Kerajaan dalam Kerajaan

C. Kerajaan dalam Kerajaan

Hutan Bringan–kemudian keraton–menjadi akar asal-muasal perkembangan Yogyakarta selanjutnya. Yogyakarta tumbuh dan berkembang karena pengaruh berbagai faktor. Terutama faktor mentalitas manusianya, antara lain latar belakang sejarah, keagamaan, sosok Hamengku Buwono I, dan unsur asing, seperti para prajurit VOC, orang Eropa dan Asing

lainnya. 29 Meski keadaan politik mengalami pasang-surut, usaha-usaha pembangunan tetap dilaksanakan. 30 Ini dimung-

26 Soedarisman Poerwokoesoemo, loc.cit., Selo Soemardjan, op.cit., hlm. 22-24. 27 Soedarisman Poerwokoesoemoe, ibid., hlm 4–5. 28 Abdurrachman Soerjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah

Perkembangan Sosial, (Yogyakarta: YUI, 2000). 29 Ibid, hlm. 21.

30 Mengenai situasi politik Yogyakarta hingga tahun 1870, di antaranya lihat: Vincent J. H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830–

1870, (Yogyakarta: Bentang, 1994).

Keistimewan Yogyakarta kinkan karena terdapat dua wajah pemerintahan di Yogya-

karta, pemerintah tradisional, dengan Sultan sebagai pemegang tampuk kekuasaan, dan pemerintah kolonial yang diwakili oleh Residen sebagai penyelenggara pemerintahan. Keduanya saling berhubungan dalam melaksanakan pemerintahan

Daerah Kesultanan Yogyakarta terbentuk setelah kesepa- katan dalam perjanjian Giyanti dilaksanakan. Kerajaan Mata- ram dibagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Cikal bakal wilayah Kesultanan Yogyakarta ada- lah kawasan yang bernama hutan Bringan, terletak di Padu-

kuhan Pacethokan. 31 Tahun 1756 HB I, mendirikan keratonnya, yang ditandai dengan sengkalan ’Dwi Naga Rasa Tunggal’ yang berarti tahun 1682 dalam sistem penanggalan Jawa.

Kestabilan negara baru ini tidak berlangsung lama, Tatkala Sultan HB II bertahta, kembali lagi terjadi konflik. Kali ini saling berhadapan adalah Sultan HB II dengan putra Mahkota yang kemudian menjadi HB III, sekaligus juga dengan patih Danu- rejo. Pangkal permasalahan adalah perebutan tahta, saling curiga, dan intervensi pemerintah kolonial. Ketika Sultan HB

II berkuasa, terjadi perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Perancis, kemudian kepada Inggris. Intrik-intrik dalam Kera- ton tak lepas dari pengaruh besar para penguasa rezim yang silih berganti, sehingga selalu ada kontrak-kontrak baru yang membuat kerajaan selalu harus menyesuaikan diri. Kondisi ini memicu beberapa kelompok untuk saling bersekutu dan mencari kawan terkuat untuk mendapatkan keinginannya.

Hindia Belanda beralih ke tangan Perancis, Daendels men-

31 Op.cit., hlm. 19–20.

Paku Alaman: Sebuah Pentradisian jadi wakil raja Lodewijk Napoleon memerintah tanah jajahan

ini. Sepak terjang Daendels serentak membuat raja-raja Jawa berang. Daendels mengganti beberapa struktur birokrasi, di antaranya merubah jabatan residen di Surakarta dan Yogya- karta dengan jabatan Minister. Para minister ini dilarang berhu-

bungan dengan siapa pun kecuali gubernur jenderal. 32 Sultan HB II meradang karena Daendels membuat aturan baru bahwa para minister ketika menghadiri upacara di keraton harus menggunakan payung mas dan tetap menggunakan topi. 33 Daendels nampaknya tidak memahami filosofi Jawa, ia mem- buat beberapa peraturan yang berhubungan dengan seremo- nial dan ritual tanpa memperhatikan aturan-aturan keraton. 34 Pada dasarnya di dalam keraton muncul friksi-friksi yang berusaha melawan Daendels.

