Pemberlakuan UUPA di DIY tahun 1984

G. Pemberlakuan UUPA di DIY tahun 1984

Lahirnya UUPA pada tahun 1960 merupakan hasil pergulatan panjang para pendiri bangsa, segera setelah kemerdekaan. Ia menandai upaya dekolonisasi hukum agraria. Undang-undang ini diharapkan mampu mengubah struktur penguasaan tanah yang timpang, mengubah asas-asas penguasaan tanah yang tidak memberi jaminan rakyat secara langsung akan akses terhadap tanah (adanya domein verklaring) dan disesuaikan dengan prinsip di dalam UUD 1945. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan rakyat berdasarkan keadilan. Tidak dibiarkan konsentrasi penguasaan tanah, sementara terdapat banyak tunakisma dalam masyarakat Indonesia. UUPA lahir guna mengakhiri dualisme hukum agraria, yaitu adanya peraturan dari hukum adat dan hukum barat yang ‘selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa’. 31

Mengingat ketidakjelasan pengelolaan tanah di DIY, ada- nya dualisme atau bahkan pluralisme pengelolaan tanah di dalamnya, seperti yang tercermin di dalam penerbitan tanda bukti hak (sertifikat), maka gubernur DIY, Sri Sultan Hameng-

31 Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, point I:a:b.

Keistimewan Yogyakarta ku Buwono IX berinisiatif melakukan pembenahan kewe-

nangan agraria melalui kewenangan dekonsentrasi. Keputusan Sultan untuk menawarkan kepada pemerintah pusat agar diberlakukan UUPA di DIY dianggap kontroversial. Sekembali dari Jakarta setelah menjabat di berbagai jabatan di pusat, Sultan Hamengku Buwono IX kembali menata Yogya- karta. Di Keraton Yogyakarta, ia kembali menjadi raja, menjadi kepala keluarga, dan menjadi simbol pusat magis, dan kepala pemerintahan. Mengingat bahwa Yogyakarta saat itu dengan

wilayah seluas 3.185,81 km 2 dihuni sekitar 2,75 juta jiwa yang sekitar 40 persen di antaranya hidup di bawah garis kemis- kinan, maka Sultan Hamengku Buwono IX telah memutuskan untuk lebih banyak meluangkan waktu guna menangani Yog- yakarta secara total atas persoalan-persoalan besar yang diha- dapi Yogyakarta. Salah satunya adalah pembenahan masalah pertanahan.

Perubahan yang dirasakan paling besar adalah diberlaku- kannya UU Nomor 5 Tahun 1960. Kala itu hampir semua warga Yogyakarta tercengang. Mereka tidak habis pikir dengan kewenangan mutlak Yogyakarta yang tiba-tiba dilepas oleh pemimpinnya sendiri. ‘Tapi itulah Sultan, yang lebih memen-

tingkan kepentingan nasional yang lebih luas,’ 32 Sebelum Yogyakarta tunduk pada UUPA, masalah tanah di daerah ini sering menimbulkan kerawanan, karena ada tiga macam hukum tanah: tanah yang di atasnya berlaku hukum Barat, tanah keraton, dan tanah adat, sebagaimana telah diuraikan di muka.

Bila dirunut dari tahun-tahun sebelumnya, upaya untuk

32 Ucapan Sudomo Sunaryo, Kepala Humas Pemda Provinsi DIY masa itu, dalam Tempo, ‘Sultan di Panggung Terbuka’, 23 Agustus 1988.

Akses Masyarakat Atas Tanah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di DIY sebenarnya

sudah dirintis sejak tahun 1954. Bahkan Pemda dan DPRD DIY telah mempersiapkan kemungkinan berlakunya hukum nasio- nal tentang keagrariaan. Dalam Perda No 5 Tahun 1954 ke- mungkinan itu sudah diperkirakan. Bahkan pada HUT UUPA 1960 yang ke-7, 24 September 1973 (setahun sebelum UU tentang pemerintahan daerah) Sri Sultan Hamengku Buwono

IX menyurati Mendagri yang isinya menegaskan kesediaan DIY untuk diseragamkan masalah pengaturan keagrariaannya seperti daerah-daerah lain. 33

UUPA di DIY secara resmi mulai berlaku sejak 1 April 1984, berdasarkan Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1984. Perlu diketahui pula bahwa berla- kunya UUPA di Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya pada umumnya adalah tanggal 24 September 1960, ketika pro- gram pembangunan semesta dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Di Papua misalnya, UUPA baru diberlakukan pada tanggal 26 September 1971 dan di Yogyakarta baru tahun 1984 itu. Akibat dari pemberlakuannya di Yogyakarta adalah adanya

pembagian kerja antara 34 :

- Kantor Pendaftaran Tanah Yogyakarta menangani tanah- tanah bertitel Hukum Barat yang dikenai UUPA - Dinas Agraria/Pemerintah Provinsi Yogyakarta menangani

tanah-tanah yang bertitel Hukum Adat, bersifat otonom dan istimewa

- Dibentuknya kantor-kantor pertanahan di kabupaten- kabupaten di wilayah DIY.

33 Kedaulatan Rakyat, ‘Berlaku UUPA di DIY’, 28 Mei 1984. 34 Suara Merdeka,’UUPA Berlaku Penuh di DIY’, 6 April 1984.

Keistimewan Yogyakarta Yang dilakukan selanjutnya adalah tanah bekas milik

golongan Eropa disertifikasi sementara tanah model kesul- tanan dikenai surat model D (sertifikat versi Yogyakarta), dan ada luasan tanah yang disertifikasi melalui Prona-UUPA. Jadi, dalam kenyataannya pelaksanaan UUPA tidak secara otomatis menghilangkan macam-macam status tanah di DIY, sebab masih ada tanah magersari. Ini yang disebut dengan adanya

pluralisme dalam pengaturan tanah di Yogyakarta. 35 Yang dikenai UUPA adalah tanah berhukum Barat dan tanah-tanah yang sebelumnya dikenai program Prona. Dengan demikian pemberlakuan UUPA lagi-lagi bukan untuk memperjelas status tanah (secara hukum), meski diidealkan oleh Sri Sultan demikian, namun aspek politiklah yang justru tampak nyata.

Saat itu, para ahli agraria berbeda pendapat dalam menyi- kapi pemberlakuan UUPA di DIY. Guru Besar Politik Agraria UGM, Iman Soetiknjo dan mantan Walikota Yogyakarta Mr KPH Soedarisman Poerwokoesoemo menyatakan tidak adanya masalah atas pemberlakuan itu. Hanya saja diingatkan oleh Iman Soetiknjo bahwa yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan para personil dan segala perlengkapannya, juga pentingnya pemahaman para aparat terhadap UUPA.

Sementara itu, mantan walikota Yogyakarta menegaskan bahwa bila diberlakukan UUPA maka perlu terlebih dulu mengubah UU No 3/1950 tentang pengakuan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Soedarisman berargumen bahwa

35 Baca selanjutnya, Hendro Prabowo, Pluralisme dalam Pengaturan, Pengu- asaan, dan Kepemilikan Tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis

Program Studi Hukum, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial, Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2005.

Akses Masyarakat Atas Tanah politik kontrak yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono

IX dengan pemerintah Hindia Belanda tahun 1940, dalam salah satu babnya mengatur tentang beschikking over ground. Pengaturan penguasaan atas tanah yang menurutnya masih berlaku sebab dikukuhkan dengan salah satu pasal dalam UU no 3/1950 itu. 36

Pelaksanaan pengaturan masalah pertanahan saat itu bersifat sentralistis sebab tiadanya pendelegasian kepada kabupaten dan kotamadya (kodya). Semua perubahan penga- turan berada di kepatihan (provinsi), sehingga dirasa perlunya dibentuk jawatan agraria di kabupaten dan kodya. Pengaturan pertanahan desa yang saat itu ditangani oleh lurah dinilai tidak tepat sebab tidak ada lagi parlemen desa bentukan awal perio-

de Sultan Hamengku Buwono IX, yang seharusnya menjadi pengelola bersama, sebagai bagian dari otonomi desa. Maka ketika UUPA 1960 diberlakukan di DIY, dirasa sangat perlu dibentuk kantor-kantor tanah di kabupaten.

Dari segi pembiayaan, pemberlakuan UUPA di DIY dinilai akan menjadi jaminan kesejahteraan bagi rakyat, sebagaimana yang diidealkan oleh perumus UUPA, karena disamping biaya- nya lebih ringan dalam pengurusannya, penyelesaiannya pun lebih mudah serta lebih cepat, ‘sehingga rakyat pun akan senang’. Selain itu ‘akan memberikan hasil tambahan yang sah

bagi para PPAT’. 37 Sebaliknya bagi pemerintah provinsi DIY, pelaksanaan UUPA berarti mengancam uang pemasukan yang didapat dari misalnya biaya pulasi, pecah gambar, turunwaris,

36 Kedaulatan Rakyat, “Pemberlakuan UUPA di DIY Tiada Masalah”, 21 Februari 1984.

37 R. Sunar Pribadi, op.cit. hlm. 8.

Keistimewan Yogyakarta dan biaya pengeringan yang biasanya didapatkan. Maka Peme-

rintah Pusat harus berpikir memberikan subsidi yang sesuai atas hilangnya uang pemasukan Pemerintah DIY itu. Hal ini jugalah yang sempat menjadi pertentangan dari dalam peme- rintahan daerah ketika Sultan Hamengku Buwono IX sendiri berinisiatif atas pemberlakuan itu. Tampak nyata bahwa isu pemberlakuan UUPA 1960 ini membuka mata akan tumpang tindih dan tidak siapnya lembaga pemerintah yang selama ini mengelola urusan pertanahan di DIY.

Mari kita cermati, apakah idealitas tentang UUPA di atas sebagaimana yang diimajinasikan oleh para pendiri bangsa di awal periode kemerdekaan, dan yang divisikan oleh pemimpin Yogyakarta sejalan dengan keinginan pemerintah pusat ketika memberlakukan UUPA di DIY pada tahun 1984? Agaknya, ada titik tolak yang berbeda antara pemerintah DIY (dalam hal ini Sultan) dengan pemerintah pusat dalam memandangnya. Sultan melihat bahwa inisiatif pemberlakuan itu adalah lanjutan visi dan komitmennya dalam mengintegrasikan diri ke dalam Republik Indonesia, selain tentu saja persoalan kesejahteraan rakyat yang sebenarnya telah terakomodir melalui bentuk penguasaan tanah oleh rakyatnya melalui magersari, tanah kas desa, dan bentuk hak tradisional lainnya. Mengakhiri dualisme pengelolaan tanah yang sering membingungkan di wilayahnya, adalah salah satu yang ingin ditempuh.

Sementara pemerintah pusat memandangnya sebagai kehendak untuk ‘menyentralisir’ peraturan keagrariaan ke dalam ‘hukum pertanahan nasional’, yang dalam hal ini adalah UUPA, kedalam konteks ‘kontinyuitas jalannya pemba- ngunan’. Cukup aneh sebenarnya, UUPA (di)muncul(kan) kembali setelah sebelumnya terstigmatisasi sebagai program

Akses Masyarakat Atas Tanah pemerintah Orde Lama yang diusung oleh PKI. Mengingat juga

kebijakan ini diberlakukan di tengah kondisi ketika pelaksa- naan UUPA di daerah-daerah lain tidak berjalan/dipeti-eskan. Maka di sinilah, pertanyaan tentang kondisi macam apa yang memungkinkan dan tidak memungkinkannya sebuah wacana itu muncul menemukan jawabannya; konteks Pembangunan

dan Sentralisme Pusat! 38 Mengutip ucapan Mendagri Supardjo Roestam saat itu dalam sambutan upacara pemberlakuan UUPA di DIY, 24 September 1984,

‘Dengan makin meningkatnya usaha pembangunan sejak PELITA I, maka makin meningkat pula keperluan akan tanah dengan SEGALA AKIBATNYA UNTUK BERBAGAI TUJUAN PEMBANGUNAN YANG DILAKSANAKAN OLEH PIHAK PEMERINTAH, SWASTA, MAUPUN MASYARAKAT itu sendiri, baik yang berskala regional maupun berskala nasional. (pen: huruf kapital asli dalam teks) 39

38 Ditiliknya kembali persoalan agraria oleh Orde Baru sedari awal adalah berdasarkan alasan pembangunan; bagaimana pembangunan nasional

(industri) mensyaratkan ketersediaan tanah (land to the development/er). Pembentukan Tim Interim Masalah Pertanahan yang dipimpin oleh Meneg Riset Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro pada tahun 1977 adalah dalam rangka itu. Kesimpulan dan saran tim tentang masih berlakunya UUPA 1960, perlunya penegasan tentang struktur panitia landreform, peradilan landreform dan anggaran pembiayaannya, dan perlunya peraturan-perundangan tentang land to the tiller diabaikan dan tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Lihat Sediono M.P. Tjondronegoro, ‘Strategi Implementasi Program Pembaruan Agraria Nasional’, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008 [edisi revisi]), hlm. 498.

