Penjelasan Pasal 2 UU PTPK

3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Penjelasan Pasal 2 UU PTPK

1 Setiap orang Pengertian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 1 butir 3 UU PTPK, yaitu merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 butir 1 UU PTPK. 2 Secara melawan hukum Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana. Perbedaan pendapat tersebut telah melahirkan adanya dua pengertian tentang ajaran sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum dalam pengertian formil formiele wederrechtelijkheid dan melawan hukum dalam pengertian materil materiele wederrechtelijkheid. 104 a Sifat melawan hukum formiil. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang hukum tertulis. Berdasarkan pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah 104 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru Jakarta, 1987, halaman 7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi. 105 Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. 106 b Sifat melawan hukum materil Pengertian melawan hukum secara materil mengisyaratkan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat- syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, 105 D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39 106 S.R. Sianturi 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta : Alumni AHM-PTHM, halaman 146 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Sifat melawan hukum materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu. 107 Bersifat melawan hukum materiil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. 108 Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari diri si pelaku. 109 107 D. Schaffmeister et.al., op.cit, halaman 41 108 Roeslan Saleh, Opcit, halaman 7. 109 Loebby Loqman 1991. Beberapa Ikwal di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Datacom, halaman 25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Parameter untuk mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam hubungannnya melawan hukum materiil ini perlu diingat bahwa aturan-aturan hukum pidana Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan undang-undang tertulis lainnya. Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil. Sedangkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum secara materil, yaitu walaupun suatu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, namun masyarakat memandangnya sebagai perbuatan tercela sehingga terkategori dalam tindak pidana. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang memuat asas legalitas. Banyak pakar sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia menerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung jawaban pidana. Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak melawan hukum secara materil. Dengan kata lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini digunakan sebagai alasan pembenar. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berkaitan dengan sifat melawan hukum materil ini, maka perlu juga dikemukakan pendapat Indriyanto Seno Adji pada saat memberikan keterangan sehubungan kasus dugaan tindak pidana korupsi atas nama Soehardjo mantan Dirjen Bea dan Cukai berikut ini. 110 Menurut Indriyanto Seno Adji bahwa sebelum memahami secara substansil ajaran Perbuatan Melawan Hukum Materiel berdasarkan Fungsi Positif, ada baiknya memahami pengertian perbuatan melawan hukum materiel itu sendiri. Pengertian atau makna perbuatan melawan hukum materiel materiele wederrechtelijk dalam Hukum Pidana sebenarnya merupakan adopsi hukum dari makna perluasan perbuatan melawan hukum onrechtmatige-daad dalam bidang Hukum Perdata yang tumbuh dari Cohen - Lindenbaum Arrest tertanggal 31 Januari 1919. 111 Perbuatan melawan hukum materiel materiele wederrechtelijk itupun memiliki pengertian sebagai setiap perbuatan yang dipandang bertentangan dengan norma atau nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat atau segala perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat. Asas perbuatan melawan hukum materiel inilah yang kemudian diintrodusikan kedalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971, Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan melawan hukum yang mengandung pengertian 110 O.C. Kaligis 2007. Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2. Jakarta: O.C. Kaligis Associates, halaman 85-87. 111 Hoge Raad Mahkamah Agung Belanda telah mengabulkan gugatan perdata Lindenbaum sehingga perbuatan Cohen yang memberikan sejumlah uang atau hadiah maupun janjinya kepada karyawan Lindenbaum dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Pertimbangan akhir dari Hoge Raad tentang pengertian perbuatan melawan adalah sebagai berikut: Dengan suatu perbuatan melanggar hukum diartikan setiap perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukurn pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan ada dalam masyarakat. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA materiel dan formil dimaksudkan supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dipidana, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, walaupun arah idea konsepsional ini dalam praktek mengalami penyimpangan eksesif dan kontradiksi dengan prinsip keadilan yang objektif. Makamah Konstitusi RI dalam Putusannya Nomor 003PUU-IV2006 112 sehubungan dengan sifat melawan hukum materiil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materiil sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup , perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 4 Unsur Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur memperkaya diri sendiri dan seterusnya dapat dilihat pertama sekali dari istilah “memperkaya” sebagai suatu bagian inti bestanddeel 112 Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil materiels wederrechtelijk, yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA merupakan istilah baru dalam hukum pidana Indonesia. \KUHP tidak mengenal istilah itu. Secara harfiah, memperkaya artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan kaya artinya mempunyai banyak harta uang dan sebagainya, demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. 113 Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat 1 sub a adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2 yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 37 ayat 4 UU PTPK 1999. Berdasarkan uraian di atas, maka penafsiran istilah memperkaya antara yang harfiah dan yang dari pembuat undang-undang hampir sama karena kedua penafsiran di atas menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau pertambahan kekayaannya, diukur dari penghasilan yang telah diperolehnya. 113 Andi Hamzah Opcit, halaman 177 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “... penghasilannya kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi...” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 114 a Ketidakmampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan penghasilannya tidak otomatis membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal itu mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara. b Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret. 114 Ibid. Hal. 178. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA c Uraian di atas hanya berlaku jika penuntut umum tidal dapat membuktikan suatu jumlah uang atau harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntut umum dapat membuktikan sejumlah uang atau harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa. Hal seperti ini terjadi jika yang melakukan perbuatan korupsi ”memperkaya diri” itu seorang swasta seperti Robby Tjahjadi yang dihukum atas dakwaan ”memperkaya diri sendiri” karena memasukkan mobil tanpa membayar bea masuk sebesar Rp 176.000.000,00. Jumlah sebesar ini merupakan kekayaan yang diperoleh dan sekaligus merupakan kerugian negara secara langsung. 5 Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun di daerah; b Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 115

2. Penjelasan Pasal 3 UU PTPK

Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Analisis Hukum Terhadap Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan)

4 52 110

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

0 65 109

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Analisis terhadap Penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan...

0 48 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

0 0 22

Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Perbankan Di Kota Medan

0 0 133