Perjanjian Terapeutik Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)

hapusnyaberakhirnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya cara hapusnyaberakhirnya suatu perikatan sebagaimana yang tertulis didalam Pasal 1381 KUHPerdata dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnyaberakhirnya suatu perjanjian 69

B. Perjanjian Terapeutik

. 1. Pengertian Perjanjian Terapeutik “Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara kedua belah pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terpeutik atau transaksi terpeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak” 70 a. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran” . Pengertian mengenai perjanjian terapeutik ada beberapa definisi dari para sarjana antara lain sebagai berikut : 71 b. “Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter” . 72 69 Ibid. 70 Y.A. Triana Ohoiwutun, op. cit. hal. 8. 71 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1. 72 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 45-46. . c. “Bahder Johan Nasution : transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak” 73 d. “Al purwohadiwardoyo : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter” . 74 e. Salim HS : kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan danatau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan danatau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya . 75 Lebih lanjut menurut Salim HS, ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi kontraktransaksiperjanjian terapeutik yang ia kemukakan di atas, yaitu : . 1 Adanya subjek hukum; 2 Adanya objek hukum; 3 Kewajiban pasien. 76 Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatandokterdokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa 73 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 11. 74 Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal. 13. 75 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 46. 76 Ibid. terhadap tenaga kesehatandokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kesehatandokterdokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatandokterdokter gigi 77 “Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum” . 78 a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang. . Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut : b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu. c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu 79 Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut : . a. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis. b. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana kesehatan menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. c. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan 80 77 Ibid. hal. 47. 78 Y.A. Triana Ohoiwutun, loc. cit. 79 Ibid. 80 Ibid. hal. 8-9. . 2. Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien 81 Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya merupakan akibat kelalaian di bidang perdata serta tuntutannya terhadap pelayanan masyarakat. Aspek hukum pidana yang ditimbulkan adanya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien, pengguguran kandungan abortus provocatus criminalis, penyalahgunaan pemberian resep obat yang mengandung psikotropika, dan sebagainya. Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan pasien atas adanya dugaan kesalahankelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak dokter dan pasien. Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal itu menarik ditinjau dari aspek hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu, 81 Ibid. hal. 9-12. meskipun rasa sakit merupakan salah satu unsur tindak pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut : a. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu. b. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran. c. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu. Meskipun ada persetujuan pasienkeluarganya berupa persetujuan tindakan medis pertindik, namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasienkeluarganya. Dari aspek hukum administrasi, praktik dokter dalam melakukan tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis didasarkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kewajiban untuk memiliki izin praktik dokter yang sah. Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjiantransaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjiantransaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencarimenemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter. Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu resultaatsverbintenis perjanjian berdasarkan hasil kerja dan inspanningverbintenis perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar. Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi 1 kesepakatan antara para pihak, 2 kecakapan untuk membuat perikatan, 3 adanya suatu hal tertentu, dan 4 adanya sebab halal. Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istimewa khusus dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut : a. Kedudukan antara pihak dokter dengan pasien tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya. b. Dalam tindakan medis tertentu ada informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujuinya secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati. c. Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis. 3. Dasar hukum perjanjian terapeutik Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa ’’tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang’’. Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang. Kedua dasar hukum dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dapat digambarkan sebagai berikut : a. karena kontrak perjanjian terapeutik; Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien. b. karena undang-undang; Timbulnya karena kewajiban yang dibebankan pada dokter yang ditentukan dalam undang-undang, antara lain UU kesehatan, UU praktik kedokteran, termasuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan sebagainya 82 Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan . 