6. Barang siapa melakukan percobaan dan permufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam aya 1 a, b, c, d, e pasal ini. Untuk mengetahui perkembangan kebijakan formulasi dan ruang lingkup
tindak pidana korupsi lebih lanjut dapat dilihat dalam tabel perkembangan peraturan tindak pidana korupsi pada lampiran dalam skripsi ini.
3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah
perskembangan bangsa Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.
100
Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik,
maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan, baik kebijakan sosial social policy, kebijakan kriminal criminal
policy maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana criminal law enforcement
101
Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas
dasar 3 alasan utama, yaitu:
102
100
Elwi Danil, Opcit, halaman 17
101
Ibid, halaman 31.
102
Ibid, halaman 17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Alasan Sosiologis
Krisis kepercayaan dalam setiap segmen kehidupan yang melanda bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu
belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi. Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan
hukum, mengkakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah menghancurkan perekonomian negara.
Bertolak dari berbagai realitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar dilakukan kebijakan legislatif untuk memperkuat landasan hukum dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi. Esensi pemikiran yang demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu
undang-undang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang
semakin canggih dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih beesar terhadap keuangan dan perekonomian
negara. 2.
Alasan praktis Alasan dan latarbelakang pembentukan suatu undang-undang dapat
diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU No. 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa tindak
pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan keuangan negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmursebagai tujuan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus
diberantas. Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi
sebelumnya dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diganti dengan
undang-undang yang baru sehingga akan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa mendatang.
3. Alasan politis
Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang
lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi good governance. Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundang-
undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penaggulangan
masalah korupsi.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian