Yogyakarta dalam Kedudukannya sebagai Swapraja

E. Yogyakarta dalam Kedudukannya sebagai Swapraja

Mengenai kedudukan swapraja, Usep Ranawidjaja menje- laskan bahwa swapraja merupakan produk yang menandai naik turunnya relasi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan VOC (kemudian pemerintah Hindia Belanda). Kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk mengakui kebera- daannya masing-masing. Pada gilirannya, penguasa-penguasa dalam kerajaan-kerajaan itu ditetapkan dalam jabatannya sebagai kepala pemerintahan swapraja dan dijadikan alat ne- gara. Kedudukan swapraja didasarkan pada kontrak politik, baik yang berupa kontrak panjang (lange contract) maupun pernyataan pendek (korte verklaring). Kedua kontrak bernilai sama, yaitu suatu ketetapan pemerintah Belanda yang harus

diterima oleh swapraja yang bersangkutan. 14 Perjanjian dengan Kesultanan Yogyakarta melalui lange contract dan Kadipaten Pakualaman melalui korte verklaring.

Dengan menjadi daerah swapraja maka statuta atau sumber hukum yang berlaku di swapraja itu secara hierarkis adalah: pertama, apa yang tersurat dalam kontrak politik dengan pemerintah Belanda; kedua, hukum adat ketatanega- raan dan tertulis dari daerah swapraja itu sendiri; ketiga, dan ketentuan umum yang terdapat dalam hukum antar-negara (volkenrecht) seperti pembajakan di laut bebas dan lain-lain. 15 Dengan demikian, dilihat dari ketatanegaraan, keberadaan kontrak politik itu dan hierarki statuta yang ada, maka menjadi swapraja artinya tidaklah ‘merdeka’ sebab menjadi bagian dari

14 Usep Ranawidjaja, Swapradja, Sekarang dan di hari Kemudian, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1955), hlm. 2—3.

15 Ibid.

Akses Masyarakat Atas Tanah pemerintah Hindia Belanda. Meski demikian, kontrak politik

tertanggal 18 Maret 1940 oleh Hamengku Buwono IX dengan Gubernur Jendral Tjarda van Sterkenborgh yang menghasil- kan 59 pasal dan 16 ketentuan pokok, menghasilkan ketentuan tentang kekuasaan Sultan yang bersifat otonom dalam menga- tur tanah miliknya sendiri (tanah Kasultanan/Sultan Ground).

Alasan pemerintah Hindia Belanda mempertahankan adanya swapraja adalah, pertama, Belanda tidak cukup mempunyai uang dan tenaga untuk menjalankan pemerin- tahan secara langsung di seluruh Nusantara. Maka ia menja-

lankannya secara indirect rule, 16 melalui adanya swapraja itu. Kedua, Belanda tidak mempunyai maksud menjadi negara persemakmuran yang memberi fungsi kesejahteraan bagi warganya. Maka biarlah swapraja yang melakukannya. Ketiga, sebagaimana dianut Perancis, Inggris, dan lainnya, rakyat akan mudah dikendalikan oleh raja-rajanya sendiri. Keempat, stan- dar minimal diperlukan agar rakyat tidak melakukan perla- wanan, dilakukan dengan cara mempertahankan swapraja agar

rakyat tidak merasa dijajah oleh Belanda secara langsung. 17 Belan-

da tidak berniat mendemokratiskan susunan ‘pemerintah daerah’ yang berdasar kerajaan, bahkan mengukuhkannya. Dalam kon- teks kolonialisme tentu hal semacam ini dimungkinkan, bahkan sistem ‘tidak langsung’ dirasa lebih menguntungkan. Namun, selanjutnya tentu saja berbeda bila konteksnya telah berubah.

Melalui kontrak panjang, swapraja mempunyai kedu- dukan menurut penetapan sendiri tentang batas-batas keku- asaan antara pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintah

16 Mengenai mekanisme indirect rule ini didalami oleh J. S. Furnivall dalam Netherlands India, (Amerika: Cambridge, 1937).

