Inilah yang kemudian memerlukan kehadiran media yang beragam, majemuk, dan terbuka.
97
Perkembangan media pers telah memberikan pengaruhnya baik dari aspek sosialisasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah mencatat bahwa,
tidak hanya pers yang diterbitkan oleh penerbit nasional dalam menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan umat Islam, tetapi juga pers yang diterbitkan oleh
penerbit Islam yang menjadi wadah dalam mengembangkan pemikiran para tokoh Islam untuk menumbuhkan gairah memahami Islam. Hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa, umat Islam termasuk perintis perkembangan pers di Indonesia. Sampai saat ini masih bisa di jumpai beberapa pers Islam
98
yang telah berusia lanjut,
99
salah satunya adalah majalah Risalah yang ditebitkan tahun 1962 hingga saat ini oleh Persatuan Islam sebagai wadah untuk mengembangkan dakwah dan
merespon baik permasalahan tentang keagamaan maupun perpolitkan di Indonesia.
Dari relasi yang selalu berubah akibat kondisi politik yang belum stabil pada masa Reformasi, maka tidak dapat dipungkiri jika relasi media dengan
masyarakat, negara, dan pasar, belum mampu secara utuh dapat mewujudkan media sebagai infrastruktur komunikasi politik pendorong demokrasi. Indikasinya
terlihat dengan adanya tekanan-tekanan tertentu pada media baik oleh pemilik
97
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 172.
98
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pers merupakan usaha percetakan dan pemberitaan yang disiarkan melalui surat kabar, majalah, radio, televisi, dan flm. Hasan alwi, dkk.,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 863. Sedangkan pers Islam merupakan usaha penerbitan yang dikelola oleh umat Islam, di mana isi pemberitaan yang di sampaikan berdasarkan kaidah-kaidah
yang bersumber dari Al- Qur‟an dan As-Sunnah. Lihat, M. Rusli Karim, Dinamika Islam di
Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta, PT Hanindita, 1985, h. 146-165.
99
M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta, PT Hanindita, 1985, h. 134.
modal yang mempunyai kepentingan tertentu maupun perintah yang masih ingin agar media massa turut mendukung legitimasinya dan masyarakat yang sedang
menikmati kebebasan demokrasi.
100
Demikianlah, meski telah memasuki era Reformasi yang diharapkan dapat mewujudkan sistem komunikasi politik yang lebih demokratis dengan
membangun kekuatan struktural media komunikasi yang menggunakan logika ruang publik. Namun, kenyataannya melihat kondisi masyarakat yang masih
terobsesi dengan suasana kebebasan demokrasi, yang terkesan tidak sabar dalam menuntut pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan merupakan salah
satu hambatan yang cukup signifikan dalam mewujudkan kehidupan bermedia yang demokratis di Indonesia.
101
100
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Ilmu Sosial Politik, h. 217.
101
Ibid, h. 218.
47
BAB IV ANALISA PERPOLITIK DI INDONESIA DALAM MAJALAH RISALAH
TAHUN 1998-1999
A. Ekonomi-Politik
Sepanjang sejarah Orde Baru, ketidakstabilan politik telah mengakibatkan krisis multidimensional yang di awali dengan adanya krisis moneter yang terjadi
pada pertengahan tahun 1997. Inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang cukup memprihatinkan, di mana telah
terjadinya kelangkaan bahan pokok, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme.
102
Bahkan, di beberapa wilayah diberitakan mengalami rawan pangan dan kelaparan.
103
Dari sekian banyak faktor krisis moneter yang melanda Indonesia salah satunya adalah ketika Soeharto tetap terpilih sebagai presiden dan mengangkat
Bacharuddin Jusuf Habibie B. J. Habibie sebagai wakil presiden. Hal ini yang kemudian membuat pihak asing maupun lokal menjalin kerjasama untuk
menguasai perekonomian Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan Ahamad Soemargono selaku ketua harian KISDI Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam dalam majalah Risalah: “Setelah saya melihat ada unsur-unsur politis. Mengapa? Melihat suksesi
yang tetap menaikkan Soeharto, ini membuat gerah dan resah kalangan politisi terutama Amerika yang berkonspirasi dengan tokoh-tokoh lokal
yang anti Soeharto. Apalagi melihat sikap Pak Harto yang menunjuk
102
Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, 2006, h. 1.
