Kecenderungan Politik Me-Lokal

4. Kecenderungan Politik Me-Lokal

Imajinasi kebangsaan yang belum terekat dengan kuat ini menimbulkan kegelisahan-kegelisahan pada diri entitas- entitas politik yang tergabung di dalamnya. Komunalisme lokal yang masih bercokol kuat pada kelompok-kelompok so- sial tertentu maupun pada batasan komunitas dalam wilayah teritori tertentu bertemu dengan ide kemandirian ‘indvidu’ dalam kerangka kontrak sosial, hingga saat ini menjadi bara yang siap membakar ikatan nasionalisme yang dibayangkan dalam konsep negara integralistik. Batu bata penyusun iden- titas ke-Indonesia-an itu masih rapuh dan setiap saat bisa merenggang. Sejarah, bahasa keseharian, ruang aktualisasi, interaksi budaya, tempat kelahiran, ikatan darah menjadi unsur pembentuk paling kuat atas identifikasi individu dalam konteks kedaerahan masing-masing.

Anatomi konflik sosial meskipun agak jauh jika dibaca

Pendahuluan dari longgarnya ikatan ke-Indonesia-an tetapi senantiasa

menjadi indikasi menguatnya kelokalan di tengah kegamangan mencari bentuk dan proses perajutan identitas yang belum selesai itu. Krisis ekonomi dan politik dalam rentang sejarah bangsa ini seringkali menjadi pemicu bagi entitas politik tertentu untuk kembali merekatkan identitas kedaerahanya.

Diskursus tentang kearifan lokal yang marak sepuluh tahun terakhir ini disadari atau tidak ikut memberi andil pada menguatnya kelokalan. Wacana yang menguat di penghujung kekuasaan otoriter Orde Baru itu menjadi alternatif atas pengaturan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat terpusat pada tiga dasawarsa sebelumnya.

Frustasi sosial ekonomi masyarakat, berkembangnya politisi pemburu rente, situasi global yang timpang dan hege- monik, rezim elektoral yang lemah, adalah sederet penyubur

mewabahnya gerakan me-lokal. 16 Lokalitas yang digerus roda negara otoriter-sentralistis (bukan selalu oleh globalisasi) memperoleh ruang lebar untuk menentukan dirinya sendiri. Penghargaan pada lokalitas dan identitasnya menjadi kecen- derungan umum baik bagi kalangan aktivis, intelektual, akademisi, dan pengambil kebijakan.

Momen ini menjadi kesempatan bagi daerah untuk mem- buat garis batas yang lebih tegas daripada di masa Orde Baru antara dirinya dengan entitas politik di luarnya (pusat). Banyak aspek yang dijadikan sebagai landasan untuk mengajukan diri sebagai entitas politik yang harus mandiri/dihargai; pemba-

16 Somantri, Gumilar Rusliwa, “Membaca Sen Membaca Realitas Kita” dalam Sen, Amartya Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Serpong: Marjin Kiri,

2007), hlm. ix.

Keistimewan Yogyakarta gian pendapatan, sumber daya alam, dan sejarah. Ketiga hal

ini sering menjadi alasan untuk meneguhkan diri. Politik keda- erahan ini menandai fase arus balik baru ketika politik sentra- lisme telah runtuh.

Imagined Community seperti dibayangkan Ben Ander- son mengenai sebuah bangsa yang diikat dalam bayangan bersama justru menguat pada batasan lokalitas. 17 Komunitas- komunitas terbayang itu merebak ke beberapa komuniti yang merasa memiliki sumber-sumber nilai spesifik yang berbeda dengan komunitas lain. Mereka sebagai komunitas tertentu atau dalam batas-batas etnik, suku, teritori, merasa memiliki budaya bersama yang di dalamnya terbayang asal-usul, ritual, sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, perjalanan historis sebagai sebuah komuniti yang karena itu mengharuskan untuk diperlakukan secara spesifik.

Pembayangan itu mendorong suatu perjuangan penga- kuan atas perbedaan dan keunikan itu. Demikianlah yang dapat kita saksikan di sejumlah masyarakat di daerah: isu pemekaran daerah, perjuangan hak adat dan ulayat sebagian komunitas lokal, dan aspirasi-aspirasi lain di tengah keanekaragaman bu- daya yang terus berkembang adalah beberapa contoh. Tentang tuntutan pemekaran daerah misalnya, meskipun tuntutan ini dilatari oleh alasan efisiensi (penyederhanaan wilayah) dan kepentingan elite politik tertentu, namun tidak sedikit di antara tuntutan itu didorong oleh pembayangan sebuah identitas oleh daerah tertentu yang merasa tidak berasal dari satu kultur dengan daerah induknya. Maka, isu keistimewaan Yogyakarta

17 Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Insist-Pustaka Pelajar, 2001).

Pendahuluan dapat dibaca dalam kerangka pengakuan atas keunikan sejarah,

sistem pemerintahan, tata ruang, ritual, karakter masyarakat, dalam konteks menguatnya kelokalan tersebut.

Kita tengah menyaksikan revitalisasi budaya tempatan dengan tingkat artikulasi yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Makna self determination tidak saja terdengar karena sejarah lokalitas dari teritorial tertentu yang terkubur oleh represi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), akan tetapi di tengah payung NKRI itu sendiri, self determination terus ditabuh meski dengan irama baru.

Persoalan ini menarik untuk dicermati, karena dengan meninjau ketegangan antara suara daerah vis a vis pusat ini, bangsa Indonesia seperti mereproduksi kembali kisruh politik di masa lalu ketika para eksponen Negara Kesatuan RI mesti berhadapan dengan rivalnya di daerah. Meskipun pada waktu itu diskusi yang berlangsung menyangkut perebutan ruang otoritas antara pusat vis a vis daerah, namun seluruh muatan diskusi baik di masa lalu dan sekarang sama-sama bermuara ke perdebatan dalam menentukan bentuk kedaulatan.

Di sini, konflik dan kompetisi kedua belah pihak bermuara ke perbedaan tafsir dalam membayangkan relasi paling ideal antara pusat vis a vis daerah. Sekarang, ketika diskusi tentang negara federasi ditutup, daerah tidak kalah cerdiknya dalam membangun kuasa baru di tengah bayang-bayang NKRI. De- mokratisasi membuka peluang daerah untuk bersuara, mes- kipun tidak mudah mewujudkan suara itu menjadi realita.

Yogyakarta tentu saja tidak sendirian dalam hal ini, banyak daerah lain yang meskipun artikulasinya berbeda na- mun semangatnya sama. Kenyataan ini tidak dapat dipahami sebagai sebentuk sikap iri atau tak mau kalah dengan daerah

Keistimewan Yogyakarta lain. RUUK tentu saja tidak muncul karena daerah-daerah lain

melakukan tuntutan pengakuan atas keunikannya, di sisi lain daerah-daerah tersebut mengajukan tuntutan itu juga tidak diinspirasi oleh Yogyakarta. Tetapi fenomena ini perlu dibaca dalam konteks kebangsaan yang lebih luas. Dalam konteks itu, tidak ada satu daerah pun melalui gerakan pengajuan tun- tutannya yang mau dianggap sebagai sebentuk gerakan mengurangi ikatan kebangsaan dan kesatuan NKRI. Pertanya- an yang perlu diajukan adalah bagaimana ujung dari kecen- derungan gerakan me-lokal ini akan berakhir?