17 Usep Ranawidjaja, op.cit. hlm. 4—5.

Keistimewan Yogyakarta swapraja itu. Sedangkan dalam pernyataan pendek hanya

terdapat satu pernyataan dari swapraja, bahwa ia mengakui kekuasaan Belanda di atas kekuasaan swapraja. Dengan demi- kian dapat dijumpai dua suasana hukum, yaitu suasana hukum Belanda dan suasana hukum swapraja. 18

Dengan dikeluarkannya UU 22 Tahun 1948 tentang peme- rintahan daerah, timbul kemungkinan untuk menjadikan suatu swapraja sebagai daerah istimewa. Daerah yang dijadikan daerah istimewa atas dasar itu ada empat buah, yakni DIY yang dibentuk dengan UU RI Nomor 3 Tahun 1950, dan daerah-daerah istimewa Kutai, Berau, Bulongan, yang dibentuk dengan UU darurat Nomor

3 Tahun 1953. Daerah yang tidak dijadikan istimewa tetap mempunyai kedudukan sebagai swapraja. Selain Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945, UU RI nomor

3 Tahun 1950 inilah yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai tonggak dari keistimewaan Yogyakarta. Bahkan UU ini dianggap sebagai ‘mantra sakti’ yang sering dirapalkan ketika menyebut landasan keistimewaan Yogyakarta.

Dihadapkan pada konteks asas kerakyatan, Usep Ranawi- jaya berpendapat bahwa swapraja tidak berasaskan kerak- yatan. Sesungguhnya adanya swapraja itu sebagai peninggalan sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara baru RI, sebab keberadaannya berdasar kontrak politik dengan pe- merintah sebelumnya (kolonial). 19

Pada masa Jepang keberadaan swapraja di Sumatera ditiadakan oleh Jepang. Akan tetapi di daerah Sumatera Timur dengan Proklamasi 1945 justru swapraja-swapraja itu tetap

18 ibid. hlm. 27. 19 ibid. hlm 20.

Akses Masyarakat Atas Tanah (semakin) dipertahankan. Maka tak ayal, pada tahun 1946 timbul

satu pergolakan yang lazim disebut revolusi sosial. 20 Pencu- likan dan pembunuhan kepala swapraja menjadi bukti bahwa rakyat sudah tidak menghendaki lagi rezim swapraja. Mereka hendak membuang jauh-jauh segala sifat keistimewaan, seperti keluarga yang berkuasa selama itu di daerah-daerah swapraja.

Mencoba membandingkan respon antara swapraja satu dengan lainnya pada masa revolusi penting untuk melihat bagaimana kemudian nasib swapraja itu pada masa kemerde- kaan. Di Surakarta misalnya, keberadaan Kasunanan dan Mangkunegaran yang tidak secara langsung mengintegrasikan diri serta adanya kelompok oposisi di Surakarta, juga tidak ada- nya kepemimpinan yang cukup kuat di dalam dua kerajaan tersebut, mengakibatkan runtuhnya swapraja itu. Gerakan antiswapraja tidak hanya digerakkan oleh Barisan Banteng dan Persatuan Pergerakan pimpinan Tan Malaka, akan tetapi dila- kukan juga di Klaten dan Boyolali dalam rapat-rapat guru desa. 21

Berbeda sekali dengan Surakarta, di Yogyakarta justru Sultan segera mengintegrasikan diri ke dalam republik dengan mengeluarkan Amanat 5 September 1945. Sebelum itu, Sul- tan mengadakan pembicaraan dengan Paku Alam, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh-tokoh termasuk Soedarisman Poerwo- kuoesoemo. Dari pembicaraan itu Sultan dapat menyimpulkan bahwa rakyat Yogyakarta menyambut hangat Proklamasi

20 Mengenai revolusi sosial dan akibat yang terjadi pada kerajaan di Sumatera Timur lihat Anthony Reid, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya

Kerajaan di Sumatera, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987). 21 Lihat uraian Julianto Ibrahim, Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja,

(Yogyakarta: Malioboro Press, 2008).