103
“Menghadapi berbagai Kesulitan: Semua Pihak Harap Bersabar,” Majalah Risalah. No. 1, Maret 1998, h. 13.
Habibie sebagai wakil, maka konglomerat itu yang dilatar belakangi unsur ideologis menentang dan berkoalisi dengan barat menggoyang ekonomi
ini.”
104
Ungkapan Ahmad tersebut menunjukkan bahwa, krisis ekonomi yang
dirasakan bangsa Indonesia hingga memasuki era Reformasi tidak terlepas dari berbagai permainan politik yang dilakukan oleh para politisi yang tidak menyukai
Soeharto dan sosok B. J. habibie yang dianggap hanya akan berpihak dan mementingkan kepentingan umat Islam. Oleh sebab itu, ketidaksetujuan mereka
disuarakan melalui media nasional maupun internasional dengan membangun sebuah opini bahwa, Habibie hanya akan menghidupkan perekonomian
kerakyatan, sehingga tidak sedikit investor asing menarik modalnya dari dalam negeri.
Dalam pemberitaan majalah Risalah menyebutkan bahwa, pihak yang tidak menyukai Soeharto dan B. J. Habibie adalah CSIS. CSIS sendiri diberitakan
dalam mempertahankan kepentingannya, mereka tidak hanya sekedar bertindak sebagai politbiro pada sebuah partai politik yang berkuasa, tetapi menentukan
orang-orang yang dianggap tepat untuk mempertahankan kepentingannya, dalam struktur pemerintahan. Salah satu upaya yang dilakukan CSIS adalah
mengkampanyekan para kandidat yang dipandang mereka tepat untuk dijadikan sebagai wakil presiden. Seperti ungkapan-ungkapan para tokoh CSIS dalam
berbagai media massa yang dikutip dalam majalah Risalah: “Untuk mengatasi krisis agar tidak berkepanjangan,” kata Liem Bian
Koen, “sebaiknya fraksi-fraksi yang ada di MPR segera mengumumkan nama kandidat wapres.” kalau bisa, jangan tokoh yang sangat kontraversial
104
Ahamad Se omargono, “Unsur-Unsur Politisis dalam Krisis Ekonomi,” Majalah
Risalah, No. 2, April 1998, h. 21.
dan tetap berasal dari militer. Bagaimana pun militer masih sangat dibutuhkan.” Ungkapnya dalam harian Bisnis Indonesia 21 Januari 1998.
Menurut Liem Bian Koen “kalau wapres yang dipilih menimbulkan kontraversial, masyarakat akan menilai orang tersebut tidak menyukai
kredibilitas. Ada tiga tokoh ABRI yang menurutnya dapat di pertimbangkan untuk menduduki posisi wapres. Ketiganya adalah
Soedharmono SH wapres 1988-1993, Try Sutrisno wapres 1993-1998, dan Jendral TNI Wiranto Pangab pengganti Feisal Tanjung, tiga orang
itulah, untuk krisis ini, saya kira. Kalau yang lain kontraversialnya terlalu banyak. Ujarnya dalam harian Sinar Pagi 23 Januari 1998.
“Sebagai pribadi Bian Koen melihat calon wapres itu tetap datang dari ABRI, karena merekalah yang secara riil memiliki kekuatan politik dan
secara manaj erial sangat rapih.” Ungkapnya dalam harian Media
Indonesai 20 Januari 1998. “Tentang orangnya, kalau saya, wapres yang
sekarang, yaitu Try Sutrisno dapat diilih kembali. Secara moral relatif bersih dan sudah mebuktikan bahwa dirinya bisa diterima lapisan
masyarakat, …….”