Hubungan Sultan-Daendels tegang, oleh karena itu guber- nur jenderal lebih mempercayai Patih Danurejo II. Padahal baik Sultan HB II dan Adipati Anom (HB III) tidak lagi mem- percayai patih. Dalam hal ini Danurejo menjalin persekutuan dengan Van Braam (residen Minister Yogyakarta) Danurejo memanfaatkan kedekatannya dengan Daendels, ia membujuk Daendels untuk menangkap dan membuang Pangeran Notoku- sumo (anak HB?) dan Notodiningrat (anak Notokusumo). Keduanya dituduh sebagai biang keladi dari kekisruhan yang terjadi di dalam keraton. Pada tahun 1810, Daendels meme- rintahkan agar Sultan HB II menyerahkan adik dan keponakan-

32 Soedarisman Poerwokoesoemo, op.cit., hlm. 69 –75. 33 Ibid., payung mas atau songsong gilap merupakan lambang bahwa raja ada

pada posisi tertinggi, dan hanya raja yang memiliki hak menggunakannya. 34 Ibid.,

Keistimewan Yogyakarta nya. Danurejo melakukan adu domba antara Sultan HB II–

Sultan HB III–Notokusumo–pemerintah kolonial. 35 Daendels termakan oleh bujuk rayu pepatih dalem, ia menitahkan me- nurunkan Hamengku Buwono II dari posisinya. Kedudukan sebagai sultan kemudian diberikan kepada Adipati Anom yang bergelar Sultan Hamengku Buwono III pada 13 Desember 1810. 36

Belanda menyerahkan Jawa kepada Inggris pada 18 september 1811, dimulailah babak baru pemerintahan kolonial Inggris di Indonesia Momen peralihan kekuasaan ini diman- faatkan oleh Sultan Sepuh (HB II) untuk merebut kembali tahta raja Yogyakarta dari tangan puteranya. Sultan Sepuh menja- tuhkan hukuman mati kepada patih Danurejo, karena perseli- sihan antara dirinya–HB III–Notokusumo–dan Daendels dise- babkan oleh hasutan patih Danurejo II.

Ketika Belanda menyerahkan tanah jajahan Hindia Timur, Pangeran Notokusumo dan puteranya sedang menjalani hu- kuman pengasingan di Surabaya. Mereka bertemu dengan Admiral Fronseldijk, komandan tentara Inggris. Mereka berdiskusi mengenai kondisi Notokusumo dan Notodining- rat. Letnan Gubernur Raffles melalui Gubernur Jawa di utara yang berkedudukan di Semarang yaitu Gofpe menyampaikan surat kepada keduanya. Surat tersebut mengatakan bahwa Raad van Indie sepakat bahwa Pangeran Notokusumo dan puteranya adalah korban. Raffles meminta Notokusumo seba- gai juru damai atas Yogyakarta, untuk menyadarkan Sultan agar tunduk kepada pemerintah Inggris. Notokusumo harus

35 Soedarisman Poerwokoesoemo, op.cit., hlm. 64-139. 36 Ibid., hlm 71-72.

Paku Alaman: Sebuah Pentradisian menyampaikan keputusan pemerintah kolonial yang meminta

Sulan HB II menyerahkan tahta Yogyakarta kepada puteranya HB III. Sultan harus meminta maaf kepada pemerintah kolo- nial karena telah melangkahi wewenang karena telah menghu- kum mati Danurejo. 37

Pangeran Notokusumo ditemani oleh Residen Minister Crawfurd menghadap Sultan untuk menyampaikan surat Raffles. Sri Sultan mengirimkan surat balasan yang berisi ber- sedia lengser keprabon, juga meminta maaf atas peristiwa Danurejo. Namun Sultan mengajukan persyaratan, pertama memohon agar pergantian Sultan untuk sementara waktu tidak diumumkan kepada kawula. Kedua, memohon agar pangeran Notokusumo dikembalikan kepada Sultan untuk dapat ditempatkan pada kedudukannya semula. Letnan Gubernur Jenderal Raffles atas nama pemerintah memberikan pengampunan kepada Sultan karena ia berjanji menuruti se- mua yang ditentukan gubernemen. Selanjutnya oleh Sultan, Notokusumo dikembalikan pada statusnya, ia mendapat ke- naikan pelungguh setara dengan jabatan patih. 38

