122 Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa
sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum
nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh exhausted .
156
B. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Aribitrase
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perjanjian jual beli internasional pada prinsipnya sama juga dengan forum yang dikenal dalam
hukum penyelesaian sengketa internasional pada umumnya.
Bentuk perjanjian arbitrase ada 2 macam : 1.
Pactum de compromittendo, yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak, sebelum adanya sengketa dan klausula
dibuatdicantumkan di dalam perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase selalu didahului dengan perjanjian pokok, tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian
pokok dapat berjalan, sehingga perjanjian arbitrase disebut perjanjian assesori perjanjian lanjutantambahan
2. Kebalikan dari Pactum de compromittendo, yaitu perjanjian arbitrase dibuat
setelah terjadi sengketa.
157
Terdapat beberapa alasan sehingga pelaku bisnis negara-negara maju menyelesaikan sengketa bisnisnya melalui arbitrase,yaitu :
1. Tidak terdapat badan peradilan internasional yang dapat mengadili sengketa
sengketa dagang internasional. 2.
Penyelesaian sengketa arbitrase cepat dan murah. Sifat cepat dan murah berhubungan dengan proses dan prosedur arbitrase yang cenderung lebih
sederhana dibandingkan dengan prosedur peradilan. Sifat ini sangat dibutuhkan masyarakat bisnis yang bersifat efisien dan berorintasi pada profit.
156
Huala Adolf, Ibid, 198
157
www.fh.unair.ac.idopini.hukum.php?id=5respon=0 tanggal 4 maret 2012 pukul 22 WIB
123 3.
Dapat dihindari efek negative suatu publikasi.Hal ini sangat penting dengan sifat konfidentio daripada pertimbangan arbitrase dalam memutuskan perkara.
Tidak seluruh hal yang berkaitan dengan sengketa yang diputus adalah baik untuk diketahui umum karena berkaitan dengan bonafiditas perusahaan.
Pelaku bisnis enggan menyelesaikan sengketa bisnis mereka melalui pengadilan, karena salah satu asas dalam berperkara melalui pengadilan
adalah sidang terbuka untuk umum, bila tidak terbuka untuk umum maka putusan pengadilan tidak sah. Pelaku bisnis tidak menyukai sengketa bisnis
mereka dipublikasikan,mereka selalu menjaga reputasinya. sehingga ditempuh cara penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga arbitrase yang relative
lebih tertutup.
4. Kekhawatiran terhadap kualitas forum peradilan nasional. Pengusaha asing
cenderung merasa tidak aman unsafe menggunakan hukum nasional negara tertentu. Mareka merasa kurang paham dan kurang yakin terhadap
perlindungan hukum yang akan diperolehnya. Hal ini berhubungan dengan citra umum kwalitas hukum nasional suatu negara.
5. Pembebasan diri dari forum hakim nasional, dilakukan dengan menetapkan
“arbitrase clause” dalam kontrak, yaitu klausula tentang forum yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Melalui klausula ini para pihak
menentukan bahwa jika kelak timbul sengketa dari ikatan bisnis yang dibentuknya, akan menggunakan forum arbitrase luar negeri, seperti arbitrase
menurut ICC di Paris.
6. Pencegahan terjadinya “forum shopping” = forum penyelundupan = itikad
buruk untuk mengalihkan persoalan. Hal ini terjadi di pengadilan umum, sehingga harus berperkara melalui arbitrase
7. Pencegahan peradilan ganda terhadap kasus yang sama, hal ini sering timbul
akibat perbedaan penafsiran para pihak.
158
Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung sejak zaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam
penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia . Jejak aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada
pasal 377 HIR, pasal 3 undang-undang no. 4 tahun 1970 tentang kekuasaan
158
tadjuddin.blogspot.com201107hukum-kontrak-internasional.html tanggal 4 Maret 2012 pukul 21.00WIB
.
124 kehakiman, Undang-undang no. 5 tahun 1968, Peraturan Mahkamah Agung
PERMA no.1 tahun 1990 dan teranyar dalam undang-undang no. 30 tahun 1999.
159
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999, mengenai Arbitrase dan alternative penyelesaian
sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan sebagai
berikut : 1.
Arbiter atau majelis mengabil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
2. Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak.
160
Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk
memilih hukum yang berlaku. Dari kedua instrument tersebut UU Nomor 30 tahun 1999 dan Model Arbitration Law 1985 terdapat beberapa cacatan pinggir yang
cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrument berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU
nomor 30 tahun 1999 menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil keputusan. Pasal ini tidak menentukan
atau mensyaratkan hukum yang akan diterapkan tersebut harus pilihan hukum para pihak. Sementara itu, Model Law dengan tegas menyatakan bahwa badan arbitrase
harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya ketentuan UU nomor 30 tahun 1999 ini harus disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan
klausul Model Law ini.
