Segregasi Sosial ke Arah Multikultural

B. Segregasi Sosial ke Arah Multikultural

Segregasi sosial seturut hirarki sosial muncul sebagai

10 Irwan Abdullah, op.cit., hlm. 58—60.

Keistimewan Yogyakarta karakteristik kota atau wilayah kolonial. Di Yogyakarta hu-

bungan antara ruang dan identitas terlihat dalam pola pemu- kimanya. Segregasi sosial merupakan salah satu karakteristik kota kolonial. Menurut A. Yeoh, kota kolonial dicirikan oleh pertama adalah adanya masyarakat yang sangat beragam atau disebut sebagai masyarakat plural. Kedua, dalam kebera- gaman itu di dalamnya menyimpan hirarki sosial dimana rakyat atau kawula berada pada tingkat paling bawah. Ketiga, masyarakat kota kolonial selalu ditandai oleh pemerintahan rasial dimana kulit putih memegang kontrol yang besar terha-

dap kelompok lain. 11 Selain profesi, pola pemukiman masya- rakat Yogyakarta abad ke-18-19 dikelompokan sesuai identitas dan status sosial. Hal itu tampak pada nama-nama perkam- pungan yang memperlihatkan ciri sebagai kampung etnis, seperti Pecinan, Meduran, Sayidan, Bugisan. Kelompok sosial tersebut berhubungan dengan lokasi-lokasi kelembagaan so- sial yang menjadi tempat aktivitas khusus yang diperuntukan bagi mereka seperti pasar, pabrik, dan pemerintahan.

Sebagaimana umumnya kota warisan kolonial, segregasi sosial terlihat jelas dari pola-pola pemukiman di Yogyakarta. Kota kolonial memiliki ciri khusus yang hampir sama yang memperlihatkan wajah ganda. Pusat kota merupakan wilayah pemukiman elite pemerintahan dan pusat perdagangan yang dihuni oleh golongan Eropa, Cina, dan Timur Asing lainya

seperti Arab dan India. 12 Di Yogyakarta bagian utara keraton

11 Diaz Pradadimara, “Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar”, dalam Freek Colombijn, dkk., op.cit., hlm. 252.

12 Usman Pelly, “Segregasi Permukiman di Perkotaan dan Sebuah Alternatif”, dalam Harsya W. Bactiar,dkk. Masyarakat dan Kebudayaan, (Jakarta:

Djambatan, 1988) hlm. 422.

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya adalah wilayah yang paling padat penduduknya. Di sekitar

timur benteng Kompeni tumbuh pemukiman orang-orang Ero- pa, sedangkan di sekitar pasar (Beringharjo) tumbuh pemu- kiman orang-orang Cina. Mereka kemudian meluaskan pemu- kimanya ke timur Sungai Code, kampung itu sekarang disebut dengan Bintaran. Awal abad 20 orang-orang Eropa membuka daerah pemukiman baru di bagian utara kota di kampung yang kini disebut Kota Baru. Sedangkan orang-orang Cina yang semula bermukim di sekitar Pasar Beringharjo melebar ke Kampung Beskalan dan Ketandan. Hadirnya sistem produksi baru dan dorongan alamiah profesi khusus mereka sebagai pedagang, pemungut cukai, dan pemilik rumah candu mem- buat golongan ini menyebar ke tempat-tempat lain seturut dengan pembukaan jalur transportasi baru. Timur Asing Arab mendiami kampung yang disebut Sayidan. 13

Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemu- kiman elite politis dan bisnis ini adalah permukiman bumi- putera. Pemukiman bumiputera selain mengelilingi kawasan pemerintahan kolonial juga mengelilingi kekuasaan feodal. Pada masa setelah kemerdekaan permukiman elite kolonial ini telah berganti penghuni; dari birokrat kolonial ke birokrat nasional. Sedangkan kawasan pusat perdagangan berubah wajah fisiknya. Pusat perdagangan di Yogyakarta kini dijejali oleh pusat-pusat perbelanjaan serta perluasan zona perda- gangan ke wilayah lain. Orang-orang yang memegang peranan penting di pusat-pusat perdagangan itu meskipun kini berva-

13 Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogya- karta, Mobilitas Sosial D.I. Yogyakarta Periode Awal Abad 20-an, (Jakarta:

Departemen Pendidikan& Kebudayaan RI, 1993), hlm. 20.

