Konflik Tanah Paku Alaman Ground

I. Konflik Tanah Paku Alaman Ground

Penguasaan tanah-tanah Puro Paku Alaman juga menimbulkan konflik, misalkan pernah terjadi antara warga petani yang

46 Muhammad Zamzam Fauzannafi, ‘Sejarah dan Institusionalisasi Kampung Tungkak’, dalam Jurnal Kampung, Yayasan Pondok Rakyat, 2005, hlm 84—8.

47 Wawancara dengan Hersumpana, direktur YPR, Yogyakarta, 16 Januari 2009. 48 ibid.

Akses Masyarakat Atas Tanah menggarap tanah dengan pemerintah Pemda. Konflik terkait

dengan penggarapan tanah PAG di Kelurahan Karangsewu, Kecamatan Galur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo sebagai daerah Program Transmig- rasi Ring I. 49

Beberapa bulan belakangan yang santer adalah kasus konflik rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo. Kasus ini bermula dari munculnya surat dari Tim Pertanahan Puro Paku Alaman Ngayogyakarta No 07/TP KPN/VI/2008 tentang Pemberitahuan Proses Pelaksanaan Pengukuran Tanah Pakualaman, tertanggal 16 Juli 2008. Surat yang ditan- datangani oleh Ketua Tim Pertanahan Utomo Parasto Kusumo ada kaitannya dengan pendataan tanah untuk konsesi PT Jogja Magasa Mining (JMM). Pihak pemerintahan desa kemudian menyosialisasikan isi surat itu kepada warganya yang menjadi penggarap lahan pesisir. 50

Petani penggarap yang ada di sana menolak keputusan penambangan itu sebab mereka telah mengusahakan lahan pesisir itu sejak lama dengan berbudi daya tanaman horti- kultura, terutama cabe. Usaha tani di atas media pasir itu telah berlangsung puluhan tahun. Konon telah dirintis oleh para sesepuh mereka.

Seorang sesepuh di wilayah Karangsewu, Harjo Suwarno, menceritakan awal mula bagimana warga mengolah lahan pasir. Lahan tersebut semula adalah padang pasir tandus. Sekitar tahun 1945 Presiden Soekarno datang ke Pantai Trisik, Kecamatan Galur, dan menyerahkan hak pengelolaan atas

49 Kompas, 1 Oktober 2004. 50 Bernas, ‘Lahan Pasir Jadi Rebutan’, 6 Agustus 2008.

Keistimewan Yogyakarta lahan pesisir itu. Maka warga kemudian mengolahnya. 51 Tanah

pasir yang mengandung biji besi, atau dikenal dengan gumuk pasir bagi warga setempat, dengan teknologi setempat kemu- dian berhasil diolah menjadi lahan pertanian.

‘Kalau saat ini bisa dikatakan pertanian kita sudah berhasil, karena pada dasarnya lahan di daerah pesisir adalah lahan marjinal, tidak bisa ditanami hanya berupa gundukan-gun- dukan tanah. Kemudian ada seseorang yang mencoba mengo- lah dan berhasil, masyarakat kemudian meniru. Memang kita tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut, namun kami sudah mengolahnya sejak 30 tahun lalu. Jadi generasi kita, generasi kakek saya tinggal menggarap apa yang sudah dirintis oleh simbah-simbah kami. Lahan itu sangat menjan- jikan untuk masa kini, dan sebgai penopang kehidupan masyarakat pesisir. Lokasi lahan itu di sepanjang pesisir.’ 52

Pengolahan lahan pesisir melibatkan banyak keluarga petani, sekitar 30 ribu orang, yakni mereka yang ada di sepan- jang 22 kilometer pesisir, melewati sekitar 10 desa. Masing-

masing petani menguasai lahan seluas 1000-5000 m 2 . Mulai dari anak-anak kecil hingga kakek-nenek bercocok tanam. Anak-anak sekolah pun pagi sebelum berangkat sekolah, menyempatkan untuk merawat tanaman, demikian juga saat pulang sekolah. Pegawai negeri di daerah itu, bahkan ada seorang polisi, yang penghasilan terbesarnya berasal dari ber- tani. Akhir tahun 2008, ketika banyak orang fasih bicara tentang ‘krisis global’, petani di daerah ini justru berbondong- bondong mendatangi dealer untuk membeli motor secara

51 Ibid . 52 Widodo, 31 tahun, petani lahan pasir di Garongan, Panjatan, Kulonprogo.

Wawancara, Yogyakarta, 8 Januari 2009.

