Pengaruh Modal Sosial Terhadap Tingkatan Perolehan Kredit Mikro Oleh Pelaku Usaha Kecil di Kelurahan Pasir Mulya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor.

(1)

ABSTRACT

DIADJI KUNTORO. Influence of Social Capital inAcquisition Stages of Micro Credit in Village of Pasir Mulya, Western District of Bogor, Bogor Muncipility.Supervisedby EKAWATI SRI WAHYUNI

This study was located in Pasir Mulya Village district of Bogor City, West Java Province. Since July 20 until August 18. The purpose of this study was to analized the influence of social capital on the acquisitionphasesof micro-credit. This study used a quantitative approach and qualitative approach as supported.Quantitative data obtained through a questionnaire to 30small bussiness who were respondents in this study. While the qualitative approach was done through observation, depth interviews, and search related documents or literary study. Generally the problems faced by small businesses was difficulty in obtaining loans to Banks so that fromit comes the microfinance institutions. Microfinance institutions are financial institutions that facilitate financial service small busines issues. Cooperation that exist between small business and microfinance institutions show there are other things besides economic factors which affect social capital. Sicial capital has three components they are trust, sicial networks and norms. Based on research results of all three components of the only norm that has no influence on thephases of the acquisition stage of micro-credit. Although not all components of social capital have an inflience on the acquiition stage of micro credit but overall condition of the social capital of small businesses be said to be good

Keywords : social capital, the acqustion stage credits, ketch businesses, institutions microfinance


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari peranan para pelaku usaha kecil mikro. Pemberdayaan usaha kecil dipandang mampu menggerakan perekonomian pedesaan dan pada akhirnya juga bisa menggerakan perekonomian nasional. Hal ini tidak terlepas dari peranan usaha kecil yang strategis baik dilihat dari segi kualitasnya maupun kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Bank Indonesia (2001) dalam Ashari (2006) mencatat beberapa peran startegis dari dari usaha kecil tersebut, diantaranya (1) Jumlahnya yang besar dan terdapat pada sektor ekonomi, (2) Potensi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja karena setiap investasi pada usaha kecil lebih banyak menciptakan kesempatan kerja dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha yang berskala besar dan menengah, (3) Memiliki kemampuan untuk memanfaatkan bahan baku lokal dan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dengan harga terjangkau.

Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)Tahun 2008 - 2009

Indikator Satuan

Tahun 2008 Tahun 2009 Perkembangan

Jumlah Jumlah Jumlah

Usaha Mikro (Unit) 50.847.771 52.176.795 1.329.024 Usaha Kecil

(UK) (Unit) 522.124 546.675 24.551

Usaha

Menengah(UM) (Unit) 39.717 41.133 1.416

Usaha Besar

(UB) (Unit) 4.650 4.677 27

Sumber : Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah di Tahun 2008 dan 2009

Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah di tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah UMKM yang terdapat di Indonesia. Pada tahun 2008 jumlah total unit


(3)

UMKM yang terdiri dari usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah sebesar 51.409.612 unit dan pada tahun 2009 jumlah itu berubah menjadi 52.764.603 unit yang artinya terjadi peningkatan jumlah unit UMKM yang cukup besar yakni sebesar 1.354.991 unit. Hal tersebut menunjukan bahwa UMKM sudah menjadi andalan dalam perekonomian nasional yang ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah unit UMKM pada tahun 2008-2009. Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa UKM masih memiliki permasalahan. Menurut Ashari (2006) permasalahan-permasalahan yang biasanya dihadapi oleh UKM meliputi kurangnya permodalan, sumber daya manusia yang terbatas dan lemahnya jaringan. Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh para pelaku UKM merupakan masalah yang paling banyak ditemui karena pada umumnya usaha kecil mikro merupakan usaha yang bersifat tertutup yang mengandalakan modal dari pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan pinjaman modal dari lembaga keuangan konvensional atau perbankan sangat sulit untuk diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta Bank tidak dapat dipenuhi padahal modal finansial sendiri merupakan faktor yang diperlukan untuk menjalankan suatu unit usaha.

Permasalahan perolehan kredit yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil mikro terhadap lembaga keuangan konvensional memicu munculnya suatu lembaga yang sifatnya jauh lebih fleksibel dari lembaga keuangan konvensional yakni lembaga keuangan mikro (LKM). Munculnya LKM menjadi angin segar bagi para pelaku usaha berskala kecil dalam melakukan kegaiatan perekonomian. Hal itu ditandai dengan keberhasilan mereka dalam memperoleh kredit dari LKM walaupun jumlahnya tidak terlalu besar tetapi cukup bermanfaat bagi mereka.

Kerjasama yang dibentuk oleh pihak LKM dengan pelaku usaha kecil melalui pinjaman kredit yang diberikan kepada pelaku usaha tersebut menunjukan adanya suatu hal yang mempengaruhi pihak LKM bersedia meminjamkan kredit kepada pelaku usaha tanpa disertai jaminan atau angunan seperti yang diberlakukan oleh perbankan dimana jaminan atau angunan tersebut dijadikan pegangan oleh pihak perbankan jika si peminjam belum atau tidak dapat mengembalikan kredit yang dipinjamkan. Hal tersebut adalah modal sosial dimana kepercayaan, norma dan jaringan merupakan pilar-pilar utama dari modal


(4)

sosial. Selain itu, sebagian besar LKM berlokasi dalam satu wilayah yang sama dengan para nasabahnya dalam hal ini adalah pelaku usaha kecil sehingga kedekatan dan kekerabatan diantara mereka dapat dikatakan sangat erat dan kekerabatan yang erat menunjukan adanya kepercayaan yang tinggi antar sesama, jaringan yang kuat dan norma-norma yang ada dijalani dengan baik secara bersama-sama. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam perolehan kredit oleh para pelaku usaha kecil dan mikro terhadap LKM aspek sosial yang dalam hal ini adalah modal sosial tidak dapat dikesampingkan. Dengan demikian dalam memandang perolehan kredit oleh pelaku usaha kecil terhadap LKM ini modal sosial dianggap sebagai hal yang cukup berpengaruh.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh para pelaku usaha kecil dan mikro adalah sulitnya mereka dalam memperoleh kredit dari lembaga keuangan konvensional seperti perbankan. Hal itu disebabkan oleh persyaratan yang ditetapkan oleh pihak perbankan seperti adanya agunan/ jaminan dan prosedur yang begitu rumit dinilai terlalu memberatkan pihak pelaku usaha kecil karena pada dasarnya sebagian besar dari mereka tidak memiliki agunan dan tidak terlalu mengerti dan menyukai prosedur yang rumit. Namun hal tersebut berbeda dengan LKM, lembaga keuangan ini memberi kesempatan kepada pelaku usaha kecil mikro untuk dapat mengakses kredit tanpa disertai dengan adanya agunan dan keharusan untuk menjalani prosedur yang rumit. Segala bentuk kemudahan yang ditawarkan pihak LKM terhadap pelaku usaha kecil mikro mengindikasikan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi kesediaan memberikan kredit oleh LKM. Faktor tersebut adalah modal sosial. Kepercayaan, jaringan , dan norma merupakan pilar-pilar utama dari modal sosial tersebut. Modal sosial yang dimaksud adalah kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Artinya kerjasama yang dibentuk oleh pelaku usaha kecil mikro dan lembaga keuangan mikro atas dasar kedekatan dan kekerabatan antar anggota masyarakat karena memang pada dasarnya mereka berada dalam satu masyarakat yang sama.


(5)

Dengan adanya rasa saling percaya, nilai-nilai yang menjadi dasar dan interaksi komunikasi antara pelaku usaha kecil mikro dan LKM apakah dapat berpengaruh terhadap keberhasilan para pelaku usaha kecil mikro dalam memperoleh tahapan kredit yang tinggi dari LKM. Secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini: 1. Apakah modal sosial (kepercayaan, jaringan, norma) yang terdapat antara

pelaku usaha kecil mikro dan LKM berpengaruh terhadap tahapan perolehan kredit ?

2. Komponen modal sosial (kepercayaan, jaringan, norma) apa yang paling berpengaruh terhadap perolehan kredit?

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ialah:

1. Untuk menganalisis adanya pengaruh modal sosial (kepercayaan, jaringan, norma) terhadap tahapan perolehan kredit oleh pelaku usaha kecil mikro terhadap lembaga keuangan mikro

2. Untuk mengetahui komponen modal sosial (kepercayaan, jaringan, norma) apa yang paling berpengaruh terhadap perolehan kredit oleh pelaku usaha kecil mikro terhadap lembaga keuangan mikro

1.4 Kegunaan Penelitian

Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai kedua aktor di dalam sistem keuangan mikro yakni pelaku usaha kecil mikro dan LKM. Selain itu, penelitian ini berguna untuk menambah pengatahuan mengenai konsep modal sosial dalam memandang kerjasama antara pelaku usaha kecil mikro dan LKM dimana kepercayaan, jaringan, dan norma merupakan pilar-pilar dari modal sosial tersebut.


(6)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Keuangan mikro

Keuangan mikro merupakan alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan oleh Pemerintah Indonesia dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan. Akses terhadap jasa keuangan yang berkelanjutan merupakan prasyarat bagi para pelaku usaha mikro untuk meningkatkan kemampuan usahanya dan keluarga miskin dalam mengurangi kerentanan hidup terhadap musibah dan permasalahan ekonomi, serta untuk meningkatkan penghasilan mereka. Keuangan mikro adalah alat yang penting dalam strategi pembangunan negara yang diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi nasional. Walaupun Indonesia memiliki beraneka ragam penyedia jasa keuangan mikro, namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layanan keuangan mikro masih tetap ada. Sebagian besar keluarga di Indonesia tidak memiliki akses layanan jasa keuangan, dimana sebagian besar keluarga ini tinggal di wilayah pedesaan yang jumlah masyarakat miskinnya tercatat paling tinggi (Ashari, 2006).