Keistimewan Yogyakarta riasi karena terjadinya perubahan sosial, politik, dan ekonomi,

namun masih didominasi oleh etnis yang lebih dulu menem- patinya.

Persoalan pemukiman ini pada masa selanjutnya (akhir abad 20-awal abad 21) memperlihatkan segregasi yang tidak hanya didorong oleh kategori etnis dan profesi tetapi lebih pada aspek ekonomi. Pemukiman-pemukiman elite tersebut menjauh dari pusat keramaian kota, ekslusif, dan membangun

batas gegografis, ekonomi, sosial, dan budaya. 14 Di Yogyakar- ta, segregasi sosial ini seolah tidak menampakkan gesekan- gesekan sosial yang dapat memunculkan konflik horisontal. Dipermukaan kenyataan itu memang tidak terlihat tetapi diba- wah lanskap sosial yang terkesan aman dan tentram itu sesungguhnya menyimpan riak-riak konflik sosialnya sendiri. Di abad 21 perubahan tata ruang itu melahirkan bentuk-bentuk aktualisasi budaya baru seiring dengan prinsip-prinsip umum pengaturan sosial yang paling diinginkan masyarakat.

Menguatnya identitas lokal yang mungkin secara tidak sadar terbawa oleh semangat RUUK memungkinkan isu ten-

14 Kompleks perumahan seperti Merapi Regency, Casa Grande, dan sebagainya, dibangun tidak untuk para migran dari desa, melainkan untuk para profesio-

nal muda kota. Hal ini terlihat dari tipe pemukiman dan fasilitas yang dita- warkan para pengembang, yang secara logis memperlihatkan ciri sebagai komoditi yang mahal, yang hanya dapat dijangkau oleh golongan menengah atas kota. Mereka yang mendiami pemukiman ini terdiri dari kelompok pro- fesional yang menguasai kapital ekonomi tinggi. Dari sini terlihat pola pemukiman di Yogyakarta tidak lagi didasarkan pada keahlian tertentu, etnis, stratifikasi berdasar politik identitas melainkan pemilikan modal eko- nomi. Kenyataan ini menandai satu jenis identitas baru masyarakat yang memunculkan kesenjangan serta segregasi sosial baru. Lihat, Irwan Abdullah, op.cit.

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya tang putra daerah dapat memperlemah integrasi sosial yang

telah terbangun lama. Oleh karena itu penguatan kembali kelembagaan sosial dan perhatian pada aspek keadilan sosial dan ekonomi menjadi dasar untuk menetralisir menguatnya identitas primordial. Integrasi nasional pada masyarakat ma- jemuk yang segregatif berpusat pada lembaga-lembaga pendi- dikan, agama dan sosial, sekolah, masjid, gereja, puskesmas, balai petemuan, lapangan olahraga dan tempat rekreasi harus ditempatkan secara seimbang sehingga dapat berfungsi seba-

gai faktor integratif. 15 Sebuah faktor fundamental bagi terwu- judnya masyarakat multikultural. Perekatan identitas tidak hanya terjadi dalam batasan kelas ekonomi, etnis, dan keaslian tempat kelahiran. Namun sekarang ini di Yogyakarta yang mengklaim diri sebagai daerah yang memiliki modal toleransi tinggi dalam kehidupan sosial-

nya, menyimpan benih-benih intoleransi yang nyata. 16 Intole- ransi itu misalnya tampak pada segregasi sosial yang didasar- kan pada sentimen keagamaan. Banyak orang atau mahasiswa zaman dulu di era tahun ’70-’80-an merasa penerimaan ma- syarakat terhadap perbedaan begitu tinggi. Sehingga antara mereka yang datang dan penduduk terjalin suatu hubungan

