BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa mengenai masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu
dianggap profesi mulia seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam kini mulai dimasuki unsur hukum. Hal ini tampak menjalar kemana-mana, baik pada dunia Barat
yang mempeloporinya maupun juga di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan hukum untuk pasien maupun
dokternya. “Secara umum dapat dikatakan Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan
berkembang dengan pesat di Indonesia. Pada awal tahun 1980 tidak banyak kalangan kesehatan apalagi masyarakat umum yang mengenal atau memahami Hukum
Kedokteran dan Hukum Kesehatan”.
1
Sebetulnya bukan di Indonesia saja yang menganggap Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan ini baru. Handoko Tjondroputranto dalam makalahnya pada Temu
Ilmiah I PERHUKI Wilayah Sumatera Utara tahun 1986 di Medan, menyatakan “renaissance” Hukum Kedokteran ini terjadi sesudah diadakan kongres Sedunia
Hukum Kedokteran World Congress on Medical Law di Gent, Belgia, tahun 1967.
2
1
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Cet. 1, Widya Medika, Jakarta, 1997, hal. 1.
2
Ibid, hal. 2.
Bambang Purnomo, dalam presentasi Pengembangan Pendidikan Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran, pada kongres Nasional
PERHUKI III, Januari 1993 di Yogyakarta menerangkan Hukum Kesehatan mulai dikenal secara luas dalam kongres V World Association for Medical Law di Gent,
Belgia, Agustus 1979 dan menjadi kegiatan baru oleh WHO.
3
1. Makin meningkatnya tuntutan di bidang pelayanan kesehatan yang disertai
dengan perkembangan di bidang pengobatan diagnostik yang kebanyakan menggunakan alat-alat canggih yang tidak dikenal selama ini.
Bidang ini berkembang dengan pesat di belanda dan Eropa pada umumnya, begitu juga di Negara maju lainnya. Banyak alasan mengapa bidang ini berkembang dengan
pesat diantaranya adalah :
2. Kesadaran hukum masyarakat juga semakin meningkat.
4
Pengertian hukum kesehatan sendiri menurut beberapa sarjana beraneka ragam seperti menurut Van der Mijn, hukum kesehatan adalah hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana, dan tata usaha Negara. Sementara itu, menurut Leenen, defenisi
hukum kesehatan adalah keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya. Sedangkan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan
Hukum Kesehatan Indonesia PERHUKI, hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaanpelayanan kesehatan dan
penerapannya. Dengan demikian, bidang pembahasan hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan upaya kesehatan termasuk kesehatan badan,
rohani, dan sosial secara keseluruhan.
5
Sedangkan untuk pengertian hukum kedokteran sendiri menurut Wila Chandrawila Supriadi adalah kumpulan peraturan yang mengatur kesehatan individu,
termasuk pengaturan hubungan rumah sakit dengan dokter, rumah sakit dengan pasien, dan dokter dengan pasien. Wila Chandrawila Supriadi membedakan
pengertian antara hukum kesehatan yang mengatur tentang kesehatan masyarakat dan kesehatan individu. Yang mengatur tentang kesehatan individu itulah yang
merupakan hukum kedokteran. Bidang pembahasan hukum kedokteran antara lain
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Cet. Pertama, Bayumedia, Malang, 2007, hal. 3-4
meliputi hak dan kewajiban pasien serta dokter, hubungan antara dokter dengan rumah sakit, persetujuan tindakan medis, euthanasia, inseminasi buatan, perjanjian
terapeutik, malpraktik, dan sebagainya.
6
Setiap dokter yang memberikan pelayanan kepada pasien tentu mengetahui tentang segala penderitaan yang dialami pasien. Penderitan yang dialami oleh pasien
dapat diakibatkan oleh penyakit yang dideritanya atau kecelakaan yang dialaminya. Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan adalah semata-mata
Pasien dan tenaga kesehatan merupakan para pihak yang terlibat dalam suatu pelayanan kesehatan. Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap
kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak karena adanya kepercayaan tersebut sekiranya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut
standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi. Hal tersebutlah yang menciptakan hubungan ataupun ikatan antara pasien dengan tenaga kesehatan.
Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien disebabkan karena dokter dianggap yang paling tahu menegenai keadaan kesehatan pada diri
pasien. Sehingga pasien seringkali menerima saja perlakuan dokter sehingga sulit menilai secara cermat pelayanan dokter. Dengan semakin berkembangnya masyarakat
hubungan tersebut perlahan-lahan mengalami perubahan. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah kelalaian profesi atau apa yang
dinamakan malpraktik di bidang kedokteran, perlu diungkapkan hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan
meningkatkan sikap serta tindakan yang cermat dan hati-hati tenaga kedokteran.