Sultan HB II tidak serta-merta menyerahkan tampuk kekuasaan kepada puteranya. Berdasarkan hasil penyelidikan, Sultan mengetahui bahwa Adipati Anom telah bekerja sama dengan Danurejo dan van Braam untuk menggulingkan diri- nya dari posisi Sultan dan yang menyebabkan Notokusumo diasingkan. Sultan yang marah, menahan ibunda Adipati Anom agar sang anak mengakui kesalahan dan mundur dari kedudukannya. Alih-alih menghadap Sultan, Adipati Anom

37 Ibid, hlm. 128—132. 38 Ibid.,134—151.

Keistimewan Yogyakarta justru mencari bantuan kepada seorang Tionghoa yang berna-

ma Babah Djiem Sing. Atas prakarsa Djiem Sing, Adipati Anom menuliskan surat kepada residen. Suratnya berisi permo- honan perlindungan dari ayahandanya.

Dalam perundingan dengan Crawfurd, Adipati Anom ber- janji akan bekerja sama dengan Inggris dengan membukakan jalan saat pasukan Inggris menyerbu Keraton. 39 Ia meminta diangkat menjadi Sultan, dan menyanggupi memberikan tanah kesultanan yang diinginkan pemerintah kolonial dengan syarat pemerintah memberikan hukuman buang ke luar Jawa kepada ayahnya. Terakhir, Adipati Anom berjanji akan menuruti se- mua keinginan pemerintah. Residen menasehati agar Adipati Anom tidak menyentuh Notokusumo, karena pangeran ini merupakan kesayangan Raffles. Adipati Anom menyanggupi- nya dan menawarkan status sebagai pangeran merdiko kepada Notokusumo.

Drama perebutan kekuasaan ayah-anak ini berakhir pada

20 Juni 1812, Yogyakarta telah dikuasai oleh pasukan Inggris. Adipati Anom diangkat sebagai Sultan HB III, delapan hari kemudian. Sedangkan Notokusumo dipersilahkan untuk memi- lih di mana ia akan berkedudukan sebagai pangeran yang merdeka. Pada tanggal 29 Juni 1812, bertempat di Keraton Yog- yakarta, Letnan Gubernur Raffles mengangkat Pangeran Notokusumo menjadi Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. GPA Paku Alam mendapat status istimewa sebagai anak bungsu gubernemen, maka Sultan HB III diikat perjanjian untuk tidak mengganggu Paku Alam beserta anak keturunan dan keluarga. 40

39 Ibid. 40 Ibid.

Paku Alaman: Sebuah Pentradisian Paku Alam I (PA I) menandatangani kontrak politik yang

berisi: kesetiaan PA kepada Inggris. 41 Pemerintah memberikan tunjangan kepada PA sebesar 750 real, selama PA I masih hidup. Pemerintah gubernemen akan mengusahakan agar Sul- tan HB III memberikan tanah sebesar 4.000 cacah kepada PA, dengan status turun temurun kepada keturunan PA. Gubernemen tidak akan menarik pajak-pajak baru di atas tanah milik PA. PA berjanji untuk memelihara 100 orang tentara yang tergabung dalam korps dragonders demi kepen- tingan Inggris. PA beserta kadipaten dilarang keras dengan alasan apapun mendirikan, memelihara, atau mengerahkan tentara selain korps Dragonders.

Kontrak ini menandai berakhirnya masa bergejolak di bumi Mataram. Berdirinya Kadipaten Paku Alaman mengge- napi pecahnya kerajaan Mataram menjadi 4 kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegara, dan Kadipaten Paku Alaman.