“…..politik Liem Bian Koen pun senada dengan Dr. J. Kristiadi, ketua departemen politik CSIS dan Dr. Pande Raja Silalahi, pengamat ekonomi
pada lembaga kajian strategis yang berkantor di jalan Tanah Abang III Jakarta Pusat itu. Dalam berbagai wawancara dengan media massa,
Kristiadi getol sekali mengkampanyekan calon yang dikehendaki kelompoknya. Dikatakan, Habibie itu orang yang tidak dikehendaki pasar.
Bila ia terpilih dolar Amerika bisa mencapai Rp. 20 ribu.
105
Dengan merujuk pernyataan tersebut, membuktikan kepada bangsa
Indonesia bahwa, secara tidak disadari para tokoh CSIS telah berperan aktif dalam berbagai kegitan perpolitikan di Indonesia, sehingga tidak heran jika sebagian
orang terutama para pengamat politik berasumsi CSIS dianggap turut bertanggung jawab terhadap timbulnya krisis yang melanda Indonesia pada saat itu.
Isi pemberitaan dan pandangan majalah Risalah tahun 1998-1999 sama seperti surat kabar atau majalah pada umumnya, yakni mengkritisi permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pemerintah Orde Baru di bidang ekonomi. Misalnya, berlangsungnya praktek kolusi, korupsi, dan
105
“Liem Bian Koen Berdusta,” Majalah Risalah, No. 1, Maret 1998, h. 17.
nepotisme KKN telah mempengaruhi ekonomi melemah secara perlahan, terjadinya pengebirian politik masyarakat, tingkat pengangguran semakin tinggi,
serta program pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah agar terciptanya pemerataan bagi rakyat Indonesia. Nyatanya program tersebut belum
sepenuhnya dapat terealisasikan dengan baik, melainkan hanya menimbulkan ketimpangan sosial.
Dalam mengatasi pelikya permasalah ekonomi telah berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis yang melanda Indonesia, salah
satunya dengan meminta bantuan kepada IMF International Monetary Fund dan
Bank Dunia, sayangnya cara ini dinilai kurang tepat sebab tidak sedikit para pengamat politik maupun ekonomi politik berpendapat bahwa, kemungkinan IMF
membantu Indonesia tidak hanya sekedar untuk meperbaiki perekonomian Indonesia, tetapi tetap bisa di eksploitasi. Berikut pandangannya:
“……kita harus berhati-hati menghadapi lembaga keuangan internasional seperti World Bank WB atau International Monetary Found IMF.
Karena pada hakekatnya imprealisme ekonomi belum pernah surut. Sekalipun imprealisme politik dan militer sudah surut, imprealisme
ekonomi dengan segala cara terus berusaha untuk nongkrong dikawasan negara-negara bekembang yang ketergantungan ekonominya pada Negara-
negara maju……”
106
“Seharusnya Indonesia dalam menghadapi IMF harus benar-benar berorientasi jangka panjang. Jangan sampai menyembuhkan penyakit
dengan obat yang salah. Pemberantasan kolusi dan korupsi serta nepotisme barangkali tidak masuk dalam agenda usulan IMF. Padahal silumanisme
ekonomi yang merusak fundamental ekonomi Indonesia itulah yang harus diberantas
…….”
107
106
“IMF Mesin Pokok Kapitalisme,” Majalah Risalah, No. 12, Februari 1998, h. 62.
107
Krisis Ekonomi yang Melanda Beberapa Negara Asia Tenggara, Termasuk Indonesia, Telah Demikian Parahnya. Sehingga Tanpa Uluran Tangan Pihak Luar Rasanya Mustahil Bisa
Keluar dari Kemelut Nasional Ini. Cuma yang Jadi Masalah, Apakah Harus Menghadirkan IMF untuk Menanggulangi Persoalan Besar Ini? Apa Saja Konsekuensinya Bagi Rakyat Kecil Bila