pohon, jumlah pohon per hektar, volume pohon per hektar, volume total untuk tiap kelas umur sebagaimana tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Taksiran volume kayu jati di KPH Madiun Umur
perlakuan N
K rata-rata cmpohon
V rata-rata tabel m3pohon
Nha Vha Volume
Total 15
62 44,85
0,09 775
70 109.158,10
20 70
50,56 0,12
700 84
132.100,04 25
135 50,19
0,12 563
68 57.124,12
30 166
72,69 0,28
346 98
81.880,78 35
76 94,11
0,51 211
108 100.599,19
40 43
119,73 0,80
179 143
132.638,29 45
45 81,39
0,36 225
81 8.216,66
50 188
126,37 0,54
171 92
9.366,37 55
105 114,97
0,79 131
103 49.509,96
60 87
130,18 1,07
109 117
55.932,48 Berdasarkan Tabel 5, umur tegakan jati 40 tahun mempunyai volume total
paling besar. Volume total yang besar tegakan jati umur 40 tahun ini dipengaruhi oleh keliling pohon yang besar dan luas areal produksi yang luas. Sedangkan
volume total paling kecil pada tegakan jati umur 45 tahun karena keliling pohonnya kecil dan luas areal produksinya juga kecil. Volume total pada KU IV
lebih besar dari KU V karena luas areal produksi tanaman jati pada KU IV sembilan kali lebih besar dari KU V.
5.2 Kondisi Tegakan KPH Madiun
Kondisi tegakan KPH Madiun dipengaruhi oleh jenis pohon, keliling atau diameter, dan volume. Kondisi jumlah pohon, diameter, dan volume rata-rata
tegakan jati Tectona grandis L. f. di KPH Madiun menunjukkan kondisi tidak normal, dimana KU lebih rendah mempunyai volume per hektar lebih besar dari
volume per hektar pada KU yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari volume per hektar KU IV umur 40 tahun lebih besar dari KU VI umur 60 tahun. Untuk
melihat kenormalan kondisi tegakan hutan jati di KPH Madiun, maka kondisi
tegakan aktual saat ini KPH Madiun dibandingkan dengan kondisi tegakan normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing.
1. Perbandingan jumlah pohon Perbandingan jumlah pohon per hektar antara tegakan jati normal
berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur
tahun Jumlah Pohon Per Hektar pohonhektar
Selisih Kondisi Normal
Kondisi Aktual Jumlah
pohonhektar Persen
15 1005
775 230
22,89 20
766 700
66 8,62
25 617
563 55
8,83 30
515 346
169 32,85
35 442
211 231
52,24 40
386 179
207 53,58
45 344
225 119
34,59 50
310 171
139 44,87
55 283
131 152
53,62 60
261 109
152 58,33
Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang
Tabel 6 menunjukkan perbedaan jumlah pohon per hektar antara kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini. Kondisi
tegakan normal mengalami penurunan jumlah pohon seiring dengan bertambahnya umur tegakan. Sedangkan kondisi hutan di KPH Madiun saat ini
menunjukan ketidakteraturan jumlah pohon per hektar sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pohon per
hektar pada kondisi aktual lebih sedikit dan tidak teratur jika dibandingkan dengan jumlah pohon per hektar pada kondisi normal. Selisih jumlah pohon per
hektar antara kondisi normal dan kondisi aktual relatif besar. Persen selisih yang paling besar ditunjukkan pada tegakan umur 60 tahun sebesar 58,33. Grafik
perbandingan jumlah pohon per hektar untuk kondisi normal dan aktual di KPH Madiun disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual. Kondisi tegakan normal menggambarkan kurva J terbalik untuk jumlah
pohon per hektar. Kondisi normal tersebut merupakan kondisi ideal tegakan jati dari hasil perlakuan penjarangan dan keamanan tegakan selama jangka
pengusahaan hutan jati. Berbeda dengan kondisi hutan normal, kondisi hutan aktual di KPH Madiun saat ini menunjukkan ketidaknormalan, terutama pada
tegakan umur 45 tahun yang jumlah pohon per hektarnya jauh lebih banyak dari tegakan umur 40 tahun. Jumlah pohon per hektar dari umur 40 tahun yang
cenderung menurun, selanjutnya pada umur 45 tahun dan 50 tahun up jumlahnya lebih banyak per hektarnya.