Selanjutnya menurut Setyarini (2008) keuangan mikro juga memiliki beberapa prinsip kunci. Adapun prinsip-prinsip tersebut sebagi berikut :

1. Masyarakat miskin membutuhkan aneka ragam jasa keuangan, tidak hanyapinjaman.

2. Keuangan mikro adalah instrumen yang berdaya guna untuk melawan kemiskinan.

3. Keuangan mikro artinya membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat miskin.

4. Keberlanjutan keuangan sangat diperlukan agar mampu menjangkau orang miskin dalam jumlah besar

5. Keuangan mikro itu mengenai pembangunan lembaga keuangan lokal yang permanen.


(7)

6. Kredit mikro tidak selau merupakan jawaban. Kredit mikro tidak sesuai bagi setiap orang atau setiap situasi.

Prinsip- prinsip di atas menunjukan bahwa sebagaimana halnya dengan banyak orang lainnya, orang miskin juga membutuhkan berbagai macam jasa keuangan yang nyaman, fleksibel, dan penetapan harga yang wajar. Tergantung keadaan mereka orang miskin tidak saja membutuhkan kredit, tetapi juga tabungan, transfer uang, dan asuransi. Akses terhadap jasa keuangan berkelanjutan memungkinkan masyarakat miskin meningkatkan pendapatan, meningkatkan aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap goncangan eksternal. Keuangan mikro memungkinkan rumah tangga berpendapatan rendah untuk beralih dari sekedar perjuangan untuk bertahan hidup dari hari ke hari menuju perencanaan masa depan, peningkatan kondisi kehidupan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan anak-anak.

A. Lembaga Keuangan Mikro

Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997) dalam Wijono (2004), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro ini umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Ashari (2006), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises). Selain itu, terdapat tiga hal yang penting dalam LKM, yang pertama adalah menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman tradisional masyarakat Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, simpanan, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani masyarakat miskin karena memang pada awalnya keuangan


(8)

mikro muncul dan berkembang akibat dari permasalahan mengenai sulitnya masyarakat kelas menengah kebawah untuk mengakses modal dari lembaga keuangan konvensional. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang fleksibel. Hal ini merupakan konsekuaensi dari masyarakat yang dilayani sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan oleh sistem keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.

Selanjutnya, merujuk pada Prabowo (2001) dalam Ashari (2006) bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang atau rentenir. Hal lain yang perlu diperhatikan dari LKM adalah LKM dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin, baik untuk kegiatan konsumtif ataupun kegiatan yang produktif keluarga miskin tersebut. Berdasarkan fungsinya, maka jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh LKM memeiliki ragam yang luas yaitu dalam bentuk kredit dan pembiayaan lainya.

B. Usaha kecil Mikro dan Menengah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 seperti yang dikutip oleh Ahlam (2005) mengenai UKM terdapat beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikannya yaitu usaha mikro, kecil dan menengah. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur oleh undang-undang. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah datau usaha besar yang memenihi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

Pelaku usaha kecil dan mikro adalah individu atau kelompok yang melakukan kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Aktor-aktor yang terlibat dalam usaha ini mayoritas adalah masyarakat kelas menengah kebawah yang tidak memiliki modal yang cukup besar untuk mendirikan suatu usaha yang berskala besar. Adapun ciri- ciri UKM menurut Ashari (2006) yaitu : jenis barang/komoditi


(9)

usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti, tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat, belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha, sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai, tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah, umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank.

Pembahasan usaha kecil mengenai pengelompokan jenis usaha yang meliputi usaha industri dan usaha perdagangan. Pengertian tentang usaha kecil dan menengah (UKM) tidak selalu sama, tergantung konsep yang digunakan. Mengenai pengertian atau definisi usaha kecil ternyata sangat bervariasi. Dalam definisi tersebut mencakup sedikitnya dua aspek yaiu aspak penyerapan tenaga kerja dan aspek pengelompokan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam kelompok perusahaan tersebut.

Mengacu Undang-undang Nomor 9 tahun 1995, kriteria usaha kecil dilihat dari segi keuangan dan modal yang dimilikinya adalah:

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

2. Memiliki hasil penjualan paling banyak satu miliar per tahun

Definisi atau kriteria yang digunakan untuk usaha kecil dan usaha menengah di Indonesia sampai saat ini dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi dunia usaha, serta kurang dapat digunakan sebagai acuan oleh instansi dan institusi lain, sehingga masing-masing institusi menggunakan definisi yang berbeda.

C. Peranan UMKM dalam Bidang Sosial

Menurut Clapham (1991), tujuan sosial dari UMKM sekurang-kurangnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimum, yaitu menjamin kebuutuhan dasar rakyat. Sadoko (1995) juga menegaskan peranan usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi, selain itu


(10)

usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal. Karena itu, perlu ditekankan disini bahwa perusahaan besar membutuhkan perusahaan kecil, karena alasan-alasan ekonomi, sebagai pemasok misalnya, dan pembeli produk dan penyedia berbagai jasa.

Peranan UMKM untuk kepentingan konsumen berpendapatan rendah penting untuk menjamin persediaan barang bermutu sederhana bersangkutan, dan pada harga yang terjangkau. Dapat dikatakan bahwa perusahaan kecil memberikan sumbangan yang sangat penting dalam bentuk turut menurunkan biaya hidup bagi kelompok-kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Umumnya, karena itu perusahaan kecil dan menengah memberikan sumbangan yang besar dari segi kedaulatan konsumen (Clapham, 1991).

Selain berperan dalam kedaulatan konsumen, UMKM memiliki peranan yang sangat berarti dalam hal penciptaan lapangan kerja. Clapham (1991) menyebutkan bahwa lebih dari 75 persen lapangan kerja di luar sektor pertanian di negara sedang berkembang diciptakan oleh perusahaan kecil dan menengah di sektor industri pengolahan, perdagangan, dan selebihnya di sektor jasa. Mendukung pernyataan tersebut, Rahmana (2009) juga menyatakan bahwa hampir 90 persen daritotal usaha yang ada di dunia merupakan kontribusidari UKM. Kontribusi UKM terhadap penyerapan tenaga kerja, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia, mempunyai peranan yang signifikan dalam penanggulangan masalah pengangguran.

Berdasarkan fakta tersebut, Tambunan (2001) menyebutkan bahwa UKM juga mampu mereduksi ketimpangan pendapatan terutama di negara-negara berkembang. Melihat peranan UKM yang sangat signifikan dalam penciptaan kesempatan kerja dan nilai tambah seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, mendukung pendapat bahwa UKM mampu memberikan manfaat sosial yaitu mereduksi ketimpangan pendapatan (Sulistyastuti, 2004). Karena itu, sektor perusahaan kecil dan menengah dipandang lembaga yang cocok untuk menghilangkan dualisme ekonomi dan sosial (Clapham, 1991).


(11)

D. Peranan UMKM dalam Bidang Ekonomi

Berdasarkan tujuan ekonomi yang hendak dicapai, UMKM dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya nasional menurut prinsip-prinsip ekonomi. Karena itu, pengusaha dan negara mempunyai tugas pokok untuk memanfaatkan semua faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan tanah) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimum dan sesuai dengan kepentingan rakyat (Clapham, 1991). Sadoko (1995) juga mengungkapkan bahwa usaha kecil memberikan kontribusi yang tinggi sekitar 55 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi, dan industri. Sektor ini juga mempunyai peranan cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian jadi (garments), barang-barang kerajinan termasuk meubel

dan pelayanan bagi turis.

Rahmana (2009) menegaskan kembali bahwa UKM di Indonesia telah menunjukkan perannya dalam penciptaan atau pertumbuhan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Kementrian Negara Koperasi dan UKM menyatakan bahwa pada tahun 2006-2007 kontribusi UKM dalam penciptaan nilai tambah nasional sebesar Rp 1.778,75 triliun atau sebesar 53,3 persen dari PDB nasional dengan laju pertumbuhan PDB tahun 2005-2006 adalah sebesar 5,40 persen. Selain itu, UMKM turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor non-migas. Selama periode 1990-1995, UKM menyumbangkan rata-rata 40 persen dari total ekspor. Sadoko (1995) juga mengungkapkan bahwa dalam hal perolehan devisa, industri kecil menyumbang sekitar 15 persen dari seluruh nilai ekspor industri yang ada.

2.1.2 Pengertian Modal Sosial

Konsep modal sosial memiliki pengertian yang berbeda-beda dikalangan pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Masalah konsep kapital atau modal dalam modal sosial bersumber pada beberapa keterbatasan dan referensi. Konsep kapital dalam referensi ekonomi mempertimbangkan referensi bukan ekonomi yang sering kali terbatas, konsep kapital dalam referensi ilmu sosial terlalu sedikit mempertimbangkan referensi ekonomi, sehingga sulit untuk mencapai


(12)

keseragaman pengertian (Lawang 2004). Berikut adalah konsep modal sosial menurut beberapa ahli :

A. Putnam

Menurut (Putnam 1993 dalam Vipriyanti 2007) modal sosial juga dapat dilihat sebagi sekumpulan asosiasi di antara orang-orang yang mempengaruhi produktivitas komunitas yang mencakup jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan dan saling memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Modal sosial berperan di dalam memfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk manfaat bersama bagi anggota-anggota asosiasi. Selanjutnya (Putnam, 2000 dalam Field 2003) memperkenalkan perbedaaan dua bentuk dasar modal sosial : menjembatani (bridging) dan mengikat (bonding). Modal sosial yang menjembatani cenderung bersifat menyatukan orang dari beragam ranah sosial yang berbeda sedangkan modal sosial yang mengikat cenderung mendorong identitas ekslusif dan mempertahankan homogenitas. Masing-masing bentuk tersebut membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda modal sosial yang mengikat adalah sesuatu yang baik untuk menopang resipprositas spesifik dan memobilisasi solidaritas, sambil pada saat yang sama menjadi semacam perekat terkuat sosiologi dalam memelihara kesetiaan yang kuat di dalam kelompok dan memperkuat identitas-identitas spesifik. Sementara hubungan-hubungan yang menjembatani lebih baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi da menjadi katalis sosiologi yang dapat membangun identitas dan resiprositas yang lebih luas.

