6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri.
Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran tersebut terutama pada Pasal 45 ayat 6 menyebutkan bahwa peraturan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran informed consent diatur oleh Peraturan Menteri yaitu Permenkes No. 585 Tahun 1989.
Setelah itu pada tahun 2008 terbitlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290MENKESPERIII2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang
menggantikanmencabutdinyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585MENKESPERIX1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Sehingga
pedoman aturan pelaksanaan informed consent pun beralih pada Permenkes yang baru tersebut.
F. Beberapa Masalah dan Kendala Dalam Pelaksanaan Informed Consent
143
Ada beberapa masalah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan informed consent sehingga masalah tersebut akan menyebabkan terganggunya penyampaian
informasi dan bahkan akan mempengaruhi persetujuan pasien terhadap penanganan medis yang dilakukan dokter.
Salah satu yang menjadi masalah dalam informed consent adalah masalah bahasa. Bahasa sering kali menjadi masalah dalam menyampaikan informasi sebab
143
Wila Chandrawila Supriadi, op. cit. hal. 66-70.
kebanyakan pasien masih awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua istilah- istilah kedokteran dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa orang awam.
Disamping itu, tidak semua dokter dapat menyampaikan informasi dengan bahasa sederhana yang dengan mudah dapat dipahami oleh pasien. Kesenjangan pengetahuan
antara penerima jasa pelayanan kesehatan dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dapat dikatakan relatif cukup besar, dapat menyebabkan informasi yang
disampaikan kurang efektif. Penyampaian informasi harus disesuaikan dengan kondisi dari pasien. Memang
sangat ideal jika setiap dokter dapat meluangkan sedikit waktunya untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dari pasien. Karena rutinitas pekerjaan
seorang dokter yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga tidak lagi peka dengan situasi dan kondisi pasien. Selain itu adanya perbedaan presepsi antara dokter
dengan pasien, menurut pasien penting tetapi menurut dokter tidak penting. Dalam hal pasien menolak pemberian informasi disampaikan kepada keluarga
pasien, adalah hak pasien untuk menolak memberikan informasi kepada keluarga. Dalam prakteknya kadang seorang dokter menyampaikan informasi terlebih dahulu
kepada keluarga pasien daripada kepada pasien. Sedangkan menurut peraturan untuk menyampaikan informasi kepada keluarga pasien terlebih dahulu mendapat izin dari
pasien yang bersangkutan. Seorang dokter wajib untuk memberikan informasi secara jujur dan benar serta
secara luas menyampaikan risiko yang dapat terjadi dari sebuah tindakan mediskedokteran, Namun hal tersebut dapat saja membuat pasien menjadi takut dan
menolak memberikan persetujuan untuk dilaksanakan tindakan medik setelah dokter menjelaskan tentang risiko yang akan dihadapi. Selain itu batas kejujuran dan
kebenaran yang sulit ditentukan menjadi masalah tersendiri dalam penyampaian informasi di dalam informed consent.
Adanya hak untuk menolak pengobatan bagi pasien juga menjadi dilema bagi dokter, disatu pihak dokter berkewajiban secara moral untuk menolong pasien, dan di
pihak lain dokter juga harus menghormati hak pasien termasuk hak untuk menolak memberikan persetujuan. Walaupun dokter sudah menjelaskan informasi tentang
adanya kemungkinan sembuh dan tentang risikonya kalau tidak dioperasi namun jika pasien tetap menolak, dokter tetap tidak dapat memaksakan kepada pasien untuk
memberikan persetujuan. Adapun Keluhan pasien tentang proses informed consent :
a. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.
b. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada
waktu untuk tanya – jawab. c.
Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi.
d. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
144
Sedangkan keluhan dokter tentang informed consent adalah : a.
Pasien tidak mau diberitahu.
144
http:yusufalamromadhon.blogspot.com200801informed-consent.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011.
b. Pasien tak mampu memahami.
c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
145
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan masalah dan kendala dalam pelaksanaan informed consent yaitu :
1. Bahasa, yaitu adanya istilah kedokteran yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
yang mudah dimengerti. 2.
Penyampaian informasi yang benar kadang membuat pasien takut, tertekan atau tegang.
3.
Hak menolak pasien yang menjadi dilema bagi dokter yang berkewajiban menolong.
145
http:yusufalamromadhon.blogspot.com200801informed-consent.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011.
BAB III
INFORMED CONSENT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN No 290MENKESPERIII2008 SERTA KAITANNYA
DENGAN BUKU III KUHPERDATA TENTANG PERIKATAN A.
