EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS DIFTERI DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN JOMBANG

(1)

i

EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS DIFTERI DI

WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN

JOMBANG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

Yunar Tri Palupi NIM. 6411410057

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

ii ABSTRAK Yunar Tri Palupi

Evaluasi Input Sistem Surveilans Difteri di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang,

VI + 283 halaman + 53 tabel + 5 gambar + 20 lampiran

Penyakit difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dan satu kasus difteri merupakan KLB. Jumlah kasus difteri di Kabupaten Jombang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya akibat adanya permasalahan pada input sistem surveilans difteri. Tujuan penelitian untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Jenis penelitian adalah kualitatif dengan rancangan studi evaluasi. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 8 informan utama dan 11 informan triangulasi ditentukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian ini adalah pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk narasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan input man sudah sesuai dengan pedoman, namun jumlah input man yang terlatih belum sesuai dengan pedoman; input method yang belum sesuai dengan pedoman yaitu ketersediaan buku pedoman surveilans dan imunisasi difteri; sumber dana sudah sesuai dengan pedoman, namun alokasi dana khusus belum sesuai dengan pedoman; ketersediaan input material and machine sudah sesuai, namun jenis dari masing-masing material and machine yang tersedia ada yang tidak sesuai dengan pedoman; input market sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal.

Simpulan dari hasil penelitian adalah komponen input surveilans difteri yang telah sesuai dengan pedoman yaitu market, sedangkan komponen input surveilans difteri yang belum sesuai dengan pedoman yaitu man, money, method, dan material and machine. Saran yang peneliti rekomendasikan untuk pihak puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang adalah meningkatkan keterampilan dan kompetensi input man, melengkapi input material, dan memperbaiki input method.

Kata Kunci : Evaluasi; Input; Sistem Surveilans; Difteri. Kepustakaan : 64 (2000-2014)


(3)

iii ABSTRACT Yunar Tri Palupi

Evaluation of Input Diphtheria Surveillance System in Work Area Health Department of Jombang District,

VI + 283 pages + 53 tables + 5 images + 20 attachments

Diphtheria disease was one of the diseases that can be prevented by immunization (PD3I) and one case of diphtheria was the outbreak. The number of cases of diphtheria in Jombang District has increased in recent years, one of them due to problems on diphtheria surveillance system input. The purpose of the research to find out the results of the evaluation of diphtheria surveillance system input in the working area of Jombang District Health Department.

This type of research was a qualitative evaluation of the study design. Informants in this study consists of 8 main informants and 11 informants triangulation determined by purposive sampling technique. Data collection techniques with structured interviews, observation, and documentation. The data were analyzed descriptively and presented in narrative form.

The results showed that the availability of man's input was in compliance with the guidelines but the number of trained man input has not been in accordance with the guidelines; input method that was not in accordance with the guidelines that the availability of the manual surveillance and immunisation diphtheria; the source of the funds were in compliance with the guidelines but a special fund allocation has not been in accordance with the guidelines; the availability of input material and machine was appropriate but the type of each material and machine were available there is not in accordance with the guidelines; input market was in compliance with the guidelines just hasn't been fullest.

The conclusion of this research was a component of the input component of surveillance diphtheria which were in accordance with the guidelines was the market, while the input surveillance diphtheria component that has not been in accordance with the guidelines, such as man, money, method, and material and machine. Suggestions researcher recommended for Public Health Centre and Jombang District Health Department were to increase the skills and competence of man inputs, complement material inputs, and improve the input method.

Keywords : Evaluation; Input; Surveillance System; Diphtheria. Literature : 64 (2000-2014)


(4)

(5)

(6)

vi

MOTTO

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap (QS. Al-Insyirah:6-8).

Be thankful for what you have. You’ll end up having more. If you concentrate on what you don’t have, you will never, ever have enough. (Oprah Winfrey).

Dream big, work hard, stay focused and surround yourself with good people (Nn).

PERSEMBAHAN

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Ayahanda (Suparno) dan Ibunda (Eko

Kusiyati).

2. Kakak (Nosi Sulistyoningtyas) dan Adik (Bagas Nur Rachman).


(7)

vii

Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Evaluasi Input Sistem Surveilans Difteri di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Dr. H. Harry Pramono, M.Si., atas ijin penelitian yang telah diberikan.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Dr. dr. Hj. Oktia Woro KH, M.Kes., atas persetujuan penelitian yang telah diberikan.

3. Dosen Pembimbing, Dina Nur Anggraini Ningrum, S.KM, M.Kes., atas bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bekal ilmu pengetahuan yang diberikan selama di bangku kuliah.

5. Staf TU Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat (Bapak Sungatno) dan seluruh staf TU FIK Unnes yang telah membantu dalam segala urusan administrasi dan surat perijinan penelitian.


(8)

viii

7. Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus, Indah Fajaryati, S.KM. atas ijin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

8. Staf Seksi Sarana dan Tenaga Kesehatan yang telah membantu dalam segala urusan administrasi dan surat perijinan penelitian.

9. Kepala Puskesmas Megaluh, dr. Fitrijah atas ijin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

10. Kepala Puskesmas Peterongan, dr. Helena Agestine M.S atas ijin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

11. Kepala Puskesmas Tambakrejo, Christin Suprandari, S.Sos atas ijin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

12. Staf TU puskesmas yang telah membantu dalam segala urusan administrasi dan surat perijinan penelitian.

13. Bapak (Suparno), Ibu (Eko Kusiyati), Kakak (Nosi Sulistyoningtyas), dan Adik (Bagas Nur Rachman) yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.

14. Bulik Rini, Bulik Tuning, Bulik Puji, Mbah Ti, Om Puji, Irda Oktari Ramadhani dan keluarga besar tercinta yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini. 15. Mas Adi Yoga Permana yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, dan


(9)

ix penyusunan skripsi ini.

17. Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 atas bantuan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

18. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga masukan dan kritikan yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Semarang, 31 Desember 2014


(10)

x

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

DAFTAR SINGKATAN ... xxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.2.1. Rumusan Masalah Umum ... 6

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1. Tujuan Umum ... 9


(11)

xi

Kesehatan Kabupaten Jombang ... 11

1.4.2. Bagi Kepala Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 11

1.4.3. Bagi Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang ... 11

1.4.4. Bagi Peneliti... 11

1.5. Keaslian Penelitian ... 12

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 14

1.6.1. Ruang Lingkup Tempat ... 14

1.6.2. Ruang Lingkup Waktu ... 15

1.6.3. Ruang Lingkup Keilmuan... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1. Landasan Teori ... 16

2.1.1. Evaluasi... 16

2.1.2. Sistem Surveilans Epidemiologi ... 22

2.1.3. Difteri ... 33

2.1.4. Sistem Surveilans Difteri ... 34

2.2. Kerangka Teori ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

3.1. Alur Pikir ... 48


(12)

xii

3.4.1. Data Primer ... 56

3.4.2. Data Sekunder ... 60

3.5. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data... 61

3.6. Prosedur Penelitian ... 64

3.7. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 66

3.8. Teknik Analisis Data ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 71

4.1. Gambaran Umum... 71

4.1.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 71

4.1.2. Gambaran Umum Karakteristik Informan ... 78

4.2. Hasil Penelitian ... 82

4.2.1. Gambaran Man (Sumber Daya Manusia Pendukung Pelaksanaan Surveilans Difteri) ... 82

4.2.2. Gambaran Money (Pendanaan Untuk Pelaksanaan Surveilans Difteri) .... 93

4.2.3.Gambaran Method (Metode Pelaksanaan Surveilans Difteri) ... 98

4.2.4. Gambaran Material And Machine (Sarana dan Prasarana Pelaksanaan Surveilans Difteri) ... 115

4.2.5. Gambaran Market (Sasaran Penyebaran Informasi Surveilans Difteri) .... 141

BAB V PEMBAHASAN ... 150


(13)

xiii

5.1.1.1. Evaluasi Man (Sumber Daya Manusia Pendukung Pelaksanaan Surveilans

Difteri) ... 150

5.1.1.2. Evaluasi Money (Pendanaan Untuk Pelaksanaan Surveilans Difteri) ... 165

5.1.1.3. Evaluasi Method (Metode Pelaksanaan Surveilans Difteri)... 168

5.1.1.4. Evaluasi Material And Machine (Sarana dan Prasarana Pelaksanaan Surveilans Difteri) ... 180

5.1.1.5. Evaluasi Market (Sasaran Penyebaran Informasi Surveilans Difteri) .. 193

5.2. Hambatan dan Kelemahan Penelitian ... 196

5.2.1. Hambatan Penelitian ... 196

5.2.2. Kelemahan Penelitian ... 197

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 198

6.1. Simpulan ... 198

6.2. Saran ... 205

6.2.1. Bagi Kepala Sie Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 205

6.2.2. Bagi Kepala Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 205

6.2.3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 206


(14)

xiv

Halaman

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian ... 12

Tabel 3.1. Fokus Penelitian ... 50

Tabel 3.2. Sumber Informasi Data Primer ... 57

Tabel 3.3. Sumber Informasi Data Sekunder ... 60

Tabel 3.4. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data ... 62

Tabel 3.5. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 66

Tabel 4.1. Data Ketenagaan di Puskesmas Megaluh tahun 2013 ... 75

Tabel 4.2. Data Ketenagaan di Puskesmas Peterongan tahun 2013 ... 77

Tabel 4.3. Gambaran Umum Informan Utama... 78

Tabel 4.4. Gambaran Umum Informan Triangulasi ... 80

Tabel 4.5. Daftar Pertemuan Koordinator Program Imunisasi Puskesmas ... 93

Tabel 4.6. Hasil Observasi Buku Pedoman tentang Pelaksanaan Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 99