B. Fukuyama

Menurut Fukuyama (2007), menjelaskan modal sosial secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika anggota kelompok tersebut mengharapkan para anggota kelompok berprilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Menurut Fukuyama (2007) bahwa kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada setiap individu di dalam masyarakat. Berikut


(13)

adalah penjelasan dari kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam konsep Trust (Fukuyama, 2007) :

1. Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat hubungan keluarga. Seseorang akan memiliki kepercayaan yang lebih kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dibandingkan dengan seseorang non-kerabat.

2. Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan.

3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah dengan komunitas yang cenderung memiliki etnik homogen maka mendukung komunitas tersebut menghadapi tekanan.

4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Walaupun definisi modal sosial di kalangan para pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial berbeda-beda, akan tetapi secara umum modal sosial memiliki tiga unsur utama, yaitu ; (1) Kepercayaan ,(2) jaringan dan (3) Norma. Ketiga unsur tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengukut tingkat modal sosial di suatu wilayah.

1. Kepercayaan

Dalam membangun ikatan sosialnya, modal sosial dilandasi oleh trust

(kepercayaan) sehingga modal sosial akan menjadi infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama, 2001 dalam Alfiasari, 2007). Kepercayaan adalah rasa percaya yang terdapat di antara dua orang atau lebih untuk saling berhubungan. Bagi sebagian analis sosial kepercayaan disebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan dan juga menjadi nyawa dari modal sosial tersebut. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan-peraturan tersebut untuk mencapai harapan-harapan yang ingin dicapainya (Seligman 2000 dalam


(14)

Dharmawan 2002a, 2002b). Ada tiga hal utama yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu : (1) hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang. Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang dalam institusi tersebut bertindak. (2) Harapan yang terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika direalisasikan salah satu dari kedua belah pihak tersebut. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial (Lawang, 2004). Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin kuat rasa percaya kepada orang lain maka akan semakin kuat juga kerjasama yang terjalin antara mereka. Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber pada norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warga negara (Lawang,2004).

Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas pengawasan terhadap prilaku orang lain agar orang tersebut berprilaku sesuai dengan keiinginan kita. Kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur. Demikian juga kepercayaan tidak dapat ditimbuhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi sering kali tumbuh berdasarkan pada hubungan teman atau keluarga (Williamson, 1987 dalam Viprianty, 2007). Rasa percaya ditentukan oleh homogenitas, komposisi, populasi dan tingkat keragaman. Ras percaya yang tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat keberagaman rendah. Hasbullah (2006), menyatakan bahwa berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling percaya yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteksmembangun kemajuan bersama.

.

2. Jaringan

Lawang (2004) menjelaskan, menjelaskan pengertian jaringan mengacu pada hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Hubungan antar individu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus


(15)

merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat. Michel (1999) dalam Lenggono (2007) mengemukakan bahwa, jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk diantara kelompok orang, karekteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan motif-motif prilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sementara Suparlan (1995) mengemukakan, bahwa jaringan sosial merupakan proses pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial.

Setiap individu tersebut dapat memasuki berbagai kelompok sosial yang terdapat di masyarakat dan menjalin ikatan sosial berdasarkan unsur kekerabatan, keteanggaan, dan pertemanan (Lenggono 2007). Ikatan sosial tersebut dapat berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi. Setiap individu akan melihat dirinya sebagai pusat dari jaringan yang dimilikinya, ikatan sosial yang terbentuk merupakan sarana yang dapat menjembatani hubungan diantara anggota jaringan tersebut. Dalam jaringan yang terbentuk tersebut, hubungan sosial dan keanggotaanya dapat melampaui batas teritorial dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Lawang (2004) jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan sosial yang lebih luas, ini berarti individu tersebut akan memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial yang sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang hendak dicapainya kemudian Lawang (2004) menambahkan keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis, karena pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan sosial yang kompleks. Bila sejumlah individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda sesuai dengan fungsi dan konteksnya, ia akan merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial bukan hanya pencerminan adanya keteraturan aturan dalam satu jaringan sosial, melainkan juga menjadi sarana untuk memahami batas-batas status peran, serta hal dan kewajiban individu yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut. Berdasarkan tinjauan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial


(16)

dalam suatu masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :

1. Jaringan kekuasaan, yakni hubungan sosial yang terbentuk bermuatan kepentingan kekuasaan

2. Jaringan kepentingan, yakni hubungan sosial yang membentiknya adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan sosial

3. Jaringan perasaan, yakni jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan sosial yang bermuatan peran

3. Norma

Menurut (Dharmawan, 2002a; 2002b dalam Alfiasari, 2008) norma merupakan sebuah pertanda dalam mendukung keberadaan kepercayaan antar individu. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, dan ikatan timbal balik (Fukuyama, 2007). Hasbullah (2006), mengartikan norma sebagai sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti masyarakat pada entitas sosial tertentu. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma tersebut biasanya terinstitusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

Lawang (2004), mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan tersebut terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma kurang lebih sebagai berikut :

1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika pertukaran tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial yang selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang


(17)

muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus terpelihara.

2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma manyangkut keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang keras.

3. Jaringan yang terbina menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sangsi yang keras juga.

2.1.3 Pengertian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu, dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang dijanjikan itu dapat berupa uang, barang, atau jasa (Suyanto, 2007). Pengertian kredit menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah penyadiaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan kesepakatan pinjam-meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Kredit juga dapat diartikan sebagai hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barang-barang yang sekarang (Kent dalam

Ramadhini 2008). Berdasarkan beberap pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur yang terkandung dalam kredit (Suyatno, 2007) adalah :

1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang di berikannya baik dalam bentuk uang, barang maupu jasa kan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang.

2. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.


(18)

3. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Adanya unsur resiko ini menyebabkan adanya jaminan dalam pemberian kredit.

4. Prestasi, yaitu objek kredit baik berupa uang, barang ataupun jasa.

A. Tujuan dan Fungsi Kredit

Pada dasarnya pemberian kredit dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang terwujud dalam bentuk bunga yang diterima. Namun, tujuan pemberian kredit disesuaikan juga dengan tujuan negara yaitu untyuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Pemberian kredit untuk usaha yang produktif diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi, pendapatan dan kesempatan kerja yang secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat (Suyatno, 2007). Suyatno (2007) manyimpulkan fungsi kredit sebagai berikut :

1. Kredit dapat meningkatkan daya guna uang

Pemilik uang dapat meminjamkan uangnya sebagai kredit kepada pengusaha atau menyimpan uangnya pada lembaga keuangan lalu uang tersebut diberikan diberikan sebagai kredit peinjaman kepada perusahaan yang digunakan untuk mengembangkan usahanya. Dengan cara ini berarti uang tersebut lebih berguna dari pada disimpan saja

2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu-lintas uang

Adanya transaksi penyaluran dan pembayaran kredit menyebabkan peredaran uang meningkat

3. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang

Pemberian kredit kepada pengusaha dapat meningkatkan kemampuan produksi sehingga daya guna barang makin menigkat. Selain itu, adanya penjualan dan pembelian barang secara kredit juga meningkatkan peredaran barang.

4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi

Peran kredit dalam menjaga kestabilanekonomi terlihat dari penyaluran kredit pada sektor yang produktif umtuk meningkatkan produksi sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat dan ekspor


(19)

5. Kredit dapat meningkatkan gairah berusaha

Bantuan kredit dapat mengatasi kendala modal yang dihadapi pengusaha sehingga pengusaha dapat meningkatkan usahanya.

6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan. Penyaluran kredit kepada pengusaha memberi kesempatan untuk peningkatan skala usaha yang diikutu oleh meningkatnya penyerapan tenaga kerja.

Selain itu, fungsi kredit dapat dilihat dari sudut pandang dunia usaha dan lembaga keuangan (Dendawijaya dalamRamadhini 2008) yaitu :

1. Bagi dunia usaha (termasuk usaha kecil). Kredit berfungsi sebagai sumber permodalan untuk menjaga kelangsungan atau meningkatka usahanya. Pengembalian kredit wajib dilakukan tepat waktu yang diharapkan diperoleh dari keuntungan usahanya

2. Bagi lembaga keuangan (termasuk LKM). Kredit berfungsi untuk menyalurkan dana masyarakat kepada dunia usaha.

B. Kredit Mikro

Pengertian dari kredit mikro sangat terkait dengan pengertian usaha mikro. secara universal pengertian kredit mikro adalah definisi yang dicetuskan dalam pertemuan The World Summit in Microcredit di Washington pada tanggal 2-4 Februari 1997 yaitu program atau kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada masyarakat golongan kelas menengah ke bawah untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian pinjaman untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarganya (The World Summit in Microcredit , 2007 dalam Ramadhini, 2008).