159
maspurba.wordpress.com20080510penyelesaian-sengketa-bisnis-melalui-arbitrase-internasional tgl 7 Maret 2012 pukul 21.00 WIB
160
Huala Adolf, Op cit, hal 217
125 Kedua, Dalam masalah ketika para pihak tidak memilih hukum yang akan
berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas.
Penjelasan pasal 56 UU Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa menyebutkan bahwa apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum maka
arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan. Sementara itu, Model Law bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum¸badan
arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional conflict of laws rules yang dianggap
berlaku oleh arbitrator atau badan arbitrase
161
Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif.
Kesepakatan para pihak tersebut diharapkan tidak akan diingkari sesuai dengan asas pacta sunt servanda
mana kala ada sengketa, untuk menyelesaikannya melalui jalur arbitrase. Namun demikian, pihak yang dikalahkan dalam arbitrase, sering kali men
challenge keputusan arbitrase, baik atas dasar bahwa arbitrase tidak memiliki
kewenangan dalam memutuskan materi yang menjadi objek sengketa, atau para arbiter bertindak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, cover both side atau
impartialitas . Lebih jauh lagi, sering keputusan murni bisnis dalam arbitrase,
161
Huala Adolf, Ibid, hal 218
126 dikaitkan dengan penekanan atau campur tangan politis negara kuat tertentu yang
menekan salah satu pihak yang berperkara . Berdasarkan aturan normatif, apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase, sesungguhnya tidak ada lagi kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa substansi sengketa tersebut. Namun, dengan berbagai alasan
dan pembenaran yang dimungkinkan, sering sekali putusan arbitrase diuji lagi oleh pengadilan negeri di Indonesia, atau eksekusinya tidak dilaksanakan, membuat
banyak pihak mempertanyakan efektivitas eksekusi putusan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia. Hal-hal seperti conflict of law, error in persona, mempertanyakan
jurisdiksi pengadilan adalah alasan yang legally umum disampaikan para lawyer. Hal ini sering dipelesetkan, bukan merupakan conflict of law, tetapi conflict of lawyer.
1.1. Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase
Apabila diperhatikan nampaknya ada sikap mendua dalam sistem pengadilan di Indonesia untuk dapat menerima kekuatan mengikat yang bersifat final dan
mempunyai daya eksekusi atas suatu putusan perkara yang dilakukan melalui arbitrase, terutama oleh arbitrase internasional. Bahkan menurut sistem hukum
Indonesia, terhadap arbiter sendiri dapat diajukan tuntutan hukuman.
Pasal 22 ayat 1 undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan
tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang
127 menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
162
Terhadap putusan arbitrase internasional, pengadilan hukum di Indonesia dapat melakukan pengingkaran pengakuan denial of awards akan substansi yang
telah diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi denial of awards
terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah yurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk menolak
mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase
internasional.
163
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawah sub judul arbitrase nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
164
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan
pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak
162
Lihat Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
163
Lihat Pasal 65 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
164
Lihat Pasal 60 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
128 mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus
mengajukan gugatan baru di Indonesia.
165
Disini dapat diperhatikan bahwa terhadap putusan arbitrase internasional masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan di
Indonesia. Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999 : putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia, apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional;
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan e.
Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
166
Dalam pasal 11 ayat 2 undang-undang no. 30 tahun 1999
167
mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Namun, apabila satu pihak menganggap bahwa
sengketa perdata mereka adalah sengketa kepailitan berdasarkan Undang-undang
165
Lihat Pasal 465 RV
166
Lihat pasal 66 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
167
Lihat Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
129 nomor 37 tahun 2004, maka pihak tersebut akan melihat ada celah untuk
memeriksakan perkara tersebut ke pengadilan niaga yang adalah salah satu perangkat pengadilan negeri. Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pada dasarnya telah
terjadi sita jaminan terhadap seluruh kekayaannya, dan dia tidak cakap lagi untuk melakukan perikatan perdata . Seluruh kewenangan pengurusan harta kekayaannya
telah beralih kepada kurator. Kurator tidak terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat semula oleh debitur pailit dengan mitra bisnisnya.
Salah satu contohnya adalah dalam perkara kasasi perkara no. 019KN1999. Amar putusannya antara lain menyatakan bahwa legal effect
arbitrase sebagai extra judicial tidak dapat menyingkirkan kedudukan dan
kewenangan pengadilan niaga untuk menyelesaikan permohonan yang berkategori insolvensi
atau pailit berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi tersebut bersumber dari perjanjian utang yang
mengandung klausula arbitrase.
2. Pengadilan Nasional dan Internasional