Tabel 4.7. Hasil Observasi Buku Pedoman tentang Pelaksanaan Surveilans Difteri di Puskesmas... 100

Tabel 4.8. Hasil Observasi Buku Pedoman tentang Pelaksanaan Program Imunisasi Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 101

Tabel 4.9. Hasil Observasi Buku Pedoman tentang Pelaksanaan Program Imunisasi Difteri di Puskesmas ... 102


(15)

xv

Jombang ... 118 Tabel 4.13. Hasil Observasi Surveilans Kits di Puskesmas ... 120 Tabel 4.14. Hasil Observasi Perangkat Imunisasi di Dinas Kesehatan

Kabupaten Jombang ... 122 Tabel 4.15. Hasil Observasi Perangkat Imunisasi di Puskesmas ... 124 Tabel 4.16. Hasil Observasi Alat Komunikasi di Dinas Kesehatan Kabupaten

Jombang ... 133 Tabel 4.17. Hasil Observasi Alat Komunikasi di Puskesmas ... 134 Tabel 4.18. Hasil Observasi Formulir Untuk Pengumpulan Data Difteri di

Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 136 Tabel 4.19. Hasil Observasi Formulir Untuk Pengumpulan Data Difteri di

Puskesmas ... 136 Tabel 4.20. Hasil Observasi Perangkat Seminar di Dinas Kesehatan

Kabupaten Jombang ... 137 Tabel 4.21. Hasil Observasi Perangkat Seminar di Puskesmas ... 138 Tabel 4.22. Hasil Observasi Alat Transportasi di Dinas Kesehatan Kabupaten

Jombang ... 139 Tabel 4.23. Hasil Observasi Alat Transportasi di Puskesmas ... 140 Tabel 4.24. Pengguna Internal Informasi Surveilans Difteri Dinas Kesehatan


(16)

xvi

Tabel 5.1. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Surveilans Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan

Pedoman ... 152 Tabel 5.2. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Surveilans Difteri

Terlatih di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian

dengan Pedoman ... 155 Tabel 5.3. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Laboratorium di

Puskesmas Tempat Penelitian dengan Pedoman ... 157 Tabel 5.4. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Laboratorium Terlatih

di Puskesmas Tempat Penelitian dengan Pedoman... 159 Tabel 5.5. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Pengelola Program

Imunisasi di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan Pedoman ... 161 Tabel 5.6. Matrik Perbandingan Ketersediaan Tenaga Pengelola Program

Imunisasi Terlatih di Puskesmas Tempat Penelitian dengan

Pedoman ... 164 Tabel 5.7. Matrik Perbandingan Alokasi Pendanaan Surveilans Difteri di

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan


(17)

xvii

Pedoman ... 168 Tabel 5.9. Matrik Perbandingan Ketersediaan Pedoman tentang Pelaksanaan

Surveilans Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat

Penelitian dengan Pedoman ... 169 Tabel 5.10. Matrik Perbandingan Ketersediaan Pedoman tentang Pelaksanaan

Program Imunisasi Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan

Tempat Penelitian dengan Pedoman ... 171 Tabel 5.11. Matrik Perbandingan Ketersediaan Petunjuk Teknis (Juknis) dan

Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Surveilans Difteri di Puskesmas

dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan Pedoman ... 173 Tabel 5.12. Matrik Perbandingan Ketersediaan Target Cakupan Program

Imunisasi Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat

Penelitian dengan Pedoman ... 175 Tabel 5.13. Matrik Perbandingan Ketersediaan Payung Hukum Yang

Mendukung Surveilans Difteri di Puskesmas dan Dinas

Kesehatan Tempat Penelitian dengan Pedoman... 176 Tabel 5.14. Matrik Perbandingan Kesepakatan Penggunaan Definisi Kasus

Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian

dengan Pedoman ... 178 Tabel 5.15. Matrik Perbandingan Ketersediaan APD di Puskesmas dan Dinas


(18)

xviii

Tabel 5.17. Matrik Perbandingan Ketersediaan Perangkat Imunisasi di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan

Pedoman ... 184 Tabel 5.18. Matrik Perbandingan Ketersediaan Alat Komunikasi di

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan

Pedoman ... 187 Tabel 5.19. Matrik Perbandingan Ketersediaan Formulir untuk Pengumpulan

Data Difteri di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat

Penelitian dengan Pedoman ... 189 Tabel 5.20. Matrik Perbandingan Ketersediaan Perangkat Seminar di

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan

Pedoman ... 191 Tabel 5.21. Matrik Perbandingan Ketersediaan Alat Transportasi di Puskesmas

dan Dinas Kesehatan Tempat Penelitian dengan Pedoman ... 192 Tabel 5.22. Matrik Perbandingan Market (Sasaran Penyebaran Informasi

Surveilans Difteri) di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Tempat


(19)

xix

Halaman

Gambar 2.1. Kerangka Teori ... 47 Gambar 3.1. Alur Pikir ... 48 Gambar 4.1. Estimasi Piramida Penduduk Kabupaten Jombang Menurut

Kelompok Umur Lima Tahunan Tahun 2013 ... 72 Gambar 4.2. Mekanisme Pemberian Informasi Hasil Surveilans di Dinas

Kesehatan Kabupaten Jombang ... 142 Gambar 4.3. Mekanisme Pemberian Informasi Hasil Surveilans di


(20)

xx

Halaman

Lampiran 1. Surat Tugas Pembimbing... 215 Lampiran 2. Formulir Pengajuan Ijin Penelitian ... 216 Lampiran 3. Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Fakultas ... 217 Lampiran 4. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Badan Penanaman Modal

Daerah Provinsi Jawa Tengah ... 223 Lampiran 5. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa

dan Politik Provinsi Jawa Timur ... 225 Lampiran 6. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Badan Pelayanan

Perizinan Kabupaten Jombang ... 226 Lampiran 7. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Jombang ... 227 Lampiran 8. Instrumen Penelitian ... 229 Lampiran 9. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Jombang ... 249 Lampiran 10. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian dari

Puskesmas Megaluh ... 250 Lampiran 11. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian dari

Puskesmas Peterongan ... 251 Lampiran 12. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian dari


(21)

xxi

Lampiran 15. Contoh Formulir W2 ... 258

Lampiran 16. Contoh Formulir STP ... 259

Lampiran 17. Contoh Formulir STP KLB ... 260

Lampiran 18. Contoh Formulir Pelacakan Kasus Difteri ... 261

Lampiran 19. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang ... 263


(22)

xxii ADS : Auto Disable Syringe

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APD : Alat Pelindung Diri

ATK : Alat Tulis Kantor

BBLK : Balai Besar Laboratorium Kesehatan BPS : Badan Pusat Statistik

CFR : Case Fatality Rate

DAU : Dana Alokasi Umum Depkes : Departemen Kesehatan

Dirjen P2PL :Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

DPA SKPD : Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah

IR : Incidence Rate

Juklak : Petunjuk Pelaksanaan Juknis : Petunjuk Teknis KLB : Kejadian Luar Biasa

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kepmenkes RI : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Kepmenpan : Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Keskhus : Kesehatan Khusus


(23)

xxiii

Permenkes RI : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia PIN : Pekan Imunisasi Nasional

Polindes : Pos Bersalin Desa Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat SE : Surveilans Epidemiologi

SI : Surviving Infant

SK : Surat Keputusan

SKD : Sistem Kewaspadaan Dini

SOP : Standard Operating Procedure/ Standar Prosedur Operasional STP : Surveilans Terpadu Penyakit

UCI : Universal Child Imunization


(24)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Penyakit difteri merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, kadang juga menyerang selaput lendir atau kulit serta konjungtiva atau vagina (James Chin, 2000). Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dan potensial menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Oleh karena itu difteri harus bisa ditanggulangi secepat mungkin agar jumlah kasus tidak terus meningkat setiap tahunnya (Dirjen P2PL, 2003).

Jumlah penderita difteri di dunia dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Berdasarkan data laporan World Health Organization (WHO), jumlah penderita difteri tahun 2008 sebanyak 7.088 kasus, menurun pada tahun 2009 sebanyak 857 kasus, meningkat lagi pada tahun 2010 sebanyak 4.187 kasus, dan tahun 2011 sebanyak 4.880 kasus. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India yaitu 806 kasus (WHO, 2012). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2010 dimana Indonesia juga merupakan negara tertinggi kedua dengan kasus difteri yaitu 385 kasus (WHO, 2012).

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, Incidence Rate (IR) difteri di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 1,12 per 100.000 penduduk kemudian meningkat di tahun 2011 menjadi 2,26 per 100.000 penduduk, dan 3,37 per 100.000 penduduk di tahun 2012. Untuk Case Fatality Rate (CFR) difteri di


(25)

Indonesia pada tahun 2010 sebesar 6,23 %, menurun pada tahun 2011 sebesar 4,71 %, dan meningkat lagi pada tahun 2012 sebesar 6,38 % (Kemenkes RI, 2011-2013). Pada tahun 2012, Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah kasus difteri tertinggi di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).

