nepotisme KKN telah mempengaruhi ekonomi melemah secara perlahan, terjadinya pengebirian politik masyarakat, tingkat pengangguran semakin tinggi,
serta program pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah agar terciptanya pemerataan bagi rakyat Indonesia. Nyatanya program tersebut belum
sepenuhnya dapat terealisasikan dengan baik, melainkan hanya menimbulkan ketimpangan sosial.
Dalam mengatasi pelikya permasalah ekonomi telah berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis yang melanda Indonesia, salah
satunya dengan meminta bantuan kepada IMF International Monetary Fund dan
Bank Dunia, sayangnya cara ini dinilai kurang tepat sebab tidak sedikit para pengamat politik maupun ekonomi politik berpendapat bahwa, kemungkinan IMF
membantu Indonesia tidak hanya sekedar untuk meperbaiki perekonomian Indonesia, tetapi tetap bisa di eksploitasi. Berikut pandangannya:
“……kita harus berhati-hati menghadapi lembaga keuangan internasional seperti World Bank WB atau International Monetary Found IMF.
Karena pada hakekatnya imprealisme ekonomi belum pernah surut. Sekalipun imprealisme politik dan militer sudah surut, imprealisme
ekonomi dengan segala cara terus berusaha untuk nongkrong dikawasan negara-negara bekembang yang ketergantungan ekonominya pada Negara-
negara maju……”
106
“Seharusnya Indonesia dalam menghadapi IMF harus benar-benar berorientasi jangka panjang. Jangan sampai menyembuhkan penyakit
dengan obat yang salah. Pemberantasan kolusi dan korupsi serta nepotisme barangkali tidak masuk dalam agenda usulan IMF. Padahal silumanisme
ekonomi yang merusak fundamental ekonomi Indonesia itulah yang harus diberantas
…….”
107
106
“IMF Mesin Pokok Kapitalisme,” Majalah Risalah, No. 12, Februari 1998, h. 62.
107
Krisis Ekonomi yang Melanda Beberapa Negara Asia Tenggara, Termasuk Indonesia, Telah Demikian Parahnya. Sehingga Tanpa Uluran Tangan Pihak Luar Rasanya Mustahil Bisa
Keluar dari Kemelut Nasional Ini. Cuma yang Jadi Masalah, Apakah Harus Menghadirkan IMF untuk Menanggulangi Persoalan Besar Ini? Apa Saja Konsekuensinya Bagi Rakyat Kecil Bila
Berdasarkan pandangan para pengamat politik dan ekonomi tersebut, memberikan penjelasan kepada kita bahwa, seharusnya masyarakat Indonesia
menyadari maksud dan tujun kedatangan IMF dan Bank Dunia ke Indonesia, karena kedua lembaga tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari
kapitalisme internasional yang mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh keuntungan yang besar dari negara yang telah dibantunya, sehingga tidak heran
jika IMF dan Bank Dunia mau membantu Indonesia untuk mengatasi krisis, disebabkan Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang berlimpah dan
seharusnya kita tidak berharap kepada IMF dan WB dapat sepenuhnya membantu Indonesia.
Di samping itu, majalah Risalah menyoroti bahwa, pemerintah terlihat kurang berpihak terhadap penduduk pribumi di bidang ekonomi, di mana
seharusnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada penduduk pribumi untuk berperan aktif dalam perekonomian negara dan tidak membiarkan kegiatan
perekonomian Indonesia lebih dikuasai oleh penduduk asing. Berikut pandangan Shiddiq Amien selaku ketua umum PP. Persis menanggapi persoalan tersebut,
dalam majalah Risalah: “…….padahal trilogi pembangunan itu-kan, pertumbuhan, pemerataan dan
stabilitas. Yang baru sukses itu pertumbuhan dan stabilitas. Sehingga akhirnya terjadi krisis seperti sekarang ini. Selain itu, disinyalir sekarang
ini ada pihak-pihak yang menikmati fasilitas ekonomi yang diberikan oleh kebijakan pemerintah digunakan untuk tujuan-
tujuan politis………..seperti para penimbun sembako itu-kan mayoritas orang kaya yang non-muslim.
