Menagih Misi Kesejarahan Paku Alam

C. Menagih Misi Kesejarahan Paku Alam

Kadipaten Paku Alaman yang muncul pada abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah dan kekuasaan “terkecil” di Jawa, karena ia hadir bukan karena keinginan untuk membangun kekuasaan secara luas, tapi ia hanya bagian dari strategi penjajah dalam mengatur domain-domain politik- ekonomi. Situasi yang muncul dalam kasultanan direspon dengan jawaban-jawaban praktis dengan pilihan mendirikan kerajaan baru. Raja-raja yang berkuasa pada prinsipnya tidak mampu membangun sesuatu yang bersifat esensial bagi war- ganya, bahkan periode tertentu keluarga Paku Alaman luput dari perhatian akibat berbagai persoalan dan minimnya sum- ber ekonomi kerajaan. Bahkan banyak keluarga Paku Alaman menggantungkan kehidupannya pada raja, namun kemam- puan ke arah itu tidak selalu ada, tak heran banyak keluarga

Penutup dalem yang lebih memilih di luar benteng untuk menentukan

pilihan-pilihan. Pada periode kolonial masing-masing raja telah memain- kan perannya sesuai dengan zamannya, berjuang pada konteks kemampuan kerajaan yang berdiri di atas keangkuhan keku- asaan kolonial. Akan tetapi perubahan situasi ikut merubah banyak hal, termasuk periode akhir menjelang keruntuhan kekuasaan kolonial di Indonesia. Masuknya Jepang ke Indo- nesia yang hanya beberapa tahun telah merubah banyak hal, termasuk mulai beraninya kadipaten Paku Alaman menen- tukan sikap dalam membela republik. Apa yang dilakukan Paku Alaman tentu dipengaruhi oleh karakter sang raja, dan pendi- dikan PA VIII yang modern ikut menentukan pilihan-pilihan politiknya. Maka tak heran HB IX bersama PA VIII membaca situasi tahun-tahun akhir menjelang keruntuhan penjajah dengan cepat dan cerdas, yakni menempatkan rakyat pada posisi penting dalam menentukan perubahan. Misalnya tidak mengizinkan Jepang menggunakan tenaga rakyat Yogyakarta dalam proyek romusha, namun dikerahkan untuk membangun Selokan Mataram. Pada posisi ini, sikap sang raja bukan saja cerdas tapi meneguhkan prinsip perlawanan atas penindasan. Agaknya prinsip itu pula yang kemudian dijadikan pijakan oleh PA VIII untuk membangun Yogyakarta, khususnya saat HB

IX tidak banyak terlibat dalam pembangunan Yogyakarta. Langkah menarik lain tentu penting dilihat secara obyek- tif, khususnya usaha pemerintah daerah untuk membangun sistem pemerintahan secara demokratis. PA VIII bersama Dewan Pemerintahan Daerah berusaha membangun pemerin- tahan Yogyakarta secara elegan dengan mendistribusikan ke- kuasaan lewat cara-cara yang fair, yakni membangun lembaga

Keistimewan Yogyakarta dewan lewat partisipasi publik. Sekalipun jalan yang diambil

adalah pemilihan umum dan merupakan hal yang baru. Di bawah PA VIII proyek idealis itu dijalankan, menariknya, sekalipun dengan cara-cara yang sangat parsial, pemilu dapat menghasilkan lembaga dewan yang lebih representatif. Pada masanya hal itu jauh lebih baik dibanding sistem penunjukan yang banyak menimbulkan masalah.

Banyak orang mengira apa yang dilakukan Yogyakarta dalam membangun sistem pemerintahan sangat unik, seti- daknya, Yogyakarta sangat kental nuansa kerajaan dengan bumbu-bumbu yang masih feodal. Namun dua rajanya kemu- dian mencoba memecah kejumudan itu dengan mengizinkan wilayah kekuasaannya diselenggarakan pemilihan umum untuk membangun sistem pemerintahan yang demokratis. Pemikiran dua raja Yogyakarta itu menyiratkan dari keinginan mereka dilihat sebagai raja yang modern dengan mengap- likasikan ide-ide Barat sebagaimana ia dididik, tetapi sekaligus juga ingin menyelamatkan keraton agar tetap berwibawa dengan tidak mengizinkan kursinya disentuh pihak lain.

Artinya, pendistribusian kekuasaan dengan cara-cara pemilu dianggap demokratis sekaligus memberikan kesan bahwa rakyat akan mudah memahami bahwa kekuasaan raja tetap mutlak di tangannya sekaligus sebagai pemimpin kepala daerah. Inilah kecerdikan HB IX dan PA VIII dalam memain- kan kartu politik secara santun sekaligus politik pencitraan yang kuat tanpa kehilangan sedikitpun pamor dan kekuasa- annya.

Pembacaan lebih luas atas pengalaman Yogyakarta dalam membangun sistem pemerintahan secara demokratis menjadi tolok ukur untuk melihat Yogyakarta dan demokra-

Penutup tisasi. Benar bahwa PA VIII dan HB IX telah melakukan banyak

hal untuk membangun sistem pemerintahannya yang demok- ratis, dan benar pula bahwa Sultan HB IX telah memelopori dan memberikan contoh bagi Indonesia bagaimana berde- mokrasi secara bijak dan arif. Benar pula kemudian Yogyakarta disebut istimewa karena beberapa alasan, salah satunya hal- hal di atas. Namun dua raja ini sebenarnya tidak pernah membiarkan kursi kekuasaan pemerintahan daerah disentuh oleh pihak manapun. Artinya, sekalipun ide pemilu pada tahun 1951—1957 adalah upaya terbaik dalam membentuk sistem pemerintahan, namun dengan menggenggam kursi kekuasaan Dewan Pemerintahan Daerah Yogyakarta di tangannya dengan ‘alasan undang-undang keistimewaan Yogyakarta’, menem- patkan kerancuan cara berfikir dan sistem demokrasi yang sedang dibangun. Hal itu pula yang menjadikan Yogyakarta selalu bermasalah dan tidak pernah selesai dalam menentukan pilihan politiknya, karena keistimewaan dijadikan beban sejarah.

Berbagai eksperimentasi yang dilakukan oleh orang- orang terbaik di Paku Alaman dan oleh Paku Alam sendiri dalam mengemban tugas kepemimpinan, terutama berdemo- krasi di alam kemerdekaan, memberi inspirasi bagi kelanjutan misi kesejarahannya.