Difteri merupakan kasus “re-emerging disease” di Jawa Timur karena kasus difteri sebenarnya sudah menurun di tahun 1985, namun kembali meningkat di tahun 2005 saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Bangkalan (Dinkes Prov. Jatim, 2011). Provinsi Jawa Timur telah ditetapkan sebagai KLB penyakit difteri sejak 7 Oktober 2011 dan setiap satu kasus difteri dianggap sebagai KLB (Dinkes Prov. Jatim, 2011). Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tahun 2010 CFR difteri sebesar 5,59 % dengan IR sebesar 6,47 per 100.000 penduduk, tahun 2011 CFR difteri sebesar 3,02 % dengan IR sebesar 14,99 per 100.000 penduduk, dan tahun 2012 CFR difteri sebesar 3,88 % dengan

IR sebesar 20,99 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2012, Kabupaten Jombang menempati urutan kedua di tingkat Provinsi Jawa Timur untuk jumlah kasus difteri tertinggi dan urutan pertama untuk angka CFR tertinggi (Dinkes Prov. Jatim, 2013).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Jombang, IR difteri pada tahun 2010 sebesar 17,57 per 100.000 penduduk, kemudian menurun di tahun 2011 menjadi 9,46 per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 121,61 per 100.000 penduduk di tahun 2012, dan menurun menjadi 5,62 per 100.000 penduduk di tahun 2013. Angka CFR difteri di Kabupaten Jombang paling tinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 11,58 %,. Pada tahun 2012, jumlah penderita difteri di


(26)

Kabupaten Jombang tersebar di 17 kecamatan dari 21 kecamatan. Pada tahun 2013, jumlah penderita difteri di Kabupaten Jombang tersebar di 8 kecamatan dari 21 kecamatan (Dinkes Kab. Jombang, 2014). Ada 4 puskesmas yang selalu terdapat kasus difteri sejak tahun 2011 sampai 2013 (Dinkes Kab. Jombang, 2014).

Salah satu upaya pengendalian penyakit difteri adalah dengan penguatan sistem surveilans difteri. Surveilans difteri berperan untuk menilai dampak program imunisasi dan sebagai sistem kewaspadaan dini agar bisa dilakukan penanggulangan difteri lebih awal (Dinkes Prov. Jatim, 2011). Agar kegiatan surveilans difteri dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu adanya manajemen surveilans difteri. Manajemen surveilans difteri meliputi input, proses, dan output. Secara umum, input dalam manajemen terdiri dari man yaitu sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu organisasi, money yaitu pendanaan untuk keberlangsungan kegiatan, material-machine yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran, method yaitu peraturan atau prosedur kerja yang berguna untuk memperlancar jalannya pekerjaan, dan market yaitu tempat untuk memasarkan atau menyebarluaskan produk atau hasil kerja suatu organisasi (Satrianegara, 2009; Alamsyah, 2011; Dirjen P2PL, 2003). Proses dimulai dari pengumpulan data kasus difteri, pengolahan data, analisis dan interpretasi data, desiminasi informasi (Amiruddin, 2012: Dinkes Prov. Jateng, 2010: Dirjen P2PL, 2003). Output berupa dokumen laporan difteri dan informasi tentang kasus difteri (Dirjen P2PL, 2003: Dinkes Prov. Jateng, 2006).


(27)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2014 di Seksi Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, terdapat beberapa masalah pada sistem surveilans difteri. Masalah pada input meliputi kurangnya kompetensi petugas surveilans, ada 7 puskesmas per data bulan Agustus tahun 2013 yang mengumpulkan laporan W2 (mingguan), tetapi tidak mengumpulkan laporan bulanan STP sama sekali, adanya kesalahan dalam mendiagnosis kasus difteri, dan tidak ada aplikasi khusus untuk pengolahan dan penyajian data (Sie. SE dan Keskhus Dinkes Kabupaten Jombang, 2013). Pada komponen proses, ditemukan masalah seperti ketidaklengkapan input data pada formulir STP KLB, umpan balik tidak maksimal, kelengkapan laporan bulanan (STP) yang diterima oleh Dinkes Kab. Jombang per bulan Agustus tahun 2013 belum memenuhi target yaitu sebesar 68,75 %, ketepatan waktu pelaporan bulanan (STP) per bulan Agustus tahun 2013 dan ketepatan waktu pelaporan mingguan (W2) per minggu ke-37 tahun 2013 juga belum memenuhi target, persentasenya hanya sebesar 34,56 % dan 48,25 % karena idealnya kelengkapan laporan unit pelayanan ke dinas kesehatan kabupaten/kota sebesar 90 %, dan ketepatan waktu pelaporan unit pelayanan ke dinas kesehatan kabupaten/kota sebesar 80% (Dirjen P2PL, 2003).

Permasalahan sistem surveilans ini pernah diteliti oleh Sutarman (2008) di Puskesmas Wilayah Kota Semarang, Chairiyah (2010) di Puskesmas Kepanjen Kabupaten Malang, Wibisono (2011) dan Vanni (2012) di Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Masalah pada input sebagian besar pada man meliputi kurangnya kompetensi petugas surveilans (Sutarman, 2008; Chairiyah, 2010; Vanni, 2012),


(28)

tenaga yang ada memiliki beban ganda (Chairiyah, 2010), jumlah petugas surveilans yang terbatas (Vanni, 2012), material-machine meliputi tidak tersedianya formulir W1 (Sutarman, 2008; Wibisono, 2011; Vanni, 2012), dan

method meliputi SOP tidak ada (Wibisono, 2011). Pada komponen proses, ditemukan masalah seperti kelengkapan input data (Chairiyah, 2010; Wibisono, 2011), kompilasi data hasil penyelidikan epidemiologi belum dilakukan (Chairiyah, 2010), pengolahan dan analisis data belum dilakukan (Chairiyah, 2010; Vanni, 2012), interpretasi data hasil penyelidikan epidemiologi belum dilakukan (Chairiyah, 2010), umpan balik tidak maksimal (Vanni, 2012), ketepatan waktu pelaporan dan kelengkapan laporan masih rendah (Chairiyah, 2010; Wibisono, 2011; Vanni, 2012). Pada penelitian Vanni (2012) di Surabaya tentang atribut sistem surveilans difteri, menemukan bahwa sistem masih belum sederhana dan tidak fleksibel, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, ketepatan waktu tergolong rendah.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan dan diperkuat dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengambil fokus penelitian pada

input sistem surveilans difteri yang meliputi man (sumber daya manusia pendukung pelaksanaan surveilans difteri), money (pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri), method (metode surveilans difteri), material and machine

(sarana dan prasarana pelaksanaan surveilans difteri), dan market (sasaran penyebaran informasi hasil surveilans difteri). Input (masukan) merupakan bagian atau elemen yang ada dalam sistem yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan sistem tersebut. Menurut Notoatmodjo (2011), komponen input memiliki


(29)

pengaruh cukup besar terhadap proses maupun capaian sistem, sehingga penting bagi suatu organisasi untuk mengetahui kekuatan maupun kelemahan yang ada pada setiap unsur masukan sistem dimilikinya agar hasil capaiannya bisa sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan evaluasi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini berjudul “Evaluasi Input Sistem Surveilans Difteri di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang”.

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1. Rumusan Masalah Umum

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat masalah dalam input

sistem surveilans difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang meliputi kurangnya kompetensi petugas surveilans, masih ada sumber data yang tidak mengumpulkan laporan bulanan (STP), adanya kesalahan dalam mendiagnosis kasus difteri, dan tidak ada aplikasi khusus untuk pengolahan dan penyajian data. Pada penelitian sebelumnya juga ditemukan beberapa masalah input sistem surveilans yaitu pada man meliputi kurangnya kompetensi petugas surveilans (Sutarman, 2008; Chairiyah, 2010; Vanni, 2012), tenaga yang ada memiliki beban ganda (Chairiyah, 2010), jumlah petugas surveilans yang terbatas (Vanni, 2012),

material-machine meliputi tidak tersedianya formulir W1 (Sutarman, 2008; Wibisono, 2011; Vanni, 2012), dan method meliputi SOP tidak ada (Wibisono, 2011). Input (masukan) merupakan bagian atau elemen yang ada dalam sistem yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan sistem tersebut. Menurut Notoatmodjo (2011), komponen input memiliki pengaruh cukup besar terhadap proses maupun


(30)

capaian sistem, sehingga penting bagi suatu organisasi untuk mengetahui kekuatan maupun kelemahan yang ada pada setiap unsur masukan sistem dimilikinya agar hasil capaiannya bisa sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan evaluasi. Untuk itu diperlukan kajian mendalam tentang evaluasi pada input sistem surveilans difteri, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Evaluasi Input Sistem Surveilans Difteri di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?”

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus

1.2.2.1. Bagaimana evaluasi input sistem surveilans difteri meliputi man (sumber daya manusia pendukung pelaksanaan surveilans difteri), money

(pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri), method (metode surveilans difteri), material and machine (sarana dan prasarana pelaksanaan surveilans difteri), dan market (sasaran penyebaran informasi hasil surveilans difteri) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?

1.2.2.2. Bagaimana evaluasi man (sumber daya manusia pendukung pelaksanaan surveilans difteri) yang meliputi ketersediaan tenaga surveilans difteri, ketersediaan tenaga surveilans difteri terlatih, ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas, ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas terlatih, ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi, dan ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi puskesmas terlatih di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?


(31)

1.2.2.3. Bagaimana evaluasi money (pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri) yang meliputi sumber dana dan alokasi pendanaan untuk surveilans difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang? 1.2.2.4. Bagaimana evaluasi method (metode surveilans difteri) yang meliputi

ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan surveilans difteri, ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan program imunisasi difteri, ketersediaan juklat-juknis untuk manajemen surveilans difteri, ketersediaan target cakupan program imunisasi difteri, ketersediaan payung hukum yang mendukung surveilans difteri, dan kesepakatan penggunaan definisi kasus difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?

1.2.2.5. Bagaimana evaluasi material and machine (sarana dan prasarana pelaksanaan kegiatan surveilans difteri) yang meliputi ketersediaan APD,

surveilans kits, perangkat imunisasi, alat komunikasi, formulir untuk pengumpulan data difteri, perangkat seminar, serta alat transportasi di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?