Informed Consent Menurut PERMENKES No. 290MENKESPER III2008
Ketentuan mengenai informed consent Persetujuan Tindakan Kedokteran diatur dalam PERMENKES No 290MENKESPERIII2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, yang terdiri atas 8 Bab dan 21 pasal yang menggantikanmencabut ketentuan PERMENKES No 585 MENKES PER IX 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik. Menurut PERMENKES No 290MENKESPERIII2008, Yang dimaksud dengan Informed Consent Persetujuan Tindakan Kedokteran
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien Pasal 1 angka 1 PERMENKES No 290 MENKES
PER III 2008. Menurut Pasal 13 ayat 1 dan 2 PERMENKES No 290 MENKES PER III
2008, Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. Penilaian terhadap kompetensi pasien tersebut dilakukan oleh dokter pada saat
diperlukan persetujuan. Pasien yang berhak untuk memberikan persetujuan adalah pasien yang kompeten yaitu pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telahpernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan retardasi mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas Pasal 1 angka 7 PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008. Keluarga terdekat pasien itu sudah ditentukan siapa saja yaitu suami atau
istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 1 angka 2 PERMENKES
No 290 MENKES PER III2008. Mengenai tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien tersebut menurut
PERMENKES No 290MENKESPERIII2008, pada Pasal 1 angka 3 adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan Pasal 2
ayat 2 PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008 namun untuk tindakan kedokteran yang berisiko tinggi tindakan medis yang berdasarkan tingkat
probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan, harus dengan persetujuan tertulis dimana persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud itu dibuat
dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu Pasal 3 ayat 1 dan 3 PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008. Untuk
persetujuan secara lisan dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. Namun
Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis Pasal 3 ayat 4 dan 5 PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008.
Pengecualian terhadap tidak diperlukannya informed consent Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah jika Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien danatau mencegah kecacatan Pasal 4 ayat 1 PERMENKES No 290MENKESPERIII2008. Keputusan untuk melakukan
tindakan kedokteran dalam keadaan darurat tersebut diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. Dalam hal dilakukannya tindakan
kedokteran sebagaimana yang disebutkan di atas, dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat Pasal 4 ayat 2 dan 3 PERMENKES No 290 MENKES PERIII2008. Dan dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan
program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka Persetujuan Tindakan Kedokteran informed consent tidak diperlukan
Pasal 15 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008. Persetujuan Tindakan Kedokteran informed consent dapat dibatalkan atau
ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. Dimana pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud tersebut
harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
tersebut menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan. Hal tersebut di atas tertuang pada Pasal 5 ayat 1 sampai 3 PERMENKES No
290MENKESPERIII2008. Hal tersebutlah yang menjadi l etak bedanya informed
consent dengan perjanjian pada umumnya, dimana informed consent dapat dibatalkan secara sepihak.
Pemberian Persetujuan Tindakan Kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan
kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 6 PERMENKES No 290MENKESPERIII2008.
Menurut Pasal 7 ayat 1 sampai 3 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008, penjelasan informasi tentang tindakan kedokteran harus diberikan
langsung kepada pasien danatau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud tersebut sekurang-kurangnya mencakup:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
6. Perkiraan pembiayaan.
Adapun di dalam Pasal 8 ayat 1 sampai 4 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008, menjelaskan tentang penjelasan tentang diagnosis dan keadaan
kesehatan pasien yang meliputi :
1. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
2. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding; 3.
Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
4. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
Kemudian mengenai penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan yang meliputi:
1. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, ataupun rehabilitatif. 2.
Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
3. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan tindakan yang direncanakan. 4.
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
5. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya. Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran yaitu semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
1. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
2. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat
ringan 3.
risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya unforeseeable Yang terakhir mengenai penjelasan tentang prognosis yang meliputi:
1. Prognosis tentang hidup-matinya ad vitam;
2. Prognosis tentang fungsinya ad functionam;
3. Prognosis tentang kesembuhan ad sanationam.
Penjelasan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PERMENKES No 290MENKESPERIII2008, harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang
mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Penjelasan tersebut dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh
dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Dalam
hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter
atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi Pasal 9 ayat 1
sampai 3 PERMENKES No 290MENKESPERIII2008. Penjelasan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh
dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang
merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka
pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai
dengan kewenangannya. Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud tersebut adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung
kepada pasien Pasal 10 ayat 1 sampai 4 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan. Penjelasan
kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud tersebut merupakan dasar daripada persetujuan Pasal 11 ayat 1 dan 2 PERMENKES No
290 MENKES PER III2008. Dalam hal perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
pasien. Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud tersebut dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau
keluarga terdekat. Pasal 12 ayat 1 dan 2 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008.
Pada Bab IV Pasal 14 ayat 1 sampai 3 tentang Ketentuan Pada Situasi Khusus di dalam PERMENKES No 290 MENKES PER III2008, disebutkan bahwa,
Tindakan penghentianpenundaan bantuan hidup withdrawingwithholding life support pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
Persetujuan penghentianpenundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan. Persetujuan tersebut harus diberikan secara tertulis.
Pada Bab V Pasal 16 ayat 1 sampai 4 mengenai Penolakan Tindakan Kedokteran dalam PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008, disebutkan
bahwa, Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien danatau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan. Penolakan tindakan kedokteran tersebut harus dilakukan secara tertulis dan akibat penolakan tindakan kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien.
penolakan tindakan kedokteran tersebut tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran dan
sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran. Hal ini sebagaimana termuat pada Pasal 17 ayat 1 dan 2
PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008. Dengan adanya PERMENKES No 290 MENKES PER III 2008 maka
ketentuan PERMENKES No 585 MENKES PER IX 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan
ketentuan penutup Pasal 20 PERMENKES No 290 MENKES PER III2008.
B. Informed Consent dalam Aspek Keperdataan Buku III KUHPerdata