Akses Masyarakat Atas Tanah cash! Dengan motor besar buatan Jepang yang baru dibeli,

mereka melakukan touring ke beberapa kota di Jawa. 53

Table 13. Hasil Perolehan Penjualan Cabe Merah Kelompok Tani

Pelem Sewu Makmur Desa Garongan, Kecamatan Galur, Kulon Progo 54

No Bulan (2008) Bulan Pendapatan (kg) Harga (Rp)

1 Mei 5.460 54.144.839 2 Juni

Pada awalnya warga mengakui bahwa tanah yang mereka olah adalah milik PA. Akan tetapi dengan kasus rencana penambangan yang justru difasilitasi oleh keluarga PA itu, mereka mengatakan bahwa,

“Tanah itu milik Yang Kuasa, karena sejak dulu sudah ada seperti itu. Kalau milik PA, apa PA membayar pajak? Kan tidak. Seperti misalnya tanah kas desa, itu bukan milik Pak Lurah atau pamong, tapi milik semua warga desa. Tanah Paku Alaman adalah milik semua orang Paku Alaman, bukan milik PA-nya saja”. 55

53 Ibid. 54 Data penjualan satu dari 3 kelompok tani yang ada di desa Garongan.

55 Ibid.

Keistimewan Yogyakarta Argumen di atas, selain memberi dasar filosofis yang

berkesesuaian dengan apa yang dinyatakan dalam kutipan di awal tulisan, menempatkan persoalan pada ‘kondisi sosial ekologi macam apa yang mengakibatkan mereka termarjina- lisasi, dan kemudian membuat gerakan untuk memperta- hankan diri’. Bukan pada argumen hukum yang selalu dipakai oleh aparat pemerintah dan lembaga formal lainnya. Umum- nya, dengan argumen hukum itu, mereka terstigmatisasi sebagai ‘penjarah’, ‘penduduk liar’, sehingga serangkaian ope- rasi dan bahkan teror dilakukan guna melakukan ‘penertiban’. 56 Maka di sinilah pendekatan ekologi politik diperlukan, untuk memahami ‘bagaimana segala sesuatu berkembang bergan- tung sebagian pada dimana hal itu berkembang, di atas apa- apa yang telah secara historis mengendap di sana, dan di atas struktur sosial dan ruang yang telah ada di tempat itu’. 57

Dengan cara pandang itu kita bisa melihat bagaimana masyarakat memaknai diri dan sesuatu di luarnya (antarwar-

ga, Paku Alaman, dan pemerintah). Sebagai ruang yang tidak nir-sejarah dan geografis, tidak bisa dinafikan bahwa antar

56 Hal semacam ini terjadi pula. Pos-pos penjagaan mereka pada tanggal 27 Oktober 2008 dibakar oleh segerombolan pihak yang ditengarai pendukung

penambangan pasir besi. Uniknya, sebagaimana yang ditangkap oleh kamera sebuah televisi swasta, gerombolan yang membakar ini dikawal oleh pasukan polisi yang bukan malah berusaha menghentikannya. Lihat salah satu pemberitaannya, Jawa Pos, ‘Aksi Pro-Kontra Pasir Besi Makin Anarki, Polisi Bantah Pembiaran, Janji Selidiki Aktor Intelektual’, 28 Oktober, 2008.

57 Noer Fauzi, ‘Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan (SPP) di Garut, Jawa Barat’, dalam

Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2008 [edisi revisi]), hlm. 474.

Akses Masyarakat Atas Tanah warga juga berbeda kepentingan. Mereka yang berada di luar

lahan pesisir mempunyai kepentingan berbeda, yang barang- kali setuju dengan isu penambangan. Sebagaimana diakui,

“.....kami tidak keberatan dengan penambangan pasir besi, tapi jangan di lahan pertanian kami. Di Wates sana, di Kulon Progo sebelah gunung, silahkan. Kami tidak akan membang- kang kepada pemerintah, kami hanya mempertahankan hak kami. Pada hakekatnya kami tidak menghalangi niat pemerintah, kalau mau menambang silahkan di daerah gunung.” 58

Tentang keistimewaan Yogyakarta, muncul komentar yang aktual, tidak pada aspek kepemimpinan dan tata pemerintahan, namun mengenai aspek yang berkenaan lang- sung dengan hajat hidup mereka,

“Mau istimewa, super istimewa, atau hyper-istimewa silah- kan, saya tidak masalah. Tetapi tanah-tanah itu dibagikan kepada rakyat. Tanah kan untuk rakyat bukan pejabat…. Yogyakarta mau istimewa silahkan, tetapi tanah tetap men- jadi hak rakyat. Sudahlah tidak usah ada PAG dan SG, itu tidak menguntungkan rakyat, memang buat penguasa menguntungkan, karena mereka bisa memiliki dan menju- al. Yogyakarta silahkan istimewa, saya tidak tahu istimewa itu apa. Istimewa kok gedung pusakanya hancur waktu gem- pa kemarin. Gedung Trajumas kan gedung pusaka, Tra- jumas artinya timbangan mas, simbol keadilan. Jadi karena sudah hancur, Yogyakarta sudah tidak punya timbangan mas lagi, sudah rusak.” 59

58 Burhan, 28 tahun, petani Garongan, Panjatan, Kulonprogo. Wawancara, Yogyakarta, 8 Januari 2009.

59 Widodo, Ibid.

Keistimewan Yogyakarta Pengalaman ini memberi cara pandang baru bagaimana

masyarakat saling melihat dirinya, pihak Paku Alaman, dan pemerintah, serta bagaimana pinggiran dan pusat saling me- mandang. Dalam cara pandang mereka, keberadaan tanah adat PAG (dan SG) yang sedang mereka hadapi malah diselewengkan oleh elit-elit adatnya dan cenderung mengorbankan masya- rakat (adat) yang telah mengolah dan berdiam di atasnya. Dalam konteks semacam inilah keistimewaan Yogyakarta dimaknai ulang.