Mencari Keistimewaan dalam Angka

F. Mencari Keistimewaan dalam Angka

Cita-cita keistimewaan Yogyakarta tentunya tidak ditujukan untuk meromantisir masa lalu. Demikian pula halnya dengan konstruksi atas keistimewaan itu sendiri harus dapat ditemu- kan dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang sesungguh- nya. Karena konstruksi keistimewaan akan benar-banar dapat dirasakan masyarakat sebagai penerima dan tujuan dari keisti- mewaan, jika sesuai dengan prinsip ‘Tahta Untuk Rakyat’ maka ‘Keistimewaan (juga harus) Untuk Rakyat’. Oleh sebab itu ia harus tercermin dalam indikator-indikator riil pencapaian kehidupan rakyat yang lebih baik.

Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Yogyakarta tahun 2005 secara nasional menempati nomor 2 (dua), namun di

Keistimewan Yogyakarta DIY masih terdapat sekitar 19,14 persen jumlah penduduk

miskin atau sekitar 616.000 orang. Di antara kabupaten dan kota yang ada di DIY, persentase penduduk miskin paling banyak adalah Gunungkidul dan Kulon Progo, masing-masing 25,19 persen dan 25,11 persen. Sedangkan Kota Yogya meru- pakan daerah dengan persentase penduduk miskin terendah, 12,77 persen. Gunung Kidul merupakan daerah tandus dan infrastrukturnya sangat buruk dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini sangat menghambat investor untuk mena- namkan modalnya. Selain itu, akses masyarakat untuk berba- gai kegiatan yang bisa mendorong ekonomi juga menjadi sangat terbatas. Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), DIY menempati urutan nomor 3 (tiga). IPM terbaik di DIY adalah Kota Yogya, yakni 75,3 dengan urutan nomor 3 secara nasional. IPM terendah terdapat di Gunungkidul dengan nilai 67,1 dan menempati urutan ke-140 secara nasional.

Dari penghitungan di atas, meski dengan asumsi-asumsi dasar ekonomi pertumbuhan yang dikaitkan dengan pem- bangunan infrastruktur, kita menjumpai adanya suatu masalah di Provinsi ini, kemiskinan. Kenyataan yang juga telah ditun- jukkan pada tahun 1973 oleh David Penny dan Masri Singarimbun dalam hasil penelitiannya di Sriharjo, Imogiri, Bantul, fenomena kemiskinan dan tekanan penduduk. Penelitian inilah yang menjadikan desa Sriharjo ‘terkenal’ dan Provinsi DIY menjadi ‘simbol kemiskinan’ di Indonesia. Sejumlah pengunjung dari dalam dan luar negeri berdatangan untuk mendalami ‘strategi bertahan hidup’ (survival) dari penduduk pedesaan yang kemiskinannya parah seperti di Sriharjo ini. Penelitian itu men- catatkan Yogyakarta sebagai Provinsi termiskin ketiga (dekade 1960-an), setelah Provinsi NTT dan NTB.

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya

Tabel 14. Indikator Kemiskinan Yogyakarta 2005

Peringkat Indeks Peringkat Penduduk

Jumlah Persen

Indeks

IKM Pembangunan IPM Miskin

(IPM) Kulon

(IKM)

63 69,4 76 Progo Bantul

47 67,1 140 Kidul Sleman

28 75,3 3 Yogya Provinsi

Sumber: DIY dalam Angka, 2005 Dari tahun 1999 ke 2002 terjadi penurunan jumlah yang

cukup signifikan, yaitu dari 789,1 ribu orang menjadi 635,66 ribu orang. Setelah periode tersebut hingga 2008 terjadi fluk- tuasi. Tahun 2005 penduduk miskin sebanyak 625,8 ribu or- ang, tahun 2007 sebanyak 633,5 ribu orang, dan informasi terakhir dari Susenas Maret 2008 diperkirakan jumlah penduduk miskin adalah 616,3 ribu orang. Penduduk miskin tersebar hampir sama di daerah perkotaan (53%) dan di daerah perdesaan (47%). Jumlah penduduk miskin di daerah per- kotaan pada Maret 2008 sebesar 324, 2 ribu orang, berkurang dari keadaan Maret 2007 yang mencapai 335,3 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2008 sebesar 292,1 ribu orang, berkurang dari keadaan Maret 2007 yang jumlahnya mencapai 298,2 ribu orang. Baik di perkotaan maupun di perdesaan sama-sama berkurang, namun lebih banyak terjadi pengurangan itu di daerah perkotaan, yakni sekitar 11 ribu orang berbanding 6 ribu orang.

