Subyek yang Tercecer dari Konstruksi

E. Subyek yang Tercecer dari Konstruksi

Sebuah citra dibentuk untuk berbagai tujuan dan kepentingan yang diarahkan demi dikenalinya “diri” dalam sudut pandang yang positif. Perencanaan pembangunan daerah yang memakai teknik-teknik pemasaran mendorong berbagai

saat ini. Jika melihat berbagai pemberitaan di media massa tentang perdebatan tersebut tampak masih banyak kelompok yang dominan berkeinginan mempertahankan status ini. Karena atmosfir kepekatan budayanya masih dirasakan begitu kuat, memberi rasa nyaman, dan sumber inspirasi. Hal ini terlihat pada dekade ’90-an dan dekade-dekade sebelum- nya ketika modal, nilai, dan gempuran budaya baru belum menggurita se- perti sekarang ini.

37 Metafora Rendra untuk menggambarkan kondisi dan situasi keterlelapan pada pelukan kota Yogyakarta yang masih kental nuansa spiritualnya, tetapi

ketika bangun dan tersadar orang merasa seperti di dunia baru dan tahu bahwa yang didiaminya bukan lagi kasur tua. Rendra juga meragukan jika Yogyakarta disebut sebagai pusat kebudayaan. Karena di tempat lain masih banyak pusat kebudayaan yang tidak kalah menariknya. Lihat ‘Cerita Tiga Kota’, Prisma, no.6. Juni 1980, Tahun VIII. hlm. 47-49

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya pihak/pengambil kebijakan untuk menjalankan prosedur-

prosedurnya. Yogyakarta membangun citra-citra positif itu dalam slogan-slogan pariwisata seperti ‘Jogja Never Ending Asia’, ‘Kota Pendidikan’, ‘Kota Budaya’ dan sebagainya. Tidak ada yang salah pada upaya yang dilakukan untuk membangun daerah melalui cara seperti itu. Tulisan ini juga tidak memba- has slogan-slogan tersebut. Lebih dari itu, dalam kepentingan untuk melihat apa yang ‘terbuang’ dari konstruksi keistime- waan perlu untuk membicarakan subyek-subyek lain. Karena bagaimanapun keistimewaan sekarang ini tidak lagi dapat dili- hat sebagai sebuah konstruksi budaya tetapi lebih tampak sebagai konstruksi yang sarat kepentingan politik. Dari hasil yang dapat kita baca tampak bahwa dimensi-dimensi lain tak termaktub dalam konstruksi yang dibangun oleh tim dari UGM itu. Memunculkan dimensi lain penting artinya guna meng- imbangi dan mengakui kenyataan lain yang bahkan mungkin akan mengurangi bobot istimewanya.

Salah satu dari realitas itu adalah kekerasan dan ketidak- teraturan sosial yang terjadi sejak dekade ’70-an dan jauh sebelum itu. Sebuah kenyataan yang menunjukkan latensi per- soalan kultural dan struktural sekaligus membuka mata bahwa Yogyakarta tak semanis seperti yang dilukiskan dalam kons- truksi keistimewaannya. Kekerasan dan ketidakteraturan yang muncul dalam momen-momen tertentu di masa Orde Baru bahkan bisa sangat ekstrim. Kelewang, golok, sangkur, dan jenis senjata mematikan lainnya dibawa para peserta pemilu, sesuatu yang tidak akan terjadi jika masyarakatnya tidak menyimpan nilai-nilai kekerasan dan keinginan mewujudkan kekerasan. Semua peserta kampanye seperti merasa terancam pihak lain yang sewaktu-waktu datang menyerang mereka. Di

Keistimewan Yogyakarta tahun ’70-an sentimen anti pendatang sabrang terjadi

melibatkan tukang becak dan penduduk lokal, perkelahian antar kampung yang kerap terjadi pada dekade ’80-an, penem- bakan terhadap para gali (1980-an), kekerasan antar geng ABG tahun (1990-an).

Bambang Purwanto (2005) menunjukkan adanya keke- rasan, perompakan, dan kriminalitas, yang terjadi di Kota Gede pada dekade pertama abad ke-20. Kekerasan yang terus meningkat akibat warganya yang mulai kehilangan solidaritas sosial, kesabaran, dan tidak terkontrol. Kekerasan ini lebih banyak dipicu oleh situasi sosial, ekonomi, politik, yang beru- bah cepat. Hingga sekarang, berbagai studi, dan pemberitaan media semakin banyak mengungkap adanya praktik-praktik kekerasan yang terus terjadi setiap tahun dengan frekuensi yang meningkat. 38

Kekerasan struktural juga terjadi di kota yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Dengan dalih penataan kota, keter- tiban, dan kebersihan pemerintah daerah menggusur warga dan PKL yang mencari hidup di celah-celah kehidupan kota yang semakin sempit. Bagi mereka tidak lagi penting apakah Yogyakarta akan menjadi daerah istimewa atau tidak, yang penting bagaimana kota ini memberi ruang hidup dan kesem- patan untuk mencari nafkah. Yogyakarta akan menjadi istime- wa ketika mampu memberikan kepada wong cilik kesempatan, merawat kaum terpinggirkan, dan melindungi kelompok-ke- lompok yang tersingkir dari arena kontestasi perputaran mo-

38 Selengkapnya lihat Bambang Purwanto, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada saat Transisi: Kota Gede, Yogyakarta Pada Awal Kemerdekaan”, dalam

Freek Colombijn, dkk., op.cit., hlm. 211—224.