Usaha kredit mikro adalah suatu istilah lain dari micro credit. Ada banyak pihak yang mencoba mendefinisikan kredit mikro. Berikut ini beberapa di antaranya. Grameen Banking (2003) dalam Ramadhini (2008) mendefinisikan kredit mikro sebagai pengembangan pinjaman dalam jumlah kecil kepada pengusaha yang terlalu lemah kualifikasinya untuk dapat mengakses pada pinjaman dari bank tradisional. Calmeadow (1999) mengartikan kredit mikro sebagai arisan pinjaman modal untuk mendukung pengusaha kecil dalam beraktivitas, umumnya dengan alternatif jaminan kolateral dan sistem monitoring


(20)

pengembalian. Pinjaman diberikan untuk melayani modal kerja sehari-hari, sebagai modal awal untuk memulai usaha, atau sebagai modal investasi untuk membeli asset tidak bergerak. Pada umumnya, kredit mikro melayani area geografi tertentu atau masyarakat tertentu. Dana awalnya diberikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan dari kelompok tertentu seperti wanita, pendatang baru, anak-anak, dan orang cacat. Kebanyakan usaha kredit mikro menawarkan beberapa bentuk dari bantuan teknis, seperti pelatihan usaha kecil, pertukaran pengalaman di antara anggota, dan peluang jejaring.

Tabel 2. Kriteria Kredit Mikro

Kriteria Besaran

Ukuran  Pinjaman kecil atau sangat kecil Kelompok sasaran  Pengusaha kecil (sektor informal)

 Keluarga berpendatan rendah

Penggunaan  Meningkatkan pendapatan

 Pengembangan usaha Waktu dan persyaratan  Kegaitan social

 Fleksibel

 Disesuaikan dengan kondisi persyaratan Sumber : Bank Indonesia, 2006 dalam Ramadhini (2008)

Selanjutnya, Calmeadow menjelaskan bahwa struktur kepemilikan dana pinjaman kredit mikro amat bervariasi. Umumnya kredit mikro dimiliki secara campuran antara dana publik dengan investasi swasta. Kredit mikro juga dapat beroperasi secara independen, bagian integral dari program pengembangan masyarakat ekonomi, atau suatu program yang merupakan bagian dari bank komersial. Pada kenyataanya kredit mikro telah terbukti secara efektif dan popular dalam upaya mengatasi kemiskinan (Grameen Banking, 2003 dalam Ramadhini, 2008). Meskipun pada awalnya kredit mikro lahir sebagai suatu terobosan bagi penyediaan jasa keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses ke system keuangan modern. Dalam perkembangannya, konsep pembiayaan mikro telah meluas tidak sekedar sebagai salah satu alternatif sumber


(21)

pembiayaan usaha kecil, tetapi lebih dari itu, sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan ekonomi (Sabirin, 2001).

C. Tahapan Kredit Mikro

Tahapan pemberian kredit pada dasarnya dikatagorikan menjadi tiga tahap yakni : rescue, recovery dan development (Wardoyo, 2006). Pengkatagorian tersebut didasarkan pada perkembangan usaha kecil mikro yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pada saat tahap awal pendirian usaha, pelaku usaha kecil mikro membutuhkan jumlah dana yang tidak terlalu banyak dan dana tersebut digunakan sebagai dana pencetus atau sebagai modal awal untuk menjalankan suatu usaha. Tahap tersebut dinamakan dengan tahap rescue. Tahap rescue adalah tahap yang membutuhkan modal awal atau dana pencetus untuk memulai suatu usaha . Setelah melewati tahap rescue usaha yang dijalankan sudah mulai berjalan beberapa lama dan membutuhkan dana lain sebagai pelengkap atas kekurangan-kekurangan yang dialami selama tahap rescue. Tahap tersebut dinamakan dengan tahap recovery yakni tahap yang membutuhkan dana lain sebagai pelengkap atas kekurangan dalam menjalankan usaha selama tahap rescue Tahap yang terakhir adalah tahap development yakni tahap yang dilalui usaha untuk mulai melakukan pengembangan agar usaha tersebut dapat bertahan cukup lama dan pada tahap tersebut membutuhkan dana yang digunakan untuk pengembangan usaha dan biasanya jumlah dana pada tahap ini lebih besar dari tahap lainya.


(22)

2.2 Kerangka Pemikiran

Dalam memandang permasalahan keuangan mikro aspek sosial tidak bisa kesampingkan begitu saja karena aspek sosial juga memiliki peranan yang cukup penting. Aspek sosial yang dimaksud di sini adalah modal sosial. Berdasarkan hal tersebut maka hal yang layak untuk diangkat adalah masalah perolehankredit atau modal finansial oleh pelaku usaha kecil terhadap Lembaga Keuangan Mikro.

Seperti yang telah diketahui bahwa modal sosial yang terdiri dari tiga pilar utama diantaranya kepercayaan, norma dan jaringan. Kepercayaan disini ditandai dengan adanya posisi dan status sosial seseorang karena seseorang akan memiliki peran dan pengaruh yang besar jika dia memiliki posisi dan status yang tinggi dalam suatu masyarakat dan jika orang tersebur memiliki peran dan pengaruh yang besar maka anggota masyarakat lain akan cenderung memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap orang tersebut. Selain itu, kepercayaan ditandai juga dengan adanya keterampilan. Artinya seseorang yang memiliki keterampilan yang lebih akan cenderung dipercaya oleh orang lain. Komponen lain dari modal sosial adalah jaringan. Kepercayaan juga ditandai dengan kekerabatan karena seseorang akan lebih mempercayai anggota kerabatnya dibandingkan dengan orang lain.

Jaringan ditandai dengan basis jaringan dan tingkat interaksi. Basis jaringan disini bisa dikatakan seperti hubungan pertemanan atau pun pertetanggaan. Selain itu jaringan ditandai dengan adanya tingkat interaksi. Suatu jaringan sosial di dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat interaksi dari masyarakat tersebut artinya jaringan sosial tidak akan muncul jika tidak ada interaksi dari masing-masing anggota masyarakat. Komponen yang terakhir dari modal sosial adalah norma. Norma ditandai dengan ketaatan terhadap aturan tertulis maupun yang tidak tertulis karena jika seseorang menjadi orang yang taat kepada aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat baik itu aturan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis maka orang tersebut akan menjadi lebih dipercaya oleh anggota masyarakat lain.

Ketiga pilar tersebut memiliki hubungan pengaruh terhadap tahapan perolehan kredit mikro yang terdiri dari rescue, recovery dan development. Masing masing dari tingkatan tersebut memiliki porsi kredit yang berbeda. Rescue


(23)

pada taraf menengah dan development merupakan tahapan yang berada pada taraf yang tinggi.

MODAL SOSIAL

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perolehan Kredit Mikro

Keterangan : Hubungan pengaruh Kepercayaan

 Kekerabatan  Posisi dan Status

Sosial

 Keterampilan

Norma

 Ketaatan terhadap norma

 Aturan Tertulis  Aturan Tidak

Tertulis Jaringan

 Basis jaringan  Tingkat interaksi

Tingkatan perolehan kredit mikro

1. Rescue 2. Recovery 3. Development


(24)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Diduga semakin kuat modal sosial ( kepercayaan, jaringan, norma) maka tahapan kredit yang diperoleh semakin tinggi.

2. Diduga kepercayaan memiliki pengaruh yang paling besar di antara kedua komponen modal sosial lainnya dalam tahapan perolehan kredit

2.4 Definisi Operasional

1. Kepercayaan adalah ada atau tidak adanya perasaan yakin bahwa orang lain akan memberikan respon sebagaimana yang diharapkan dan akan saling mendukung atau setidaknya orang lain tidak akan bernaksud merugikan. Pengukuran kepercayaan dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan kekerabatan, status dan posisi sosial, keterampilan.

a) Kekerabatan adalah hubungan sosial yang memiliki unsur kekeluargaan seperti ayah, Ibu, anak, adik, kakak dan saudara. Penilaian kekerabatan menggunakan skor yakni :

 Jika pihak pelaku usaha memiliki hubungan kekerabatan dengan LKM Bina Usaha Mandiri (skor = 1)

 Jika pihak pelaku usaha tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan LKM Bina Usaha Mandiri (skor = 0)

b) Status dan posisi sosial dilihat dari peran dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku usaha kecil dan dipandang penting bagi warga sekitar seperti jabatan yang bersifat formal maupun informal. Penilaian status dan posisi sosial menggunakan skor yakni :

 Jika pihak pelaku usaha memiliki status dan posisi sosial yang tinggi ( skor = 1)

 Jika pihak pelaku usaha tidak memiliki status dan posisi sosial yang rendah (skor = 0)


(25)

c) Keterampilan yakni kemampuan yang dimiliki pelaku usaha kecil dalam menjalankan usaha kemampuan tersbut diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman dalam menjalankan usaha. Ketetarpulan diukur berdasarkan 2 kategori yaitu :

 Tinggi : skor 5-8  Rendah : skor 0-4

2. Jaringan adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Pengukuran jaringan sosial dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan basis jaringan dan tingkat interaksi responden.

a) Basis jaringan adalah latar belakang penyeban terbentuknya jaringan sosial bisa disebkan oleh hubungan pertetangaan dan hubungan pertemanan. Penilaian skor basis jaringan menggunakan skor yakni :

 Jika pihak pelaku usaha kecil bisa mendapatkan kredit atas dasar pertetanggaan dan pertemanan (skor = 1)

 Jika pihak pelaku usaha kecil bisa mendapatkan kredit bukan atas dasar pertetanggaan dan pertemanan (skor = 0)

b) Interaksi adalah bisa dilihat melalui interaksi yang bersifat langsung seperti intetnsitas berkomunikasi. Penilaian interaksi dibagi menjadi 2 katagori yakni :

 Tinggi : skor 4-6  Rendah : skor 0-3

3. Norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Pengukuran norma sosial dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan ketaatan responden terhadap norma yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

a) Ketaatan terhadap aturan tertulis yaitu ketaatan responden terhadap aturan atau kesepakatan yang telah dibuat secara


(26)

bersama-sama dan dan bersifat tertulis. Penilaian ketaatan terhadap aturan tertulis dibagi menjadi 2 katagori yakni :

 Tinggi : skor 4-6  Rendah : skor 0-3

b). Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis yaitu ketaatan responden dalan menjalankan nilai-nilai tradisional yang bersifat tidak tertulis. Penilaian ketaatan terhadap aturan tidak tertulis dibagi menjadi 2 katagori yakni :

 Tinggi : skor 4-6  Rendah : skor 0-3

4. Tahapan perolehan kredit mikro adalah tahapan-tahapan yang terdapat pada proses pengajuan dana atau kredit oleh pihak pelaku usaha kecil dengan pihak lembaga keuangan mikro yang bersangkutan. Adapaun tahapan-tahapan tersebut dinilai dari kisaran jumlah dana yang dapat diperoleh yakni sebagai berikut :

a) Rescue > Rp 200 ribu (skor 1)

b) Recovery ≤ Rp 200 ribu - < Rp 500 ribu (skor 2)


(27)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pelaku usaha kecil mikro di Kelurahan Pasirmulya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Waktu penelitian dimulai sejak tanggal 10 Juli sampai dengan 15 Agustus 2011. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu sejak peneliti di daerah peneltian di luar pengumpulan dan pengolahan data, hingga penyusunan draft skripsi.

Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan di Kelurahan Pasir Mulya terdapat Lembaga Keuangan Mikro Bina Usaha Mandiri yang memayungi sebagian besar pelaku usaha kecil mikro di Kelurahan Pasir Mulya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner yang disebarkan kepada responden. Selain itu dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan sejumlah responden dan informan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen dan pustaka berbagai sumber yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Sumber-sumber tersebut antara lain adalah dokumen tentang profil Kelurahan Pasirmulya, khususnya RW 02 yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Pasirmulya serta dokumen-dokumen dan pustaka yang berasal dari berbagai sumber yang berhubungan dan menunjang penelitian.

3.3 Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah warga Kelurahan Pasirmulya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor yang menjadi pelaku usaha berskala kecil dan mikro. Unit analisis pada penelitian ini adalah individu. Penelitian ini akan difokuskan pada RW 02, yaitu RW yang sebagian besar pelaku usaha kecil berada di wilayah tersebut. Setelah didapatkan jumlah populasi pelaku usaha kecil, maka


(28)

penentuan jumlah responden akan dilakukan dengan menggunakan batasan minimal jumlah responden yakni sebesar 30 responden sampel (Singarimbun 2006) . Selanjutnya, untuk menentukan responden terpilih dilakukan simple random sampling yakni sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun 2006). Kerangka sampling dalam penelitian ini dibentuk berdasarkan jumlah pelaku usaha kecil yang memperoleh dana dari LKM Bina Usaha Mandiri yakni sebanyak 60 orang

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dikumpulkan dan dibuat kategori, kemudian dilakukan pengkodean (coding). Data hasil kuisioner terhadap responden diolah dengan menggunakan program Statistical Program for Social Sciences (SPSS version 16.0) dan

Microsoft Excel 2010. Data kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk naratif dan deskriptif. Data-data lain yang diperoleh dalam bentuk arsip, dokumen hasil wawancara, dan literatur lainnya direduksi sesuai kebutuhan penelitian.

Tahap selanjutnya ialah interpretasi yang dilakukan secara induktif, yaitu berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Analisis data kuantitaftif dilakukan dengan cara membuatnya menjadi tabulasi silang dan tabel frekuensi. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten serta informasi-informasi penting lainnya yang datang dari responden maupun informan


(29)

28

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Luas Wilayah

Kelurahan Pasir Mulya merupakan salah satu Kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Dengan luas wilayah 42,99 Ha. Jarak Kelurahan Pasir Mulya dari pusat Pemerintahan Kecamatan adalah 9 Km Jarak Kelurahan Pasir Mulya dari pusat Pemerintahan Kota adalah 5 Km Jarak Kelurahan Pasir Mulya dari ibu kota negara adalah 60 Km.

Berdasarkan letak administratif, Kelurahan Pasir Mulya berbatasan dengan Kelurahan Pasir Jaya di sebelah utara, Kelurahan Ciomas Rahayu di sebelah selatan, Kelurahan Gunung Batu di sebelah barat dan Kelurahan Pasir Kuda di sebelah timur. Kondisi topografi Kelurahan Pasir Mulya secara umum adalah berupa dataran rendah. Kelurahan Pasir Mulya memiliki tingkat curah hujan yang cukup tinggi yaitu sekitar 4.000-4.500 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata sekitar 360 C -380 C

4.2 Kondisi Sarana dan Prasarana

Dilihat dari jumlah sarana dan prasarana, Kelurahan Pasir Mulya memiliki sarana yang memadai. Hal ini dikarenakan letak Kelurahan yang cukup dekat dengan pusat pemerintahan kota,. sehingga sarana kesehatan, pendidikan dan ekonomi dapat dengan mudah didapat masyarakat.

Bangunan rumah penduduk Kelurahan Pasir Mulya seluruhnya berjumlah 983 buah. Kondisi rumah penduduk dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun jenis rumahnya yaitu rumah permanen, semi permanen dan non permanen. Rumah permanen adalah rumah yang bersifat tahan lama, rumah semi permanen adalah rumah yang bersifat tidak terlalu tahan lama dan rumah non permanen adalah rumah yang tidak tahan lama Sebagian rumah yang terdapat di Kelurahan Pasir Mulya merupakan rumah permanen.


(30)

29

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Rumah Penduduk Kelurahan Pasir Mulya Menurut Kondisi Bangunan Tahun 2010

No Jenis Bangunan Jumlah (Unit) (%)

1 Rumah Permanen 495 50,35

2 Rumah Semi Permanen 450 45,78

3 Rumah Non Permanen 38 3,87

Total 983 100,00

Sumber : Data Monografi Kelurahan Pasir Mulya (2010)

Kelurahan Pasir Mulya juga memiliki sarana pendidikan yang cukup baik, mulai dari TK sampai tingkat SMP sementara untuk tingkat pendidikan SMA Kelurahan Pasir Mulya belum memiliki, sehingga jika orang tua ingin menyekolahkan anaknya ke tingkat SMA harus ke pusat kota akan tetapi jarak antara Kelurahan Pasir Mulya dengan SMA terdekat hanya sekitar 1 km sampai 3 km dimana jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Untuk melihat jumlah dan jenis sekolah yang terdapat di Kelurahan Pasir Mulya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah dan Jenis Sarana Pendidikan Kelurahan Pasir Mulya

Kelurahan Pasir Mulya Tahun 2010

Jenis Sarana Pendidikan Jumlah

TK 3

SD/MI 3

SMP/MTS 2

SMA 0

Total 9

Sumber : Data Monografi Kelurahan Pasir Mulya (2010)

Untuk memelihara kesehatan ibu hamil, ibu menyusui dan balita, terdapat 6 posyandu madya yang mengadakan pemeriksaan sebulan sekali, dan untuk menjaga kesehatan para lansia juga terdapat 2 posyandu lansia. Selin itu, untuk memelihara kesehatan para penduduk di Kelurahan Pasir Mulya juga terdapat satu Puskesmas dengan tenaga dokter sebanyak dua orang, tenaga perawat empat orang dan tenaga bidan dua orang. Di Kelurahan Pasir Mulya juga terdapat praktek dokter dua orang yang terdiri dari satu orang dokter umum dan satu orang


(31)

30

dokter gigi. Sementara untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat sebagian telah menggunakan sarana air bersih yang berasal dari PDAM yaitu sebanyak 576 rumah, sedangkan yang menggunakan sumur gali sebanyak 36 rumah. Selain itu di Kelurahan Pasir Mulya juga terdapat tiga buah mata air dan jamban umum/MCK yang dapat digunakan oleh masyarakat sebanyak tiga buah. Tabel 5 Jumlah Sarana Perdagangan yang Terdapat di Kelurahan Pasir

Mulya Tahun 2010

Jenis Sarana Perdagangan Jumlah

Pasar 0

Toko Modern 3

Toko 13

Warung 38

Kaki Lima 4

Rumah Makan/Restoran 2

Warung Makan 2

Katering 1

Total 63 Sumber : Data Monografi Kelurahan Pasir Mulya (2010)

Kelurahan Pasir Mulya belum mempunyai sarana belanja berupa pasar. Akan tetapi hal ini bukan merupakan suatu kendala untuk melakukan perdagangan darang dan jasa karena masyarakat dapat dengan mudah melakukan kegiatan tersebut di warung dan toko yang banyak tersedia di sekitar lingkungan mereka, selain itu masyarakat juga menggunakan pasar yang terdapat di Kelurahan tetangga ataupun dapat dengan mudah membeli segala macam keperluan sehari-hari di supermarket yang letaknya tidak jauh dari Kelurahan Pasir Mulya. Adapun jumlah sarana yang terdapat di Kelurahan Pasir Mulya dapat dilihat pada Tabel 5.

Sarana transportasi yang dapat digunakan oleh masyarakat Kelurahan Pasir Mulya adalah transportasi darat, seperti mobil pribadi, angkutan umum, sepeda motor, becak dan sepeda. Selain sarana dan prasarana yang telah disebutkan di atas, Kelurahan Pasir Mulya juga memiliki sarana-sarana pendukung lainya, seperti di bidang olahraga terdapat lapangan basket, lapangan volley, lapangan bulu tangkis dan lapangan tenis. Bidang industri Kelurahan


(32)

31

Pasir Mulya memiliki tiga buah industri sedang, dua buah industri kecil dan 20 industri rumah tangga. Sementara di bidang keagamaan Kelurahan Pasir Mulya telam memiliki sarana yang memadai hal ini dapat dilihat dari jumlah masjid yang terdapat di Kelurahan Pasir Mulya yaitu berjumlah 6 masjid, 7 mushallah, 7 majelis ta’lim dan satu pondok pesantren.