Penurunan jumlah penduduk miskin berkaitan dengan banyak faktor, salah satunya tercemin dalam anggaran peme-

Keistimewan Yogyakarta rintah untuk pelayanan dasar bagi publik. Berkaitan dengan

PAD, kabupaten yang ada di DIY masih sangat tergantung pada dana pemerintah pusat yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus sebesar 90 persen, kecuali untuk kota Yogya- karta (73 persen), dan Sleman (83 persen). Meskipun demikian ketergantunganya masih tergolong tinggi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kebanyakan kabupaten masih di bawah 6 persen dari keseluruhan pendapatan yang diperoleh. Nilai PAD tertinggi adalah Kota Yogyakarta (Rp 80 miliar), sedang- kan terendah adalah Gunungkidul dan Kulon Progo, masing- masing Rp 20 miliar.

Sumbangan Pendapatan Bukan Pajak (PBP) juga sangat kecil dalam komposisi pendapatan secara keseluruhan. Meskipun rata-rata PAD hanya memberi masukan sebesar 5-

17 persen dari tota pendapatan daerah, namun beberapa daerah tetap saja menjadikan pelayanan masyarakat sebagai sumber potensi PAD. Memang sesuai dengan pasal 3 UU No. 33 Tahun 2004, PAD bertujuan untuk mendanai otonomi daerah sesuai dengan potensi sebagai perwujudan desentralisasi. Tetapi apa jadinya kalau pasal ini diartikan untuk menggali sebanyak- banyaknya uang masyarakat untuk dapat melaksanakan otonomi tanpa ada batasan apakah yang digali uang masyarakat atau bukan. PAD Yogyakarta masih memperlihatkan betapa orang sakit masih menjadi primadona bagi Kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo. Sedangkan Sleman pendapatan dari sektor kesehatan menempati posisi kedua. Berbeda dengan Kota Yogya yang tidak menjadikan kesehatan sebagai sumber utama PAD. Sayangnya pada tahun ini secara bertahap, Kota Yogya menaikkan retribusi kesehatan yang sangat mungkin pada tahun depan akan meningkatkan PAD Kota.

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya

Tabel 15 Sumber-Sumber Terbesar PAD 2006

Bantul 1. Retribusi pelayanan RSUD 15,682.736.550 . 2. Pajak penerangan jalan umum

8.000.000.000 3. Ret. Jasa usaha tempat rekreasi dan

2.625.000.000 olah raga Gunung Kidul

1. Retribusi kesehatan dan RSUD 6.873.750.000 2. Retribusi jasa usaha penjualan produksi 4.280.562.500 usaha daerah (peternakan) 3. Retribusi pelayanan pasar

2.745.707.800 Kulon Progo

1. Retribusi pelayanan kesehatan 14.662.248.581 puskesmas dan RSUD

2. Bagian laba perusahaan milik daerah

2.649.846.059 3. Pajak Penerangan jalan

2.400.000.000 Sleman

1. PPJU 19.000.000.000 2. Retribusi kesehatan dan RSUD

16.391.300.000 3. Pajak hotel

12.000.000.000 Kota Yogya

1. Pajak hotel 19.700.000.000 2. PPJU

14.050.000.000 3. Pajak restoran

9.800.000.000 Sumber: IDEA, 2006

Alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar khu- sunya pendidikan dan kesehatan relatif kecil. Artinya anggaran tersebut belum mencerminkan penetapan rasio anggaran sesuai dengan UU Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBD. Tabel berikut ini menunjukan kenyataan tersebut.

Tabel 16. Rasio Belanja Pendidikan terhadap Total Belanja APBD Kabupaten/Kota Provinsi DIY tahun 2006

Wilayah Total anggaran

Belanja Rasio belanja Pendidikan

Rasio, thd.

nonkedinasan nonkedinasan (Rp)

total APBD

(Rp) thd.total APBD (%) Bantul

265.801.329.500.000 44,79% 29.764.765.000.000 5,02% Gunung

155.799.316.391.000 30,02% 22.841.672.500.000 4,40% Kidul Kulon Progo

110.520.344.355.000 23,41% 30.032.862.000.000 6,36% Sleman

308.562.732.608.000 276.517.147.788.000 Kota Yogya

Sumber: IDEA 2006

Keistimewan Yogyakarta Di bidang kesehatan yang merupakan salah satu pela-

yanan dasar bagi rakyat juga memperlihatkan kenyataan yang sama. Belanja nonkedinasan mendapat porsi yang sangat sedikit. Seperti sudah disebutkan bahwa retribusi kesehatan menjadi primadona penyumbang PAD di beberapa kabupaten.

Tabel 17. Rasio Belanja Kesehatan Terhadap Total Belanja APBD Kabupaten/Kota Provinsi DIY tahun 2006

Wilayah Total anggaran

Belanja non Rasio belanja kesehatan (Rp)

Rasio

thd.total

kedinasan (Rp) nonkedinasan

thd. APBD (%) Bantul

APBD (%)

9.791.343.400 29,34% Gunung Kidul 34.567.244.026

15.223.954.000 44% Kulon Progo 27.550.968.857

- - Kota Yogya

7.675.753.650 25% Sumber: IDEA 2006