39 Teks Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Upacara Pemberlakuan Sepe- nuhnya Undang-Undang Pokok Agraria di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, 24 September 1984, di Yogyakarta.

Keistimewan Yogyakarta Tidak aneh jika dicurigai bahwa pemberlakuan itu bias

pusat, dan penggunaan UUPA adalah dalih belaka. Sebagai- mana dinyatakan, ‘UU Agraria masuk Yogya, jawaban Sultan gampang saja, itu pokil-pokilan (politis).….ini yang menye- babkan geger, orang yang mau mendongkel itu nggak ngerti, salah satunya Pak Tardjo Rustam itu. 40

Akibat pelaksanaan UUPA di Yogyakarta saat itu, seba- gaimana kesaksian tokoh kesenian tradisional Yogyakarta, Bondan Nusantara, adalah,

‘pemberlakuan UUPA 1960 pada tahun 1984 menghasilkan Sertifikasi pada tanah sultan, dapat dibeli oleh warga mela- lui pemda. Sejak saat itu banyak Sultan Grond yang dimiliki warga secara sah dengan bukti sertifikat. Tanah yang semu- la dikuasai secara anggaduh/magersari, bisa disuwun untuk dimiliki secara sah. Caranya dengan mengajukan ke keraton bagian panitikismo dan nanti diurus oleh pemda. Ibu saya pernah membeli, di 5 rumah sebelah baratnya keraton. Rumah ini saya jual, sekarang jadi apa gerai pakaian atau apa begitu. Nah di sertifikat itu ada tanda tangan dari peme- rintah dan dari keraton’. 41

Bahkan dicurigai bahwa pelaksanaan itu mempunyai interes tertentu dari ‘keluarga Cendana’. Bondan melanjut- kan,

‘Setelah tahun 1984 itu pula, pernah terjadi tanah Sultan yang cukup luas di dalam jeron beteng dijual oleh pihak dalam keraton tanpa sepengetahuan Sultan. Beliau marah setelah tahu, marahnya dengan cara mendiamkannya saja. Sebab itu juga, Probosutedjo, adik Soeharto membeli banyak

40 Wawancara dengan R.M. Tamdaru Tjakrawerdaya, op.cit. 41 Bondan Nusantara, Wawancara,Yogyakarta, 24 Desember 2008.

Akses Masyarakat Atas Tanah tanah di sebelah keraton....., sampai-sampai Sultan bilang,

sisan wae alun-alun iku dituku. Akhirnya Probosutedjo tidak melanjutkan membeli tanah lagi’.

Dari kesaksian itu dapat kita lihat bahwa pemberlakukan UUPA di DIY pada tahun 1984 berhasil memberi akses masya- rakat terhadap tanah. Tidak ada kepastian berapa jumlah bi- dang tanah yang dibeli akibat dari pemberlakuan itu.

Bukan berarti sistem lama tidak lagi berlaku. Tanah magersari sampai saat ini dinilai sangat menguntungkan bagi masyarakat Yogyakarta. Cerita dalam boks berikut memberi gambaran tentang betapa tanah magersari yang didiami masyarakat sangat bermanfaat.

Pemberian hak atas tanah Sultan dengan konstruksi hukum pertanahan nasional selanjutnya juga dilakukan. Sebagai contoh kasus adalah terhadap tanah-tanah bekas Bong Cina pada bulan Agustus 2000 kepada masyarakat Terban. Tanah milik keraton yang dibagikan sebanyak 367 bidang

dengan luas total sekitar 2,7 hektar 42 . Bukan berarti sengketa tanah SG dan PAG tidak pernah terjadi, baik yang ada di wilayah perkotaan maupun di pede- saan. Ada beberapa kasus yang layak dikaji.