Aksesibilitas Rakyat dan Pasar

C. Aksesibilitas Rakyat dan Pasar

Sebelum abad XX Sultan menjadi penguasa dan pemilik atas tanah di wilayah kerajaannya. Sementara rakyat yang disebut kawula ndalem berhak menempatinya dengan hak meng- garap, anggaduh secara turun temurun. Memasuki tahun 1919, dilakukan ‘Reorganisasi Tanah’ yang memberi akibat pada dihapuskannya sistem apanage, dilakukannya pemben- tukan kelurahan, pemberian hak andarbe pada rakyat, penga- turan sistem sewa tanah baik untuk pribumi maupun golongan

Eropa dan Timur Jauh, serta pengurangan kerja wajib 6 . Dengan reorganisasi itu rakyat memiliki hak atas tanah yang kuat, tidak hanya mempunyai kedudukan seperti semula yang bersifat anggaduh atau menumpang, tetapi memiliki hak penuh sebagai tanah milik (anggaduh). Selo Soemardjan menggambarkan dengan apik perubahan ini,

‘Kedudukan kaum tani di Yogyakarta dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat dalam perspektif sejarah bisa disimpulkan sebagai berikut: bahwa di masa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani hanya mempunyai kewajiban dan tak mempunyai hak, bahwa antara 1918 dengan 1951 mereka mempunyai kewa- jiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah di tahun 1915 mereka hanya mempunyai hak dan boleh dikata tidak mempunyai kewajiban’. 7

6 Nuraini Setiawati, ‘Dari Tanah Sultan menjadi Tanah Rakyat: Pola Pemilikan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Yogyakarta setelah Reorganisasi Tanah

1917’, Tesis pada Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Uni- versitas Gadjah Mada, 2000.

7 Selo Seomardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1981), hlm 177.

Keistimewan Yogyakarta Reorganisasi itu dikukuhkan dengan dikeluarkannya

Rijksblad Kesultanan Yogyakarta No. 16 Tahun 1918 dan Rijks- blad Kadipaten Paku Alam No. 18 tahun 1918. Di dalamnya diatur hal-hal sebagai berikut: 8

1 . Warga di perkotaan memiliki hak andarbe yang masing- masing memperoleh luas tanah yang relatif sama. Warga pedesaan (luar kotapraja) diberikan hak anganggo turun- temurun.

2. Kelurahan diberi hak andarbe, sebagai tanah desa yang diperuntukkan guna Kas Desa, penghasilan pamong kelu- rahan, tanah bengkok atau tanah lungguh, tanah penga- rem-arem, dan untuk kepentingann umum desa.

Reorganisasi itu melakukan pengaturan tata guna tanah. Sejak saat itu penggunaan tanah dibedakan menjadi beberapa macam: tanah untuk keraton itu sendiri, tanah yang dipakai NIS dan SS, tanah dengan hak eigendom dan opstal baik yang dipakai oleh orang Belanda maupun Tionghoa, tanah krajan atau tanah yang dipakai para pegawai keraton, tanah kesan- tenan, tanah pekarangan Bupati dan Pegawai Tinggi, tanah kebonan untuk Pepatih dalem dan kepentingan umum, dan

tanah pekarangan rakyat jelata. 9 Akan tetapi Sertifikasi tanah baru bisa dilakukan pada tahun 1926. Kesuksesan reorganisasi ini dianggap sebagai keberha- silan penetrasi politik pemerintah kolonial kedalam urusan keraton. Dengan dihapuskannya sistem apanase, pemerintah kolonial berhasil memperlemah status dan kedudukan para bangsawan. Kebijakan ini sekaligus bentuk dari defeodalisasi,

8 Eko Budi Wahyono, op.cit. hlm. 2-3. Lihat juga Nuraini Setiawati, loc.cit. 9 Lihat Nuraini Setiawati, loc.cit.

Akses Masyarakat Atas Tanah meski tidak berjalan sepenuhnya sebab untuk sebagian masih

bertahan sistem penguasaan tanah secara Adat. Komersialisasi tanah dan penggunaan tanah oleh orang Belanda baik untuk perusahaan maupun perumahan menjadi mudah dilakukan, 10 sesuatu yang tentu saja sulit jika penguasaan tanah masih mengikuti sistem sebelumnya (apanage dalam wilayah vorstenlanden).

Pada periode ini kita bisa melihat bahwa sertifikasi selain mengukuhkan hak atas tanah terhadap pemilik-pemilik indi- vidu, dapat juga berakibat pada kemudahan penggunaan tanah secara privat baik yang digunakan untuk kepentingan produksi maupun non produksi, individu ataupun perusaha- an. Bila tanah bisa diperjualbelikan, sesuatu yang tidak mung- kin dilakukan ketika masih dalam kewenangan adat, maka dengan mudah ia bertukar pemilik, dan dalam tahapan lanjut bisa terjadi konsentrasi tanah dan penyingkiran pada orang/ kelompok tertentu. Meski gambaran tentang penyingkiran terhadap rakyat tidak terjadi, reorganisasi itu memberi dasar- dasar bagi eksistensi tanah dengan status hukum barat, yang pada gilirannya 70-80 tahun kemudian, ia menjadi obyek yang bisa dikenai hukum tanah nasional, Prora, dan UUPA.