82 Ibid. bahwa : ”semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu” 83 Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUHPerdata, seperti Perjanjian terapeutik yang termasuk perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata perjanjian innominaat. Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus tetap dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian . 84 a. KUHPerdata khususnya Buku III . Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa dasar hukum perjanjiankontrak terapeutik adalah : b. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan c. Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran d. Peraturan Menteri Kesehatan No 290MENKESPERIII2008 4. Para pihak yang terkait beserta subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik a. Para pihak yang terkait dalam perjanjian terapeutik Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri 83 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 139. 84 Ibid. dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan danatau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ada 3 ciri tenaga kesehatan, yaitu : 1 Orang yang mengabdi di bidang kesehatan; 2 Memiliki pengetahuan danatau memiliki keterampilan; dan 3 Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan. Dari ketiga ciri itu, ciri yang harus melekat pada tenaga kesehatan adalah mempunyai pengetahuan dan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Sementara itu, kewenangan upaya kesehatan adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada tenaga kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan danatau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah danatau masyarakat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah ditentukan para pihak dalam kontrak terapeutik, yaitu pasien dengan dokter atau dokter gigi. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Ciri pasien, yaitu : 1 Orang yang melakukan konsultasi; 2 Untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan; 3 Dilakukan secara langsung atau tidak langsung; 4 Yang melakukan pelayanan itu adalah dokter atau dokter gigi. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundang- undangan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dokter dalam defenisi ini digolongkan menjadi dua golongan, yaitu dokter dan dokter spesialis. Begitu juga dokter gigi. Dokter gigi dibagi menjadi dua golongan, yaitu dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Syarat dari dokter atau dokter gigi adalah lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Lulusan itu terdiri dari lulusan dalam negeri dan luar negeri. Lulusan luar negeri harus diakui oleh Pemerintah RI 85 b. Subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik . Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 dua kelompok subjek-subjek yang dinamakan : 1 Pemberi pelayanan kesehatan health provider, Umumnya yang diartikan dengan ”pemberi pelayanan kesehatan” adalah semua tenaga kesehatan tenaga medis, para-medis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan cure and care. Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti : rumah sakit, rumah bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut. 2 Penerima pelayanan kesehatan health receiver. Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan medik tertentu, lazim disebut sebagai ”pasien”, walaupun ia sebenarnya atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat dibedakan antara : a Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian terapeutik dengan dokterrumah sakit, b Pasien yang sebenarnya ”tidak sakit” dan datang ke rumah sakitdokter hanya untuk : 1 Menjalankan pemeriksaan kesehatan untuk keuring, general check-up, asuransi, 2 Menjadi donor darah, 3 Menjadi peserta Keluarga Berencana 86 . 5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik Mengenai syarat sahnya perjanjian terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut 87 85 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 52-54. 86 J. Gunandi, op. cit. hal. 34. 87 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 155. : a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Toestemming van Degene Die Zich Verbinden Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan ialah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan Pasal 1321 KUHPerdata. Sepakat ini dilihat dari rumusan aslinya, berbunyi persetujuan toestemming dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian, minimal harus ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua subjek hukum itu saling sepakat, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi kehendak yang lainnya secara bertimbal balik. Dengan demikian, agar kehendak itu saling bertemu, maka harus dinyatakan. Adapun cara menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Karena itu, yang dimaksud dengan sepakat sebenarnya adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian, didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disyaratkan adanya persesuaian pernyataan kehendak dari kedua belah pihak. Saat terjadinya perjanjian terapeutik jika dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien, yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Antara pasien dan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang objeknya adalah upaya penyembuhan. Apabila kesembuhan adalah tujuan utama, akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan, baik penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita. b. Kecakapan untuk Membuat Perikatan Bekwaamheid Om Eene Verbintenis Aan Te Gaan Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan ketentuan sudah dicabut dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 1963, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu. Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan demikian, berarti ketidakwenangan hanya mengahalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu dan orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum tidak cakap untuk bertindak. Dengan perkataan lain, orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah orang yang tidak mempunyai wewenang hukum karena orang yang wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah. Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri atas orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya. c. Suatu Hal Tertentu Een Bepaald Onderwerp Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, ayat 1. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, ayat 2. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang dari objek perjanjian tersebut diatas merupakan terjemahan kata zaak. Akan tetapi, kata zaak itu berarti urusan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan objeknya harus dapat ditentukan adalah urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan. Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medis. Ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan upaya medis sesuai dengan standar pelayanan medis yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan objek perjanjiantransaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya, objeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung pada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya, daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri. d. Suatu Sebab yang Sah Geoorloofde Oorzaak Hal ini oleh undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang sah, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran dengan alasan yang dilarang oleh undang-undang merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita dengan tujuan penelitian terapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang sah. 6. Pola hubungan dalam perjanjian terapeutik ”Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu zaman yunani kuno, dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya” 88 88 Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Cet. 1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 97. . Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. ”Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti hubungan antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan Hubungan yang bersifat paternalistik” 89 Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya ditangan dokter . 90 Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan hulpverlenen. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien . 91 Sebaliknya, berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ”bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya yang diperoleh melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang . 89 Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 36. 90 Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 98. 91 Ibid. mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya 92 Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan doker yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual . 93 Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat ”inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum pasien dan dokter yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjadi sesuatu kesembuhan atau kematian karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya menangani penyakit untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu resultatverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti . 94 ”Szasz dan Hollender mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototipe hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa” . 95 a. Pola Hubungan Aktif-pasif . Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna 92 Ibid. hal. 98-99. 93 Ibid. hal. 99. 94 Ibid. 95 Ibid. hal. 100. karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang dokter terhadap orang lain pasien sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipien atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadarkoma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan. Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekedar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak dapat menjalankan suatu peran. Prototipe hubungan aktif-pasif ini dapat dilihat pada hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil, yang hanya menerima semua hal yang dilakukan orang tua terhadapnya. Anak tidak dapat memberikan respons atau peran aktif sehingga seluruh hubungan hanya bergantung kepada orang tua. Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi. Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat, dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam hubungan dengan dokter. Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Menurut Jones dan Marmor, hubungan ini memberikan kepada dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan. Dalam penelitiannya masing-masing, ditemukan bahwa para dokter tidak lagi mengidentifikasi pasien sebagai manusia, tetapi hanya sebagai benda biomedis, yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak. Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan keahliannya berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita. Bahkan, oleh John seorang ahli sosiologi dikatakan bahwa dokter adalah the God complex. Namun, dilihat dari segi tanggung jawabnya, dokter dapat dikatakan bertanggung jawab tunggal terhadap risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tindakannya 96 b. Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sa ma . Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap 96 Ibid. hal. 100-102. sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Namun, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, melaksanakan diet, melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu. Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dan remaja. Orang tua memberi nasihat dan membimbing, sedangkan anak yang sudah remaja itu akan bekerja sama dan mengikuti nasihat dan bimbingan orang tuanya. Dalam hubungan membimbing dan bekerja sama, dokter berperan memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasien dan peran pasien dalam bentuk kerja sama tersebut adalah melaksanakan apa yang diharapkan oleh dokter. Jadi, disini dokter tidak menganggap pasien sebagai benda biomedis belaka, tetapi bahwa pasien itu mempunyai potensi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam upaya penyembuhan penyakitnya 97 c. Pola Hubungan Saling Berperan Serta . Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada struktur sosial yang demokratis. Secara psikologis, pola hubungan berperan serta saling bergantung berlandaskan proses identifikasi atau pengenalan yang amat kompleks. Kedua pihak ini harus terbuka satu sama lain dan memandang pihak lawan sebagai diri sendiri, agar bersama-sama dapat mempertahankan hubungan yang serasi dan sederajat. Dalam hubungan ini, kedua belah pihak memiliki kekuasaan yang hampir sama dan saling membutuhkan, setidak-tidaknya saling bergantung. Kegiatan bersama itu harus menimbulkan kepuasan bersama. Jika ketiga hal ini terdapat dalam suatu hubungan, berarti hubungan tersebut merupakan hubungan yang berpola saling berperan serta. Pola hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis medical check up, misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun kronis, seperti penyakit gula, penyakit jantung koroner, penyakit artritis, dan sebagainya. Dalam hubungan semacam ini, pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan dapat membantu dokter secara aktif dalam menetapkan situasi sebenarnya, dan 97 Ibid. hal. 102-104. memberikan nasihat dan pengobatan yang tepat. Di samping itu, hampir seluruh rencana pengobatan terletak di tangan pasien sendiri, misalnya : minum obat atau tidak, menjalankan diet atau tidak, berpantang sesuatu atau tidak, memeriksa kembali pada waktu yang ia tentukan sendiri, mengulangi pembelian resep atau tidak, dan sebagainya. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Secara psikologis, pola saling berperan serta ini sudah berkembang sangat tinggi karena menyangkut pengaturan suatu mekanisme sosial yang melibatkan dua manusia sebagai orang person yang bekerja sama dengan menjalankan dua peran yang berbeda. Hubungan ini juga dilakukan oleh pasien yang mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang cukup tinggi. Hubungan semacam ini tidak dapat diterapkan pasien golongan bawah, pasien anak, atau pasien dengan gangguan mental. Pola hubungan untuk saling berperan serta dan bekerja sama baru memasuki ilmu kedokteran setelah berbagai ilmu sosial dan perilaku ikut mempengaruhi ilmu kedokteran, terutama pada ilmu kedokteran masyarakat. Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas diantara kedua pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya 98 7. Terjadinya perjanjian terapeutik . ”Transaksiperjanjian terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktik dokter, sebagaimana yang diduga banyak orang” 99 98 Ibid. hal. 104-105. 99 Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, Rambu-Ranbu bagi Profesi Dokter, BP Undip, Semarang, 2000, hal. 32-33. , tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan oral statement atau yang tersirat implied statement dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, transaksi terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak 100 ”Jadi saat terjadinya transaksi terapeutik antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien menyatakan keluhannya dan dokter menanggapi, serta dilanjutkan dengan pemeriksaan dan pemberian terapi” . 101 8. Akibat dari perjanjiantransaksi terapeutik . 102 Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasiennya. Akan tetapi dalam suatu perjanjian yang paling penting adalah isinya. Adapun, isi suatu perjanjian itu ditentukan, atau dalam hal-hal tertentu dianggap ditentukan oleh para pihak sendiri. Oleh karena itu, kata semua dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata ditafsirkan sebagai adanya berbagai perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang isinya ditentukan dan diatur sendiri, bahkan dapat diperjanjikan mengenai pembatasan tanggung jawab eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena 100 Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 106. 101 Ibid. hal. 115. 102 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 166-170. kelalaian. Selain itu, kata yang dibuat secara sah, dapat diartikan sebagai patokan untuk membuatnya agar mempunyai kekuatan hukum, dan kata mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang, dapat diartikan bahwa para pihak membuat undang-undang untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, apabila Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, maka dapat disimpulkan berlakunya asas konsensualisme. Didasarkan ketentuan tersebut di atas, maka berarti dokter dan pasien bebas untuk membuat perjanjian, mengatur sendiri kewajibannya, dan dapat memasukkan berbagai syarat yang mengikat dirinya sebagai undang-undang. Namun sebagai perjanjian sui generis, maka dokter memiliki tanggung jawab khusus yang tidak dapat dikesampingkan atau dibatasi dengan alasan adanya risiko yang tinggi dalam tindakan medik yang dilakukannya. Oleh karena itu, dokter bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban profesionalnya dengan usaha keras dan sikap berhati-hati. Selanjutnya, di dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa, perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dalam ayat ini terkandung asas kekuatan mengikat suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah. Akan tetapi, dari ayat ini dapat diartikan bahwa di satu pihak ketentuan ini memberikan jaminan kekuatan mengikatnya suatu perjanjian, tetapi di lain pihak juga mengandung pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat, dapat tidak mengikat jika disepakati oleh kedua belah pihak. Demikian juga halnya dengan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini dapat berarti bahwa, sekalipun telah dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian dan mempunyai kekuatan mengikat, namun dapat juga tidak mengikat jika perjanjian itu dilaksanakan tidak dengan itikad baik. Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah agar perjanjian dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian, sepanjang tujuannya tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan, dan undang-undang. Dihubungkan dengan pelaksanaan transaksi terapeutik, berarti bahwa sekalipun pihak pasien telah menyetujui dilakukannya suatu tindakan medik tertentu dengan menandatangani Surat Persetujuan Tindakan, namun jika secara medik tindakan itu tidak ada manfaatnya atau tidak menyebabkan meningkatnya kesehatan pasien, bahkan dapat menimbulkan risiko kerugian bagi pasien, maka tidak sepatutnya untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, di dalam transaksi terapeutik kewajiban terhadap diri sendiri, baik dari dokter maupun pasien yang bersumber pada tanggung jawabnya masing- masing, sebenarnya didasarkan pada asas itikad baik dan kecermatan yang patut dalam pergaulan masyarakat. Untuk itulah wawancara pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik. 9. Asas hukum dalam perjanjian terapeutik Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum yang mendasari atau terkandung di dalam berbagai peraturan yang mendasarinya, sebagai berikut : a. Asas pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdiri dari beberapa asas yaitu : 1 Asas perikemanusiaan Yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa. 2 Asas keseimbangan Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilasanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara meterial dan sipiritual. 3 Asas manfaat Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. 4 Asas perlindungan Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. 5 Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban Berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum. 6 Asas keadilan Berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau. 7 Asas gender dan Nondiskriminasi Berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. 8 Asas norma agama Berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. b. Asas yang ada pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdiri atas asas pancasila yang meliputi nilai-nilai, ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, persatuan serta keadilan. c. Semua asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual antara lain : 1 Asas konsensual Berdasarkan asas ini, maka masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya. Dengan kata lain, dokter atau rumah sakit harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit misalnya secara lisan menyatakan sanggup maupun secara implisit misalnya menerima pendaftaraan, memberikan nomor urut, atau menjual karcis. Pernyataan kesanggupan itu harus disampaikan sendiri oleh dokter, tetapi dapat juga disampaikan lewat pegawainya. 2 Asas iktikad baik Itikad baik utmost of good faith merupakan asas yang paling utama dalam setiap hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa disertai itikad baik, maka hubungan terapeutik juga tidak sah menurut hukum. 3 Asas bebas Para pihak yang mengikatkan dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang itu disepakati semua pihak, termasuk menentukan bentuk perikatannya. Hanya saja yang harus disadari dalam hubungan terapeutik adalah bahwa upaya medis itu penuh dengan uncertainty, dan hasilnya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh karena itu, harus dipikirkan masak-masak sebelum memberikan garansi kepada pasien. 4 Asas tidak melanggar hukum Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, tetapi tidak boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, hal ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus dipandang sebagai permukafatan jahat yang justru dapat menyeret dokter serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan kontraktual, dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian yang terjadi atas dasar wanprestasi seandainya timbul kerugian kepada pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi. 5 Asas kepatutan dan kebiasaan Dalam hukum perdata, dinyatakan bahwa pihak yang telah mengadakan perikatan selain tunduk pada apa yang telah disepakati, juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, misalnya, dalam hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pasien, mengingat hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaan kepada dokter hilang 103 10. Tujuan perjanjiantransaksi terapeutik . Oleh karena transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan, yaitu berupa pemberian pelayanan medik yang didasarkan atas keahlian, keterampilan, serta ketelitian, maka tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan ilmu kedokteran itu sendiri, sebagaimana tersebut di bawah ini : a. Untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit. Dalam hubungan ini, pemberi pelayanan medik berkewajiban untuk memberikan bantuan medik yang dibatasi 103 Sofwan Dahlan, op. cit. hal. 25-36. oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, dan dapat mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan secara yuridis, ditegaskan pada Pasal 23 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap tenaga kesehatan termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan hukum, sepanjang kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan standar profesi dan tidak melanggar hak pasiennya. b. Untuk meringankan penderitaan. Oleh karena tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki keadaan pasien, atau agar keadaan kesehatan pasien lebih baik dari sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindarkan. Seorang pasien dapat mengharapkan bahwa seorang dokter akan membantu berupaya melakukan tindakan medik yang dapat meringankan perasaan sakitnya. c. Untuk mendampingi pasien. Di dalam pengertian ini, termasuk juga mendampingi menuju kekematiannya. Kegiatan medampingi pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan yang menyatakan bahwa kegiatan yang didasarkan keahlian secara teknis merupakan kewajiban yang lebih penting daripada kegiatan untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendampingi pasien. Oleh karena itu, jika pendidikan ilmu kedokteran kurang memperhatikan masalah kewajiban profesional menurut norma etis dan hukum, maka para dokter yang dihasilkannya cenderung melakukan kegiatan teknis pelayanan medik 104 .

C. Informed Consent

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88