4.3 Kondisi Demografi

Pada tahum 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Pasir Mulya sebanyak 4.676 jiwa terdiri dari 1.156 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki sebnyak 2.396 jiwa dan perempuan berjumlah 2.280 jiwa. Jumlah penduduk di Kelurahan Pasir Mulya berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6 . Tabel 6 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasir Mulya pada Tahun 2010

Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) (%)

Laki-laki 2396 51,24

Perempuan 2280 48,76

Total 4676 100,00

Sumber : Data Monografi Kelurahan Pasir Mulya (2010)

Kondisi tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Pasir Mulya sudah baik, ini ditunjukan dengan komposisi pendidikan penduduk yang sebgaian besar merupakan penduduk yang berpendidikan tamatan SMA/sederajat. Selain itu di Kelurahan Pasir Mulya sudah tidak ada lagi penduduk yang buta aksara. Untuk melihat lebih jelas komposisi penduduk Kelurahan Pasir Mulya berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7.

Sebanyak 497 orang mengecap pendidikan SD/MI lalu sebanyak 634 orang mengecap pendidikan pada tahhap SMP/SLTP/MTs lalu sebanyak 1621 orang mengecap pendidikan pada tahap SMA/Aliyah dan sebanyak 343 orang mengecap pendidikan pada tahap Akademi/D1-D3 dan Sarjana hanya sebanyak 217 orang.


(33)

32

Tabel 7 Komposisi Penduduk Kelurahan Pasir Mulya Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010

Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) (%)

Taman Kanak-kanak 0 00,00

Sekolah Dasar/ MI 497 15,01

SMP/SLTP/MTs 634 19,15

SMA/Aliyah 1621 48,94

Akademi/D1-D3 343 10,35

Sarjana (S1-S3) 217 6,55

Total 3312 100,00

Sumber : Data Monografi Kelurahan Pasir Mulya (2010)

Penduduk Kelurahan Pasir Mulya sebagian besar bekerja sebagai pegawai swasta/BUMN/BUMD, yaitu sebesar 358 jiwa (14,28 persen), yang lainnya adalah pensiunan (19,24 persen), pertukan ( 17,35 persen), pegawai negeri sipil (14,28 persen), wiraswasta/pedagang (13,80 persen) dan sisanya sebesar tiga per sen adalah TNI, POLRI dan lain-lain. Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaannya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi Penduduk Kelurahan Pasir Mulya Menurut Mata Pencaharian Utama Tahun 2010

Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) (%)

PNS 158 14,28

TNI 5 0,45

POLRI 2 0,18

Swasta/BUMN/BUMD 358 32,34

Wiraswasta 153 13,80

Tani 0 0,00

Pertukangan 192 17,35

Buruh Tani 0 0,00

Pensiunan 213 19,24

Jasa/ lain-lain 26 2,35

Total 1107 100,00


(34)

33

4.3 Lembaga Keuangan Mikro Bina Usaha Mandiri

Lembaga Keuangan Mikro Bina Mandiri Sejahtera merupakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM ) yang modalnya berasal dari warga RW 02 Kelurahan Pasir Mulya baik dari anggota masyarakat dan para tokoh masyarakat. kegiatan operasional LKM Bina Mandiri Sejahtera dimulai sejak bulan Agustus 2008. Pada dasarnya LKM Bina Mandiri Sejahtera bertujuan untuk membantu warga yang kekurangan modal usaha, yakni bagi warga yang mampu ikut dalam penyimpanan dan warga yang tidak mampu melakukan penyimpanan dan juga melakukan pinjaman.

Sistem peminjaman dilakukan secara bergulir artinya warga yang melakukan peminjaman diberi tenggang waktu peminjaman yang telah ditentukan oleh penguruh LKM Bina Mandiri Sejahtera yakni selama 3 bulan. Sistem bergulir dilakukan dalam LKM Bina Mandiri Sejahtera karena keterbatasan dana yang tersedia. Bagi warga yang melakukan peminjaman diberikan kartu putih sebagai bukti penyetoran piutang dan bagi warga yang melakukan penyimpanan diberikan kartu kuning. Keberadaan LKM Bina Mandiri Sejahtera memberikan dampak yang positif bagi warga RW 02 Kelurahan Pasir Mulya. Banyak warga yang mencoba melakukan kegiatan wirausaha kecil-kecilan misalnya membuka toko kelontong, warung jajan, penjual makanan dan minuman keliling, usaha kerajinan dan lain-lain. Selain itu keberadaan LKM Bina Mandiri Sejahtera juga dapat meminimalisasikan warga untuk tidak meminjam dana pada Bank keliling atau rentenir yang marak baik di desa maupun di pinggiran kota.


(35)

34

BAB V

KARATERISTIK RESPONDEN, KODISI EKONOMI DAN

MODAL SOSIAL

5.1 Karakteristik Pelaku Usaha Kecil 5.1.1 Usia/Umur

Pada umumnya tingkat produkfitas kerja seseorang ditentukan oleh usia orang tersebut. Seseorang yang berumur terlalu tua meskipun dinilai memiliki pengalaman kerja yang lebih banyak tidak akan bisa mengimbangi produktifitas orang yang lebih muda karena dipengaruhi oleh kodisi fisik yang sudah tidak prima lagi. Begitu pun dengan orang yang terlalu muda tidak akan bisa mengimbangi produktifitas kerja orang yang lebih tua karena dipengaruhi oleh faktor pengalaman dalam bekerja. Artinya seseorang yang terlalu tua dan terlalu muda akan sangat sulit mencapai tingkat produktifitas kerja yang maksimal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rusli (1995) bahwa penduduk usia kerja didefinisikan sebagai peduduk yang berumur antara 10–64 tahun artinya untuk seseorang yang berumur di bawah 10 tahun belum layak untuk bekerja dan untuk seseorang yang berumur di atas 64 sudah tidak layak untuk bekerja.

Berkaitan dengan dengan hal tersebut pengelompokan umur responden yang dalam hal ini adalah pelaku usaha kecil di Kelurahan Pasir Mulya dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok umur 27-36 tahun, kelompok umur 37-46 tahun dan kelompok umur 47-56 tahun. Pengelompokan itu didasarkan pada data primer di lapangan yang menunjukkan bahwa umur pelaku usaha kecil yang memperoleh dana dari LKM Bina Usaha Mandiri beragam mulai dari 27 hingga 55 tahun atau dengan kata lain pengelompokan tersebut didasarkan pada umur terkecil dan terbesar dari responden. Klasifikasi responden berdasarkan umur tersaji dalam Tabel 9.

Hasil di Tabel 9 menunjukan sebanyak 46 persen responden dengan jumlah orang sebanyak 14 orang tergolong dalam kelompok umur 27-36 tahun lalu sebesar 40 persen responden dengan jumlah orang sebanyak 12 orang tergolong dalam kelompok umur 37-46 tahun dan yang terakhir sebesar 14 persen


(36)

35

responden dengan jumlah orang sebanyak empat orang tergolong dalam kelompok umur 47-56 tahun.

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur Kelurahan Pasir Mulya Tahun 2011

No Kelompok Umur Jumlah Orang (%)

1 27-36 Th 14 46

2 37-46 Th 12 40

3 47-56 Th 4 14

Total 30 100

Umur minimal responden yang menjadi sampel ada penelitian ini adalah 27 tahun sedangkan umur maksimal responden yang menjadi sampel penelitian ini adalah 56 tahun. Meskipun penyebaran umur responden dalam penelitian ini tidak seimbang yakni satu kelompok umur tertentu memiliki persentase yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok umur lain, namun jika merujuk pada pendapat Rusli (1995) responden dalam penelitian ini 100 persen tergolong dalam penduduk angkatan kerja yang aktif secara ekonomi (economically active population).

5.1.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat pendidikan responden di Kelurahan Pasir Mulya terbagi menjadi lima kelompok yaitu: tidak bersekolah, SD, SMP, SMA, dan responden yang berpendidikan sampai pada tahap Universitas (D1,D2,D3,S1 dan lainnya).Data lengkap tentang tingkat pendidikan petani responden disajikan dalam Tabel 10.

Mayoritas responden yang berprofesi sebagai pelaku usaha kecil adalah mereka yang mengenyam pendidikan rata-rata hingga sekolah menengah atas yakni sebanyak 11 orang responden dengan persentase sebesar 36 persen lalu terdapat 7 orang responden dengan persentase sebesar 24 persen dapat mengecap pendidikan sampai pada tahap sekolah dasar (SD). Sebanyak 9 orang responden dengan persentase sebesar 30 persen dapat mengecap pendidikan sampai pada


(37)

36

tahap sekolah menengah pertama (SMP) dan sebanyak 3 orang dengan persentase sebesar 10 persen dapat mengecap pendidikan sampai tahap Universitas lalu sebanyak 0 per sen responden yang tidak bersekolah artinya tidak ada responden yang tidak mengenyam pendidikan sedikitpun

Tabel 10 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011

No Tingkat Pendidikan Jumlah Orang (%)

1 Tidak Bersekolah 0 0

2 SD 7 24

3 SMP 9 30

4 SMA 11 36

5 Universitas 3 10

Total 30 100

Ketidakadaan responden yang tidak bersekolah dikarenakan pada saat mereka berada pada usia sekolah fasilitas pendidikan di wilayah mereka sudah cukup menunjang, banyak sekolah-sekolah yang sudah berdiri sehingga kesempatan untuk memperoleh pendidikan menjadi lebih terbuka dan banyak dari responden yang mengaku tidak mengalami kesulitan jika mereka ingin memperoleh dan memanfaatkan fasilitas pendidikan formal. Namun begitu, profesi sebagai pelaku usaha kecil tidak memandang pendidikan sebagai faktor penentu dalam menjalankan usaha dan dalam hal ini usaha berskala kecil karena pada dasarnya usaha-usaha berskala kecil adalah usaha yang bersifat mandiri dan non formal artinya usaha tersebut tidak memandang ijazah pendidikan formal sebagai suatu hal yang sangat penting karena yang dibutuhkan hanyalah keterampilan dalam menjalankan usaha dan hal tersebut jarang ditemukan dalam pendidikan formal karena keterampilan dalam menjalankan usaha ditentukan oleh pengalaman pelaku usaha itu dalam menjalankan usahanya. Selain itu usaha kecil lingkup pelaksanaannya hanya sebatas satu individu atau pun keluarga karena usaha ini memiliki skala yang kecil sehingga tidak membutuhkan jumlah pekerja yang banyak artinya usaha tersebut bersifat mandiri dalam hal pelaksanaan usahanya.


