Resiko Dari Perjanjian Jual Beli

51

4. Resiko Dari Perjanjian Jual Beli

Resiko adalah kerugian yang timbul diluar kesalahan salah satu pihak. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian jual beli kerugian itu timbul diluar kesalahan pihak penjual maupun pihak pembeli, misalnya barang yang dijual itu musnah karena kebakaran atau kebanjiran sebelum menyerahkan. Resiko dalam perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjual belikan yaitu apakah a barang itu telah ditentukan b barang tumpukan; atau c barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran, atau jumlah. Dalam hal seseorang membeli barang yang telah ditentukan, resiko ditanggung pembeli sejak saat terjadinya kesepakatan, walaupun barang tersebut belum diserahkan kepada pembeli. Ketentuan itu berlaku walaupun barang tersebut belum dibayar oleh pembeli. Hal ini berarti bahwa penjual berhak menagih harga barang kepada pembeli walaupun barang tersebut telah musnah sebelum diserahkan kepada pembeli. Resiko berlaku terhadap barang yang telah ditentukan berlaku pula terhadap barang yang dijual berdasarkan tumpukan. 55

B. Hukum Kontrak Jual Beli Menurut Hukum Perdata Internasional

Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara. 55 Ahmadi Miru, Op cit, hal 130 52 Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara saja tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican, belligerency, merupakan contoh-contoh subjek non negara. 56 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. 57 HPI merupakan bagian daripada hukum nasional. Demikian banyak negara- negara nasional, demikian banyak sistim-sistim HPI. Oleh karena itu tiap-tiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistim HPI nya sendiri. 58 HPI dirumuskan sebagai berikut : Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga warga negara yang pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik –titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan –lingkungan kuasa tempat pribadi dan soal- soal. Jadi disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal serta perbedaan dalam sistem suatu negara dengan negara lain, artinya adanya unsur luar negerinya foreign element, unsur asing 59 56 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 2 57 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1982, hal 1 58 S. Gautama, Op cit, 1987 hal 3 59 S. Gautama, Op cit, hal 21 53 Kegiatan jual beli juga merupakan orientasi perdagangan internasional atau perdagangan antar negara yang berdampak luas dan kompleks karena para pihak yang terlibat tunduk pada lebih dari satu sistim hukum nasional yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu dampaknya yaitu penyelesaian sengketa yang mungkin timbul sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak bisnis internasional tersebut. Para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional pada dasarnya tidak menghendaki adanya sengketa dikemudian hari, namun tidak seorangpun dapat meramalkan akan terjadinya suatu kerugian yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak tersebu hukum dari negara mana yang harus diterapkan. misalnya : sengketa yang timbul dari suatu kontrak jual beli internasional, apakah hukum yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum nasional dari pihak penjual, atau hukum nasional dari pihak pembeli, atau hukum dari forum dimana sengketa itu diajukan, atau hukum yang dipilih oleh para pihak choice of law by the parties Yang menjadi dasar hukum untuk melakukan kontrak internasional Menurut Munir Fuadi sebagai berikut : 1. Provision contract a. Hal-hal yang diatur di dalam kontrak harus disepakati oleh para pihak, para pihak bebas menentukan isi kontrak yang dibuat di antara mereka freedom of contract . Hal ini sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata. b. Para pihak bebas menentukan kepada siapa dia akan mengadakan perjanjian kontrak atau para pihak bebas menentukan lawan bisnisnya. 2. General contract Menurut Buku III KUHPerdata Perikatan bersumber dari : a. Perjanjian : bernama dan tidak bernama. 54 b. Undang-undang 3. Specific contract Hukum Kontrak International selain mengatur ketentuan-ketentuan umum, juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak- kontrak tertentu, misalnya ketika kontrak Internasional dibuat dan diatur hukum Indonesia, maka berlakulah pasal-pasal KUHPerdata. Bila masalah yang diperjanjikan menyangkut hal yang baru dan tidak ditemukan dalam pasal-pasal KUHPerdata termasuk perjanjian tidak bernama, maka berlakulah asas kebebasan berkontrak. 4. Kebiasaan Bisnis Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, dan hal ini juga terjadi pada hukum bisnis internasional dan kebiasaan bisnis ini dapat menjadi panduan dalam mengatur prestasi kontrak bisnis internasional dengan syarat : a. Kebiasaan tersebut terjadi perulangan b. Apa yang dilakukan berulang itu diterima sebagai hukum sehingga disebut hukum kebiasaan accepted as law 5. Yurisprudensi Dasar hukum yurisprudensi jarang digunakan para pelaku bisnis internasional, karena mereka lebih menyukai lembaga Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Mereka tidak menyukai penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui Pengadilan karena berperkara melalui pengadilan terbuka untuk umum yang dapat merusak reputasi bisnis mereka. 6. Kaidah Hukum Perdata International Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lebih banyak digunakan, karena transaksi bisnis internasional melibatkan berbagai pihak dari berbagai negara. Bila terjadi sengketa bisnis yang tidak diatur dalam kontrak, maka digunakanlah kaidah-kaidah hukum perdata internasional yaitu kaidah The Most Characteristic Connection . Kaidah ini digunakan bilamana para pihak tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam kontrak, yaitu kaidah hukum negara bagi pihak yang memberikan prestasi yang paling karakteristik, misalnya eksportir dari Indonesia, importir dari Jepang, maka yang digunakan adalah hukum Indonesia. 55 7. International Convention, misalnya UNCITRAL United Nation Convention International Trade Law ,ICC International Chamber of Commercial: melahirkan Arbitrasemisalnya di Indonesia BANI, Kadin. 60

C. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Internasional Dalam

Kontrak Perjanjian 1. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional Dalam Hukum Perdata Internasional dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga terhindar unsur-unsur yang merugikan para pihak membuat suatu kontrak yang mereka sepakati dan hal itu tetap berlaku dalam hukum perdata internasional. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut : a. Asas Kebebasan Berkontrak Partij Autonomie Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu: 1. Seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, 2. Seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga. b. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya kata sepakat. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata ayat 1 kesepakatan dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Asas konsensualisme merupakan “roh” dari perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatann para pihak , namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mecerminkan kesepakatan yang sesungguhnya. c. Asas Kekuatan Mengikat Pacta Sunt Servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para 60 http:tadjuddin.blogspot.com201107hukum-kontrak-internasional.html tanggal 4 maret 2012 pukul 21.00 WIB 56 pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya , asas kekuatan mengikat atau facta Sunt servanda dapat diketahui dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, guna mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak sejak dipenuhinya syarat. Asas kekuatan mengikat ini perlu telaah secara kritis dan tajam dengan nalar argumentasi, sebagai berikut : - Asas daya mengikat kontrak the binding force of contract difahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual i.c. terkait isi perjanjian- prestasi yang harus dilaksanakan para pihak. - Pada dasarnya janji itu mengikat pacta sunt servanda sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku dan mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang. - Asas pacta sunt servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat kontrak. - Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khusus di common low, disebut “privity of contract”. 61 d. Asas Kebiasaan, suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan , yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Jadi , sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan pasal 1339 KUHPerdata. e. Asas Peralihan Resiko Dalam sistem hukum Indonesia beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli , tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa , pemborongan perkerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 61 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 123-124 57 f. Asas Ganti Kerugian, Penentuan ganti kerugian merupakan tugas pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : “ Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada seseorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut“. Akan tetapi harus dibuktikan dengan hubungan sebab akibat antara perbuatan hukum dengan kerugian, jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh sipelaku dengan timbulnya kerugian tersebut. g. Asas kepatutan Equity Prinsiple . Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan kelayakankeseimbangan, sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat KUHPerdata 1339 . Dengan begitu setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. h. Asas Ketepatan Waktu, setiap kontrak , apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi objek kontrak . Prinsip ini sangatlah penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti rugi. i. Asas Keadaan Darurat Force Majeure . Force Majeure prinsiple ini merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontak . Jika tidak dimuat dalam suatu naskah kontrak, maka bila terjadi hal-hal diluar kemampuan manusia, misalnya gempa, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggun jawab atas semua kerugian yang timbul oleh bencana alam tersebut. 62 . Asas kebebasan berkontrak ini dapat dijumpai pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang merumuskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan perumusan 62 http: Secangkir kopi panas680.blogspot .com201107tugas hukum perdata internasional- asas.htlm?m=1, di akses pada tanggal 04 Maret 2012 pukul 22.00 WIB 58 Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari kata “semua” pada hakekatnya setiap orang dapat melaksanakan perjanjian tentang apa saja, sepanjang perjanjian yang di buat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 63 Subekti menyatakan bahwa asas ini berpangkal pada adanya kedudukan kedua belah pihak sama kuatnya dalam membuat perjanjian. Subekti juga mengatakan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam KUHPerdata, yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 itu telah memungkinkan berkembangnya hukum perjanjian, karena masyarakat diberikan kebebasan menciptakan atau membuat sendiri bermacam- macam perjanjian khusus disamping perjanjian-perjanjian umum yang telah diatur dalam KUHPerdata. 64 Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang menciptakan perjanjian- perjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, dengan kata lain para pihak juga harus berpedoman pada aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, maka hal ini merupakan suatu fakta yang menunjukkan bahwa Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang Perikatan, menganut sistem terbuka openbaar system, berarti pasal-pasal hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap. Karena hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, maka pasal- pasal yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata itu dapat dikesampingkan apabila 63 Ibid. , hal 14. 64 Subekti, Ibid 59 dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, akan tetapi tidak terlepas pada hal-hal telah dibatasi dan ditetapkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata itu. Sistem terbuka yang dimiliki oleh hukum perjanjian tersebut justru memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak yang berjanji. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya beginsel der contractsvrijheid untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian. 65 Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 1 KUHPerdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Azas tersebut berdiri dalam suatu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktek dewasa ini, seringkali azas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar bargaining position yang seimbang , tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. 66 65 I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Contract Drafting dan Praktik, Mega poin, Jakarta, 2003, hal 33. 66 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 111 60 Asas-asas dalam Hukum Perdata Internasional umumnya telah diterima oleh sebagian besar negara-negara dunia, karena sudah menjadi suatu yang mengikat bagi negara-negara peserta konvensi internasional untuk memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang berlaku secara internasional sepanjang telah dilakukan ratifikasi hukum dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang dianut oleh suatu negara.

2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Internasional