15 Usman Pelly, op.cit., hlm. 427. 16 Dalam perebutan ruang yang diakibatkan dari menjamurnya ‘praktik legal’

per-parkiran di kota Yogyakarta, muncul sentimen-sentimen yang mengatasnamakan lokalitas dan antar-enerasi, misalnya dengan menyebut diri ‘Aku Cah Kene’ (ACK) dan ‘Aku Cah Lawas’ (ACL). Istilah-istilah ini muncul belakangan dan berbeda dengan gangs-gangs yang ada di tahun 80-90-an akhir (Gemax, Joxin, dll). Berbasis pada identitas daerah tertentu, mereka ini lebih berafiliasi politik, sementara yang sekarang ada muncul sebab perebutan-perebutan ruang (ekonomi).

Keistimewan Yogyakarta sosial kekeluargaan yang sangat erat. Pertukaran dan hibridasi

kebudayaan terjadi dalam dinamika yang positif dimana mela- lui saluran ini ikatan kebangsaan terbentuk. Situasi sosial itu sekarang terancam dengan lahirnya penguatan-pengutan iden- titas baru. Salah satu contoh paling nyata adalah realitas kos- kosan yang di depan pintunya bertuliskan ‘Menerima Kos Putri Muslim’ atau ‘Menerima Kos Khusus Muslim’. Relasi sosial masyarakat Yogyakarta tidak hanya dibelah oleh pereng- gangan hubungan sosial berdasar ekonomi tetapi juga agama.

Kos-kosan sebagai tempat tinggal para perantau semakin berubah fungsinya. Kini masyarakat sendiri melihat kos seba- gai sumber daya ekonomi bukan sebagai modal kebudayaan yang penting. Pemerintah sendiri juga ikut meneguhkan reali- tas ini dengan lahirnya Perda Kos-kosan yang mengatur tidak hanya bagaimana masyarakat melihat kos-kosan sebagai lahan ekonomi tetapi juga mempertipis hubungan kekeluargaan antara pemilik kos dengan penyewa kos. Kos-kosan seharus- nya menjadi arena integrasi sosial dan kebudayaan dari berba- gai identitas, karena selain saluran pendidikan, kos-kosan sebenarnya memiliki peran yang besar untuk menciptakan masyarakat multikultural, toleran, dan menghargai pluralitas. Di sisi lain, realitas ini melahirkan bentuk-bentuk baru ruang tinggal yang semakin menegaskan perbedaan identitas dan menghalangi integrasi sosial dan kebudayaan. Bentuk paling nyata dalam hal ini adalah merebaknya asrama mahasiswa menurut asal kedaerahan. Di satu sisi, banyaknya jumlah asra- ma daerah ini menunjukan pluralitas kehidupan masyarakat khsusnya mahasiswa. Namun di sisi lain kenyataan ini jika tidak dekelola dengan baik akan memunculkan konflik hori- zontal. Meskipun frekuensinya tidak terlalu tinggi namun

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya beberapa peristiwa tawuran antar etnis mahaiswa menanam-

kan benih ketidakharmonisan sosial. 17 Asrama mahasiswa kini seperti ‘wilayah kedaulatan’ satu daerah tertentu. Di mana keanggotan komunitasnya ditentukan oleh keaslian kelahiran seseorang. Sehingga pembauran-pem- bauran sosial menjadi terbatas pada kalangan etnis bersang- kutan. Meskipun pertemuan-pertemuan lainya terjadi melalui saluran pendidikan namun tidak cukup kuat menjadi perekat sosial yang kuat. Ketika mereka kembali ke asramanya, maka nuansa entisitas itu akan kembali menguat. Hal ini menjadi preseden buruk bagi tumbuh kembangnya kehidupan sosial yang multikultural. Menguatkan kembali ikatan sosial antar- etnis, dan hubungan anak kos dengan pemiliknya adalah sesuatu yang sangat penting dalam membangun kerekatan sosial dan multikulturalisme.