(38)

37

5.2 Kondisi Ekonomi 5.2.1 Status Pekerjaan

Potensi masyarakat berhubungan dengan mata pencaharian penduduknya maka dapat dibagi menjadi dua yaitu bekerja dan tidak bekerja. Jumlah responden yang bekerja sebesar 30 orang dan tidak ada responden yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan oleh seluruh responden merupakan pelaku usaha kecil sehingga dengan begitu dapat dikatakan seluruh responden memeliki pekerjaan meskipun penghasilan dari pekerjaan tersebut tidak pasti jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain seperti pegawai ataupun karyawan. Data lengkap tentang jumlah dan persentase responden menurut status pekerjaan disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Status Pekerjaan Kelurahan Pasir Mulya Tahun 2011

Status Pekerjaan Jumlahh Orang (%)

Bekerja 30 100

Tidak Bekerja 0 0

Total 30 100

5.2.2 Jenis Usaha

Katagori jenis usaha yang dijalankan oleh responden dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yakni non jasa dan jasa. Jenis usaha yang bersifat non jasa adalah jenis usaha yang menjual produknya dalam bentuk yang nyata yakni produk tersebut ada wujudnya. Sedangkan jenis usaha yang bersifat jasa adalah jenis usaha yang menjual produknya dalam bentuk jasa artinya yang dijual adalah keterampilan dari pelaku usaha tersebut. Data lengkap tentang jenis usaha responden disajikan dalam Tabel 12.

Hasil data Tabel 12 di atas menunjukan sebagian besar responden memiliki usaha yang bersifat non jasa yakni sebanyak 76,7 persen dengan jumlah responden sebanyak 23 orang sementara hanya tujuh orang atau hanya 23,3 persen responden yang memiliki usaha yang bersifat jasa.

Banyaknya responden yang memiliki usaha yang bersifat non jasa adalah karena usaha jenis ini tidak membutuhkan keahlian khusus seperti yang


(39)

38

dibutuhkan pada usaha yang bersifat jasa sehingga setiap orang bisa menjalankan usaha jenis ini.

Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jenis Usaha Kelurahan Pasir Mulya Tahun 2011

No Jenis Usaha Jumlah Orang (%)

1 Non Jasa 23 76,7

2 Jasa 7 23,3

Total 30 100,0

Lain halnya dengan usaha yang bersifat jasa, keahlian-keahlian yang dimiliki oleh pelaku usaha ini tidak diperoleh dalam waktu yang singkat artinya dibutuhkan proses yang cukup lama untuk memperoleh keahlian tersebut dan diharapkan keahlian tersebut dapat memiliki nilai jual. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak YD (41 tahun) salah seorang responden yang berprofesi sebagai tukang service barang elektronik. Beliau mengaku bahwa keahlian yang dimiliki olehnya sekarang merupakan hasil dari pengalaman dan pembelajaranya selama ini dalam melakukan perbaikan barang-barang elektronik meskipun dia belajar secara otodidak. Oleh karena itu para pelaku usaha yang tidak memiliki keahlian khusus lebih cenderung memilih usaha yang bersifat non jasa.

5.2.3 Tahapan Perolehan Kredit

Merujuk pada Wardoyo (2006) tahapan perolehan kredit menjadi tiga yakni rescue, recovery, dan development. Masing-masing tahapan tersebut memiliki jumlah yang berbeda. Pada tahap rescue dana yang dapat diperoleh oleh nasabah berkisar Rp 100 ribu rupiah sampai Rp 200 ribu rupiah, lalu pada tahap

recovery dana yang dapat diperoleh oleh nasabah berkisar 200 ribu rupiah keatas sampai 500 ribu rupiah, dan pada tahap development dana yang dapat diperoleh oleh nasabah sebesar 500 ribu rupiah keatas. Data lengkap mengenai tahap kredit yang dapat diperoleh responden disajikan pada Tabel 13.

Hasil dari Tabel 13 menunjukan bahwa sebagian besar responden dapat memperoleh kredit pada tahap development yakni sebanyak 13 orang responden dengan persentase sebesar 43 persen lalu sebanyak 10 orang responden dapat


(40)

39

memperoleh kredit pada tahap recovery dengan persentase sebesar 34 persen dan sebanyak tujuh orang respponden dengan persentase sebesar 23 persen memperoleh kredit pada tahap rescue. Banyaknya responden yang memperoleh kredit pada tahap development .

Tabel 13 Jumlah, Persentase Responden dan Tahap Perolehan Kredit Tahun 2011

No Tahap Perolehan Kredit Jumlah Orang (%)

1 Rescue 7 23

2 Recovery 10 34

3 Development 13 43

Total 30 100

Pada dasarnya dana yang tersedia di LKM Bina Usaha Mandiri juga terbatas dan tidak berlimpah mengingat lembaga keuangan ini adalah lembaga keuangan mikro yakni lembaga yang diperuntukan bagi para pelaku usaha kecil sehingga skalanya keuangannya tidak sebesar lembaga keuangan formal seperti perbankan. Pada saat kondisi dana di LKM Bina Usaha Mandiri sedang tersedia karena sudah disalurkan kepada beberapa nasabah maka nasabah lain yang juga ingin memperoleh pinjaman dari LKM harus menunggu dan mengantri sampai beberapa atau salah seorang dari nasabah yang sebelumnya memperoleh pinjaman mengembalikan pinjamannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu HN (31 tahun) yang merupakan pengurus dari LKM Bina Usaha Mandiri.

Ibu HN mengungkapkan bahwa dana di LKM Bina Usaha Mandiri tidak selalu tersedia untuk para nasabah ada saat dimana dana yang tersedia habis karena sudah disalurkan kepada para nasabah lain yang terlebih dulu meminjam jadi jika ada salah seorang nasabah yang ingin meminjam dana pada saat dana di LKM sedang tidak ada maka dia harus mengantri dan menunggu sampai nasabah lain yang meminjam dana sebelumnya mengembalikan pinjamannya. Ibu HN juga menambahkan bahwa waktu pengembalian pinjaman biasanya paling lama hanya dua bulan walaupun Ibu HN tidak menetapkan waktu pengembaliannya. Mengenai pengembalian yang dinilai cepat yakni hanya sekitar satu sampai dua bulan menurut beliau hal itu merupakan hal yang wajar dan biasa saja karena dana


(41)

40

yang dipinjamkan kepada para nasabah hanya bernilai ratusan ribu saja tidak bernilai jutaan sehingga wajar jika sebagian besar nasabah dapat mengembalikan pinjaman dalam tempo waktu yang singkat.

5.3 Modal Sosial 5.3.1 Kepercayaan

Dalam memandang hubungan sosial antar individu ataupun kelompok keberadaan kepercayaan sebagai salah satu komponen dari modal sosial tidak dapat dikesampingkan, karena dengan adanya rasa saling percaya antara individu ataupun kelompok, hubungan sosial yang terjalin akan berlangsung dengan baik sehingga permasalahan-permasalahan sosial yang ditandai dengan munculnya krisis kepercayaan seperti rasa saling curiga akan semakin menghilang. Selain itu dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan lagi aktivitas pengawasan terhadap prilaku orang lain agar orang tersebut berprilaku sesuai dengan keiinginan kita

Menurut Lawang (2004) dalam Lenggono (2007) ada tiga hal utama yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu : (1) hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang. Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang dalam institusi tersebut bertindak. (2) Harapan yang terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika direalisasikan salah satu dari kedua belah pihak tersebut. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan sebagi hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin kuat rasa percaya kepada orang lain maka akan semakin kuat juga kerjasama yang terjalin antara mereka.

Bagi para pelaku usaha kecil yang berada di Kelurahan Pasir Mulya keberadaaan rasa saling percaya antar sesama pelaku usaha atau pun antar sesama warga Kelurahan Pasir Mulya merupakan modal yang berperan dalam menjalankan hubungan sosial yang menuju ke arah yang baik. Dengan adanya


(42)

41

rasa saling percaya maka kerjasama yang baik akan dapat terbentuk. Data lengkap mengenai tingkat kepercayaan pelaku usaha kecil di Kelurahan Pasir Mulya disajikan pada Tabel 14.

Hasil dari Tabel 14 menunjukan bahwa sebanyak 16 responden (53 persen) memiliki kepercayaan yang bersumber dari kekerabatan lalu sebanyak 5 responden (17 persen) memiliki kerpercayaan yang bersumber pada posisi dan status sosial dan sebanyak 9 responden (30 persen) memiliki kepercayaan yang bersumber dari keterampilan. Berdasarkan data hasil tersebut dapat dilihat bahwa kepercayaan sebagian besar responden bersumber dari ikatan kekerabatan yang dimiliki oleh responden.

Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kepercayaan Kelurahan Pasir Mulya Tahun 2011

No Kepercayaan Jumlah Orang (%)

1 Kekerabatan 16 53

2 Posisi dan Status Sosial 5 17

3 Ketarampilan 9 30

Total 30 100

Besarnya jumlah responden yang memiliki kepercayaan yang bersumber dari kekerabatan sebagian besar responden yang dalam hal ini adalah pelaku usaha kecil memang sudah berada dalam satu wilayah yang sama dan hal itu diturunkan dari orang tua mereka. Banyak dari responden yang mangatakan bahwa sebagian besar atau beberapa kerabat keluarga mereka berada dan tinggal satu wilayah yang sama dengan meraka yakni di Kelurahan Pasir Mulya sehingga rasa percaya yang terbangun semakin menjadi kuat hingga pada saat ini. Hal tersebut menunjukan bahwa jenis modal sosial yang mengikat (bonding) seperti yang diungkapkan oleh Putnam (2000) dalam Field (2003) sangat terlihat disini yaitu dari hubungan kekerabatan yang masih sangat kental di wilayah ini. Selain itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Williamson (1999) dalam Viprianty (2007) kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur demikian juga kepercayaan tidak dapat ditimbuhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi sering kali tumbuh berdasarkan pada hubungan teman atau keluarga. Kekerabatan merupakan faktor yang paling


(1)

14.Wilayah pemasaran : ...

15.Biaya bahan baku sekali pakai 1. Hari ini : Rp... 2. Kemarin : Rp... 3. Kemarin lusa : Rp...

16. Biaya bahan baku beberapa kali pakai : Rp ... per ...kali pakai

17. Biaya penyusutan : Rp ...

18. Biaya tenaga kerja/ upah per hari : Rp... 19. Omset yang diperoleh 1. Kemarin : Rp ...

2. Kemarin lusa : Rp ... 3. Tiga hari yang lalu : Rp ...

Modal sosial (Kepercayaan)

1. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i warga asli daerah ini? a. Ya

b. Tidak

2. Sudah berapa lama Bapak/Ibu/Saudara/i tinggal di wilayah ini? a. Sejak lahir

b. Sejak belasan/ puluhan/ beberapa tahun yang lalu c. Belum genap satu tahun

3. Apakah sebagian besar kerabat Bapak/Ibu/Saudara/i bertempat tinggal di wilayah ini juga?

a. Ya

b. Cuma beberapa c. Tidak

4. Apakah pihak LKM merupakan salah satu kerabat Bapak/Ibu/Saudara/i? a. Ya

b. Tidak

5. Apakah pihak LKM juga merupakan tetangga dekat Bapak/Ibu/Saudara/i? a. Ya

b. Tidak

6. Sudah berapa lama Bapak/Ibu/Saudara/i bekerja sama dengan pihak LKM?

a. Lebih dari 2 tahun

b. Sekitar 1 sampai dengan 2 tahun c. Kurang dari 1 tahun

7. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i kerjasama yang terbentuk antara

Bapak/Ibu/Saudara/i dengan LKM lebih dari sekedar kerjasama antara penerima dana dan pemberi dana?


(2)

a. Ya b. Tidak

8. Apakah sebelum memperoleh pinjaman dari LKM Bapak/Ibu/Saudara/i pernah mengalami masalah dengan pihak LKM?

a. Tidak pernah b. Pernah

9. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i memiliki posisi/ peran khusus yang terpandang di daerah ini?

a. Ya b. Tidak

10.Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i sering mengikuti kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan dalam menjalankan usaha?

a. Sering

b. Pernah / Cuma beberapa kali c. Tidak pernah

11. Apakah selama ini Bapak/Ibu/Saudara/i sering mendapatkan keluhan dari konsumen karena produk yang Bapak/Ibu/Saudara/i jual?

a. Tidak pernah

b. Pernah / cuma beberapa kali c. Sering

12. Kira-kira bagaimana peningkatan konsumen Bapak/Ibu/Saudara/i selama ini?

a. Rata-rata atas b. Rata-rata bawah

13.Kira-kira bagaimana keadaan usaha Bapak/Ibu/Saudara/i selama ini? a. Lebih sering untung

b. Lebih sering rugi

Modal Sosial (Jaringan Sosial)

1. Banyaknya masyarakat di wilayah ini yang Bapak/Ibu/Saudara/i kenal baik?

a. Sebagian besar masyarakat b. Tidak terlalu banyak c. Hanya beberapa orang

2. Apakah masyarakat Bapak/Ibu/Saudara/i kenal tersebut merupakan warga yang juga menerima dana dari LKM?

a. Ya b. Tidak


(3)

a. Sebagian besar b. Tidak terlalu banyak c. Hanya beberapa orang

4. Bagaimana Bapak/Ibu/Saudara/i bisa mengenal pihak LKM? a. Rujukan dari teman atau tetangga

b. Mencari tahu c. Tidak sengaja

5. Apakah orang yang memperkenalkan Bapak/Ibu/Saudara/i dengan pihak LKM adalah orang yang memiliki hubungan yang sangat baik dengan pihak LKM?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i sering mengikuti kegiatan masyarakat di wilayah ini

a. Sering

b. Tidak terlalu sering c. Jarang

7. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i sering menyapa dengan sebagian besar masyarakat di wilayah ini?

a. Sering

b. Tidak terlalu sering c. Jarang

8. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i sering mengobrol dengan sebagian besar masyarakat di wilayah ini?

a. Sering

b. Tidak terlalu sering c. Jarang

9. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i sering berkunjung ke LKM? a. Sering

b. Tidak terlalu sering c. Jarang

Modal Sosial (Norma)

1. Apakah terdapat aturan atau kesepakan tertulis ketika Bapak/Ibu/Saudara/i mengajukan diri untuk memperoleh dana dari LKM?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i setuju terhadap aturan dan kesepakatan tersebut?


(4)

a. Ya b. Tidak

3. Selama ini apakah Bapak/Ibu/Saudara/i selalu mematuhi aturan tersebut? a. Ya

b. Kadang-kadang c. Tidak

4. Apakah ada sangsi yang Bapak/Ibu/Saudara/i dapatkan jika aturan atau kesepakatan tersebut dilanggar?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah menurut Bapak/Ibu/Saudara/i aturan dan kesepakatan tersebut terlalu memberatkan?

a. Tidak b. Ya

6. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i jika mematuhi aturan/kesepakan tertulis tersebut dengan baik maka Bapak/Ibu/Saudara/i akan memperoleh dana yang lebih besar di peminjaman selanjutnya?

a. Ya b. Tidak

7. Pada saat pengembalian apakah seringkali Bapak/Ibu/Saudara/i menambahkan jumlah uang untuk LKM?

a. Ya

b. Kadang-kadang c. Tidak

8. Atas dasar apa Bapak/Ibu/Saudara/i menambahkan jumlah pengenbalian tersebut?

a. Inisiatif

b. Aturan yang berlaku

9. Apakah penambahan jumlah pengembalian tersebut merupakan bentuk balas jasa terhadap pihak LKM

a. Ya b. Tidak

10.Jika tidak menambahkan jumlah pengembalian tersebut apakah ada sangsi?

a. Tidak b. Ya


(5)

1. Berapa dana yang Bapak/Ibu/Saudara/i pinjam saat ini ? Rp ...

2. Berapa lama waktu pelunasan? ... Bulan

3. Berapa jumlah angsuran yang Bapak/Ibu/Saudara/i keluarkan? Rp ...

4. Berapa kali angsuran? ... kali


(6)

Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam

Nama :

Umur :

Jabatan :

Tanggal wawancara :

1. Apa alasan di bentuknya LKM Bina Usaha Mandiri? 2. Apa tujuan dasar LKM Bina Usaha Mandiri?

3. Bagaimana prosedur perolehan kredit yang dibentuk oleh LKM ini? 4. Dalam perolehan kredit adakah persyaratan tertulis?

5. Bagaimana struktur manajemen LKM Bina Usaha Mandiri? 6. Berapa orang jumlah pengurus LKM ini?

7. Dari mana kredit operasional LKM ini diperoleh?

8. Adakah pihak luar lain yang ikut serta dalam pemberian kredit?

9. Mayoritas usaha seperti apa yang paling banyak dijalankan oleh pelaku usaha?

10.Adakah kegiatan pengembangan usaha yang dilakukan oleh pihak LKM? 11.Berapa jumlah pelaku usaha yang bekerjasama dengan LKM ini?

12.Apa yang menjadi dasar terbentuknya kerjasama antara pihak pelaku usaha dengan LKM?

13.Apakah sebagian besar dari mereka merupakan kerebat atau tetangga dekat?

14.Apakah mereka bersifat terbuka satu sama lain?

15.Apakah rasa saling tolong menolong antar tetangga menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat?

16.Adakah aturan atau nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat?

17.Apakah aturan itu bersifat tertulis atau tidak?

18.Apakah komunikasi antara LKM dan pelaku usaha tetap terjalin?

19.Apakah pihak LKM dan pelaku usaha sering mengadakan suatu perkumpulan atau sejenisnya?

20.Apakah suatu informasi atau kabar yang baru muncul cepat tersebar keseluruh warga?

21.Apakah pendidikan pelaku usaha mempengaruhi jumlah kredit yang dapat diakses oleh pelaku usaha?

22.Apakah pengetahuan pelaku usaha mempengaruhi jumlah kredit yang dapat diakses oleh pelaku usaha?

23.Apakah pengalaman dalam menjalankan usaha oleh pelaku usaha? 24.Jenis usaha macam apa yang paling banyak mendapatkan kredit?

25.Apakah usaha yang mengalami peningkatan omset dari waktu ke waktu mendapatkan kredit yang lebih besar?