2. Perbandingan Diameter Perbandingan diameter antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff
Von Wulfing dengan tegakan jati aktual di KPH Madiun tertera pada Tabel 7. 200
400 600
800 1000
1200
15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Ju m
lah P
oh on
N h
a
Daur Tahun
Kondisi Normal Kondisi Aktual
Tabel 7 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur
tahun Diameter cm
Selisih Kondisi Normal
Kondisi Aktual Jumlah cm
Persen 15
11,9 14,28
-2,38 -20,03
20 14,3
16,10 -1,80
-12,60 25
16,6 15,98
0,62 3,71
30 18,7
23,15 -4,45
-23,80 35
20,7 29,97
-9,27 -44,79
40 22,7
38,13 -15,43
-67,97 45
24,6 25,92
-1,32 -5,36
50 26,4
31,05 -4,65
-17,61 55
28,1 36,62
-8,52 -30,31
60 29,8
41,46 -11,66
-39,12
Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang
Tabel 7 menunjukan bahwa perbedaan diameter pada kondisi tegakan normal dan kondisi aktual hutan jati KPH Madiun. Dengan bertambahnya umur
tegakan, maka diameter pada tegakan hutan normal semakin besar. Hal ini karena pada kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini ada ketidakteraturan diameter
dengan bertambahnya umur tegakan. Berdasarkan diameter pohon, maka kondisi aktual di KPH Madiun adalah baik karena diameter yang besar akan
menghasilkan volume yang besar. Volume yang besar akan meningkatkan pendapatan bagi Perhutani KPH Madiun.
Diameter pada kondisi aktual lebih besar dan cenderung naik jika dibandingkan dengan diameter pada kondisi normal. Diameter pada kondisi aktual
yang lebih besar dari diameter pada kondisi normal dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar yang relatif sedikit. Jumlah pohon lebih sedikit dengan luasan
yang sama, menyebabkan diameter semakin besar karena ruang tumbuhnya lebih besar. Grafik perbandingan diameter tegakan normal dan aktual disajikan pada
Gambar 3.
Gambar 3 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual. Gambar 3 untuk kondisi normal menunjukan keteraturan diameter yang
semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Hal ini ditunjukkan oleh grafik linier ke atas. Sedangkan untuk kondisi aktual menunjukkan grafik
patah-patah dan tidak teratur. Diameter pada umur 25 meningkat sampai umur 40 tahun dan tiba-tiba menurun drastis menuju umur 45 tahun. Perbedaan diameter
untuk umur 40 tahun dan 45 tahun sangat besar. Jika kondisi tegakan normal, seharusnya kelilingdiameter umur 45 tahun lebih besar dari umur 40 tahun.
Diameter tegakan jati umur 40 tahun lebih besar dari umur 45 tahun, umur 50 tahun, dan umur 55 tahun, bahkan hampir menyamai diameter pada umur 60
tahun. 3. Perbandingan Volume
Perbandingan volume antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 8.
5 10
15 20
25 30
35 40
45
15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 D
ia m
et er
cm
Daur Tahun
Kondisi Normal Kondisi Aktual
Tabel 8 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur
tahun Volume Pohon Per Hektar m
3
ha Selisih
Kondisi Normal Kondisi Aktual
Jumlah m
3
ha Persen
15 98,2
69,6 28,64
29,17 20
116,6 84,2
32,43 27,81
25 132,4
68,1 64,25
48,53 30
147,3 97,7
49,62 33,69
35 161,6
108,2 53,41
33,05 40
175,4 142,7
32,75 18,67
45 188,8
80,6 108,21
57,31 50
201,5 91,9
109,63 54,41
55 213,9
103,2 110,71
51,76 60
225,9 116,6
109,33 48,40
Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang
Tabel 8 menunjukkan perbedaan yang besar antara volume per hektar kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati KPH Madiun saat ini. Volume
per hektar kondisi normal, semakin bertambahnya umur tegakan, semakin besar pula volume pohon per hektarnya. Hal ini menunjukkan keteraturan dari kondisi
volume per hektar tegakan jati yang ideal. Sementara untuk kondisi tegakan aktual di KPH Madiun saat ini relatif tidak normal. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya
volume per hektar yang tidak teratur dan berfluktuasi sejalan dengan bertambahnya umur tegakan.