1.2.2.6. Bagaimana evaluasi market (sasaran penyebaran informasi surveilans difteri) yang meliputi pengguna informasi hasil surveilans difteri dari bagian internal dan eksternal di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang?


(32)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran hasil evaluasi input sistem surveilans difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans difteri meliputi

man (sumber daya manusia pendukung pelaksanaan surveilans difteri),

money (pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri), method (metode surveilans difteri), material and machine (sarana dan prasarana pelaksanaan surveilans difteri), dan market (sasaran penyebaran informasi hasil surveilans difteri) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.3.2.2. Untuk mengetahui hasil evaluasi man (sumber daya manusia pendukung pelaksanaan surveilans difteri) yang meliputi ketersediaan tenaga surveilans difteri, ketersediaan tenaga surveilans difteri terlatih, ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas, ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas terlatih, ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi, dan ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi puskesmas terlatih di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.3.2.3. Untuk mengetahui hasil evaluasi money (pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri) yang meliputi sumber dana dan alokasi pendanaan


(33)

untuk surveilans difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.3.2.4. Untuk mengetahui hasil evaluasi method (metode surveilans difteri) yang meliputi ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan surveilans difteri, ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan program imunisasi difteri, ketersediaan juklat-juknis untuk manajemen surveilans difteri, ketersediaan target cakupan program imunisasi difteri, ketersediaan payung hukum yang mendukung surveilans difteri, dan kesepakatan penggunaan definisi kasus difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.3.2.5. Untuk mengetahui hasil evaluasi material and machine (sarana dan prasarana pelaksanaan kegiatan surveilans difteri) yang meliputi ketersediaan APD, surveilans kits, perangkat imunisasi, alat komunikasi, formulir untuk pengumpulan data difteri, perangkat seminar, serta alat transportasi di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. 1.3.2.1 Untuk mengetahui hasil evaluasi market (sasaran penyebaran informasi

surveilans difteri) yang meliputi pengguna informasi hasil surveilans difteri dari bagian internal dan eksternal di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.


(34)

1.4.Manfaat Hasil Penelitian

1.4.1. Bagi Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus untuk referensi dalam pengambilan kebijakan dan perbaikan komponen input pada pelaksanaan sistem surveilans difteri di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

1.4.2. Bagi Kepala Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada kepala puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang untuk pengambilan kebijakan dan perbaikan komponen input pada pelaksanaan sistem surveilans difteri di puskesmas.

1.4.3. Bagi Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan oleh mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya, terutama penelitian tentang sistem surveilans difteri.

1.4.4. Bagi Peneliti

Penelitian ini berguna sebagai pengalaman dalam mengkaji secara ilmiah suatu permasalahan dengan mengaplikasikan teori yang pernah diperoleh peneliti selama mengikuti perkuliahan dan menambah pengetahuan peneliti tentang evaluasi input sistem surveilans difteri.


(35)

1.5.Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini

No Judul Penelitian Nama Peneliti Tahun dan Tempat Penelitian Rancangan Penelitian Variabel / Fokus Penelitian Hasil Penelitian 1 Faktor-Faktor

yang Berhubungan Dengan Keterlambatan Petugas Dalam Menyampaikan Laporan KLB dari Puskesmas Ke Dinas Kesehatan (Studi di Kota Semarang).

Sutarman. 2008, puskesmas di wilayah Kota Semarang.

Obrservasio -nal dengan rancangan case control. Variabel terikat : laporan KLB. Variabel bebas: pendidikan, lama tugas, lama menangani KLB, pelatihan surveilans epidemiolog, frekuensi pelatihan epidemiolog, beban kerja, motivasi kerja, kebijakan, dan perhatian kepala puskesmas.

a.Faktor yang terbukti adanya hubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB meliputi faktor lama tugas, faktor lama menangani KLB, faktor tidak pahamnya petugas mulai lapor KLB, faktor tidak ada W1, faktor tugas rangkap, faktor tidak ada motivasi, dan faktor tidak ada perhatian.

b.Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB meliputi faktor pendidikan, lama tugas, pelatihan surveilans epidemiologi, faktor pemahaman petugas untuk penentuan KLB, dan faktor kebijakan pimpinan puskesmas.


(36)

2 Evaluasi Sistem Surveilans Difteri Berbasis Masyarakat Berdasarkan Komponen Surveilans di UPTD Puskesmas Kepanjen Kabupaten Malang Tahun 2010.

Chairiyah. 2010, UPTD Puskesmas Kepanjen Kabupaten Malang. Kualitatif deskriptif evaluatif. Pengumpulan data, kompilasi data, analisis data, interpretasi data, laporan, dan umpan balik. Pelaksanaan surveilans difteri berbasis masyarakat berdasarkan komponen menunjukkan bahwa pengumpulan data, kompilasi, analisis, interpretasi, laporan, dan umpan balik untuk sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa sudah baik. 3 Evaluasi

Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri Berdasarkan Komponen Surveilans di Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2011. Marinda Wibisono. 2011, Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Kualitatif deskriptif evaluatif. Pengumpulan data, kompilasi data, analisis data, interpretasi data, dan diseminasi informasi.

1. Pada tahap pengumpulan data masih ditemukan masalah. 2. Pada tahap

kompilasi data, pengolahan dan analisis data, interpretasi data, dan diseminasi informasi pada sistem surveilans difteri sudah baik. 4 Evaluasi Sistem

Surveilans Difteri Berdasarkan Atribut Surveilans di Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2012.

Nur Putri Setia Vanni. 2012, Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Kualitatif deskriptif evaluatif. Kesederhanaan, fleksibilitas, akseptabilitas, sensitifitas, nilai prediktif positif, kerepresentatif an, ketepatan waktu, kualitas data, dan stabilitas. Atribut sistem surveilans memiliki sensitifitas yang tinggi. Penilaian terhadap atribut yang lain, sistem masih belum sederhana dan tidak fleksibel, akseptabilitas, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, ketepatan waktu, kualitas data, dan stabilitas data tergolong rendah.


(37)

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Penelitian Sutarman (2008) menggunakan rancangan penelitian obrservasional dengan desain case control, sedangkan pada penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif deskriptif evaluatif. Komponen input yang menjadi variabel penelitian Sutarman (2008) tidak dijabarkan menggunakan teori komponen manajemen, sedangkan komponen input pada penelitian ini dijabarkan menggunakan teori komponen manajemen meliputi man, money,

methode, material and machine, dan market .

2. Penelitian Chairiyah (2010) dan Marinda Wibisono (2011) berfokus pada komponen proses sistem surveilans difteri, sedangkan penelitian ini berfokus pada komponen input sistem surveilans difteri.

3. Penelitian Nur Putri Setia Vanni (2012) berfokus pada atribut surveilans difteri, sedangkan pada penelitian ini berfokus komponen input sistem surveilans difteri.

1.6.Ruang Lingkup Penelitian 1.6.1. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di bagian Seksi Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, di dua puskesmas yang menjadi informan utama yaitu Puskesmas Megaluh dan Puskesmas Peterongan, serta satu puskesmas yang menjadi informan triangulasi yaitu Puskesmas Tambakrejo.


(38)

1.6.2. Ruang Lingkup Waktu

Penyusunan proposal ini dimulai pada bulan Januari 2014 hingga bulan Juli 2014. Pengumpulan data serta penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 hingga bulan Oktober 2014. Seminar skripsi dilaksanakan pada bulan Januari 2015.

1.6.3. Ruang Lingkup Keilmuan

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan kajian bidang tentang Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular khususnya difteri.


(39)

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LANDASAN TEORI

2.1.1. Evaluasi 2.1.1.1. Definisi

Menurut Miquel Porta dalam buku A Dictionary of Epidemiology (2008), evaluasi adalah suatu proses sistematis dan objektif untuk mengetahui relevan, efektivitas, dan dampak dari program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, beberapa macam evaluasi, misalnya evaluasi struktur, proses, dan hasil. Menurut Perhimpunan Ahli Kesehatan Masyarakat Amerika, evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan (Notoatmodjo, 2011).

2.1.1.2. Ruang Lingkup Evaluasi

Ruang lingkup evaluasi merupakan hal-hal yang akan dinilai dari suatu program kesehatan (Azwar, 2008: 338). Menurut Muninjaya (2004: 200) dan Notoatmodjo (2011: 108), ruang lingkup evaluasi secara sederhana dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Evaluasi Terhadap Input

Evaluasi terhadap input (masukan) berkaitan dengan pemanfaatan berbagai sumber daya baik tenaga (man), dana (money), sarana-prasarana (material and machines), maupun metode (methode) (Muninjaya, 2004: 200; Notoatmodjo, 2011: 108). Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sumber daya yang


(40)

dimanfaatkan sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan (Muninjaya, 2004: 200).

2. Evaluasi Terhadap Proses

Evaluasi terhadap proses (process) lebih dititikberatkan pada pelaksanaan program yang berkaitan penggunaan sumber daya seperti tenaga, dana, dan fasilitas lain, apakah sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak (Muninjaya, 2004: 200; Notoatmodjo, 2011: 108). Penilaian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah metode yang dipilih sudah efektif, bagaimana dengan motivasi staf dan komunikasi diantara staf dan lain-lain (Muninjaya, 2004: 200). 3. Evaluasi Terhadap Output

Evaluasi terhadap output (keluaran) meliputi evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari dilaksanakannya suatu program (Muninjaya, 2004: 200). Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana program tersebut berhasil, apakah hasil yang dicapai suatu program sudah sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya (Muninjaya, 2004: 200; Notoatmodjo, 2011: 108).

