Yogyakarta, Negeri dalam Kontrak

5. Yogyakarta, Negeri dalam Kontrak

Posisi Yogyakarta sebagai sebuah wilayah ‘merdeka’ 18 mena- rik untuk dicermati. Sebagaimana umumnya sebuah proses kelahiran, kelahiran Yogyakarta tidak lepas dari ‘bidan’ yang membantu kelahirannya. Artinya, Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan baru (1755) tidak hadir dengan dirinya sendiri melainkan melibatkan sesuatu ‘yang lain’. Dalam catatan sejarah, sesuatu yang lain itu adalah VOC. Dalam History of Java, Raffles menyebutkan ‘pada tahun 1755 Masehi, Mang- kubumi dengan khidmat diproklamirkan oleh Gubernur Belanda, dengan gelar Sultan Amangkubuwana Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sahedin Panatagama Kulifatul-

lah’ 19 . Peristiwa ini terjadi setelah perjanjian Gianti ditanda-

18 Beberapa kali wawancara dengan Paku Alam IX, ia selalu menegaskan bahwa ”Yogyakarta ini wilayah merdiko”. Wawancara tanggal 13 Oktober

2008 dan 8 Januari 2009. 19 Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Yogyakarta: Narasi, 2008)

hlm. 581

Pendahuluan tangani antara Mangkubumi, Susunan, dan Gubernur Pantai

Timur Laut Jawa. Pertempuran dan perang-perang beruntun terus berlangsung sebelum dan sesudah penobatan itu dilang-

sungkan. 20 Tahun 1755 inilah yang dianggap sebagai tahun ber- dirinya Yogyakarta, diperingati hingga detik ini, tahun demi tahun.

Sejak saat itu, seperti halnya nasib kerajaan-kerajaan lainya, Yogyakarta berada di bawah kontrak politik yang seca- ra terus menerus diperbaharui oleh pemerintah Hindia Belanda setiap kali terjadi suksesi kepemimpinan. Kuatnya kontrol kolonial di daerah ini menunjukkan bahwa kemerde- kaannya tidak pernah tuntas melainkan terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial.

Dalam pandangan yang demikian, terkadang orang buru- buru beranggapan jika memang pada saat itu pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan memiliki kekuatan lebih besar mengapa kerajaan Yogyakarta tidak ditaklukan dengan senjata dan kekuatan militer. Cara melihat ini menyimpulkan bahwa pembiaran oleh kolonial ini menunjukkan satu indikasi bahwa kesultanan masih dianggap memiliki kedaulatan. Namun apabila melihat materi kontrak politik yang dilakukan oleh kedua belah pihak nyata menunjukan dominasi salah satu pihak yaitu pemerintah kolonial. 21

Di samping itu, pembentukan daerah swapraja yaitu daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dinilai lebih

20 Ibid., hlm. 580-582 21 Lihat Soedarisman Poerwokoesoemo, Kasultanan Yogyakarta, Suatu

Tinjauan Tentang Kontrak Politik (1877-1940), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985) hlm. 105-117

Keistimewan Yogyakarta menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Hal ini terutama

berkaitan dengan pembiayaan pemerintahan yang ditanggung lebih ringan daripada jika suatu daerah diperintah secara lang-

sung. 22 Kontrak politik juga memberi keuntungan ekonomi dengan tetap adanya jaminan terhadap aset-aset ekonomi yang ada di wilayah tersebut.

Istilah ‘kontrak’ memang mengindikasikan adanya kese- taraan dan pengakuan pihak-pihak yang terlibat sebagai entitas otonom. Politik penguasaan melalui mekanisme kontrak bagi kolonial dirasa lebih murah dan mampu bertahan dalam jangka panjang. Namun klausul-klausul dalam kontrak tersebut justru mengatur aspek-aspek penting yang seharusnya menjadi dasar kekuasaan kesultanan. Sehingga kesultanan diisolasi ke dalam ruang wewenang yang sempit. “Kesultanan adalah bagian dari Gubernemen yang dengan sendirinya menjadi subordinat pe- merintah kolonial dan Kerajaan Belanda. Gubernemen mewa- kili kepentingan umum sedangkan sultan mengurusi kepen- tinga khusus yaitu kepentingan Kesultanan khususnya”. 23 Aspek-aspek penting itu di antaranya; pengangkatan dan penunjukan sultan baru, pembagian wilayah, penghasilan raja, jumlah pangeran, harta benda kesultanan, jumlah pasukan,

dan hukum tanah. 24 Semua aturan tersebut dikontrol oleh pe- merintah kolonial. Dengan menggunakan perspektif ini, dalam situasi yang berbeda kontrak itu terus diperbaharui. Berakhirnya pemerin- tahan kolonial di Yogyakarta menandai babak baru dalam seja-

22 Ibid., hlm.6 23 Ibid., hlm.24-25

24 Ibid., hlm.105-117

Pendahuluan rah kontrak politik tersebut. Perspektif umum yang muncul

dalam melihat maklumat penggabungan diri memunculkan citra-citra positif tentang sikap-sikap altruistik tertentu. Situasi kebersamaan dalam perjuangan dan kepentingan bersama untuk mengukuhkan sebuah episode negara bangsa baru me- mungkinkan dan—dalam batas tertentu—mengharuskan semua orang melihat maklumat itu dalam kerangka peneguhan republik. Tetapi maklumat tersebut sebenarnya menandakan dibuatnya kontrak baru dalam momen dan situasi yang baru pula.

Status ‘keistimewaan’ dalam maklumat 5 September 1945 mengandung dua makna; pertama, menghapus segala bentuk pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam kontrak poli- tik dengan pemerintah kolonial sekaligus menandai momen penting keterlepasan Kesultanan dari belenggu aturan kolo- nial, kedua, pengakuan kekuasan entitas politik baru yang memberi rasa nyaman khusus karena terikat dalam suatu iden- titas bersama yang meyakinkan; Republik Indonesia. Pergan- tian situasi politik nasional dari dua Orde Baru ke Reformasi memunculkan upaya untuk memperbarui kontrak politik sebelumnya. Dari gambaran di atas, adagium ‘sejarah akan terulang, hanya aktornya yang berganti’, seolah menemukan konteksnya.