6
Ibid, hal. 5
untuk menghilangkan rasa sakit dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien. Dengan kata lain tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter demi
kepentingan kesehatan pasien. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
khususnya Pasal 45 dan PERMENKES No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka dokter harus mendapat persetujuan dari pasien atau
keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan medis terhadap diri seorang pasien. Persetujuan itu diberikan setelah dokter memberikan informasi penjelasan secara
lengkap kepada pasien atau keluarga terdekat mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap diri pasien. Penjelasan informasi tentang tindakan
kedokteran tersebut diatas sekurang-kurangnya meliputi: 1.
Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2.
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; 3.
Alternatif tindakan lain dan risikonya; 4.
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; 5.
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 6.
Perkiraan pembiayaan. Kesepakatan antara pasien atau keluarganya dengan pihak dokter dalam hal
pengobatan atau tindakan kedokteran ditujukan dengan adanya pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Dengan adanya persetujuan tersebut berarti
pasien telah bersedia untuk mengikuti pengobatan atau tindakan medik kedokteran
yang akan dilakukan kepadanya dengan berbagai risiko ataupun segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penangan medik informed consent dapat dinyatakan secara langsung baik lisan
maupun tulisan yang dikenal sebagai express consent, atau secara tidak langsung seperti secara tersirat tanpa pernyataan tegas yang disimpulkan oleh dokter dari sikap
dan tindakan pasien yang dikenal sebagai implied consent
7
Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan maupun penanganan medik harus menghormati hak-hak pasien serta bekerja menurut standar profesi kedokteran. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan ketentuan sesuai prosedur dalam . Mengenai informed
consent telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum tetap dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No 290
tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008
dinyatakan bahwa : “ Persetujuan Tindakan Kedokteran informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Jika dilihat dari isi Pasal 1 angka 1 PERMENKES
tersebut dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan dari pasien atau keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medik yang dilakukan oleh dokter
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak sah.
7
Ibid, hal. 40
penanganan informed consent, sehingga dokter dianggap telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien dan
mendapat persetujuan dari mereka. Seorang dokter dalam melakukan penanganan medik dituntut kehati-hatian dan
tanggung jawab dan profesional dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya sesuai dengan keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya. Pada tingkat ini
sekalipun, seorang dokter sebagai mana umumnya manusia biasa terkadang melakukan kesalahan ataupun penyimpangan terhadap ketentuan yang diharuskan.
Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya tindakan dokter yang secara langsung tanpa melakukan persetujuan melakukan penanganan medik kepada
pasien atau karena adanya kelalaian atau kesalahan. Hal ini tentu akan menjadi masalah karena ada kondisi yang rancu tentang adanya pelanggaran hukum, terlepas
dari pasien tersebut selamat atau tidak dalam suatu proses penanganan medik. Permasalahan yang lain diantaranya adanya akibat yang timbul karena
penanganan dokter terdapat unsur kesengajaan dan atau kelalaian berdasarkan ukuran etik profesi. Biasanya pasien yang merasa dirugikan akan menuntut dokternya ke
pengadilan. Dengan demikian, dalam hubungan antara pasien sebagai penerima pertolongan
medis dengan dokter sebagai pemberi pertolongan medis, merupakan hubungan antar subjek hukum. Dimana hubungan hukum tersebut terjalin pada dasarnya secara
kontraktual dan konsensual seperti dengan adanya persetujuan consent dari pasien atau keluarganya untuk dilakukan tindakan medis baik lisan maupun tertulis setelah
terlebih dahulu diberikan penjelasan atau informasi informed secara rinci atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan tersebut oleh dokter, serta dokter yang
menyatakan secara lisan maupun sikap atau tindakan yang menunjukan kesediaan dokter untuk menangani pasien tersebut. Hal tersebutlah yang nantinya melahirkan
perjanjian terapeutik. Hubungan dokter dengan pasien tersebut merupakan hubungan keperdataan yang
menimbulkan suatu perikatan yang lahir dikarenakan adanya perjanjian atau persetujuan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa : “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, karena Undang-Undang”.
Mengenai persetujuan atau perjanjian itu sendiri ketentuan hukumnya secara umum ada pada buku ke III KUHPerdata tentang perikatan, dimana pengertian
mengenai persetujuan atau perjanjian itu ada pada Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Ketentuan umum mengenai persetujuan atau perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata sangat
berkaitan erat dengan persetujuan tindakan kedokteran informed consent yang ada di dalam PERMENKES No 290 tahun 2008 karena berkaitan dengan hubungan
keperdataan dalam hal ini hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang timbul karena adanya persetujuan.
Yang akan dibahas dalam tulisan skripsi ini secara lebih lanjut dan mendalam yaitu bagaimana informed consent dalam perjanjian terapeutik tersebut di dalam
aspek hukum perdatanya atau dari segi hukum perikatannnya serta bagaimana pengaturan hukum terhadap informed consent dan sikap pengadilan terhadap
informed consent dalam perjanjian terapeutik tersebut yang dapat dilihat dari putusan pengadilan.
B. Rumusan Masalah