Keistimewan Yogyakarta Kemerdekaan RI. Dalam mengeluarkan amanat itu Sultan tidak

mengabaikan perhitungan yang cermat atas kekuatan yang ada di pihaknya, yaitu kaum intelektual, tokoh-tokoh politik, pemuda, dan rakyat yang diajak bicara sebelum Amanat 5 September diumumkan. 22

Terhadap keberlangsungan eksistensi swapraja dalam pemerintahan Republik, Usep Ranawidjaya mengajukan tiga kemungkinan dalam melihatnya 23 . Pertama, mempertahan- kan swapraja dalam kedudukannya seperti yang masih berlaku pada waktu itu (1955). Kedua, menghapus keberadaan swa- praja dan menempatkannya pada posisi daerah pada umum- nya. Ketiga, menjadikan swapraja menjadi daerah istimewa sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 22/ Tahun 1948. Ber- dasarkan inilah kemudian Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah istimewa dengan dikeluarkannya UU No 3/1950.

Dijelaskan bahwa keistimewaan dari suatu daerah bukan terletak dalam sifat dan kedudukannya sebagai daerah oto- nomi, melainkan dalam sifat pemimpinnya, yakni kepala daerah istimewa yang diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa pada zaman sebelum RI. Sesuai aturan ini, maka tidak semua daerah swapraja berpotensi menjadi daerah istimewa. Ditambah lagi dengan keinginan rakyat yang menghendaki tiadanya lagi keberadaan swapraja. Usep Rana- widjaja cenderung menyetujui yang ketiga ini. Namun ia mene- gaskan, mengutip tulisan seorang pangeran dari Paku Alaman,

22 P.J. Suwarno. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, 1942—1974: Sebuah Tinjauan Historis, (Yogyakarta: Kanisius,

1994), hlm. 170—171. 23 Usep Ranawidjaja, op.cit., hlm. 93—111.

Akses Masyarakat Atas Tanah Notosuroto, yang berjudul ‘Pro Swapraja’, bahwa dipertahan-

kannya swapraja ‘bukan karena cinta akan keasliannya, bukan pula karena hendak menjamin penghidupan keluarga yang berkuasa’, namun ‘berlakunya pandangan hidup tertentu di daerah yang bersangkutan’. 24

Dengan kata lain, dipertahankannya swapraja itu (atau bahkan dinaikkan menjadi daerah istimewa) pertama-tama bukan sebab alasan elite-nya, namun karena rakyatnya, yang memiliki pandangan hidup tersendiri pada kurun waktu tertentu. Dalam konteks keswaprajaan yang kemudian men- jadi daerah istimewa ini, pengaturan pertanahan di DIY mengi- kuti ketentuan khusus sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo Perda DIY No. 5 Tahun 1954. Secara garis besar perda ini berisi:

1 . Peryataan bahwa DIY mempunyai kekuasaan untuk mengatur hak atas tanah, berdasarkan domein verklaring tahun 1918.

2. Peraturan hak atas tanah dalam kota belum perlu diubah

3. Kelurahan dalam batas tertentu diberi kewenangan menga- tur berdasar adat

4. Perseorangan diberi hak milik perseorangan turun temu- run (erfelijke individueel bezitrecht)

5 . Kelurahan sebagai badan hukum diberi hak milik atas tanah terhadap tanah yang telah dikuasai (tanah desa)

6. Larangan untuk bangsa asing

7 . Batalnya hak milik atas tanah

8. Batalnya hak milik atas tanah dengan syarat-syarat tertentu

24 ibid., 98.

Keistimewan Yogyakarta yang diperlukan

9. Jaminan untuk pemerintah sewaktu-waktu membutuhkan tanah. Peraturan daerah tentang Hak Atas Tanah di Daerah Isti- mewa Yogyakarta di atas, dibuat sebagai aturan yang sifatnya sementara, sambil menunggu adanya hukum tanah nasional. 25 Inilah kesimpulan tentang pengaturan tanah DIY yang berda- sarkan argumen payung hukum UU No 3/1950 dan turunan- nya. Selain itu, mengikuti suatu dalil hukum yang berbunyi lex posterior derogate lex anteriori, dan lex superiori dero- gate lex inferiori selayaknya aturan hukum yang terkandung dalam Perda itu, yang merupakan turunan dari UU No 3/1950, dengan sendirinya terhapus oleh hadirnya UUPA No 5/1960. 26