Mengapa Tanah Milik Raja?

B. Mengapa Tanah Milik Raja?

Konsep ‘tanah adalah milik raja’ diyakini berasal dari masa Jawa pra-Hindu. Meski Keraton Kesultanan Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta notabene adalah kera- jaan Islam (Mataram Islam), konsep semacam ini tetap ber- tahan hingga sekarang. Raja sebagai poros dunia, yang men- jaga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos adalah penguasa ‘jagad lembut’ dan ‘jagad kasar’, yang kasat mata dan

material. 1 Semuanya terejawentahkan baik dalam teks-teks kesusastraan, petatah-petitih, hingga ruang simbolik kota, dll. Secara aktual, kerajaan (raja, keluarga dan para pungga- wanya) tidak menguasai tanah dalam pengertian berapa luasnya, tetapi menguasai cacah (orang yang mendiami di atasnya). Luasan tanah yang dikuasai berdasarkan klaim dan penaklukan. Bila seseorang menerima tanah seluas 800 cacah misalnya, artinya ia menerima tanah seluas yang cukup diga- rap oleh 800 keluarga petani. Sistem apanage dan kabekelan mencerminkan struktur penguasaan semacam ini. Tingkat kemakmuran seorang punggawa kerajaan diukur dari sebe- rapa banyak orang yang dikuasai untuk mengolah lahan dan

1 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 60.

Akses Masyarakat Atas Tanah bukan pada luas lahannya itu. 2 Karena menguasai cacah dan

bukan tanah, maka ‘memiliki’ tanah pada hakikatnya adalah menguasai dalam bentuknya yang bermacam-macam sesuai hierarki feodalitasnya, tidak dalam pengertian yang sama seperti konsep Barat akan ‘property’ atau ‘eigendom’. Tetapi kita lihat selanjutnya bahwa justru konsep ‘memiliki’ atas tanah di Yogyakarta, mengikuti dalil ‘domein verklaring’ yang berasal dari Barat. Suatu dalil yang diperkenalkan oleh Stamford Raffles ketika menjadi Letnan Gubernur di pulau Jawa. Atas dasar itulah, anak buah Lord Minto ini kemudian menjalankan kebijakan pertanahan dalam bentuk ‘pajak tanah’, rakyat dianggap menyewa tanah yang telah dimiliki negara.

Rijksblad Kasultanan no. 16/1918 dan Rijksblad Paku- alaman no. 18/1918 menyatakan ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigen- dom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti dimiliki oleh orang melalui hak

eigendom, maka tanah itu menjadi milik kerajaanku). 3 Lem- baran kerajaan ini memberi pernyataan sejalan dengan asas- asas domein verklaring itu. Uniknya, inilah yang kemudian disebut sebagai pengelolaan tanah berdasarkan ‘Hukum Adat’.

Mengikuti pandangan dari dalam Puro Paku Alaman,

2 Onghokham, ‘Perubahan Sosial di Madiun selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah’, dalam Sediono M.P. Tjondro-

negoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indone- sia, 2008 [edisi revisi]), hlm. 6.

3 Eko Budi Wahyono, ‘Pendaftaran Tanah di Propinsi DIY, (Dapatkan Tanah SG- PAG Didaftar/Disertipikatkan?)’, makalah disampaikan pada diskusi bulanan

STPN, tt., hlm 6.

Keistimewan Yogyakarta secara filosofis sebenarnya tanah itu diperuntukkan bagi

rakyat. ‘Pertama saya sampaikan bahwa Mataram menjalankan

negara berdasarkan Al-Quran, menempuh jalan Siraathal Mustaqim. Dalam memanfaatkan tanah harus berdasarkan al-Quran. Jadi tanah itu untuk siapa? Allah menurunkan manusia di muka bumi dan memberikan bumi untuk dimanfaatkan oleh umat manusia. Tetapi manusia harus tetap menjaganya. Allah melimpahkan rejeki dari udara, di atas tanah, dan di bawah tanah. ....kita harus mensyukuri apa yang diberikan Allah. Rejeki itu turun lewat udara, tanah dan di bawah tanah, bukan dalam bentuk uang. Nah ini yang bahaya sekarang, semua menggunakan uang. Rak- yat diambil tanahnya dan ditukar dengan uang. Mereka malah bingung, ‘uang ini untuk apa. Wong saya bisanya

nyangkul’ 4 . Atas dasar filosofi itulah maka pada masa HB I di keraton

Yogyakarta didirikan sekolah Tamanan yang tujuannya untuk mendidik keluarga keraton supaya memahami rakyatnya dengan diajari cara bertani, pendidikan budi luhur dan kesat- riaan lainnya. Sekolah ini mendapat tentangan dari pemerintah kolonial. Saat itu yang diperbolehkan hanya Sekolah Rakyat.

‘Yang jelas di Keraton sejak Sinuwun I mendirikan Sekolah Tamanan, para putra dididik sufi, cara bercocok tanam, dan kesatryan lainnya, untuk mempersiapkan bahwa suatu saat akan mendekati rakyat. Ilmu itu sebagai bekal untuk men- jauhkan rakyat dari kemusyrikan, memberikan rahmatan

lil alamin, bagi rakyat dan dirinya sendiri’ 5 . 4 R.M. Tamdaru Tjakrawerdaya, seorang pujangga Kadipaten Paku Alam yang

pernah menjadi sekretaris pribadi alm. Paku Alam VIII. Wawancara, Puro Paku Alaman, 8 Januari 2008.

5 Ibid.

Akses Masyarakat Atas Tanah