperoleh pendidikan agama secara tradisional. Akan tetapi, H. Muhammad Yunus pandai berbahasa Arab.
27
Pada mulanya, mereka yang datang dalam diskusi hanya sekedar untuk memenuhi undangan kenduri hajatan yang diadakan H. Zamzam dan H.
Muhammad Yunus, sebab tidak sedikit dari mereka tertarik dengan makanan khas Palembang sebagai hidangan yang disajikan. Namun, seiring berjalannya waktu
ketertarikan para jamaah tidak hanya sekedar untuk menikmati hidangan tersebut, tetapi kajian tentang Islam yang disampakan oleh H. Zamzam dan H. Muhammad
Yunus menjadi daya tarik untuk menambah wawasan tentang agama.
28
Hal ini yang kemudian menyadarkan mereka akan bahaya keterbelakangan, kejumudan
د مج kemandegan berfikir, penutupan ijtihad دا تجإ kesepakatan, taklid buta ديلقت mengikuti tanpa alasan, dan serangkaian praktek bid‟ah. Di mana praktek-
praktek tersebut akan menyebabkan terkikisnya nilai keislaman dari umat Islam.
29
Selain itu, disk usi juga dilakukan dengan para jama‟ah shalat jum‟at,
sehingga anggota yang turut berpartisipasi dalam kelompok diskusi semakin bertambah,
30
tidak hanya dari kalangan keluarga maupun kerabat dekat H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus tetapi banyak orang-orang di luar mereka
27
Dadan Wildan Anas, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 28.
28
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 96.
29
Shiddiq Amien, dkk., Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Islam Jam’iyyah Persis,
h.102.
30
Badri Khaeruman, Persis Sejarah Pembaharuan Islam “Kembali Kepada Al-Qur’an
dan Al- Sunnah,” h. 46.
yang ikut bergabung dalam diskusi. Meskipun demikian, Persis umumnya tidak menekankan untuk memperluas organisasi dengan membentuk banyak cabang dan
menambah anggota sebanyak mungkin. Namun, pengaruh dari organisasi Persis lebih besar dibandingkan dengan jumlah cabang maupun anggotanya.
31
Berdirinya Persis berbeda dengan organisasi-organisasi yang muncul pada awal abad 20, Persis memiliki ciri khas tersendiri dalam kegiatannya, yakni lebih
menitik beratkan pada faham keagamaan. Sedangkan organisasi lain, seperti Budi Utomo yang didirikan pada 1908, kegiatannya lebih cenderung pada pendidikan
bagi penduduk pribumi, khususnya orang Jawa, Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1912 pergerakannya lebih kepada bidang politik dan perekonomian, dan
Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912, gerak langkahnya lebih kepada kesejahteraan sosial dan pendidikan keagamaan.
32
Adapun, nama Persatuan Islam sendiri diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul jihad
دا لا ر ruhnya jihad dan ijtihad دا تجإ kesepakatan
yang disesuaikan dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yakni persatuan pemikiran Islam, persatuan suara Islam, persatuan rasa Islam, dan persatuan usaha
Islam.
33
Penamaan tersebut, terilhami dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 103 yang menyatakan:
ا قّرفت ا اعيمج ها لبحـــب ا مصتعا
Artinya: Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali undang- undang Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai-berai.
31
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 96-97.
32
Dadan Wildan Anas, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, h. 30.
33
Didi Kuswandi, Dkk., Agenda Persis, Bandung, Pimpinan Pusat Persis, 2008, h. 6.
Sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi:
ةعام لا عم ها دي
Artinya: kekuatan Allah itu bersama al- Jama’ah. Ayat Al-Qur‟an dan
hadits tersebut dijadikan lambang Persis dengan tulisan yang berbentuk bintang bersudut dua belas, sedangkan tulisan Persatuan Islam terletak di tengah yang
ditulis memakai huruf Arab-Melayu.
34
Pada tahun 1924, A. Hassan bergabung dalam kegiatan diskusi yang diadakan Persis. Ia dikenal sebagai seorang pedagang yang memiliki pemahaman
agama yang cukup luas dan cakap dalam menyampaikan maupun menjelaskan masalah keagamaan kepada khalayak umum. Ini terbukti ketika H. Zamzam
sabagai ketua Persis menjadi narasumber dalam pengajian, kemudian beliau ditanya oleh salah satu anggota kelompok diskusi tentang tauhid. Namun, jamaah
merasa tidak puas terhadap jawaban yang diberikan H. Zamzam. Akhirnya A. Hassan mencoba menjelaskan kembali jawaban atas pertanyaan tersebut, di mana
jawaban yang diberikan A. Hassan lebih mudah dipahami oleh jamaah, maka sejak saat itu A. Hassan diminta untuk menjadi narasumber dalam pengajian
sekaligus dijadikan sebagai guru besar Persis untuk menggantikan H. Zamzam.
35
Di masa kepemimpinan A. Hassan, pengembangan dan penyebaran faham Al-
Qur‟an dan As-sunnah tidak hanya disampaikan melalui khutbah-khutbah, diskusi, dan pengajian, tetapi juga melalui tulisan yang diterbitkan, seperti buku-
buku, majalah-majalah, dan kitab-kitab. Tulisan-tulisan yang dimuat dalam media
34
Badri Khaeruman, Persis Sejarah Pembaharuan Islam “Kembali Kepada Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, ” h. 49.
35
Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara. 1980, h. 23-24.