4. Evaluasi Terhadap Dampak

Penilaian terhadap dampak (impact) suatu program mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari dilaksanakannya suatu program, biasanya mempunyai dampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat (Muninjaya, 2004: 200; Notoatmodjo, 2011: 108). Dampak program kesehatan ini tercermin dari membaiknya atau meningkatnya indikator-indikator kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2011: 108).


(41)

2.1.1.3. Tujuan Evaluasi

Menurut Mubarak (2009: 378), evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Membantu perencanaan di masa yang akan datang.

2. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan baik.

3. Menentukan kelemahan dan kekuatan program, baik dari segi teknis maupun administratif yang selanjutnya diadakan perbaikan-perbaikan.

4. Membantu menentukan strategi, mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan selama ini masih bisa dilanjutkan atau perlu diganti.

5. Mendapatkan dukungan dari sponsor (pemerintah atau swasta).

6. Motivator, jika program berhasil, maka akan memberikan kepuasan dan rasa bangga kapada staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih giat lagi.

Menurut Supriyanto (2003), kegiatan evaluasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Sebagai alat untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan dan perencanaan program yang akan datang.

2. Sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber dana, sumber daya, dan manajemen (resources) saat ini serta di masa datang.

3. Memperbaiki pelaksanaan perencanaan kembali suatu program.

2.1.1.4. Prosedur Evaluasi

Menurut Notoatmodjo (2010: 313), prosedur evaluasi secara umum adalah sebagai berikut:


(42)

1. Menentukan apa yang akan dievaluasi, apakah pada perencanaan, sumber daya, proses pelaksanaan, keluaran, efek atau bahkan dampak suatu kegiatan, serta pengaruh lingkungan yang luas.

2. Mengembangkan kerangka dan batasan. Pada tahap ini dilakukan asumsi-asumsi mengenai hasil evaluasi dan pembatasan ruang lingkup evaluasi, serta batasan-batasan yang digunakan agar objektif dan fokus.

3. Merancang desain (metode) yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan evaluasi tersebut.

4. Menyusun instrumen dan rencana pelaksanaan. Pada tahap ini dilakukan pengembangan terhadap instrumen pengamatan atau pengukuran serta rencana analisis dan membuat rencana pelaksanaan evaluasi.

5. Melaksanakan pengamatan, pengukuran, dan analisis.

6. Membuat kesimpulan dan pelaporan, informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi ini disajikan dalam bentuk laporan sesuai dengan kebutuhan atau permintaan.

Menurut Azwar (2008), prosedur dalam kegiatan evaluasi terdiri dari 6 langkah, yaitu:

1. Memahami unsur-unsur dari program yang akan dievaluasi terlebih dahulu, berupa latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan program, organisasi dan sumber daya pelaksanaan program, serta tolok ukur dan kriteria keberhasilan program.

2. Menentukan macam dan ruang lingkup evaluasi yang akan dilakukan. 3. Menyusun rencana evaluasi.


(43)

4. Melaksanakan kegiatan evaluasi terhadap suatu program. 5. Menarik kesimpulan dari hasil kegiatan evaluasi.

6. Menyusun atau menentukan saran yang sesuai dengan hasil evaluasi dengan tujuan untuk memperbaiki pelaksanaan program di masa yang akan datang.

2.1.1.5. Desain Evaluasi

Stephen Isaac dan William B. Michael (1981) dalam Notoatmodjo (2010: 315) mengemukakan 9 bentuk desain evaluasi, yaitu:

1. Historikal, dengan merekronstruksi kejadian di masa lalu secara objektif dan tepat berkaitan dengan hipotesis atau asumsi.

2. Deskriptif, melakukan penjelasan secara sistematis suatu situasi atau hal yang menjadi perhatian secara faktual dan tepat.

3. Studi perkembangan (developmental study), menyelidiki pola dan urutan perkembangan atau perubahan menurut waktu.

4. Studi kasus atau lapangan (case atau field study), meneliti secara intensif latar belakang status sekarang dan interaksi lingkungan dari suatu unit sosial, baik perorangan, kelompok, lembaga, atau masyarakat.

5. Studi korelasional (corelational study), meneliti sejauh mana variasi dari satu faktor berkaitan dengan variasi dari satu atau lebih faktor lain berdasarkan koefisien tertentu.

6. Studi sebab akibat (causal comparative study), menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan mengamati berbagai konsekuensi yang ada dan menggalinya kembali melalui data untuk faktor menjelaskan penyebabnya.


(44)

7. Eksperimen murni (true experimental), menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan membuat satu kelompok percobaan atau lebih terpapar akan suatu perlakuan atau kondisi dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak menerima perlakuan atau kondisi. Pemilihan kelompok-kelompok secara sembarang (random) sangat penting. 8. Eksperimen semu (quasi experimental), merupakan cara yang mendekati

eksperimen, dimana kontrol tidak ada dan manipulasi tidak bisa dilakukan.

9. Riset aksi (action research), bertujuan mengembangkan pengalaman baru melalui aplikasi langsung di berbagai kesempatan.

2.1.1.6. Standar Evaluasi

Standar yang digunakan untuk mengevaluasi suatu kegiatan tertentu dapat dilihat dari tiga aspek utama, yang menurut Committee on Standard for Educational Evaluation dalam Umar (2005: 40)adalah sebagai berikut:

1. Utility (Manfaat)

Hasil evaluasi sebaiknya bermanfaat bagi manajemen untuk pengambilan keputusan atas program yang sedang berjalan.

2. Accuracy (Akurat)

Informasi atas hasil evaluasi sebaiknya memiliki tingkat ketepatan yang tinggi antara tujuan dan hasil yang tercapai.

3. Feasibility (Kelayakan)

Proses evaluasi yang telah dirancang sebaiknya dapat dilakukan secara layak. Untuk mengevaluasi suatu program, evaluator dapat melaksanakannya


(45)

dengan baik dan benar, tidak hanya dari aspek teknis tetapi juga dari aspek lain seperti legal dan etis.

2.1.2. Sistem Surveilans Epidemiologi 2.1.2.1. Definisi Sistem

Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen (sub-sistem) di dalam suatu proses atau struktur yang berhubungan serta saling mempengaruhi dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Notoatmodjo, 2011; Azwar, 2008). Apabila salah satu bagian atau sub-sistem tidak berjalan dengan baik, maka akan mempengaruhi bagian lain (Notoatmodjo, 2011). Menurut Notoatmodjo (2011), secara garis besarnya elemen-elemen dalam sistem itu adalah sebagai berikut:

1. Masukan (Input) 2. Proses

3. Keluaran (Output) 4. Dampak (Impact)

5. Umpan balik (feed back) 6. Lingkungan

2.1.2.2. Definisi Sistem Surveilans Epidemiologi

Sistem surveilans epidemiologi adalah gabungan dari elemen-elemen (sub-sistem) di dalam suatu proses pengamatan yang dilakukan secara terus menerus, sistematik, dan berkesinambungan terhadap suatu masalah kesehatan yang ada melalui kegiatan pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data kesehatan, serta disseminasi informasi yang berkaitan dengan program kesehatan


(46)

sebagai sebagai dasar pengambilan keputusan atau kebijakan dalam bidang pencegahan dan penanggulangan penyakit untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik (Dirjen P2PL, 2003: 4; Dinkes Prov. Jateng, 2010: 5; Amiruddin, 2012: 8).

2.1.2.3. Tujuan dan Kegunaan Surveilans Epidemiologi

Tujuan akhir surveilans adalah menentukan luasnya infeksi dan risiko penularan penyakit sehingga tindakan pemberantasan dapat dijalankan secara efektif dan efisien (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 5). Pada perkembangan selanjutnya surveilans bertujuan untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat secara luas (Dirjen P2PL, 2003: 17).

Secara umum, kegunaan surveilans epidemiologi antara lain untuk: 1. Mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi dari suatu penyakit

(Amiruddin, 2012: 18).

2. Mengamati kecenderungan atau trend dan memperkirakan besar masalah kesehatan (Dirjen P2PL, 2003: 17).

3. Mendeteksi serta memprediksi adanya KLB dan wabah (Dirjen P2PL, 2003: 17; Amiruddin, 2012: 18).

4. Mengamati kemajuan suatu program pencegahan dan pemberantasan penyakit (Dirjen P2PL, 2003: 17).

5. Memperkirakan dampak program intervensi yang ada (Dirjen P2PL, 2003: 18).

6. Mengevaluasi program intervensi dan kebijakan program kesehatan (Dirjen P2PL, 2003: 18; Amiruddin, 2012: 18).


(47)

7. Mempermudah perencanaan program pemberantasan (Dirjen P2PL, 2003: 18; Amiruddin, 2012: 18).

8. Mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehaatan (Amiruddin, 2012: 18).

2.1.2.4. Kegiatan Surveilans Epidemiologi

Dalam praktik pelaksanaannya, sistem surveilans epidemiologi penyakit dibedakan menjadi 6 macam kegiatan, yaitu:

1. Sistem Surveilans Terpadu Penyakit

Sistem surveilans terpadu penyakit (SSTP) memanfaatkan data rutin dari laporan kesakitan bulanan puskesmas (SP2TP/SP3/SIMPUS) serta laporan morbiditas dan mortalitas rumah sakit terhadap 28 penyakit tertentu. Trend

morbiditas dari laporan tersebut sangat dibutuhkan bagi program serta sektor yang memiliki kemampuan melakukan pennggulangannya (Dirjen P2PL, 2003: 6). 2. Sistem Surveilans Sentinel

Sistem surveilans sentinel adalah sejumlah unit pelaporan (biasanya pada puskesmas atau rumah sakit) yang secara teliti mengumpulkan dan melaporkan data yang diminta dalam upaya mendapatkan informasi kesakitan penyakit tertentu yang dilengkapi dengan informasi pelaksanaan program penyakit secara khusus, sehingga kualitas pelaksanaan program dapat dimonitor keberhasilannya (Dirjen P2PL, 2003: 6; Amiruddin, 2012: 35).

