Sarkem, Keistimewaan yang ‘Dilupakan’
C. Sarkem, Keistimewaan yang ‘Dilupakan’
Dimana relevansi isu keistimewaan Yogyakarta dengan Sarkem? Barangkali dua hal ini merupakan relasi yang saling menegasikan. Namun tidak demikian jika dibaca bahwa Sar- kem, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan Yogyakarta, ditempatkan sebagai subyek yang selama ini tercecer, yang berhak ikut memberi pemaknaan tentang isu tersebut, berda-
17 Pada 15 Januari 2008 asrama mahasiswa diserang dan dibakar oleh sekelompok pemuda (http://www.indosiar.com/news/fokus/
67266_asrama-mahasiswa-dibakar-dipicu-perkelahian, 16 Januari 2008, 09:52:39 WIB). Pada Sabtu 23 November 2003 asrama mahasiswa Papua di Jl. Kusumanegara juga diserang sekelompk orang tak dikenal dengan menggunakan senjata dan bom molotov (WP News, 23 Nov, 2003, 8:33 WIB).
Keistimewan Yogyakarta sar pada peta masalah yang komunitas ini hadapi.
Ketika berbicara tentang Yogyakarta dan keistimewaanya, tulisan dan perspektif yang muncul selalu bernada istana- sentris, pariwisata-sentris, pendidikan-sentris, dan sebagai- nya. Bahkan ketika orang bicara tentang keragaman budaya, lokus yang satu ini, Sarkem, tidak pernah masuk dalam perhi- tungan. Padahal kampung ini adalah bagian integral dari struktur sosial, ekonomi, budaya, pendidikan di Yogyakarta. Kehadiranya sebenarnya adalah residu dari hadirnya keku- atan modal yang destruktif, pembangunan infrastruktur yang salah urus, mobilitas sosial yang tak diorientasikan, dan peru- bahan kebudayaan yang tak diarahkan. Lebih dari itu praktik kehidupan Sarkem muncul dalam perjalanan sejarah yang panjang sejak kota ini lahir. Jika Yogyakarta diibaratkan seper- ti tubuh, maka lokasi ini seperti kudis atau koreng yang me- nempal dan karena itu tak pantas untuk disebut. Kalau orang membaca RUUK, bisa dipastikan bayangannya tidak sampai pada ‘lokasi’ ini.
Sulit untuk memastikan—dalam tahun—sejak kapan Sarkem menjadi pusat pelacuran di Yogyakarta. Tetapi bahwa kampung itu tidak kalah terkenalnya dengan Malioboro, Tugu, dan Keraton adalah fakta yang sulit dibantah. Salah satu informasi menyebutkan bahwa pelacuran di Sarkem sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya setelah dibangunnya stasiun kereta di sebelah utara Sosrowijayan Kulon. Menurut Hull selama pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap, dan Surabaya pada tahun 1884 tidak hanya aktivitas pelacuran saja yang muncul, tetapi juga tempat penginapan dan fasilitas lainya meningkat bersamaan dengan
Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya meningkatnya aktivitas konstruksi jalan kereta api. 18
Di Yogyakarta pada tahun 1870 muncul pabrik gula di sebelah selatan dan barat kota yang dimiliki orang-orang Be- landa. Setidaknya ada 17 buah pabrik gula pada dekade tahun tersebut. Munculnya pabrik gula ini memerlukan alat angkut yang lebih efektif. Pada tanggal 2 Maret 1872 jalur kereta api dibuka oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorwegmaats- chappij). Stasiun pertama yang dibangun terletak di Lempu- yangan. Pada 12 Mei 1887 juga dibuka sebuah jalur kereta api yang disebut SS (Staats Spoorwegen) dengan stasiun di sebelah selatan Tugu. Pabrik lain yang ikut memperluas per- kembangan geografis dan persebaran demografis pada 30 November 1901 yang bergerak di bidang konstruksi bangunan dan segala bidang teknis serta usaha dagang yang berbentuk jual beli barang-barang dari logam. 19
Berkaitan dengan aktivitas di Sarkem, pada tahun 1924 telah dikeluarkan rijksblaad nomor 19 dalam artikel 1 dan 2 menyebutkan larangan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan pelacuran. Ini berarti kegiatan pelacuran sudah ada di Yogyakarta jauh sebelum dikeluarkanya peraturan tersebut. Peraturan serupa juga dikeluarkan pada waktu-waktu berikutnya yang intinya melarang