Pada Tabel 8, volume per hektar tegakan aktual di KPH Madiun saat ini lebih kecil dan tidak teratur atau berfluktuasi dibandingkan dengan volume per
hektar pada kondisi tegakan normal. Persentase selisihnya menunjukkan nilai yang tidak teratur dan berfluktuasi dengan semakin bertambahnya umur tegakan.
Berikut ini merupakan grafik perbandingan volume per hektar untuk tegakan normal dan aktual yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual. Gambar 4 menunjukkan garis linier ke atas dan cenderung teratur untuk
tegakan normal. Volume per hektar semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Sedangkan untuk grafik volume per hektar pada kondisi tegakan
aktual menunjukkan garis fluktuatif. Terlihat jelas volume per hektar umur 40 tahun sangat tinggi dan cenderung menurun drastis pada umur 45 tahun,
selanjutnya naik lagi. Hal ini menunjukan bahwa kondisi tegakan jati di KPH Madiun relatif tidak teratur.
Salah satu faktor penyebab yang mengakibatkan terjadi peningkatan kerusakan hutan dari waktu ke waktu adalah gangguan hutan. Menurut
Departemen Kehutanan 1987, berbagai gangguan terhadap kawasan hutan dan isinya berupa perambahan kawasan, pencurian kayu, penebangan liar, kebakaran
hutan, perladangan liar, bencana alam serta hama dan penyakit. Penyebab dari berubahnya kondisi hutan normal ke kondisi hutan tidak
normal kondisi saat ini di KPH Madiun, antara lain: 1 Penjarahanpencurian kayu, 2 kebakaran hutan dan 3 bencana alam menjadi penyebab utama dari
ketidakteraturan kondisi tegakan yang ada saat ini. Permintaankebutuhan masyarakat terhadap kayu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk. Ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, memaksa masyarakat untuk mengambil sumber daya dari hutan untuk memenuhi
50 100
150 200
250
15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 V
ol u
m e
m 3
h a
Daur Tahun
Kondisi Normal Kondisi Aktual
kebutuhannya. Kayu jati khususnya, termasuk jenis kayu banyak diminati karena memiliki nilai jual tinggi karena tekstur unik dan keawetannya.
Gangguan terhadap hutan sering dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang umumnya taraf hidup dan pendidikannya masih rendah, sehingga
masyarakat masih belum sadar akan bahaya yang dilakukannya terhadap hutan. Macam gangguan berupa kayu hasil hutan, penebangan liar dan penyerobotan
lahan hutan Departemen Kehutanan 1987. Pencurian kayu akan berakibat pada berkurangnya hasil tebangan yang akan mempengaruhi degradasi produktivitas
suatu lahan untuk suatu unit pengelolaan, karena luasan tegakan KU akan semakin berkurang akibat pencurian tersebut dan akan menyebabkan adanya anak petak
yang baru. Dengan maraknya pencurian tersebut, akan menyebabkan luas KU muda akan semakin bertambah banyak. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4, bahwa
luas produktif kayu jati didominasi oleh KU I dengan presentase 56,7 dari total luas produktif kayu jati di KPH Madiun.
Simon 2001 menyebutkan bahwa sejak dekade tahun 1960-an hutan jati di Jawa terus mengalami proses penurunan kualitas tegakan. Adanya keterlambatan
penyesuaian sistem pengelolaan hutan dengan perubahan sosial yang sudah terjadi sejak awal 1950-an merupakan salah satu penyebab kemerosotan kualitas tegakan.
Pada saat krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pertengahan tahun 1998 terjadi penjarahan besar-besaran terhadap tegakan jati Perum Perhutani termasuk
KPH Madiun. Penjarahan ini terus berlangsung sampai sekitar tahun 2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan tegakan jati di Perum Perhutani.