3. Surveilans Khusus

Surveilans khusus merupakan suatu kegiatan surveilans yang memiliki komitmen tinggi dengan surveilans internasional dan nasional, sehingga harus dapat mendukung pelaksanaannya secara optimal. Kegiatan surveilans yang


(48)

termasuk dalam kegiatan surveilans khusus yaitu surveilans Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN), Surveilans Eradikasi Polio (Surveilans AFP), dan surveilans reduksi campak (Dirjen P2PL, 2003: 6). Tujuan utama dari kegiatan surveilans khusus yaitu untuk memantau hal-hal yang berpotensi untuk menimbulkan penyakit pada manusia (Amiruddin, 2012: 133).

4. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan Penyelidikan KLB

Salah satu upaya mengurangi kerugian akibat yang ditimbulkan oleh letusan KLB suatu penyakit adalah melakukan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit potensial KLB (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 41). Sistem kewaspadaan dini adalah suatu kegiatan pengamatan yang mendukung sikap tanggap terhadap adanya suatu perubahan atau penyimpangan dalam masyarakat (Dirjen P2PL, 2003).

Tujuan dilakukannya penyelidikan KLB adalah agar dapat melakukan tindakan penanggulangan dan pencegahan terhadap munculnya penderita baru. Ada 4 tahapan dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan KLB yaitu persiapan kerja di lapangan, penetapan adanya KLB, penetapan diagnosis, dan pengolahan data epidemiologi (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 50-52).

5. Studi Khusus

Studi khusus yang dilakukan oleh lintas sektor terkait ataupun jejaring surveilans epidemiologi dapat dimanfaatkan oleh petugas surveilans dalam melengkapi kajian terhadap data maupun program terkait. Studi khusus dapat berupa survei cepat, cohort study, dan lain-lain (Dirjen P2PL, 2003: 6).


(49)

6. Analisis dan Interpretasi Data

Analisis dan kajian data dilakukan terhadap data surveilans yang dapat dikumpulkan oleh unit surveilans serta pada data yang diperoleh program pemberantasan penyakit yang ada (Dirjen P2PL, 2003: 7).

2.1.2.5. Monitoring dan Evaluasi Surveilas Epidemiologi

Monitoring dan evaluasi merupakan bagian kegiatan yang penting dari proses manajemen, karena dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan ataupun kendala yang ada dalam pelaksanaan manajemen surveilans dan utamanya dilakukan terhadap proses dan output surveilans agar dapat segera dilakukan perbaikan dan dapat ditentukan strategi penyusunan perencanaan kegiatan surveilans di tahun berikutnya (Dirjen P2PL, 2003: 12). Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan melalui kegiatan pertemuan/review, kunjungan, penerapan kendali mutu (quality assrance), dan seminar. Dalam melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi kinerja unit surveilans disesuaikan dengan setiap tahapan sistem, yaitu berupa indikator input, indikator proses, dan indikator output. Indikator-indikator tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan surveilans dan kondisi setempat (Dirjen P2PL, 2003: 12).

2.1.2.5.1. Indikator Surveilans Epidemiologi

Menurut Dirjen P2PL (2003), yang menjadi indikator surveilans antara lain:

1. Kelengkapan Laporan dan Ketepatan Waktu Pelaporan

Kelengkapan laporan dan ketepatan waktu pelaporan data surveilans (rutin) sangat mempengaruhi analisis dan interpretasi data, walaupun tidak selalu


(50)

sejalan antara peningkatan jumlah laporan dengan peningkatan kasus. Data yang lengkap dan dilaporkan tepat waktu selalu lebih baik dan akurat dibanding data yang tidak lengkap dan tidak tepat waktu (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 15).

Kelengkapan laporan dapat dilihat dari 2 (dua) aspek yaitu lengkapnya jumlah laporan dan lengkapnya isi yang dilaporkan. Pada dinas kesehatan kabupaten/kota, kelengkapan laporan yang dihitung hanya pada aspek lengkapnya jumlah laporan mingguan dan bulanan dari puskesmas yang diterima oleh dinas kesehatan kabupaten/kota (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 15).

Berikut ini cara menghitung kelengkapan laporan dan ketepatan waktu pelaporan:

a. Kelengkapan Laporan

Laporan mingguan puskesmas (W2) dikirim ke dinas kesehatan kab./kota per minggu dan laporan bulanan dikirim ke dinas kesehatan kab./kota per bulan. Untuk menghitung jumlah minggu per bulan atau per tahun menggunakan kalender mingguan epidemiologi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PPM PLP setiap tahun (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 15).

Kelengkapan laporan dihitung menggunakan prosentase jumlah laporan puskesmas yang berada di wilayah kerjanya diterima oleh dinas kesehatan kab./kota dibagi dengan jumlah semua laporan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang seharusnya diterima oleh dinas kesehatan kab./kota dalam periode bulan yang sama (Dirjen P2PL, 2003: 82; Dinkes Prov. Jateng, 2010: 15). Indikator kelengkapan laporan unit pelayanan (puskesmas) ke dinas kesehatan kabupaten/kota sebesar 90 % (Dirjen P2PL, 2003: 81).


(51)

b. Ketepatan Waktu Pelaporan

Ketepatan waktu pelaporan adalah prosentase dari semua laporan puskesmas yang berada di wilayah kerjanya yang diterima pada 10 hari pertama pada bulan berikutnya dibagi dengan jumlah semua laporan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang seharusnya diterima oleh dinas kesehatan kab./kota dalam periode bulan yang sama (Dirjen P2PL, 2003: 82; Dinkes Prov. Jateng, 2010: 15). Indikator ketepatan waktu pelaporan unit pelayanan (puskesmas) ke dinas kesehatan kabupaten/kota sebesar 80 % (Dirjen P2PL, 2003: 81).

2. Kuantitas dan Kualitas Kajian Epidemiologi dan Rekomendasi yang Dapat Dihasilkan

Kuantitas dan kualitas kajian epidemiologi berguna dalam pengambilan keputusan. Rekomendasi merupakan salah satu bentuk pendistribusian informasi. Rekomendasi dapat disampaikan pada penanggung jawab program pencegahan dan penanggulangan seta pelaksana kegiatan surveilans (Amirudin, 2012).

3. Terdistribusinya Informasi Epidemiologi Secara Lokal dan Nasional

Penyebaran informasi dimaksudkan untuk memberikan informasi yang dapat dimengerti dan kemudian dimanfaatkan untuk menentukan arah kebijakan, upaya pengendalian, dan evaluasi yang baik berupa interpretasi data dan kesimpulan analisis (Amirudin, 2012).

4. Pemanfaatan Informasi Epidemiologi dalam Manajemen Program Kesehatan

Informasi epidemiologi sangat penting untuk menyusun perencanaan dan mengevaluasi hasil akhir intervensi yang diberikan. Dapat membantu


(52)

pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan membandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program (Amiruddin, 2012: 48).

5. Menurunnya Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi dalam waktu tertentu dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 50). Sistem surveilans yang berjalan dengan baik dapat menurunkan frekuensi KLB. Keterlambatan dalam mendeteksi KLB akan menyebabkan peningkatan jumlah kasus, durasi wabah, dan kematian (Arsyam, 2013).

6. Meningkatnya dalam Kajian SKD (Sistem Kewaspadaan Dini) Penyakit.

Salah satu upaya mengurangi kerugian akibat yang ditimbulkan oleh letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit adalah melakukan pengamatan yang intensif dan dikenal dengan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit potensial KLB (Dinkes Jateng, 2010: 41).

2.1.2.5.2. Pedoman Surveilans Epidemiologi

Pedoman yang digunakan dalam mengevaluasi sistem surveilans epidemiologi, yaitu:

1. Buku Pedoman Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi yang diterbitkan oleh Dirjen P2PL Depkes RI tahun 2003.

2. Buku Panduan Surveilans Epidemiologi Penyakit-Penyakit Menular, Keracunan Makanan, Bencana dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2003.


(53)

3. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi tahun 2011 yang diterbitkan oleh Kemenkes RI tahun 2011. 4. Buku Pedoman Penanggulangan KLB Difteri yang diterbitkan oleh Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011.

5. Buku Pedoman Pengelolaan Vaksin dan Rantai Vaksin yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2005.

6. Buku Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2005.

7. Buku Pedoman Teknis Pencatatan dan Pelaporan Program Imunisasi untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2009. 8. Buku Panduan Pelaksanaan Sub-PIN di Provinsi Jawa Timur Tahun 2012

yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012. 9. Buku Pedoman Pelatihan Tenaga Pelaksana Imunisasi Puskesmas yang

diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2006.

10. Kepmenkes RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

11. Kepmenpan RI No. 17/ KEP/ M.PAN/ 11/ 2000 tentang Jabatan Fungsional Epidemiolog Kesehatan dan Angka Kreditnya.

12. Permenkes RI No. 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. 13. Permenkes RI No. 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.


(54)

2.1.2.5.3. Atribut Surveilans Epidemiologi

Atribut yang digunakan dalam mengevaluasi suatu sistem surveilans epidemiologi, yaitu:

1. Kesederhanaan (Simplicity)

Kesederhanaan dari sistem surveilans kesehatan masyarakat dilihat dari struktur dan kemudahannya dalam pengoperasian (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 30). Kesederhanaan berkaitan dengan ketepatan waktu dan akan berpengaruh pada sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankaan sistem (Amiruddin, 2012: 152).

