Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah
D. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Maklumat No. 18 1946 menetapkan bahwa kekuasaan legis- latif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Sistem yang dianut pada periode awal adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang me- lainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden. 62
61 Ibid. 62 Lihat naskah lengkap Maklumat Yogyakarta No. 18, dalam Poerwokoesoemo, 1984, op.cit. hlm. 35-37. Penjelasan bagian ini juga diambil dari WIkipedia.
Keistimewan Yogyakarta Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Peme-
rintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing- masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada 1947 pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Tidak mengherankan karena sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dike- luarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwo- koesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogya- karta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogya- karta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi presiden karena Agresi Militer Belanda.
Pada tahun 1948, pemerintah pusat mulai mengatur pemerintah daerah dengan mengeluarkan UU No. 22. 1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang meron- tokkan Republik Indonesia, khususnya Yogyakarta sebagai Ibukota RI. Pemerintahan DIY-pun ikut vakum, tanpa aktivi- tas. HB IX dan PA VIII protes atas sikap Belanda yang melaku-
Paku Alam dan Berbagai Peranannya kan agresi dengan meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah
Istimewa. Pembagian DIY menjadi kabupaten-kota yang oto- nom diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 dan UU No. 16 Tahun 1950. Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950. Menurut undang-undang ter- sebut DIY dibagi menjadi beberapa kabupaten: Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo/Adikarto yang kemudian bergabung secara resmi pada tahun 1951, dan Kota Besar Yog- yakarta.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No. 1, 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 13—133 UUD Sementara 1950. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU No. 22, 1948). Pada masa pem- berlakuan UU ini terjadi ‘Masalah Pamong Praja’. Kejadian ini melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai ‘metamorfosis’ abdi dalem kepatihan yang sejak semula menja- di tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang diku- asai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta No.
6, 1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemu- dian dimasukkan ke dalam wilayah DIY dan kabupaten-kabu- paten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave ter- sebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU No.
Keistimewan Yogyakarta
5 Tahun 1957 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 195. Pada tangal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi peristiwa 1965, pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah provinsi (sebelumnya adalah Daerah Isti- mewa Setingkat Provinsi). Dalam UU ini pula seluruh “swa- praja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar diha- puskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh pusat. UU ini sebe- narnya mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta, namun realitasnya, status keistimewan Yogyakarta semakin lama bukan semakin jelas, justru semakin kabur akibat ketidaktegasan pemerintah pusat dalam menangani persoalan tersebut. Tampaknya pemerintah baru pasca Peristiwa 1965 sengaja mendiamkan karena sifat pakewuh dengan HB IX, dan terbukti Soeharto berniat untuk menyelesaikan status keitimewaan DIY sampai pada periode HB IX. Akan tetapi lagi-lagi, masalah itu tidak menjadi lebih jelas setelah HB IX wafat, bahkan menjadi warisan masalah hingga kini.
Munculnya UU No. 5, 1974 tentang pemerintahan daerah menempatkan Provinsi Yogyakarta sama dengan provinsi lain, akan tetapi status kepala daerah juga tanah masih menjadi masalah. UU Pokok Agraria sempat menjadi wacana di Yog- yakarta, bahkan HB IX menyutujui, namun lagi-lagi hal itu tidak bisa berjalan sesuai aturan di atas kertas. Begitu juga munculnya aturan kepala daerah harus dipilih oleh DPRD semakin mengkaburkan posisi Kepala Daerah Yogyakarta,
Paku Alam dan Berbagai Peranannya walaupun kemudian muncul aturan secara khusus, yakni
aturan peralihan yang menetapkan HB IX dan PA VIII tetap memimpin Yogyakarta.