Sebab selama ini disinyalir 75 kegiatan ekonomi ini dikuasai oleh
Resep yang Disodorkan IMF itu Dijalankan? Ikuti saja, ” Majalah Risalah, No. 12, Februari 1998,
h. 63.
mayoritas non-pribumi. Mereka menguasai dari produksi, distribusi hingga pengeceran……”
108
Pandangan Shiddiq
Amien menunjukkan
kepada kita
bahwa, ketidakberpihakan pemerintah terlihat, dari kebijakan yang diterapkan pemerintah
lebih mengedepankan kepentingan penduduk non-pribumi dibandingkan dengan penduduk pribumi. Seperti yang telah kita ketahui dari sekian banyaknya bank-
bank yang berdiri di Indonesia dan penguasaan pangsa pasar mulai dari produksi, distribusi hingga pengecer dikuasai oleh penduduk non-pribumi. Hal ini telah
membuktikan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan ekonomi
bagi penduduk pribumi. Dari berbagai rangkaian permasalah yang di hadapi Indonesia dalam
pemberitaan majalah Risalah, menekankan masyarakat Indonesia agar tetap bersabar dalam menghadapi krisis dan yakin bahwa, krisis ini adalah bagian dari
ujian, sebab krisis yang terjadi tidak hanya berdasarkan penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa, tetapi juga kurangnya kesadaran kita terhadap
pelanggaran hukum dan perintah Allah, dan diharapkan umat Islam lebih teliti dalam menanggapi isu yang ada, sehingga tidak salah dalam bertindak.
B. Politik
Depolitisasi yang dirasakan umat Islam selama Rezim Orde Baru dinilai telah menggeser gerakan politik yang berlatar belakang agama agar tidak
berkembang. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hal ini secara tidak disadari telah menggeser posisi agama sebagai kontrol sosial dan
108
“Penimbun Sembako Zhalim,” Majalah Risalah, no. 2, April 1998, h. 19.
moral, bahkan agama hanya sebatas ritual dan kultural.
109
Selain itu, kebijakan Soeharto tidak hanya membatasi kegiatan perekonomian penduduk pribumi,
khususnya umat Islam, tetapi juga ruang gerak politik para aktivis Muslim.
110
Dalam menanggapi persoalan yang dihadapi umat Islam, di mana ruang
gerak politiknya telah dikebiri oleh pemerintah majalah Risalah memberitakan bahwa, keberadaan CSIS di Indonesia sejak tahun 1971, turut berperan aktif
selama Rezim Orde Baru dalam menumbuhkan sikap apatis umat Islam terhadap politik. Hal ini terlihat dari berbagai rekayasa kegiatan provokasi yang
menyudutkan umat Islam. Misalnya peristiwa Komando Jihad, peristiwa Tanjung Priok, dan lain sebagainya. Seperti kutipan dari artikel berikut:
“…..CSIS diberbagai negeri pun bertujuan mempengaruhi partai politik yang potensial atau yang berkuasa, dan melalui parpol itulah lembaga
kajian ini bertindak sebagai politbiro seperti pada partai komunis. Politbiro ini yang memberikan masukan-masukan kebijakan untuk dilaksanakan
oleh pemerintah. Karena itu tidaklah mengherankan kalau pada masa lalu sempat muncul kesan seolah-olah CSIS merupakan tanki pemikir
pemerintah Orde Baru. Mereka pun secara sengaja dan sistematis menumbuhkan sikap permusuhan umat Islam terhadap pemerintah dengan
berbagai kegiatan provokasi terhadap kaum Muslimin. Isu Komando Jihad
dan peristiwa Tanjung Priok misalnya, merupakan muslihat mereka….”
111
Dari artikel tersebut, dapat diketahui oleh masyarakat Indonesia bahwa,
selama rezim Orde Baru tidak bisa dipungkiri jika CSIS terkesan mendikte setiap kebijakan pemerintah. Hal ini terlihat dari usaha yang terus dilakukan CSIS untuk
mencapai tujuannya dengan cara mempengaruhi dan mengarahkan politik di Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui tidak sedikit keterlibatan para tokoh
109
“Kelas Menengah Islam dan Pemerintah Orde Baru: Karena Direkayasa Kurang Peduli Politik,” Merdeka, 17 Januari 1999, h. 8.
110
Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irpan Fauzan, Peran Persis dan Politik: Sejarah Pemikiran dan Aksi Persis 1923-1997, h. 136.
