Peranan Hakim Tindakan Kedokteran Tanpa Izin Pasien

B. Peranan Hakim

Peranan hakim di dalam memutus perkaran informed consent jelas sangat penting. Hakim diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berpekara. Menelaah kasus dengan bijak dan penuh ketelitian sehingga perkara tersebut dapat diputus secara bijaksana dan arif serta tidak menyalahi peraturan perundang- undangan yang berlaku. Jika melihat kasus yang ada di atas hakim tidak jeli melihat kasus, seharusnya hakim memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuka isi rekam medis sebagai bukti yang adekuat agar semua permasalahan menjadi jelas karena rekam medis akan menunjukkan apakah gugatan pihak penggugat tersebut berdasar atau tidak dan mengenai pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang tidak memberikan salinan rekam medis bukan merupakan perbuatan melawan hukum jelas tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku yang menyatakan bahwa isi rekam medis merupakan hak pasien dan dapat menjadi bukti di pengadilan sebagaimana tercantum pada Pasal 12 ayat 2 dan Pasal 13 Peraturan Menkes RI No. 269AMENKESPERIII2008, tentang Rekam Medis. Sehingga sudah jelas perbuatan tergugat tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena telah melanggar hak dan merugikan pasien dalam hal ini pihak penggugat.

C. Tindakan Kedokteran Tanpa Izin Pasien

Tindakan kedokteran yang dilakukan tanpa izin persetujuan pasien merupakan suatu tindakan yang melanggar hak asasi pasien yaitu hak asasi atas tubuh mereka dimana sebenarnya pasien berhak untuk menentukan nasibnya sendiri serta berhak atas informasi atas tindakan kedokteran tersebut. Tindakan kedokteran tanpa izin persetujuan pasien juga termasuk perbuatan yang melanggar peraturan perundang- undangan karena jelas didalam Pasal 2 ayat 1 PERMENKES No. 290 MENKES PERIII2008 disebutkan bahwa : ” Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Persetujuan izin tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan. Sebelum memberikan persetujuan, pasien harus diberitahukan atau diinformasikan terlebih dahulu mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan tersebut oleh dokter sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 3 PERMENKES No. 290 MENKES PERIII2008. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka izin persetujuan yang diberikan oleh pasien tersebut tidak sah karena seharusnya sebelum memberikan persetujuan dokter diwajibkan memberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan tersebut. Namun ada beberapa ketentuan atau keadaan sehingga tindakan kedokteran dapat dilakukan tanpa izin persetujuan pasien, yaitu dalam keadaan darurat namun dokter tetap harus menjelaskan tentang tindakan tersebut setelah pasien sadar atau dijelaskan kepada keluarga terdekat pasien tersebut hal ini dapat dilihat pada Pasal 4 PERMENKES No. 290 MENKES PERIII2008. Kemudian Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan hal ini dapat dilihat pada Pasal 15 PERMENKES No. 290 MENKES PERIII2008. Jika dilihat pada kasus di atas dimana pihak tergugat melakukan operasi circumsisi sunat pada penis terhadap penggugat dan pihak penggugat menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak pernah diberitahukan sebelumnya atau dilakukan tanpa persetujuannya maka dapat dikatakan perbuatan tergugat merupakan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan terutama PERMENKES No. 290 MENKES PERIII2008 karena melakukan tindakan kedokteran tanpa izin persetujuan pasien walaupun pihak tergugat merasa telah diberikan persetujuan oleh pihak penggugat walaupun hanya secara lisan dan putusan pengadilan pun telah memenangkan mereka namun pihak tergugat tidak memberikan isi rekam medis yang sebenarnya menjadi hak penggugat dan dapat menjadi bukti yang adekuat apakah memang benar persetujuan sudah diberikan atau belum, hal inilah yang menjadi janggal dalam kasus tersebut kenapa hakim tidak memerintahkan pihak tergugat untuk membuka rekam medis sehingga dapat terjawab apakah memang ada persetujuan atau tidak dalam tindakan operasi circumsisi tersebut dan apakah benar pembiusan yang dilakukan adalah pembiusan total atau pembiusan local.

D. Perbuatan Melawan Hukum

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88