2. Fleksibilitas (Flexibility)

Suatu sistem surveilans dapat dikatakan fleksibel apabila dapat menyesuaikan diri terhadap adanya perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan di lapangan dengan sedikit perubahan pada kebutuhan biaya, tenaga, dan waktu (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 31). Sistem yang fleksibel dapat diterapkan pada keadaan penyakit dan kesehatan yang baru, perubahan definisi kasus, dan perubahan dari sumber pelaporan (Amiruddin, 2012: 152). Pada umumnya semakin sederhana suatu sistem, maka semakin fleksibel untuk diterapkan pada masalah kesehatan lain dan komponen yang harus diubah akan menjadi lebih sedikit (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 31).

3. Akseptabilitas (Accepbility)

Akseptabilitas menggambarkan keikutsertaan individu atau organisasi dalam pelaksanaan sistem surveilans (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 32).


(55)

Akseptabilitas mempunyai sifat subjektif yang besar meliputi keinginan dari orang-orang dimana sistem menguntungkan tersedianya data yang akurat, tetap, dan tepat waktu (Amiruddin, 2012: 153).

4. Sensitivitas (Sensitivity)

Sensitivitas dinilai dari tingkat pengumpulan data atau pelaporan kasus, proporsi kasus dari suatu masalah kesehatan yang dideteksi oleh sistem surveilans dan dapat dinilai dari kemampuannya untuk mendeteksi KLB (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 33). Pengukuran sensitivitas dari suatu sistem surveilans ditentukan oleh a) Validitas informasi yang dikumpulkan oleh sistem; b) Pengumpulan informasi di luar sistem untuk menentukan frekuensi dari keadaan yang ada dalam masyarakat (Amiruddin, 2012: 154).

5. Nilai Prediktif Positif/NPP (Predictive Value Positive)

NPP adalah proporsi dari populasi yang diidentifikasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan kenyataannya memang kasus (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 34). Surveilans dengan NPP yang tinggi akan menyebabkan lebih rendahnya kegiatan sia-sia dan kurangnya pembuangan sumber (Amiruddin, 2012: 156).

6. Kerepresentatifan (Representativeness)

Suatu sistem surveilans dapat dikatakan representatif apabila dapat menggambarkan kejadian dari suatu peristiwa kesehatan dalam periode tertentu dan distribusi peristiwa tersebut dalam masyarakat menurut tempat dan orang secara akurat (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 35). Kerepresentatifan dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadian yang dilaporkan dengan


(56)

semua kejadian yang ada (Amiruddin, 2012: 156). Kualitas data merupakan bagian yang paling penting dari kerepresentatifan (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 36).

7. Ketepatan Waktu (Timeless)

Ketepatan waktu menggambarkan kecepatan atau kelambatan diantara tahap-tahap dalam suatu sistem surveilans (CDC, 2001; Dirjen P2PL, 2003: 37). Definisi lain menyatakan bahwa ketepatan waktu adalah jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menentukan kecenderungan (trend), outbreaks, atau pengaruh dari adanya upaya kontrol (Amiruddin, 2012: 158).

2.1.3. Difteri

2.1.3.1. Definisi Difteri

Penyakit difteri merupakan penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit, serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina (James Chin, 2000: 172).

2.1.3.2. Epidemiologi Difteri 2.1.3.2.1. Etiologi

Kuman penyebab adalah Corynebacterium diphtheriae. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasif, tetapi kuman dapat mengeluarkan toksin, yaitu eksotoksin yang mempunyai efek patologik, sehingga menyebabkan orang jadi sakit. Ada 3 tipe dari Corynebacterium diphtheriae yaitu tipe mitis, tipe intermedius, dan tipe gravis. Kuman ini dapat hidup pada selaput mukosa tenggorokan manusia tanpa menimbulkan gejala penyakit. Keadaan ini disebut


(57)

carrier. Strain yang mulanya nontoxigenic bisa menjadi toxigenic, jika strain tersebut terinfeksi virus yang spesifik atau bakteriofag, sehingga strain tadi mengeluarkan toksin ampuh dalam jumlah besar yang menyebabkan sakit dan kematian pada penduduk yang tidak mendapat vaksinasi (Dirjen P2PL, 2011: 74; James Chin, 2000: 172-173).

2.1.3.2.2. Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan adalah manusia baik sebagai penderita maupun

carrier. Cara penularan yaitu kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carrier. Masa inkubasi antara 2 sampai 5 hari, masa penularan penderita 2 sampai 4 minggu sejak masa inkubasi sedangkan masa penularan

carrier bisa sampai 6 bulan. Seseorang dapat menyebarkan bakteri melalui pernafasan droplet infection atau melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan (Dirjen P2PL, 2011: 74; James Chin, 2000: 173).

2.1.4. Pelaksanaan Surveilans Difteri 2.1.3.1. Justifikasi Surveilans Difteri

Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dan potensial terjadi KLB, sehingga pemantauan dampak program imunisasi harus dilakukan terus menerus walaupun insidens difteri yang dilaporkan semakin kecil. Pelaksanaan surveilans difteri perlu dikembangkan dan laporan nihil serta umpan balik diintensifkan serta memulai membuat daftar list kasus difteri di masing-masing wilayah kerja. Setiap letusan KLB harus segera dilakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kontak terdekat dengan kasus dengan pengambilan dan pemeriksaan spesimennya (Dirjen P2PL, 2003: 114).


(58)

2.1.3.2. Definisi Kasus

Definisi kasus dalam pelaksanaan kegiatan surveilans difteri diperlukan untuk meyakinkan bahwa semua petugas kesehatan menggunakan definisi dan kriteria yang sama untuk mendiagnosis seseorang, sehingga dapat menunjang program pencegahan dan penanggulangan difteri (Amiruddin, 2012: 86-87; Dirjen P2PL, 2003: 20).

Definisi kasus difteri menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2011: 3-4) dalam buku pedoman penanggulangan KLB difteri di Jawa Timur dapat dibagi sebagai berikut :

1. Kasus Suspek (Tersangka) Difteri

Adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembrane (selaput tipis) putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil.

2. Kasus Probable (Kemungkinan) Difteri

Adalah orang dengan suspek difteri ditambah salah satu dari : a) Pernah kontak dengan kasus (< 2 minggu);

b) Ada di daerah endemis difteri;

c) Stridor (sesak nafas disertai bunyi), bullneck (leher membengkak seperti leher sapi);

d) Pendarahan submucosa atau petechiae pada kulit; e) Gagal jantung toxic, gagal ginjal akut;

f) Myocarditisand/or kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah onset; g) Mati.


(59)

3. Kasus Confirmed (Pasti) Difteri

Adalah orang dengan kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif

Corynebacterium diphtheriae yang toxigenic (dari usap hidung, tenggorok, ulcus kulit, jaringan, konjunctiva, telinga, vagina), atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).

2.1.3.3. Sumber Data Surveilans Difteri 2.1.3.3.1. Sumber Data Kasus Difteri

Sumber data kasus difteri terdiri atas:

1. Rumah Sakit

Laporan morbiditas dan mortalitas bulanan penderita penyakit rawat inap dan rawat jalan melalui laporan RL2a dan RL2b yang dihimpun pada data Sistem Surveilans Terpadu Penyakit (SSTP) kabupaten/kota atau propinsi (Dirjen P2PL, 2003: 114).

2. Puskesmas

Laporan morbiditas puskesmas melalui laporan SP2TP atau SP3 atau SIMPUS yang datanya dihimpun dalam data Sistem Surveilans Terpadu Penyakit (SSTP) kabupaten/kota atau propinsi, atau laporan puskesmas sentinel sebagai kabupaten/kota yang memiliki. Laporan mingguan (W2) puskesmas, surveilans kab/kota dan surveilans propinsi, serta laporan W1 (24 jam) bila ada indikasi KLB (Dirjen P2PL, 2003: 115).


(60)

3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Laporan rutin bulanan balai laboratorium kesehatan pusat/daerah atau Bio Farma serta balai laboratorium swasta, yang saat ini akan digunakan sebagai data surveilans (Dirjen P2PL, 2003: 114). Pada saat KLB, hasil pemeriksaan spesimen usap tenggorok dan usap hidung dijadikan bahan analisis untuk konfirmasi kasus suspek maupun probable serta untuk mengetahui adanya carrier

di sekitar penderita (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 7; Dinkes Prov. Jatim, 2011: 24).

4. Hasil Penyelidikan Kasus Kontak di Lapangan

Pengumpulan aktif data difteri di lapangan sangat penting dan bermanfaat, karena kemungkinan akan didapatkan kasus tambahan dengan melakukan observasi atau pemeriksaan terhadap kontak. Follow up kasus difteri di lapangan sebaiknya segera setelah mendapatkan informasi dari rumah sakit atau sumber lainnya (Dirjen P2PL, 2003: 115).

2.1.3.3.2. Sumber Data Cakupan Program Imunisasi

Data cakupan imunisasi DPT menurut desa dan puskesmas digunakan oleh surveilans di kabupaten/kota, sedangkan data cakupan imunisasi DPT menurut kabupaten/kota digunakan oleh surveilans propinsi (Dirjen P2PL, 2003: 116). Data ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara program cakupan imunisasi DPT dengan kejadian penyakit difteri (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 7).