kegiatan pelacuran di tempat umum. 20 Yang terakhir adalah
18 Mudjiono, Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.26.
19 Pabrik konstruksi itu adalah NV. Constructie Atelier de Vorstenlanden (CAV) yang menyerap tenaga kerja sebanyak 450 orang tukang sedangkan pada
tahun 1944 mampu mempekerjakan 23.000 orang. Lihat Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, op.cit., hlm.22
20 Sebagai contoh Perda nomor 15/1954 tanggal 2 Nopember 1954 tentang penutupan rumah-rumah pelacuran. Dua hari kemudian keluar Perda No.
Keistimewan Yogyakarta peraturan tentang resosialisasi wanita tuna susila, anak jalanan,
dan gelandangan. Tetapi seberapa efektif semua peraturan itu dijalankan sampai sekarang sulit diukur keberhasilannya.
Seperti halnya kaum gelandangan dan orang-orang grassroot lainya, mereka yang terlibat di dunia pelacuran dan aktivitas pelacuran itu adalah residu dari perkembangan kota, minimnya kesempatan kerja, pembangunan ekonomi yang tidak merata, dan ketidakmampuan pemerintah menata kehidupan masyarakat. Sebagian besar perempuan yang terli- bat di Sarkem didorong oleh persoalan ekonomi (sekitar 70.5%) pada tahun 1997. Masuknya modal, pembangunan yang terpusat, dan persoalan hidup yang makin sulit di desa- desa penyangga kota Yogyakarta berpengaruh besar terhadap meningkatnya praktek pelacuran. Pergeseran nilai, melemah- nya kolektivitas, menguatnya individualitas, menciptakan
strategi hidup tertentu dari kelompok marjinal ini. 21 Mereka tidak memiliki modal, kecakapan, tingkat pendidikan yang memadai, digerus oleh perkembangan kota yang kejam di mana prinsip pengaturan dan syarat survival bagi seseorang dilan-
18 tahun 1954 tentang pelarangan “Pelatjuran di Tempat-tempat Umum”. Tanggal 2 Juni 1956 dikeluarkan Perda No. 7/1956 tentang perubahan Perda No. 18/1954 tentang larangan “Pelatjuran di Tempat Umum”. Sedangkan peraturan tentang resosialisasi wanita tuna susila dikeluarkan SK kepala daerah No. 166/K.D./1974 tertanggal 20 Nopemeber 1974. Lihat Mudjiono, op.cit., hlm.27—31.
21 Sejak prinsip-prinsip ekonomi menguasai kehidupan ekonomi masyarakat Jawa, sebenarnya telah terjadi pola-pola pertukaran sosial baru yang
memunculkan kode moral tertentu dalam tingkah laku anggota masya- rakatnya. Pertukaran sosial itu terjadi karena eksistensi diri terlepas dari pertukaran sosial itu dimana moralitas baru ini mempengaruhi hubungan pribadi baik dalam kerangka ekonomi, sosial, politik, ataupun budaya. Lihat Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, op.cit., hlm.40-45
Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya daskan pada hukum ekonomi telah membuat strategi hidup
yang waton urip. 22 Pandangan hidup yang rela melakukan apa saja asal tetap bisa hidup akan mengesampingkan dan meng- geser nilai-nilai luhur yang didengung-dengungkan oleh otoritas kekuasaan politik dan budaya. Mereka menganggap bahwa menyelamatkan hidup lebih penting dari pada soal sta- tus keistimewaan. Karena itu, apapun statusnya jika tidak menyentuh persoalan mendasar kehidupan manusia tidak akan memiliki subtansi apa-apa. Kecuali hanya ambisi politik untuk mengamankan kepentingan pribadi.