111
“Persekongkolan Anti Islam,” Majalah Risalah, No. 1, Maret 1998, h. 14.
CSIS dalam mengusung isu-isu yang menimbulkan sikap ketidaksukaan umat Islam terhadap pemerintah. Bahkan dari berbagai rangkaian isu yang ada, secara
tidak disadari telah menumbuhkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Di samping itu, majalah Risalah menjelaskan pula bahwa, pada mulanya CSIS didirikan oleh Dr. Henry Kissinger di Amerikan Serikat sejak tahun 1962.
Henry merupakan seorang keturunan yahudi dari Jerman yang mengungsi ke Amerika sekitar perang Dunia II. Berdirinya CSIS di Amerika tidak terlepas dari
tujuannya yang ingin menguasai perpolitikan di Negara tersebut. Begitupun di Indonesia, CSIS dibentuk oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardi, Liem Bian
Koen Sofyan Wanandi, Liem Bian Kie Jusuf Wanandi, dan sebagian golongan katolik. Oleh sebab itu, tidak heran jika CSIS turut andil dalam berbagai masalah
krisis yang dihadapi Indonesia. Sebagaimana kutipan dari artikel dalam pemberitaan surat kabar harian Kompas:
“………telah dibentuk Front Solidaritas Nasional Muslim Indonesia untuk menghadapi setiap gerak permusuhan yang akan mengganggu stabilitas
nasional maupun ketentraman umat Islam. permintaan itu mengemuka dalam Tabligh Akbar…..membahas topik krisis moneter dan berbagai
sebab akibatnya termasuk „membedah jantung‟ CSIS dan mengecam Sofyan
Wanandi yang
diberitakan melarikan
diri keluar
nege ri……….sedangkan ketua pelaksana harian KISDI dalam kesempatan
tesebut menguraikan apa dan bagaimana lembaga CSIS serta berbagai tindakannya dalam kancah perpolitikan dalam negeri. CSIS dinilai
bertanggung jawab terhadap berbagai rekayasa politik pada pemerintahan Orde Baru yang merugikan umat.”
112
Dengan melihat kutipan artikel tersebut, menjelaskan kepada kita bahwa,
pemberitaan yang disampaikan majalah Risalah dalam mengkritisi tindakan CSIS,
112
“Dibentuk Front Solidaritas Nasional Muslim Indonesia,” harian Kompas, 9 Februari 1998, h. 14.
disampaikan pula dalam harian Kompas, mengenai tindakan CSIS yang dinilai telah merugikan bangsa Indonesia, maka tidak mengherankan jika sebagian umat
Islam menuntut keadilan kepada pemerintah atas tindakan CSIS yang telah menimbulkan kekacaun di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah Orde Baru hingga lengsernya Soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan
masyarakat yang menganggap rezim Soeharto sudah tidak layak untuk dipertahankan. Sayangnya, meski telah berganti presiden, tidak semua masyarakat
dapat menerima dan mendukung B. J. Habibie. Hal ini disebabkan telah hilangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan. Menanggapi situasi
tersebut, Persis menghimbau masyarakat Indonesia melalui majalah Risalah agar senantiasa memberikan dukungan dan kepercayaan kepada B. J. Habibie untuk
melakukan perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut pernyataan Persis dalam majalah Risalah:
“Persatuan Islam dalam siaran persnya sebanyak empat point, menyatakan mendukung pernyataan berhenti Soeharto dari jabatan presiden seraya
mengucapkan selamat kepada Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibie sebagai presiden RI dan mengajak semua pihak memberi kesempatan kepada
presiden Habibie beserta kabinetnya guna membuktikan kemampuannya dalam melakukan Reformasi
” Pernyataan tersebut senada dengan ungkapan Amien Rais dalam majalah
Risalah, sebagai berikut: “dalam setiap wawancara dengan wartawan media cetak maupun
elektronik, selalu menegaskan agar masyarakat luas memberi kesempatan kepada presiden baru tersebut membuktikan kemampuannya memberantas
penyakit KKN K
orupsi, Kolusi dan Nepotisme.”
113
113
“Beri Kesempatan Kepada Presiden BJ Habibie,” Majalah Risalah, No. 4, Juni 1998, h. 50.