Nilai kerugian batang, yaitu: pada tahun 1999 sebanyak 3.179.973 pohon dengan kerugian sebesar Rp.55.851.084.000; tahun 2000 sebanyak 2.574.948 pohon
dengan kerugian sebesar Rp.569.757.232.000; dan tahun 2001 sebanyak 2.675.161 pohon dengan kerugian sebesar Rp.613.924.367.000 Perum Perhutani
2004. Istichomah 2006 menyebutkan bahwa di KPH Madiun proporsi
kehilangan tegakan jati semakin besar sejalan dengan makin tuanya tegakan atau makin besarnya diameter tegakan. Proporsi kehilangan tegakan jati paling besar
pada umur 74 tahun sebesar 0,63 . Hanggumantoro 2007 juga menyebutkan bahwa tingkat pencurian pada KPH Madiun tahun 2002 sangat tinggi sebanyak
13.603 pohon yang hilang karena pencurian. Hal ini disebabkan selain oleh adanya situasi politik yang kurang stabil karena adanya peralihan kekuasaan, juga
disebabkan oleh penegakan hukum pada saat itu sangat lemah, sehingga akan mendorong tindakan pencurian yang sangat tinggi. Penurunan tindakan pencurian
hutan mulai tahun 2004 ke tahun berikutnya, karena pada saat itu pengamanan hutan melibatkan TNI Tentara Nasional Indonesia, sehingga penegakan hukum
dicoba untuk diberdayakan dan tegkan yang tersisa sudah sulit untuk dijarah masyarakat karena yang tersisa adalah tegakan yag KU relatif besar diameter
besar dan atau kondisinya yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Selain itu, kebakaran hampir sering terjadi di kawasan hutan jati KPH
Madiun. Tiga faktor timbulnya kebakaran hutan menurut Departemen Kehutanan 1992 adalah kesengajaan, kelalaian, dan pengaruh manusia. Manusia sengaja
membakar hutan untuk berbagai tujuan, antara lain: memperoleh lahan hutan bagi perladangan, memanfaatkan abu serasahnya untuk memupuk tanah garapan,
memperoleh tunas atau rumput muda untuk memperoleh pakan ternak, dan mengalihkan perhatian terhadap keamanan hutan. Bentuk kelalaian manusia
antara lain: membuang atau meninggalkan obor secara sembarang, puntung rokok, atau api unggun. Sambaran petir terhadap pohon terkadang menyebabkan
kebakaran. Kebakaran hutan akan berakibat pada pengurangan produktivitas suatu lahan dari suatu unit pengelolaan. Penurunan produktifitas tersebut adalah akibat
terganggunya pertumbuhan tegakan hutan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kenormalan tegakan hutan.
Pada saat pengambilan data di lapang, ditemukan bekas areal hutan terbakar yang sengaja dibakar oleh warga untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya ada
di petak 118 c. Masyarakat yang tidak bertanggung jawab terkadang sengaja membakar hutan untuk diambil kayu-kayu kecilnya dan digunakan sebagai kayu
bakar. Pelaku pembakaran tidak memikirkan akibat jika hutan yang sengaja mereka bakar dapat merambat membakar hutan di sekelilingnya. Hanggumatoro
2007 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang paling luas di KPH Madiun terjadi pada tahun 1999, hampir mencapai 1.146 ha. Hal ini disebabkan oleh
musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan adanya bahan bakar yang mencukupi untuk terbakar dan adanya oknum dari masyarakat yang sengaja
membakar hutan untuk mengalihkan perhatian petugas keamanan agar kegiatan pencurian tidak diketahui.
Penyebab berubahnya kondisi hutan tidak normal selanjutnya adalah gangguan hutan berupa bencana alam yang merupakan akibat ulah manusia yang
tidak bertanggung jawab, misalnya adanya kegiatan pencurian hutan yang akan menyebabkan bencana banjir maupun tanah longsor. Hanggumantoro 2007
menyebutkan bahwa bencana alam yang terjadi di KPH Madiun paling luas terjadi pada tahun 1994, sebanyak 2150 pohon. Bentuk kerusakan yang terjadi, antara
lain: angin kencang dan sambaran petir yang dapat menyebabkan pohon tumbang sehingga produksi yang seharusnya diperoleh pada akhirnya akan berkurang.
Di KPH Madiun, hampir ratusan pohon hancur tiap tahunnya karena anginbadai. Informasi tersebut didapatkan dari mandor yang bekerja di salah satu
wilayah KPH Madiun. Jika hal tersebut tidak ditindaklanjuti, akan berpengaruh terhadap kondisi tegakan jati di KPH Madiun di masa yang akan datang.
Gangguan hutan yang menjadi penyebab perubahan hutan normal ke kondisi saat ini sangat berpengaruh terhadap luasan struktur kelas hutan di KPH Madiun.
Luasan KU rendah lebih besar dari luasan KU tinggi. Pada saat pengambilan data di lapang, banyak melewati kawasan hutan yang TJBK Tanaman Jati
Bertumbuhan Kurang. Kelas umur yang berubah statusnya menjadi TJBK tersebut disebabkan karena maraknya pencurian yang terjadi.
5.3 Biaya