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya dal ekonomi. Ketika proses pembangunan tidak berpihak pada

lapis bawah masyarakat desa, proses deagrarianisasi- depeasantisation, menjadi kenyataan yang demikian nyata, disusul gejala urbanisasi yang semakin meningkat, kelompok lapis bawah ini tak kunjung juga mendapat rasa aman ketika telah mendiami kota.

Karena di desa mereka tidak lagi memiliki kecukupan mo- dal hidup. Perkembangan kota yang semakin padat memun- culkan pelebaran wilayah pemukiman yang menggusur penduduk desa yang tidak memiliki tanah garapan. Peralihan profesi menjadi pembantu rumah tangga menjadi pilihan terakhir ketika semua ruang hidup dijejali oleh kapital. Pene- litian Tri Wijayaningrum di desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman menunjukan hal ini. Desa ini semula adalah daerah pertanian yang intensif. Perkembangan pemukiman perlahan-lahan mengurangi bagian pertanian desa untuk sege- ra digantikan dengan pemukiman. Di sekitar daerah ini muncul pemukiman-pemukiman baru dari yang sederhana sampai yang mewah. Hal ini mengakibatkan terjadi renggangnya hu- bungan sosial ekonomi antar penduduk. Dimulai dengan berubahnya kegiatan panen dan tanam padi yang tidak lagi dikerjakan dengan sistem gotong royong (bawon), melainkan borongan. Akibatnya, hubungan sosial di antara mereka se- makin melemah karena dengan sistem baru itu tidak lagi mem- buat mereka merasa memiliki jaminan akses pada sumber produksi bersama, dan keharusan untuk saling membantu te- tangganya. Hubungan sosial itu telah digantikan dengan sistem upahan yang tidak didasarkan pada solidaritas sosial melain- kan transaksi ekonomi uang.

Keistimewaan Yogyakarta seharusnya tidak hanya mene-

Keistimewan Yogyakarta kankan pada aspek politik yang dilegitimasi dengan jasa dan

pengorbanan sejarah yang harus dibayar oleh pemerintah pusat. Konstruksi keistimewaan Yogyakarta seharusnya be- rangkat dari pemahaman yang mendalam atas masalah-masa- lah nyata baik struktural maupun yang bersifat keseharian yang berkaitan dengan isu ketimpangan, ketidakadilan, dan cita-cita kesejahteraan rakyat. Dengan demikian ‘Tahta Untuk Rakyat’ benar-benar menemukan aktualisasinya dan menyen- tuh langsung ke dalam kehidupan rakyat. Keistimewaan itu akan benar-benar bermakna dan patut menjadi referensi jika semua komponen di Yogyakarta mampu menghilangkan ke- miskinan rakyatnya dalam arti luas, taraf hidup meningkat, tidak ada pengemis, tidak ada petani yang tidak punya tanah garapan, sumber daya alam yang tertata baik, pariwisata laut dikem- bangkan, pendidikan murah, kesehatan murah, biaya hidup murah, tidak ada anak jalanan, tidak ada pelanggaran HAM.

Seharusnya keistimewaan sebagai kontrak sosial dan kontral politik berakar dan berada dalam kerangka ini. Proses- nya juga harus jelas sampai ke tingkatan yang paling kecil dalam struktur sosial yaitu masyarakat desa. Dengan demikian, Yogyakarta tidak hanya istimewa di mata rakyatnya tetapi juga istimewa di hadapan Tuhan. Persis seperti daerah yang digam- barkan dalam al-Qur’an baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Jika memang Yogyakarta masih mendaku diri sebagai ‘Mataram Islam’, maka utopia ini menjadi tugas sejarah yang terus-menerus ditunaikan. Bila Yogyakarta adalah suatu ‘ne- geri merdiko’, maka mitos sebagai ‘negara budiman’ harus senantiasa dihidup-hidupkan.

Berkaitan dengan itu, dalam sebuah tulisanya di Jawa Pos Radar Jogja, 2 Agustus 2002, budayawan kondang seka-

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya ligus seniman yang dibesarkan di Yogyakarta, Emha Ainun

Najib, mengatakan bahwa untuk memaknai keistimewaan Yogyakarta hendaknya keistimewaan tidak dianggap sebagai ‘kata benda’ tetapi lebih tepat sebagai ‘kata kerja’. Sebagai kata kerja, keistimewaan seperti sebuah subyek dari ‘permainan’ sejarah, budaya, dan kekuasaan yang kontinyu. Sebagai titik- titik tidak stabil dari sebuah identifikasi, atau sesuatu yang bersifat tambal sulam. Hal mana merupakan sebuah upaya untuk menemukan posisi yang tepat bagaimana keistimewaan menjadi sesuatu yang subtansial. Kekhususan atau keistime- waan sebuah tempat bukan ditentukan oleh sejarah internalnya yang panjang (lebih-lebih menyangkut elitnya semata), namun kenyataan bahwa tempat itu dibangun dari konstelasi hubungan tertentu dan disuarakan secara bersama-sama. Tidak ada satu kelompok yang karena batasan struktural atau kultural tidak dapat mengisi dan ikut membentuk kekhususan pada kota ini.