2.1.3.4. Sistem Surveilans Difteri

Adapun elemen-elemen atau bagian sistem surveilans difteri dapat diuraikan sebagai berikut:


(61)

2.1.3.5.1. Masukan (Input)

Input adalah sub-elemen-sub-elemen yang diperlukan sebagai masukan untuk berfungsinya sistem (Notoatmodjo, 2011: 101). Menurut Alamsyah (2011: 6), untuk mencapai suatu tujuan dalam sebuah sistem maka diperlukan unsur-unsur manajemen yaitu:

1. Man (Sumber Daya Manusia Pendukung Pelaksanaan Surveilans Difteri)

Tenaga atau manusia merupakan sarana penting dan utama dalam suatu manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa adanya tenaga surveilans, aktivitas dalam manajemen sistem surveilans tidak dapat berlangsung. Dalam hal ini, ketersediaan tenaga surveilans difteri, ketersediaan tenaga surveilans difteri terlatih, ketersediaan tenaga laboratorium, ketersediaan tenaga laboratorium terlatih, ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi, dan ketersediaan tenaga pengelola program imunisasi terlatih sangat penting untuk menilai keberhasilan pelaksanaan surveilans difteri (Amiruddin, 2012; Dirjen P2PL, 2003).

2. Money (Pendanaan untuk Pelaksanaan Surveilans Difteri)

Untuk melakukan suatu aktivitas, maka dibutuhkan dana atau uang. Uang sebagai sarana manajemen harus digunakan sedemikian rupa agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Indikator dalam money meliputi sumber dana dan alokasi pendanaan untuk pelaksanaan surveilans difteri. Sumber dana surveilans difteri menurut dirjen P2PL (2003: 8) berasal dari dana program yaitu APBN, APBD propinsi, APBD kabupaten/kota, Block Grant, dan dana bantuan yaitu bantuan nasional dan daerah, LSM/swasta, luar negeri.


(62)

3. Method (Metode Surveilans Difteri)

Untuk melakukan kegiatan berdaya guna atau efektif dan berhasil guna, manusia dihadapkan pada berbagai cara alternatif untuk melakukan suatu pekerjaan. Oleh karena itu, metode atau cara dianggap pula sebagai sarana atau alat manajemen untuk mencapai suau tujuan. Juklak dan juknis tentang manajemen surveilans difteri merupakan indikator untuk mengukur metode yang digunakan dalam surveilans difteri (Masrochah, 2006). Selain itu terdapat ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan surveilans difteri, ketersediaan pedoman tentang pelaksanaan program imunisasi difteri, ketersediaan target cakupan program imunisasi difteri, ketersediaan payung hukum yang mendukung surveilans difteri, dan kesepakatan penggunaan definisi kasus difteri juga merupakan indikator untuk mengukur metode yang digunakan dalam surveilans difteri

4. Material and Machine (Sarana dan Prasarana Pelaksanaan Surveilans Difteri)

Dalam proses pelaksanaan kegiatan, manusia membutuhkan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh dalam pelaksanaan surveilans difteri adalah sebagai berikut:

a) APD meliputi masker, jas lab, sarung tangan, google (pelindung mata), pelindung kepala (Dinkes Prov. Jatim, 2011).


(63)

c) Perangkat imunisasi meliputi vaksin, Auto Disable Syringe (ADS/alat suntik),

safety box,dan coldchain. Coldchain terdiri dari lemari es, vaksin carrier, cool pack, termometer, freeze watch, dan freeze tag (Permenkes No. 42 tahun 2013 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi).

d) Alat komunikasi meliputi telepon, faksmili, handphone, serta internet yang digunakan dalam pelaksanaan surveilans difteri (Dirjen P2PL, 2003).

e) Surveillance kits (perlengkapan surveilans) meliputi calculator scientific, kertas grafik, mesin ketik, telepon dan faksimile atau alat komunikasi lainnya, komputer untuk pengolahan data dan program aplikasi (Dirjen P2PL, 2003). f) Formulir untuk pengumpulan data difteri berupa formulir W1 (24 jam), W2

(mingguan), STP, STP KLB, dan formulir pelacakan kasus difteri (Dinkes Prov. Jateng, 2010; Dinkes Prov. Jatim, 2011).

g) Perangkat seminar meliputi overhead proyector, infocus (Dirjen P2PL, 2003). h) Alat transportasi yang digunakan dalam pelaksanaan surveilans difteri di dinas

kesehatan kabupaten/kota meliputi 1 roda empat, 2 roda dua, sedangkan alat transportasi yang digunakan dalam pelaksanaan surveilans difteri di puskesmas atau rumah sakit meliputi 1 roda dua (Kepmenkes RI No. 1116/ Menkes/ SK/ VIII/ 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan).

5. Market (Sasaran Penyebaran Informasi Hasil Surveilans Difteri)

Market atau sasaran adalah tempat dimana organisasi menyebarluaskan produknya (informasi). Indikator dalam market meliputi pengguna informasi baik


(64)

dari internal instansi yaitu pada lintas program maupun dari eksternal instansi serta kebutuhan informasi tiap pengguna.

2.1.3.5.2. Proses (Process)

Proses adalah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan, sehingga menghasilkan suatu keluaran yang direncanakan dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen (Notoatmodjo, 2011: 101). Proses pada surveilans difteri meliputi:

1. Pengumpulan Data

Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit yaitu pengumpulan data (Amiruddin, 2012: 49; Dinkes Prov. Jateng: 9). Menurut Pedoman Dasar Pelaksanaan Surveilans Provinsi Jawa Tengah (Dinkes Prov. Jateng, 2010: 9), untuk mengumpulkan data surveilans yang baik diperlukan beberapa persyaratan antara lain:

a) Data yang dikumpulkan yaitu data mengenai informasi epidemiologi dari suatu penyakit seperti kesakitan atau kematian menurut umur, jenis kelamin, tempat tinggal, status imunisasi, dan sebagainya,

b) Pengumpulannya dilaksanakan teratur dan terus-menerus, c) Data yang dikumpulkan selalu tepat waktu.

Beberapa data yang perlu dikumpulkan dalam kegiatan surveilans difteri yaitu data mortalitas dan morbiditas difteri serta data imunisasi DPT (Dinkes Prov. Jateng, 2006: 96; Dinkes Prov. Jateng, 2010: 10). Periode pengumpulan data dapat dilakukan secara mingguan, bulanan, maupun tahunan. (Dirjen P2PL, 2003: 15).


(65)

Pengumpulan data dalam kegiatan surveilans difteri dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu secara aktif dan pasif (Dirjen P2PL, 2003: 15; Amiruddin, 2012: 50). Surveilans aktif yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dimana petugas surveilans memperoleh data yang dibutuhkan dengan cara mendatangi langsung sumber data baik itu UPK, masyarakat atau sumber data lainnya, sedangkan pada surveilans pasif, sumber data yang mendatangi petugas surveilans untuk memberikan data yang dibutuhkan dalam kegiatan surveilans (Dirjen P2PL, 2003: 15).

2. Pengolahan Data

Pengolahan data dimaksudkan untuk menyiapkan data agar dapat dilakukan analisis data dengan mudah. Menurut buku pedoman dasar pelaksanaan surveilans Provinsi Jawa Tengah (2010), suatu kegiatan pengolahan data dapat dikatakan baik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Tidak membuat kesalahan selama proses pengolahan data.

b) Dapat mengidentifikasi adanya kecenderungan perbedaan dalam frekuensi dan distribusi kasus.

c) Pengertian yang disajikan tidak salah atau berbeda dengan yang dimaksudkan. d) Metode pembuatannya mengikuti kaidah penyajian data yang benar, baik

dalam bentuk tabel, grafik, ataupun peta.

Kegiatan pengolahan data pada surveilans difteri dengan cara rekapitulasi data kasus difteri per tahun menurut tempat (desa, puskesmas), umur dan status imunisasi (Dinkes Prov. Jateng, 2006; Dinkes Prov. Jateng, 2010; Dirjen P2PL, 2003).


(66)

3. Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk melihat variabel-variabel apa saja yang dapat menggambarkan suatu permasalahan, faktor-faktor yang berpengaruh, serta bagaimana data yang ada dapat menjelaskan tujuan dari suatu sistem surveilans (Amiruddin, 2012).

Menurut Amiruddin (2012), ada 2 hal penting yang harus dilakukan dalam melakukan analisis dan interpretasi data, yaitu:

a) Memahami kualitas data dan mencari metode yang terbaik dan sesuai untuk menarik kesimpulan.

b) Menarik kesimpulan dari suatu rangkaian data deskriptif. Dengan adanya kesimpulan tersebut, dapat diketahui kecenderungan atau trend dan perbandingan dari suatu kecenderungan masalah kesehatan yang ada.

Analisis data surveilans difteri diawali dengan membuat pola penyakit difteri menurut variabel epidemiologi, yaitu orang (person), tempat (place), dan waktu (time). Analisis data tersebut dapat disajikan dalam bentuk grafik, tabel, dan peta persebaran kasus (Dinkes Prov. Jateng, 2006; Dirjen P2PL, 2003).

4. Desiminasi Informasi

Disseminasi informasi ditujukan untuk memberikan informasi yang mudah dimengerti, sehingga pengambil keputusan di semua tingkatan dapat dengan mudah memahami implikasi dari informasi dan memanfaatkan informasi tersebut dalam menentukan arah kebijakan suatu program kesehatan, upaya pengendalian serta evaluasi program yang telah dilakukan maupun yang sedang berjalan (Dirjen P2PL, 2003: 17). Para pengguna informasi hasil surveilans dapat


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 20

DOKUMENTASI PENELITIAN

Wawancara dengan Pengelola Program Surveilans Epidemiologi Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang

Wawancara dengan Kepala Puskesmas


(5)

Wawancara dengan Koordinator Program Surveilans Epidemiologi Puskesmas


(6)

Wawancara dengan Koordinator Laboratorium Puskesmas

Wawancara Triangulasi dengan Koordinator Program Imunisasi Puskesmas Tambakrejo