Jika ditelusuri lebih jauh, sejarah kehidupan seks di Yog- yakarta memperlihatkan bagaimana daerah ini tidak berbeda jauh dengan kota-kota besar lainya seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, dan Makassar. Fenomena seks menunjukan banyak hal tentang pergeseran nilai etika pergaulan, pertum- buhan ekonomi yang timpang, frame of reference norma sosial agama yang melemah, dan peran pemerintah daerah. Bebe- rapa penelitian menunjukan berkembangnya mode pergaulan di kalangan anak muda yang semakin permisif di Yogyakarta. Pada awal tahun ’80-an, Yogyakarta pernah digegerkan oleh sebuah hasil penelitian dari sekelompok mahasiswa UGM yang mengungkap fenomena kumpul kebo di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Temuan tersebut, pada satu sisi mengungkap
22 Bakdi Sumanto dalam “Pengantar”, Ririt Yuniar, The Politic of Opening Cer- emony, Tukang Becak dan Cermin Kehidupan, menyebutkan “Waton Urip”
bisa berarti asal bisa hidup dengan melakukan apa saja. Tindakan ini bisa masuk dalam kategori ngawur atau tidak peduli pada apapun. Tetapi juga bisa berarti pasrah, sesulit apapun hidup ini ya dijalani saja, bahkan dengan sebaik mungkin. Bagi tukang becak misalnya, mBecak itu bukan sekedar wa- ton urip betapapun karena terpaksa, mBecak harus diterima dengan mantap dan kesungguhan, (Yogyakarta: Kayoman, 2008), hlm. 35-38
Keistimewan Yogyakarta satu masalah sosial yang ada di Yogyakarta. Di sisi lain, temuan
juga mengungkap relasi sosial antara warga Yogyakarta dengan para pendatang telah menjadi renggang. 23 Terlepas dari persoalan metodologinya, penelitian Iip Wijayanto ten- tang tingkat virginitas mahasiswi Yogyakarta juga mengung- kapkan masalah sosial yang ada. Kenyataan ini didukung oleh data tingkat aborsi yang kian meningkat. 24
Di Yogyakarta kini—seperti juga di kota lain—pasar telah menjadi kekuatan terutama melalui proses integrasi, indivi- dualisasi, dan pengutamaan prinsip-prinsip pengaturan eko- nomi dalam pertukaran sosial. Ekspansi pasar kemudian mengubah suatu proses transaksi di mana setiap orang meng- hitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial dan praktik
dimana ia terlibat. 25 Bukan berarti bahwa keguyuban, kepe- katan sosial, dan kolektivitas hilang tetapi semakin mengecil. Proses ini akan melahirkan residu-residu sosial lain yang akan terus bermunculan seperti Sarkem dan sebagainya. Prinsip ekonomi yang merasuk ke dalam masyarakat mengubah relasi
23 G. Budi Subanar, Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2008), hlm. 28
24 Diperkirakan, dalam satu bulan di Yogyakarta rata-rata terjadi 100 kasus pengguguran kandungan (aborsi), dengan usia pelaku berkisar antara 15-
35 tahun. Angka ini berdasarkan survei yang dilakukan PKBI Yogyakarta dan PKB, Jakarta selama bulan Juni-Desember 2002. Khusus untuk Yogyakarta, dalam survei lapangan selama tiga bulan itu ditemukan sekitar 300 kasus aborsi atau rata-rata 100 kasus pengguguran kandungan per bulannya. Kom- pas, Jum’at 10 Oktober 2003. Bahkan kini, di Yogyakarta telah ada lembaga swadaya yang mendampingi mereka pascaaborsi. Perlu dilakukan peneli- tian mendalam tentang apa yang menyebabkan mereka melakukan aborsi. Meski juga sangat mungkin, mengkaitkan praktik aborsi dengan fenomena kumpul kebo terlalu menyederhanakan masalah. Ada beberapa faktor lain yang tentunya perlu dilihat.
25 Irwan Abdullah, op.cit., hlm. 111—112.
Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya sosial antara masyarakat dengan kelompok-pendatang. Pada
masa-masa antara tahun 1950-1980 hubungan antara maha- siswa dan masyarakat benar-benar hubungan batin, bukan
ekonomis seperti yang sekarang terjadi. 26 Kini semakin banyak orang yang meraskan mahalnya biaya hidup di Yogyakarta. Perebutan ruang-ruang ekonomi semakin marak bahkan mela- hirkan konflik antar kampung yang dilandaskan pada identitas kelompok atas ruang tertentu.